A Mistake

Description

Kita tidak tahu siapa yang akan mati terlebih dahulu, kan?

Foreword

Menjadi orang yang di benci oleh orang yang kau sayangi adalah hal yang paling menyakitkan. Dan kau merasakannya, kesakitan itu bahkan seperti menembus hati terdalammu, sakit. Sangat sakit. Kau selalu bilang semuanya akan baik-baik saja, namun sebenarnya kau tahu semuanya tidak pernah berjalan dengan baik-baik saja.

“Menjauhlah dariku. Jangan pernah dekat-dekat denganku lagi.”

Kenapa? Kau bahkan ingin sekali mengucapkan kata itu, namun yang kau lakukan hanya mengangguk mengiyakan, tanpa membantah, tanpa bertanya lebih lanjut lagi. Tidak ada yang bisa kau lakukan, kau pikir dia akan bahagia jika kau menjauh darinya. Maka kau akan melakukannya, meski hatimu menjerit terluka.

“Woooyoung-ssi!” kau menoleh saat seseorang memanggilmu, dia Taecyeon, temanmu di klub seni.

“Nde?” kau tersenyum saat Taecyeon mulai mendekat, tapi sesungguhnya kau sulit melakukan itu setelah kekasihmu memutuskan hubungan kalian beberapa hari yang lalu.

Taecyeon menghela nafas sejenak, lalu memperhatikamu dengan tatapan sendu. Kontan kau bertanya mengenai arti tatapa  itu.

“Wae, Taecyeon-ssi?” tanyamu hati-hati.

“Harusnya kau cerita tentang masalahmu, Wooyoung-ssi,” perkataan itu membuatmu terkesiap. kau sepertinya benar-benar lupa bahwa Taecyeon adalah orang yang mengerti kamu setelah keluarga dan kekasihmu, atau kini kau bisa menyebutnya mantan kekasihmu.

“Mianhae,” bisikmu, tak sanggup menatap pemuda di sampingmu.

Kini kau dan dia, Taecyeon, berjalan dalam diam di koridor kampus yang kini terlihat sepi. Kau nampak sulit menceritakan meski kau tahu mungkin Taecyeon sudah tahu masalahmu, dan sepertinya Taecyeon tetap menunggu penjelasanmu sekarang.

“Padahal aku sudah bilang untuk tidak melakukan ini,” akhirnya Taecyeon bersuara saat lama kau tak memberinya satu kata pun.

“Bilang apa? Siapa?” kau bingung dengan apa yang di katakan sahabatmu. Dia menghentikan jalannya.

“Wooyoung-ssi,” dia agak ragu saat akan menceritakan sesuatu, tapi kau tetap menunggunya untuk mengeluarkan suara. “Nichkhun sebenarnya...”

Tubuhmu menjadi tegang di buatnya, tanganmu bergetar. Semuanya nampak tidak nyata dan seperti lelucon, tapi kau tahu dia tak mungkin membohongimu.

 

******

 

Sudah hampir beberapa hari ini kau selalu mengusir mantan kekasihmu – yang sebenarnya masih sangat kau cintai – dari kamar inapmu di sebuah rumah sakit besar di Seoul. Kau pura-pura membencinya padahal kau tahu dia sudah tahu semuanya. Kau tidak peduli, kau hanya ingin dia tidak terluka saat kau pergi suatu saat nanti.

“Kau seharusnya tidak melakukan ini, Nichkhun-a,” nasehat ibumu, kau segera membuang muka. “dia pasti lebih terluka melihatmu memperlakukannya seperti ini.”

“Aku melakukannya agar dia terbiasa tanpaku, Bu,” kau membalas dengan perasaan sakit, dan kau tahu Ibumu dapat merasakan juga apa yang kau rasakan.

Sore itu kau di kagetkan dengan kedatangan sahabatmu, Taecyeon, dengan pakaian penuh dengan noda darah, nafasnya terengah-engah, kau juga dapat melihat bahwa matanya memerah dengan bekas air mata di sekitar pipinya. Kau tentu langsung bertanya-tanya apa yang terjadi.

“Sudah ku bilang jangan lakukan ini,” katanya parau, air matanya mengalir lagi.

“Ada apa sebenarnya, Taecyeon-ssi?” tanyamu hati-hati, kau juga sangat takut saat memperhatikan noda darah di sekitar tangan, wajah dan bajunya.

“Sudah kubilang kau tidak akan tahu waktu siapa yang akan berakhir lebih dulu,” perasaanmu menjadi tidak enak dibuatnya. Apa yang terjadi?

“Taecyeon-ssi, tolong beritahu aku, ada apa ini?” tanyamu sekali lagi, benar-benar gelisah.

Taecyeon menggeleng pelan dengan air mata sudah mengalir deras, “Wooyoung,” ucapnya tersendat, bibirnya bergetar hebat. “Wooyoung sudah meninggal.”

Seperti ada batu yang besar menghantam hatimu, kau terperang, tentu saja kau tak percaya.

“Apa yang sebenarnya kau bicarakan, Taecyeon-ssi?” desismu tajam, nafasmu mulai tak teratur. “Wooyoung baik-baik saja!”

“Tidak,” kau melihatnya terjatuh kelantai, menutup telinganya erat-erat seolah tek ingin mendengarkan apa-apa lagi . “Tidak! Wooyoung... Agghhhkkkkkk!!!” Taecyeon menangis hebat.

“Taecyeon-ssi...”

“Kau!” seru Taecyeon marah. “Gara-gara kau! Wooyoung meninggal gara-gara kau! Dia tertabrak gara-gara kau!”

“Maldo andwae,” bisikmu lirih, air matamu sudah tak terbendung lagi.

 

*****

Kau menjadi lebih murung lagi saat orang yang kau cintai memperlakukanmu seperti musuh terbesarnya. Terasa sangat menyakitkan bagimu saat dia bahkan seperti menganggapmu peenyebab terjadinya semua ini. Sungguh, kini kau telah tahu semuanya. Tapi kenapa bahkan sikap pura-puranya tak segera di hentikan.

“Wooyoung-ssi,” panggilan itu tak kau perdulikan, kau tetap berjalan menuju halte bis.

“Wooyoung-ssi!” panggilnya sekali lagi, dan kau masih tak bergeming. “Wooyoung-ssi, kau tahu semuanya hanya pura-pura. Sikapnya yang seperti itu hanyalah kebohongan belaka.” Dia masih saja mengikutimu dari belakang. “Jangan seperti ini, Wooyoung-ssi.”

“Aku hanya tidak mengerti kenapa dia tak mau percaya padaku,” kau menghentikan langkahmu, menatap ke arahnya dengan tatapan sendu. “Seharusnya dia percaya jika aku akan lebih baik jika bersamanya.”

Kau melihatnya tertunduk lelah, kau pun ikut mengarahkan tatapanmu ke bawah.

“Kau ingin es krim?” Taecyeon mendongak lagi dengan wajah yang lebih cerah, kau kontan bingung dengan perubahan sikapnya itu. Tapi kau mengangguk juga.

“Aku tunggu di taman,” kau lalu menunjuk ke arah kanan tubuhmu, menunjuk tempat yang berada di sebrang jalan sana. Dia hanya mengangguk mengiyakan.

“Jangan ke mana-mana, aku akan segera kembali,” dia mengingatkanmu sebelum ahirnya dia berlari menjauh.

Kau menghela nafas berat setelah dia pergi. Perasaanmu saja atu memang benar, sepertinya kau tengah sakit saat ini. Kepalamu pusing dan kau merasakan tubuhmu lemah.

Kau mendongak ke kanan kiri jalan, memastikan bahwa jalan ini aman untuk di sebrangi. Dan memang jalan ini tengah sepi keendaraan, maka dari itu kau mulai melangkahkan kakimu. Kau masih merasakan kepalamu berdenyut nyeri, semua yang kau lihat seperti berputar. Kau menjadi tidak fokus bahkan saat ada mobil yang melaju kencang mendekat kearahmu kau nampak tidak peduli. Yang kau ingat adalah tubuhmu seperti melayang, sakit, teriakan, dan semuanya menjadi gelap. Kau tidak ingat apa-apa lagi setelah itu

 

*****

 

“Ini adalah sebuah keajaiban, Nichkhun-ssi,” kata Dokter di depanmu, nampak gembira. “Sel-sel kanker yang berada di otakmu sudah tak terdektesi lagi. Kemungkinan kau akan sembuh total.”

Kau yang mendengar penjelasan itu menggeleng pelan, tidak terima. Kau seharusnya mati, bukan sembuh seperti ini. Tidak. Sel-sel itu tidak boleh pergi dari otakmu.

“Kau harus mengembalikan lagi Dokter,” kontas saja perkataanmu membuat Dokter dan Ibumu terkejut.

“Apa maksudmu, Nichkhun-a?” tanya Ibumu segera. Kau tidak memperdulikan, kau masih tetap memandang Dokter itu tajam.

“Sel-sel itu yang membuatku mejauhi orang yang kucintai. Dan setelah dia pergi untuk selamanya, sel-sel itu menghilang  dengan seenaknya. Aku tidak terima,” katamu dengan perasaan terluka.

“Nichkhun-ssi?”

“Ini salah. Aku mengusirnya dengan perkataan yang menyakitkan, aku menyuruhnya menjauh agar dia tidak merasa sakit. Tapi kenapa seperti ini?” kau mulai terisak, kau dapat merasakan Ibumu mendekapmu erat, dia nampak menangis juga.

“Uljimarayo,” bisiknya, mengusap lembut kepalamu.

 

*****

 

Kau memandang ke depan dengan tatapan kosong. Kau hidup, tapi kau seperti tak hidup. Kau terluka karena kesalahan yang kau buat sendiri. Seandainya kau tidak langsung menyimpulkan semuanya, kejadian ini mungkin tidak akan terjadi. Angin masih berhembus kencang malam itu.

Kau menatap ke bawah, nampak kota Seoul yang indah dengan lampu-lampu yang menerangi seperti bintang di atas langit sana.

Kau dapat merasakannya saat seseorang menggenggam tanganmu lembut, refleks kau meenoleh ke samping tubuhmu. Kekasihmu tersenyum manis ke arahmu, mengangguk pelan. Kau pun ikut tersenyum juga saat melihatnya tersenyum. Ada perasaan bahagia saat dia masih mau bertemu dengamu lagi, semuanya akan kembali.

Kau menurut saat dia menuntunmu, dan kau merasakan seperti melayang. Dia masih menggenggam tangamu erat dan tersenyum.

“Kita akan bersama selamanya, Wooyoung-ssi.”

Dan kau tahu semuanya akan berakhir di sini, saat tubuhmu jatuh dari atas gedung tinggi itu.

 

End

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet