So Sick

Description

Wooyoung tahu Nichkhun mengkhianatinya, dan dia membiarkan saja. Lalu ketika sesuatu terjadi pada Wooyoung, akankah Nichkhun menyesal?? Lalu bagaimana perasaan Jaebum pada Wooyoung????

 

g pinter bikin yg beginian.. baca aja langsung...

Foreword

So Sick

Genre  : Inginnya sih sedih, tp ga tau feelnya dapet apa ga..

Rate    : Alhamdulillah ya, aman...

Author            : Shymi Horvejkul

Pair     : Khunyoung, Jaewoo, Junnich

!!!

 

 

 

Wooyoung sedikit mengendap saat mengikuti Nichkhun dan Junho ke taman belakang sekolah. Dirinya cukup merasa aman saat bersembunyi di balik tembok tak jauh dari kedua orang yang tengah di buntutinya itu. Hatinya berdebar.

“Hyung, saranghae!” Wooyoung terbelalak akan perkataan Junho, dia menatap cemburu saat dengan mesranya Junho menggenggam tangan Nichkhun

“Aku... aku...” Nichkhun nampak bingung, namun dia tetap membiarkan tangannya di genggam oleh Junho.

“Hyung, aku mencintaimu, dan aku tahu kau juga masih mencintaiku!” Junho kini meremas bahu Nichkhun, agak sedikit kencang karena sang empunya kini meringis keakitan.

“Junho-ah, sakit!” Nichkhun berontak, membuat Junho melepaskan cengkramannya.

“Kau tahu aku sudah memiliki Wooyoung,” ucap Nichkhun sedikit kesal, namun detik berikutnya tubuhnya telah berada dalam dekapan Junho.

“Tapi kau masih mencintaiku kan, Hyung?” tanya Junho lirih.

Nichkhun diam. Junho menunggu, dan tanpa mereka sadari Wooyung pun juga menunggu jawaban itu. Katakan tidak. Batinnya memohon.

“... Ya,” Nichkhun benar-benar menghancurkan pertahanan Wooyoung. Sedikit keras, anak laki-laki berwajah manis itu kemudian meremas dadanya. Hatinya hancur.

 

Wooyoung tak benar-benar memperhatikan pelajaran yang kini tengah di ajarakan oleh Pak Lee, dirinya sibuk memperhatikan Nichkhun yang kini nampak tersenyum sendiri, pipinya agak merona. Refleks tangannya meremas dadanya yang nampak sakit lagi, hingga Pak Lee melihat dan menanyakan keadaannya.

“Wooyoung-ssi, apa kau sakit?” tanyanya seraya mendekat ke arah Wooyoung.

Semua anak kini menatap kearahnya, termasuk Nichkhun yang duduk di kursi paling depan, wajahnya nampak datar.

Wooyoung mencoba tersenyum, “Gwaenchana, Sonsaengnim.”

“Apa kau yakin?”

Wooyoung mengangguk lemah

Dan kemudian waktu terasa sangat  lama bagi Wooyoung sampai akhirnya bel pertanda pulang berbunyi keras. Wooyoung merapihkan buku-bukunya saat semua anak telah keluar, Nichkhun nampak telah selesai dan kini tengah berjalan kearahnya.

“Wooyoung-ssi, gwaenchana?”

Wooyoung tersenyum dan mengangguk. Wooyoung-ssi? Bahkan dengan murid kelas satu itu kau memanggilnya dengan lebih akrab, kenapa denganku tidak, Hyung? Bukankah aku ini kekasihmu? Batin Wooyoung miris.

“Ayo pulang,” ajak Wooyoung, namun saat dia hendak meraih lengan kekasihnya itu, Nichkhun menghindar.

“Maaf, Wooyoung-ssi, aku tidak bisa pulang dengamu. Ada rapat OSIS,” katanya.

“Oh.”

“Tak apa, kan?”

“Nde.”

Nichkhun tersenyum kecil sambil kemudian mengacak rambut Wooyoung.

“Mianhae,” ujarnya menyesal

“Ne, Hyung, gwaenchana. Sudah sana, bukankah kau ada rapat!” Wooyoung mendorong tubuh Nichkhun keluar kelas.

“Hati-hati.”

“Nde, Hyung juga, jangan pulang terlalu malam,” nasehat Wooyoung. Nichkhun hanya mengangguk sebelum akhirnya meninggalkan Wooyoung di kelas sendiri.

Pemuda itu menghela nafas berat, “Aku tidak baik-baik saja Hyung, tak bisakah kau merasakannya?” Wooyoung kembali meremas dadanya yang entah sudah keberapa kali. Sakitnya terlalu dalam, mungkin akan sulit untuk hilang.

 

***

 

Sebulan semenjak kejadian di taman belakang sekolah, Wooyoung merasakan Nichkhun semakin menghindarinya, mulai dari menolak pegangan tangan, kencan, menolak berangkat sekolah bersama, atau alasan rapat dan semacamnya saat Wooyoung mengajaknya jalan setelah pulang sekolah.

“Kau putus dengan Nichkhun, Wooyoung-ah?” Junsu bertanya saat mereka pulang sekolah, dan untuk kesekian kalinya Nichkhu tidak ikut dengan mereka.

“Ani.”

“Lalu kenapa akhir-akhir ini kau jarang bareng dengan Nichkhun? Apa kalian bertengkar?” tanya Junsu lagi, nampak sekali penasaran.

“Ani.” Wooyoung tetap berjalan dengan pandangan kosong. Pikirannya sibuk memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan kekasihnya itu.

“Rapat? Tidak ada rapat OSIS hari ini.”

“Klub seni sudah bubar satu jam yang lalu, dan tadi aku melihat Nichkhun sudah pulang dengan seseorang, sepertinya anak kelas satu.”

“Woo-ah, aku melihat Nichkhun di bioskop dengan Junho. Apa kalian sudah putus?”

“Aku tidak bisa, Wooyoung-ssi, aku harus mengantar Ibuku ke Dokter.”

“Wooyoung-ah!”

“Maaf, Wooyoung-ssi, ada urusan mendadak, jadi aku tidak bisa datang.”

“Wooyoung-ah!”

“Hari ini kau ulang tahun? Ah, maaf aku lupa!”

“Wooyoung-ah!” kini Junsu sedikit mengguncang tubuh Woyoung saat pemuda di sampingnya tak juga merespon panggilannya. Wooyoung hanya mendongak bingung, seperti bertanya apa yang Junsu lakukan.

“Kau melamun rupanya,” desah Junsu lemah.

 

******

 

Wooyoung mengetuk meja belajarnya pelan, mendengarkan baik-baik pertengkaran yang di lakukan oleh kedua orang tuanya. Dia tidak terkejut, dia sudah terbiasa akan hal ini. Hanya saja yang menjadi beda adalah keputusan bercerai yang di ambil mereka. Itu membuatnnya seperti di hantam batu besar, merobohkan hatinya menjadi sangat hancur berkeping-keping.

“Hyung, haruskah kau menambah luka ini?” Wooyoung meremas dadanya keras saat tanpa sengaja dia melihat Nichkhun dan Junho keluar dari sebuah pertokoan dengan bergandengan mesra. Sepertinya keputusannya untuk mencari udara segar adalah sebuah kesalahan besar.

 

Entah sejak kapan sikap kekanak-kanakan Wooyoung muncul. Dia selalu berteriak histeris saat berhasil menaklukan psp-nya padahal saat itu kelas sedang berlangsung, atau saat dia membawa Southa, burung kakak tuanyanya yang sangat berisik ke kelas biologi, bahkan dia sudah berani tidur di kelas saat jam pelajaran. Oke, kelas dua SMA memang masa-masa pemberontakan, bukan?

“Hei, Mandoo, apa kau tidak takut nilai-nilaimu akan jatuh?” Chansung bertanya saat dia dan Wooyoung tengah duduk di pinggir lapangan  basket. Siang itu eskul basket sedang mengadakan latihan, “sikapmu itu sudah seperti bad boy akhir-akhir ini, apa ini ada hubungannya dengan kekasihmu, eoh?”

“Tidak usah di pikirkan,” ucap Wooyoung sambil menggigit apel kelimanya. “Aku akan baik-baik saja.”

Chansung menatap ragu, namun kemudian berubah sinis saat melihat bekas apel di mana-mana. “Kau tidak akan pernah baik-baik saja jika kau terus memakan apel sebanyak itu,” ucapnya sambil menjitak kepala Wooyoung, dan dia segera kabur saat tahu Wooyoung akan membalasnya.

“Hey!” namun Wooyoung kembali duduk saat merasakan perutnya sakit luar biasa, dirinya mendesis pelan.

