zwei.

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

“Duh, lovebirds.” ledek Mara sambil menyundut siku Attara. Yang diledek hanya diam saja sementara wajahnya mulai memerah, tangannya yang sibuk menuliskan kata demi kata di secarik kertas terhenti.

Attara pun mendengus, “Ih, Mara. Orang kita nggak ada apa-apa, kok,” jawabnya sedikit kecewa. Walaupun dalam hati ia sangat mensyukuri kejadian Sabtu beberapa minggu lalu, dan walaupun ia sangat menghargai usaha Tanya dalam mengenalkan dirinya dengan si bangor Bintang, ia tetap merasa kecewa karena mereka seolah-olah terhenti di situ. Gadis itu pun melanjutkan tugas menulisnya lagi setelah beberapa saat memandangi kertas di depannya dengan sendu.

Mara hanya memerhatikan sahabatnya yang sudah hampir sejam berkutat dengan tugasnya di perpustakaan yang sepi ini. Saat ia hendak berbaring sebentar di lengannya, matanya tidak sengaja memandang kearah rak paling pojok. Kedua matanya refleks menyipit untuk dapat melihat dengan lebih jelas—dan untuk memastikan bahwa yang dilihat olehnya bukanlah orang yang daritadi ia dan Attara bicarakan. What the—

“Tar, Tar,” panggil Mara setengah berbisik sambil menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang masih menulis, tetapi yang dipanggil malah tidak memperdulikan panggilannya sama sekali. Mara tetap tidak menyerah dan masih mencolek-colek pergelangan tangan Attara.

“Ih, Syamara diam sebentar bisa, kan???” tanya Attara dengan kesal, matanya masih tidak menatap Mara sama sekali. Sementara itu kalau Attara memanggil sahabatnya dengan nama lengkapnya, berarti Attara sudah mulai merasa jengkel.

“Nggak bisa, nggak bisa! Itu cowok lo ngapain anjiiir di pojokan begitu? Lho, itu bukannya Sarah?”

Begitu menangkap maksud dari perkataan Mara, Attara langsung berhenti menulis dan melayangkan pandangannya searah dengan arah pandangan sahabatnya. Ditambah dengan mendengar nama Sarah, Attara langsung merasa tidak enak. What can he possibly do with her, moreover in this almost empty library, and at the most corner shelf?

Attara menelan ludahnya sendiri, lalu menggelengkan kepalanya—berusaha untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja mereka sedang mencari buku di rak yang sama? Atau mungkin mereka hendak belajar bersama? Who knows.

“Biarin aja, Mar. Mungkin mau belajar bareng? Kita, kan, nggak tahu…” ujar Attara yang sekarang mulai berkutat kembali dengan tugasnya, which left a big O formed in Mara’s mouth. This girl is surely thinks way too positive! pikir Mara.

“Bintang would be very lucky to have you, Tar. Tapi sayangnya lo terlalu polos.” pikir Mara lagi sambil melihat kearah Attara yang sedang menggigit jarinya bingung.

Kini Mara hanya menghela napas sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tidak memikirkan apa yang terjadi di rak pojok sana—walaupun sebenarnya ia penasaran, parah. Ia pun meletakkan kepalanya diatas lengannya dan berbaring di meja sementara ia menunggu Attara menyelesaikan tugasnya. Suasana perpustakaan yang sejuk membuat Mara mengantuk.

Begitu Mara menutup kedua matanya dan terlelap, Attara mengambil headset dari dalam tasnya dan mencolokkannya ke iPodnya. Musik yang mulai berdendang cukup membuat Attara budeg dengan keadaan sekitar. Saat ia mulai menulis lagi, kedua orang yang daritadi berusaha Mara pergoki keluar dari barisan rak paling pojok itu. Keduanya tersenyum puas karena apa yang baru saja mereka lakukan di sana, mereka pun berjalan menuju pintu perpustakaan sementara si gadis merangkul lengan lelaki di sebelahnya, si lelaki hanya membiarkannya dan begitu ia menghadap lurus ke depan; kearah meja panjang dengan kursi-kursi di kedua sisi terpanjangnya, ia tercekat.

Bintang merasakan perasaan aneh itu lagi ketika mendapati Attara yang sedang sibuk dengan kertasnya, perasaan panik karena takut Attara mungkin saja melihat ia dengan Sarah pun mulai menjalari tubuhnya. Tetapi karena Sarah mulai menarik tangannya lagi dengan sikap tidak sabaran, Bintang lagi-lagi pun mengalihkan pikirannya dan berjalan keluar dari perpustakaan.

“Selesai!” pekik Attara pelan seraya mengangkat kertasnya. After she beamed to admire her own writings, tangannya pun menurunkan kertas itu dari pandangannya sedikit; membuat ia sekarang melihat kearah rak-rak buku.

“Tadi ada apa, ya…?”

-------------------------------------------------------------------

Bintang bisa dibilang adalah salah satu dari orang-orang gegabah atau kasarnya ugal-ugalan di kampusnya. Mungkin itu tidak akan terlihat di kebanyakan waktu, tetapi once you get to know him from his friends, or from Bintang himself, you’ll know that he’s a rascal.

Ya, Bintang itu bajingan. Dan mungkin Attara belum melihat Bintang di sisi itu.

Bagaimana tidak? Bintang berubah menjadi orang

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet