For You

Beautiful Lies

Pertemuan Luhan dan Minseok terasa sangat kaku bagi keduanya, pembicaraan awal dimulai dengan saling menanyakan kabar dan seputar teman-teman mereka. Tidak ada hal pribadi yang dibicarakan hingga Minseok akhirnya menyinggung tentang peristiwa yang menimpanya beberapa tahun yang lalu. Sungguh Luhan tidak ingin membahas peristiwa itu, membicarakannya kembali sama saja membuka luka lama, membuatnya terlihat menyedihkan.

Dengan tersenyum getir, Luhan memulai ceritanya, tak banyak yang bisa Luhan ceritakan karena memang dia tidak bisa mengingat dengan jelas kejadian itu. Selain dirinya yang terbangun dalam keadaan lumpuh dan fakta kedua orang tuanya sudah meninggal. Hidup Luhan benar-benar terasa hancur, dia menghabiskan hari pertamanya membuka mata dengan menangis seharian, neneknya tak bisa berbuat banyak kecuali membiarkannya sendiri.

“Temanmu bilang sesuatu yang buruk terjadi dengan kaki kananmu, apa kakimu sudah benar-benar sembuh?”. Luhan mengikuti arah pandangan Minseok pada kakinya, dia tertawa dengan tawanya yang khas sambil mengusap kaki kanannya sekilas.

“Ini, ah bukan apa-apa.., Lao Gao terlalu membesar-besarkan ceritanya, jangan dengarkan dia..”, mengibaskan tangannya sambil terus menunjukkan cengiran bodohnya, tapi demi melihat Minseok yang terus menuntut penjelasan lewat tatapannya yang tanpa ekspresi membuat Luhan merasa canggung. “Itu.. “, nada suara Luhan berubah serius. “Tulang keringku patah, ah bukan.. bagaimana aku mengatakannya.. remuk mungkin? Tapi tidak usah khawatir, sekarang aku sudah bisa berjalan lagi. Aku berubah menjadi Iron Man sejak dokter memasukkan beberapa lempengan besi di sini”, Luhan mengusap kakinya yang terbalut celana jeans hitam. “Hanya saja.. " kalimatnya terhenti. "Dokter menyuruhku berhenti bermain basket… selamanya..”, mendengar itu setitik bening jatuh di kedua pipi Minseok, yang dengan cepat dihapus dengan punggung tangannya. Tak bisa dipungkiri hatinya ikut merasa sakit, Minseok tahu bagaimana basket sudah menjadi bagian penting dari hidup Luhan.

“Seandainya aku ada di sampingmu saat itu..”, kata-kata Minseok membuat Luhan terkesiap, membuat hatinya terasa hangat tapi kemudian dia menggeleng lemah.

“Tidak Soeki, jika kau ada di sana, akan membuat semuanya menjadi lebih buruk”.

“Bagaimana bisa?”,

“Keadaanku begitu emosional saat itu, aku belum bisa menerima kondisiku dan juga kematian kedua orang tuaku. Bahkan terkadang pihak rumah sakit perlu menyuntikkan obat penenang karena aku terus berteriak mengganggu pasien lain. Ku rasa aku memang hampir gila saat itu”.

“Aku juga hampir gila, karena kehilanganmu, dan...”, suara Minseok tercekat di tenggorokannya, dia sudah berusaha menahan air matanya tapi percuma, tetes bening itu terus jatuh mengalir di pipinya.

Luhan terdiam, lidahnya terasa kelu. Ia ingin menjelaskan banyak hal tapi dia kehilangan kata-katanya, rasanya sakit melihat Minseok menangis. Luhan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memeluk Minseok. Ini adalah hal yang ingin ia  lakukan, mendekap erat orang yang sangat dirindukannya.

“Maafkan aku Minseok atas semua kebodohan yang aku lakukan. Aku melakukannya, karena aku mencintaimu..”,

Ucapan Luhan membuat Minseok tak bisa berpikir. Bagaimana tidak, saat dirinya memutuskan untuk melupakan dan menyerah atas penantiannya, Luhan justru datang kembali dalam kehidupannya membawa kembali semua perasaan yang dengan susah payah dikuburnya bersama kenangan mereka di masa lalu. “Kau keterlaluan.. bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?”, isaknya.

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu… Aku hanya terlalu pengecut untuk terlihat lemah di hadapanmu. Tak ada yang bisa aku banggakan untuk tetap menahanmu tetap berada di sisiku, saat itu aku hanya pria delapan belas tahun yang duduk di kursi roda”, Luhan menengadahkan kepalanya, matanya mulai kemerahan dengan sudut mata yang tergenang. Tangannya semakin erat mendekap Minseok. “Maaf… karena selama ini, tak pernah menghubungimu, aku takut jika aku menjadi egois dengan menjadikan kecacatanku sebagai alasan untuk meminta belas kasihanmu, aku takut jika pada akhirnya akan semakin berat untuk melepaskanmu. Aku tahu aku sudah banyak melukaimu, dan aku juga tak berharap banyak kau mau memaafkanku..”.

“Jangan bicara lagi.. Hentikan..”,

Minseok semakin terisak di pelukan Luhan, di sini dia merasa justru dirinyalah yang terlalu egois, yang hanya memikirkan perasaannya tanpa tahu apa yang telah Luhan lakukan untuknya adalah demi kebaikannya dan pasti sangat tidak adil baginya. Ia mendongak untuk menatap Luhan. Entah kenapa rasanya sebuah pengkhianatan apabila Minseok bisa berbahagia bersama yang lain tapi Luhan sendiri merasakan penderitaan.

“Baiklah.. maafkan aku.. Jangan menangis lagi. Aku tidak bisa melihatmu menangis”, Luhan mengusap lembut pipi Minseok dengan ibu jarinya, membantu merapikan rambut gadis itu dengan menyisipkannya di belakang telinga. Luhan menatap wajah Minseok dari dekat. Wajah yang mampu membuatnya betah berlama-lama menatapnya, kini terlihat lebih tirus dari terakhir kali dia melihatnya. Perlahan dibelainya rambut panjang Minseok yang terurai. Tidak ada lagi bando berpita atau jepit rambut bunga yang menghiasi rambutnya. Baozinya telah berubah menjadi lebih cantik dan dewasa.

Wajah Minseok termenung, melihat itu… sepertinya Luhan bisa mengerti apa yang ada dalam pikiran gadis itu.

“Kau beruntung memiliki Lee Won Geun, dan jangan terbebani dengan janji kita di masa lalu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku akan selalu mencintaimu”,  Luhan bahkan tak yakin dirinya menginginkan kalimat selanjutnya terucap dari mulutnya, yang pasti akan disesalinya seumur hidup. “Ku mohon berbahagialah…”.

Di kejauhan tampak seseorang yang menyaksikan keduanya dengan tatapan tajam, kedua tangannya mengepal penuh amarah. Dia berbalik dan melangkah pergi, berlama-lama di sana hanya menambah sakit hatinya, rasa sakit melihat tunangannya bermesraan dengan orang lain.

.

Ini sudah panggilan ke delapan yang Minseok lakukan untuk menghubungi Won Geun sejak tadi pagi, tersambung tapi tidak diangkat. Dia mendesah, meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Biasanya justru pria itu yang akan menghubunginya terlebih dahulu tapi ini, sudah seharian bahkan sudah mendekati larut malam tanpa kabar darinya. Membuat Minseok sedikit khawatir.

Dia menarik selimut hingga sebatas perutnya, menatap langit-langit kamarnya, dirinya sangat lelah hari ini. Bayangan tentang Luhan kembali muncul, perpisahan mereka di bandara tadi pagi masih menyisakkan sedikit rasa tidak rela. Munafik jika Minseok tidak mencintai Luhan lagi, tapi dia juga tahu siapa yang sekarang bersamanya.

Lee Won Geun, pria itu, juga sudah menjadi bagian penting dari hidupnya. Minseok sudah meyakinkan diri untuk belajar mencintai calon suaminya, dengan melepaskan cinta pertamanya. Ya, Luhan lagi-lagi pergi dari hidupnya, tapi kali ini dia mengucapkan selamat tinggal. Mereka berjanji untuk terus berbahagia dengan kehidupan masing-masing, tanpa air mata lagi. Perlahan, kelopak matanya memberat, rasa kantuk tak mengijinkan Minseok untuk terjaga lebih lama.

.

.

Lee Won Geun menjadi lebih sulit untuk ditemui, bahkan saat Minseok datang ke rumahnya atau sengaja berkunjung ke rumah sakit saat jam prakteknya. Aku sibuk. Adalah jawaban singkat yang terlontar dari mulut Won Geun tiap kali Minseok mengajaknya makan siang atau mengobrol.

Pria itu begitu terkejut saat dilihatnya Minseok ada di samping mobilnya di pelataran parkir rumah sakit, ucapannya tadi untuk menunggunya hingga selesai praktek ternyata tidak main-main. Langkahnya sempat terhenti sepersekian detik, tapi terus melangkah tanpa memperdulikan Minseok yang menghampirinya.

“Kita perlu bicara..”,

“Tidak ada yang perlu dibicarakan..”, tidak percaya apa yang telah dikatakan oleh Won Geun. Minseok mencoba untuk menyentuh tangan pria itu. Tapi Won Geun dengan keras menepis tangannya. Hal itu sangat menusuk di hati gadis yang kini terlihat shock.

“Ada apa?”, Won Geun tak ambil pusing untuk menjawab pertanyaan itu dengan masuk ke dalam mobil, Minseok segera berpindah ke sisi mobil yang lain dan masuk ke dalam mobil. “Kau kenapa? Jika ada masalah, katakan padaku…, tidak begini caranya..”.

“Kita batalkan saja rencana pernikahan ini…”, sepertinya Minseok baru saja mendengar bunyi petir yang sangat keras hingga memekakkan telinga. Tapi tidak, di dalam mobil itu terlalu sunyi, cukup sunyi untuk mendengar detak jantungnya sendiri. “Kau.. bertemu dengan Luhan kan?”.

Tubuh Minseok sekejap kaku oleh pertanyaan Won Geun.

“Sebenarnya kau menganggapku ini apa?!!”, emosinya sedikit naik, membayangkan bagaimana beberapa hari yang lalu Minseok dengan nyaman berpelukan dengan Luhan. “Kau memang tidak pernah menghargaiku sebagai tunanganmu”.

“Kumohon jangan salah paham,.. pertemuan itu terjadi..”.

“Apa kau masih mencintai Luhan?”,. potongnya

Won Geun tertawa sinis sambil mengalihkan pandangnya ke depan, mengeratkan genggamannya pada setir mobil, karena kediaman Minseok sudah cukup sebagai jawaban. “Sekarang pergilah dengan Luhan kalau itu memang maumu, jangan bersikap seolah kau menaruh perasaan yag sama denganku, lagipula aku lelah untuk terus mengemis cinta padamu. Ah maaf, kalau selama ini aku memaksamu untuk menikah denganku.. Sekarang kau bebas,”. Minseok tak menyangka mendengar Won Geun bicara sedingin itu padanya bisa membuatnya sangat terluka.

“Tidak, aku juga mencintaimu..”.

“Sudahlah, berhenti berpura-pura mencintaiku..!!“ bentak Won Geun

“Jangan begini, tapi aku benar-benar mencintaimu…”,

“Sekarang keluar dari mobilku…!!”,

“Tidak, kita belum selesai bicara…”, Minseok menggeleng, mencoba untuk menyentuh lengan Won Geun, dan lagi-lagi dihempaskan dengan kasar bahkan tangannya sempat terbentur dashboard mobil.

“Ku bilang, keluar..!!!”.

Menahan tangis, Minseok keluar dari mobil dan berlari pergi, masih dalam shock dengan keadaan hubungannya dengan Won Geun. Sedang Won Geun mengerang sambil memukul setir mobil dengan keras, entah harus menyesal atau tidak atas tindakannya yang sangat gegabah itu.

.

.

“Aaaa….”, Baekhyun menyendokkan satu sendok es krim penuh pada mulut Chanyeol, yang tersipu malu sambil menyeka mulutnya yang sedikit terkena es krim. Sekarang gantian Chanyeol menyuapkan es krim pada Baekhyun, tapi ditolak.

“Aku mau yang cokelat”, rengek Baekhyun manja, Chanyeol mengangguk, menggantinya dengan bagian es krim rasa cokelat di salah satu sisi gelas. “Aaah.. itu terlalu sedikit…”, lagi-lagi Baekhyun menolak.

“Segini?”, tanya Chanyeol setelah menambah lagi es krimnya, Baekhyun mengangguk cepat dan membuka mulutnya saat Chanyeol menyuapkan padanya.

“Wahh…enaknya. Sekarang gantian ya..!!”, ucapnya dengan senyum terkulum, mengambil alih sendok plastik yang ada di tangan Chanyeol. “Aaaa…”, tangannya terhenti saat ada yang menginterupsi kegiatan mereka.

“Maaf mengganggu, tapi ada aku di sini..”, ujar Kyungsoo menunjuk dirinya sendiri, dari wajahnya jelas terlihat bahwa dirinya sudah ingin muntah dari tadi melihat pemandangan didepannya ini. “Jadi tujuan kalian mengundangku untuk melihat kalian bermesraan? Hmm, aku tidak tertarik, aku pulang saja kalau begitu”.

“Eh jangan dulu Soo”, cegah Baekhyun. “Aku kan mau berbagi kebahagiaan denganmu”.

“Hmm apa itu?”, tanya Kyungsoo tanpa minat. Baekhyun menggaruk pipinya salah tingkah lalu menoleh pada Chanyeol yang membalas dengan senyuman lebarnya.

“Kau saja yang mengatakan..”, senggol Baekhyun pada lengan Chanyeol.

“Tidak, kau saja… Kyungsoo kan sahabatmu..”, ujar Chanyeol

“Tapi, dia kan juga temanmu”.

Dan Kyungsoo bersumpah jika dalam satu menit ke depan mereka masih berdebat untuk hal tidak penting ini, ia akan menyiramkan semua isi dari gelas yang ada di hadapannya, ke atas kepala mereka berdua. Tangannya terlipat di depan dada, dia sudah mulai menghitung dalam hati siap menyambar gelasnya.

“Baiklah, Kyungsoo kami akan mengatakannya bersama”, Baekhyun dan Chanyeol saling memberi aba-aba, “1..2...3… Tadaaa…!!”, keduanya menunjukkan punggung tangan mereka pada Kyungsoo yang menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. “Kau tidak terkejut?”,

“Memang maksudnya apa?”,

“Soo, kami akan menikah. Chanyeol melamarku tadi malam, tepat di hari ke 3250..”, ucapnya bersemangat sambil menggenggam tangan Chanyeol. Setelah melihat lebih seksama barulah Kyungsoo sadar bahwa mereka mengenakan cincin yang serupa di jari manis.

Mulut Kyungsoo membentuk huruf O dan mengangguk-angguk, “Selamat kalau begitu, kupikir kalian akan berpacaran sampai hari ke 10.000 hahaha…”, tawa Kyungsoo terdengar mengerikan di telinga Baekhyun dan Chanyeol.

“Maaf semua aku terlambat. Hey, ada apa ini? Kalian terlihat senang..”, Minseok datang dan langsung duduk di samping Kyungsoo, menurunkan tas yang menyampir di bahunya.

“Oh hai Seoki, kau datang sendirian?”, Minseok langsung mengerti siapa yang dimaksud Chanyeol, siapa lagi kalau bukan Lee Won Geun.

“Iya, kebetulan dia sedang sibuk akhir-akhir ini…”, ucapnya disertai senyuman walaupun senyuman itu nampak dipaksakan karena hubungan mereka merenggang bahkan beberapa hari ini tanpa komunikasi sama sekali.

“Benarkah?”, tanya Kyungsoo dengan nada tidak percaya. Minseok mengangguk, dia tidak ingin membuat teman-temannya ikut khawatir dengan hubungannya yang terancam hancur. Yang sahabatnya tahu, setelah pertemuannya dengan Luhan beberapa hari yang lalu, semuanya baik-baik saja.

Tak lama mereka larut dalam obrolan tentang pernikahan, juga candaan tentang Kyungsoo yang akan Baekhyun jodohkan dengan seseorang, yang masih dirahasiakan identitasnya.

“Apa kau menganggapku wanita tidak laku, hingga mencarikan aku jodoh?”,

“Oh bukan, justru karena aku menganggap kau adalah high quality single maka aku ingin mengenalkanmu pada orang yang berkualitas juga. Percaya padaku, dia adalah orang yang sangat baik, karirnya juga bagus, dia juga sangat tampan dan lagi jika kalian tidak cocok kan masih bisa berteman. Mau ya Soo..”, bujuk Baekhyun.

“Hah, dasar kau ini”, ucap Kyungsoo sambil menghela nafas panjang.

“Tapi bukannya mereka memang sudah berteman lama ya?”, ucap Chanyeol sambil berpikir, Baekhyun langsung menendang kaki Chanyeol sebagai tanda untuk diam.

“Permisi, aku angkat telepon dulu”, Minseok bangkit menjauh dari mereka, sebelum menjawabnya. Kyungsoo sempat melihat perubahan ekpresi Minseok saat menjawab panggilan teleponnya dan tak lama ia kembali pada mereka. “Sepertinya aku harus segera pulang sekarang”, pamitnya, sembari mengambil tas yang tergeletak di kursi. Ketiga temannya menatapnya dengan bingung.

“Apa terjadi sesuatu?”, tanya Kyungsoo.

“Oh tidak ada apa-apa, aku pulang dulu ya… Daah..”, Ketiganya menatap kepergian Minseok yang terburu-buru dengan heran.

.

.

Tak lama Minseok sampai di depan rumah Won Geun, telepon yang dia dapat barusan adalah dari Sungmin, kakak iparnya yang mengatakan kalau Won Geun sakit. Ini bukan salah Minseok sepenuhnya jika dia tidak mengetahuinya, pasalnya pria itu juga tidak merespon panggilan darinya sejak terakhir kali mereka bertengkar. Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah besar itu, bukan takut akan penolakan Won Geun tapi takut kehadirannya justru memperburuk keadaan.

“Minseok, kau datang?”, tanya seorang wanita anggun yang langsung memeluk tubuh Minseok. “Kenapa kau jarang mampir ke rumah akhir-akhir ini?”,

“Iya maaf Tante, ada banyak pekerjaan di kantor..”, ucap Minseok sungkan pada ibu Lee Won Geun, calon mertua lebih tepatnya. Tadinya Minseok pikir Won Geun sudah menceritakan masalah mereka pada orang tuanya, melihat bagaimana marahnya dia kemarin, juga tentang kata-katanya untuk membatalkan pernikahan mereka.

“Begitu? Eh, kenapa kau terus memanggilku Tante, panggil Mama”, perintah Nyonya Lee pada Minseok yang dibalas senyuman manis. “Ya sudah, kalau begitu ayo kita masuk”, ucap Nyonya Lee dengan nada ceria. Dia mengajak Minseok ke ruang tengah, setelah memerintahkan salah satu pelayannya membuatkan teh untuk mereka. Hampir saja Minseok lupa tujuannya datang ke rumah itu untuk menjenguk Won Geun, karena Nyonya Lee terus menanyainya tentang persiapan pernikahan mereka dengan antusias.

“Tenang saja, dia hanya kelelahan dan badannya panas… selain itu dia tidak apa-apa. Hanya perlu istirahat cukup”, ujar Nyonya Lee santai saat Minseok bertanya keadaan Won Geun. “Tapi sepertinya dia sekarang sedang tidur. Apa kau mau melihatnya?”.

.

“Dasar bodoh, bagaimana dokter sepertimu bisa sakit..”, ucap Minseok lirih saat menyentuh kening Won Geun yang masih terasa hangat. Dia menggenggam tangannya erat berharap suhu tubuhnya saat ini benar-benar turun. Sesekali Minseok mengecup tangan Won Geun yang digenggamnya, namun tentu saja hal itu tidak dapat dirasakan Won Geun yang saat ini sedang terbaring lemah. “Kau berhasil membuatku khawatir..”, ucapnya tulus, nampak jelas kali ini wajah Minseok terlihat sangat cemas. Sungguh amat disayangkan karena pria itu tidak bisa melihat Minseok seperti itu, begitu menyayangi dirinya. Minseok terus menggenggam erat tangannya hingga ia tertidur di samping tempat tidurnya.

Beberapa saat kemudian Won Geun terbangun, dia terlonjak kaget saat mendapati seseorang tengah terduduk di samping tempat tidurnya dengan kepala menyandar di tepian tempat tidur. Won Geun tertegun saat menyadari bahwa Minseoklah yang berada di sampingnya dan masih tertidur sambil menggenggam tangannya erat.

Dengan tangannya yang bebas ia mengusap rambut Minseok pelan, agar dia tidak terbangun. Terima kasih, batinnya. Kemudian dipandangnya wajah damai Minseok yang tengah tertidur menghadap ke arahnya, hingga gerakan halus dari gadis itu membuat Won Geun memejamkan matanya kembali.

Minseok mengusap wajah menggunakan kedua tangannya, tidak menyangka dia bisa tertidur selama beberapa menit lamanya di lantai. Dia bangkit dan duduk di tepian tempat tidur memeriksa kening Won Geun, senyumnya mengembang saat dirasa suhunya normal.

Meski terpejam tapi Won Geun tidak benar-benar tidur, dia bisa merasakan saat tangan halus Minseok menyentuh keningnya kemudian merapikan selimutnya. Dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu, karena tiba-tiba saja dia menjadi diam. Minseok tidak mungkin pergi karena Won Geun masih bisa merasakan tangannya digenggam olehnya. Hening. Dan tiba-tiba sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya.

“Aku tidak tahu sejak kapan kau ada di hatiku, yang aku tahu, sekarang aku mencintaimu…”, Minseok berkata dengan sangat lirih nyaris tak terdengar, kemudian Won Geun mendengar isakan tertahan, tempat tidurnya bergerak dan genggaman di tangannya terlepas. Tak berapa lama kemudian terdengar suara pintu tertutup. Kembali hening.

Apa dia menangis untukku? Kenapa kau membuatku kembali berharap Minseok?

Perlahan Won Geun membuka matanya, masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia ingin mempercayai tapi sisi lain dirinya menolak untuk kembali kecewa.

 

 

Author's Note 

Nah lho, kok author jadi ga tega ya misahin Won Geun sama Minseok? Tapi harus ditega-tegain di chap depan (plakk..) Luhan yang sabar ya, hehehe.. Thanks for reading this story, and drop your review if you mind... Bye, 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Navydark
#1
Chapter 10: Yeaaay. Xiuhaaaaan. Menang saingan dari won geun buat minseok, skarang buat ziyu luhan saingan sama heechul. Kekekeke
Navydark
#2
Chapter 9: Aaaaaa, kan jadi ikutan galau deh. Minseok buat siapaaa?
yoeunseo #3
Chapter 8: pas awal chapter gokil lucu, kok tambah kesini angst gitu....
TT_TT
Navydark
#4
Chapter 8: Sedihnyaaaaaa, sedih buat semua. Clbk aja deh, hehe. Xiuhan jayaaa
Navydark
#5
Chapter 7: Noooo, minseok ahh...... Kan luhan kelamaan nih minseok keburu mau nikah deeeh
Navydark
#6
Chapter 6: Dasar kyu cemburunya agak kelewatan dan keterlauan tapi lawak banget gini.
Its okay thor, yg penting endingnya maknyoss buat xiuhan. Hoho