‘Jangan sekarang.’

 

 

Wooyoung membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan datangnya sinar yang tertangkap oleh indera penglihatannya itu.

“Aku di mana?” dia memegangi kepalanya yang pusing.

“Di rumah sakit,” seseorang menjawab, Wooyoung langsung menoleh ke arah sumber suara.

“Jaebum Hyung!” seru Wooyoung saat mendapati kapten basketnya duduk di kursi sebelah tempat tidur. “Kenapa Hyung ada di sini? Dan kenapa aku bisa ada di sini?”

“Tadi kau tiba-tiba pingsan, karena aku khawatir jadi aku langsung membawamu ke rumah sakit,” jelas Jaebum.

“Ish, Hyung, lalu bagaimana dengan anak-anak yang lain? Latihannya bagaimana?” tanya Wooyoung, wajah pucatnya terlihat panik.

“Mereka tetap latihan, kok. Dan mungkin sekarang mereka sudah pulang, karena ini sudah hampir jam lima,” Wooyoung terbelalak kaget.

“Jam lima? Hyung, aku bakalan telat kerja!” serunya, lalu mencoba bangun.

“Tidak!” Jaebum mendorong tubuh Wooyoung agar tetap berbaring. “Kau harus istirahat. Kau pikir seberapa parah penyakit magh mu?”

“Hanya pennyakit magh, kan,” Wooyoung menatap teman beda kelasnya itu dengan mata memincing.

“Dengar, Woo-ah, penyakit magh mu bisa menjadi sangat berbahaya jika kau tidak bisa menjaga kesehatan dan pola makanmu,” ucap Jaebum serius. “Apalagi kau kerjaannya memakan apel terus. Meskipun buah itu sehat, tapi kalau kau – “

“Shhhhhhhh,” Wooyoung segera membekap mulut Jaebum sebelum mendengar ceramahnya yang lebih panjang lagi. “Apaan sih, Hyung, berisik tahu.”

Jaebum tertawa kecil setelah menarik tangannya kembali.

“Woo-ah, kau tak usah bekerja dulu saja, nanti biar aku yang bilang pada – “

“Ani! Aku harus tetap bekerja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu dan Ayahmu yang sudah berbaik hati memberiku pekerjaan!” potong Wooyoung cepat.

Jaebum kembali tertawa, kali ini sambil mengacak rambut pemuda yang terbaring di depannya dengan sayang. Wooyoung tersentak, di perlakukan lembut seperti ini membuatnya nyaman.

“H-Hyung...”

“Sebenarnya, untuk apa kau bekerja segala? Apa uang jajanmu kurang?” tanya Jaebum.

“Hanya ingin belajar mandiri saja, Hyung,” jawab Wooyoung lemah. “Dekat-dekat ini aku pasti akan hidup sendiri, aku harus mulai membiasakan diri dengan kerja keras.”

Jaebum mengernyit bingung, “Wae?”

“Orang tuaku akan segera bercerai.”

Jaebum terkesiap mendengarnya.

 

Pemuda tampan itu tak juga melepaskan pandangannya dari sosok namja manis yang kini tengah hilir mudik di depannya. Dengan pakaian kemeja putih ala maid pada umumnya, Wooyoung terlihat jauh lebih menarik di mata Jaebum, hingga membuatnya tak bisa berhenti tersenyum. Tetapi saat perkataan Dr.Kim kembali melintas di pikirannya, senyumnya seketika menghilang.

“Apapun, kalau sudah parah, akan sangat berbahaya,” terang Dr. Kim serius. “Terlalu banyak orang yang meremehkan menyakit magh, mereka selalu berpikir bahwa penyakit itu adalah penyakit ringan yang tak perlu di khawatirkan, tapi mereka salah. Jaebum-ssi, mengenai Tuan Jang, penyakit magh-nya sudah sangat akut. Jika dia tidak juga menjaga pola kesehatannya, itu akan berakibat fatal.”

“Bagaimana agar dia bisa sembuh, Dokter?”

Dr. Kim menggeleng pelan, “Kau tahu penyakit magh tidak akan bisa di sembuhkan secara total, kita hanya bisa mencegah agar rasa sakitnya itu tidak datang sering-sering,” Dr. Kim menghela nafas. “Untuk Tuan Jang, kau hanya harus mengatakan kepadanya agar lebih menjaga pola makan, itu akan sedikit membantunya.”

 

******

 

Jaebum mendapati Wooyoung tertidur di dalam kelas dengan keadaan kepala berada di atas meja dan kedua tangannya yang terkulai lemas ke bawah. Dirinya tersenyum melihat itu, lalu dengan perlahan mengelus helain lembut rambut Wooyoung yang sedikit panjang sampai menyentuh kerah bajunya.

“Gwaenchana?” bisik Jaebum pelan, terus mengelus kepala Wooyoung. “Kau tidur, kan? Ya, kau tidur.”

Dan tanpa dia sadari, ada seseorang yang memperhatikannya dari balik pintu. Tangannya mengepal, berusaha menahan amarah.

Jaebum menggendong Wooyoung di punggungnya saat hari sudah mulai gelap, mata namja manis itu masih saja terpejam. Namun beberapa saat kemudian namja yang lebih tua satu tahun itu dapat merasakan gerakan kecil dari namja yang tengah di gendongnya, dan dia menjadi sangat kaget saat ada sesuatu yang melingkari lehernya dengan erat.

“Hyung, jangan bawa aku pulang,” bisik Wooyoung, helaan nafasnya dapat dirasa Jaebum menyentuh tengkuknya.

“Wae?”

“Aku tidak ingin pulang.”

 

******

 

Atap sekolah memang tempat favorit bagi Wooyoung, namun tidak untuk kali ini. Tempat yang biasa dia pakai untuk menenangkan diri, kini berubah menjadi tempat yang menegangkan.

“Ada apa?” tanya Wooyoung kemudian, menatap Junho datar.

“Jangan pernah mengganggu Nichkhun lagi, jauhi dia. Nichkhun milikku.”

Wooyoung mendengus mendengarnya, “Kau!” tatapannya berubah tajam. “Kau masih bisa berkata seperti itu?” tanya Wooyoung tak percaya. “Seharusnya aku yang mengucapkan kata-kata itu, bukan kau! Seharusnya aku yang berkata, ‘jauhi Nichkhun. Dia milikku’, bukan kau!”

“Kau!” Junho menarik kerah baju Wooyoung, tatapannya penuh dengan kebencian. “Kau tidak tahu apa-apa.”

“Ya, terlalu banyak yang tidak aku tahu,” terang Wooyoung. “Tapi kau! Hanya masa lalu Nichkhun...”

Bugh!

Wooyoung tersungkur saat Junho memukul wajahnya. Namja itu meringis kesakitan, bukan karena pukulan Junho, tapi karena rasa sakit di sekitar perutnya; magh-nya kambuh lagi.

“Apa kau pikir kau adalah masa depan Nichkhun?” tanya Junho sarkartis. “Bahkan dia tak pernah menganggapmu ada.”

“Begitu?” Wooyoung mencoba bangkit. Oh ! Perutnya benar-benar terasa sakit, pandangannya bahkan mulai kabur. “Apa aku peduli? Apa dengan kata-kata seperti itu aku akan menjauhi Nichkhun. Tidak. Tidak akan pernah.”

Dan setelah mengucapkan itu, mereka segera saja terlibat perkelahian yang sangat sengit. Meski sedang sakit, ternyata Wooyoung dapat mengalahkan Junho dengan mudah. Kini pemuda itu nampak terkapar tak berdaya.

“Junho-ah!” sebuah suara menginterupsi kegiatan Wooyoung yang hendak memukul wajah Junho lagi.

“Hyung...”

“Apa yang kau lakukan?!” teriak Nichkhun dengan penuh amarah, mendorong tubuh Wooyoung menjauhi Junho.

“Aku hanya bingung,” ucap Wooyoung tersengal, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya. “Aku bingung padamu, aku bingung padanya, aku bingung dengan hubungan ini.”

“Kau ingin tahu, HAH?” sentak Nichkhun, memeluk Junho lebih erat lagi. “Aku muak denganmu, aku muak dengan hubungan ini, dan aku ingin kita akhiri sampai disini saja.”

BRUK!

Wooyoung terhenyak, bukan hanya perkataan Nichkhun yang membuatnya jatuh, tapi juga rasa sakit di perutnya.

“Hyung...” tubuhnya sudah sangat lemas, pandangannya bahkan sudah mulai gelap. “Aku mengerti.”

Wooyoung berusaha bangkit lagi, dan saat akan jatuh kembali, ada seseorang yang menahan tubuhnya.

“Gwaenchana?” suara Jaebum, Wooyoung hafal betul suara ini.

Jaebum menggendong Wooyoung dipunggungnya, segera meninggalkan atap sekolah.

“Hyung, ini terlalu sakit,” rintih Wooyoung meringis, air matannya bahkan sudah mengalir.

“Bertahanlah, Woo-ah,” pinta Jaebum memelas. “Aku akan segera membawamu kerumah sakit.”

“Jangan rumah sakit...”

 

Jaebum menggendong Wooyoung di sekiar pinggiran pantai saat matahari akan terbenam, celana jins bagian bawahnya sedikit basah karena hantaman ombak yang menyentuh kakinya yang tanpa alas.

“Wooyoung-ah, kenapa kau belum bangun?” bisik Jaebum lembut. “Ayo, bangunlah. Lihat, matahari terbenam adalah pemandangan yang luar biasa.”

“Woo-ah, tanganmu dingin?!” seru Jaebum kaget saat menyentuh tangan Wooyoung yang terkulai lemas. “Sebaiknya kita kembali kepenginapan, udara malam memang tidak bagus. Apalagi ini sudah akan memasuki musim dingin.”

“...”

“Saranghae,” ucap Jaebum kemudian. “Mianhae.”

 

****

 

Semua anak kini nampak menatap heran pada Jaebum. Kenapa dia menggunakan jas hitam? Kenapa dia membawa foto Wooyoung? Kenapa dia nampak muram?

Dan Jaebum berjalan tak peduli pada anak-anak yang menatapnya ingin tahu. Seolah telah di rencanakan sebelumnya, mereka nampak memberi jalan untuk Jaebum, membiarkan kapten basket itu lewat tanpa hambatan.

SREK!

Jaebum membuka pintu kelas VI-B IPA, membuatnya menjadi pusat perhatian seketika. Tatapannya berhenti pada Nichkhun yang tengah asyik membaca buku, dia teringat percakapannnya dengan lelaki tampan itu beberapa hari yang lalu...

“Wooyoung membutuhkuanmu.”

“Junho juga membutuhkanku,” kata Nichkhun datar.

“Tapi Wooyoung sedang sakit!” seru Jaebum gusar, mencengkram kerah baju Nichkhun.

“Hanya magh, kan? Tapi Junho... dia sakit jantung!” Nichkhun menyentakan lengan Jaebum, menatapnya sinis.

“Hanya mahg?” Jaebum tertawa hambar. “Ya, hanya sebuah magh dan kau akan menyesalinya.”

“Shut your mouth up, bastard!” teriak Nichkhun murka. “KAU TIDAK TAHU BETAPA AKU SANGAT MENYAYANGINYA. TAPI JUNHO LEBIH MEMBUTUHKANKU!”

“Nichkhun-ssi?”

Nichkhun memutuskan perhatiannya dari buku yang tengah di bacanya, dan dia kaget melihat penampilan Jaebum, apalagi saat melihat foto Wooyoung.

“Jaebum-ssi?”

Perhatian Jaebum beralih pada kursi yang biasa di duduki Wooyoung, kursi itu kosong.

“Aku tidak tahu apa aku tidur atau tidak. Tapi ketika rasa sakit itu datang, aku menjadi tidak tahu apa-apa lagi setelahnya. Sepertinya aku pingsan, namun bahkan tak ada satu pun yang menyadari itu.”

Dan kemudian Jaebum mulai menangis...

“Hyung, terlalu banyak orang yang berfikir aku tidak membutuhkan apa-apa.  Tapi bukankah aku juga hanya seorang manusia. Kenapa mereka meninggalkanku?”

Jaebum terhenyak, menutup mulut dengan punggung tanngannya, mencoba meredam isakannya yang mulai terdengar. Anak-anak menatapnya bingung.

“Jaebum-ssi, ada apa?” tanya Nichkhun yang sudah mulai merasakan perasaan tak enak.

“AAAAAAGGGGGKKKKKKKKKKKKKKKHHHH....!!!” dan bukannya menjawab, Jaebum malah berteriak nyaring, membiarkan air matanya jatuh dengan deras.

Melihat semua itu, Nichkhun sudah tahu apa yang terjadi pada Wooyoung. Dan kata apapun tak akan pernah cukup untuk menebus rasa bersalahnya, karena semuanya sudah selesai.

 

The End

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet