Fiance

Kiss That Fox And Get A Prince

             Hana menggerak-gerakkan jarinya dengan gelisah di atas ponsel miliknya. Sesekali ia mengintip dari balik pintu kamarnya yang terbuka sedikit. Luhan duduk dengan tenang di sofa sambil memutar kepalanya memperhatikan seisi ruangan. ‘Si penipu itu!’. Hana meletakkan ponsel ke telinganya untuk yang ke 12 kalinya. Dan yang terdengar dari ponsel itu selalu sama, ‘nomer yang anda tuju berada di luar jangkauan’. ‘Eommaaa!’ rengek Hana dalam hati. Ia membanting ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Ia bergerak-gerak tak karuan. Berjongkok, bangun, melompat-lompat, lalu berjongkok lagi. Ia menelungkupkan badannya ke lantai dan merayap ke arah pintu. Ia seperti seorang prajurit perang yang sedang mengintai musuhnya. Ia menengokkan kepalanya ke luar. Matanya melotot ketika melihat kaki Luhan mendekat. Ia panik tapi tidak bisa bangun. Luhan kemudian menyentuh daun pintu dan mendorongnya cukup kuat. Hal itu membuat pinggiran pintu menghantam rahang Hana yang menempel di sana.

            “Aaaaaa!” Hana berteriak kesakitan. Ia memegang bagian wajahnya yang sakit dan berguling-guling di lantai. Ia menggeliat beberapa saat lalu bangun terduduk. Ia menatap Luhan dengan wajah yang memerah menahan rasa sakit. “Dasar brengsek! Apa yang kau lakukan?!”

            “Wae?” tanya Luhan dengan polos.

            “Kau menghancurkan rahangku! Dasar kau makhluk terkutuk!”

            “Benarkah? Bagaimana bisa?” kata Luhan acuh sambil melenggang masuk dan duduk di kasur Hana. Hana memutar tubuhnya mengikuti langkah Luhan. Luhan berseru takjub seraya memantul-mantulkan pantatnya di atas kasur. Ia menepuk-nepuk kasur dan tersenyum senang seperti anak kecil. Ia merangkak lebih jauh ke tengah kasur dan merebahkan seluruh tubuhnya di sana. “Waaaaa feel good!”

Luhan menggeliat meregangkan tulang-tulangnya. Ia melipat ke dua lengannya di bawah kepala menjadikannya sebagai bantal. Hana terperangah takjub. Makhluk itu menghancurkan rahangnya, masuk ke kamarnya, dan berbaring di atas singgasananya yang suci tanpa tahu malu! Oh astaga! Hana kini merasakan semua darahnya naik ke kepala. Dia penjahat. Sudah pasti penjahat. Dia pasti bukanlah orang yang dimaksud ibunya. Ia tidak tahu bagaimana caranya pria itu mendapatkan semua informasi mengenai dirinya. Ia tidak mau tahu. Ia tidak peduli. Oh, dan tolong tarik kembali penilaian Hana mengenai pria ini sebelumnya. Karena sekarang si brengsek ini tidak lebih dari seekor katak busuk!

            “Kau—” Hana menghela napas berusaha menekan amarahnya, rahangnya sakit, “kau sebaiknya keluar sebelum aku menghubungi polisi.”

            “Oh?” Luhan bangkit dan duduk menyilangkan kakinya. “Tapi sebelum itu, bisa tidak membelikanku ayam goreng dan cola? Ah, dan mungkin beberapa potong pizza dengan ekstra daging? Aku sangat lapar.” Luhan tersenyum lebar. Ia mungkin berpikir bahwa senyumannya itu sangat menawan hingga membuat Hana tak berdaya. Tapi tidak! Senyum itu tidak mempan terhadapnya. Hana bahkan berpikir untuk mengambil gunting dan merobek mulutnya itu.

            “Dunia memang adil. Aku bahkan tadi berpikir bahwa kau akan membunuhku, tapi sekarang aku yang akan membunuhmu.” Tanpa ragu, Hana berdiri dan menjulurkan lengannya ke atas kepala Luhan untuk meraih sesuatu yang ada di situ.

            “Aaaaa...aaaa...” sekarang Luhan yang berteriak kesakitan. Luhan memegangi lengan kanan Hana yang menggenggam erat rambutnya. Hana tidak peduli dengan tatanan rambut Luhan—yang sebelumnya ia pikir sangat indah. Ia terus menarik rambut Luhan menghiraukan jeritan si pemilik. Ia menyeret Luhan—rambutnya—ke luar kamar. Ia kemudian melepaskan Luhan seperti gerakan seorang atlet yang sedang melempar lembing di turnamen nasional. Luhan langsung tersungkur ke lantai. Penderitaannya naik beberapa kali lipat. Bukan hanya di kepala, seluruh badannya kini kesakitan.

            “Aku akan menelepon polisi sekarang.” Ji Han mengangkat ponsel yang ia pegang dan mengetikkan nomer polisi. Luhan tidak tinggal diam. Ia berbalik, berusaha secepat mungkin meraih ponsel yang dipegang Hana. Tapi tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan dan kakinya saling tersandung satu sama lain. Luhan sadar dirinya terjatuh, ia mengulurkan tangan meraih sesuatu untuk menahannya. Ia merasakan tangannya berhasil memegang kain—yang entah apa itu—sebelum akhirnya jatuh telungkup di lantai. Ia membuka matanya dan sadar apa yang di pegang ke dua tangannya. Ia menengadah ke atas dan melihat wajah Hana yang pucat pasi menatapnya.

            “Waaaaaaaaaa.....!!!” teriakan Hana menggelegar memenuhi ruangan itu. Bahkan sampai terdengar keluar rumah. Orang-orang yang lewat hingga terlonjak kaget. Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah yang menggebu mendekati pintu. Tak lama, pintu terbuka dan memunculkan sosok pria tua yang tadi mengirimkan paket untuknya.

            “Ada ap—oh astaga! Maafkan saya!” Pria tua itu langsung memalingkan kepalanya begitu melihat kondisi Hana dan Luhan. Hana yang sudah mengumpulkan kembali kesadarannya, membungkuk menarik celananya dengan cepat. Ia menggenggam erat celanana dan menatap ke arah kakinya. Luhan masih di posisi yang sama. Wajahnya sama pucatnya dengan Hana. Darahnya seperti di sedot keluar. Mulutnya menganga dan matanya menyiratkan keterkejutan yang luar biasa.

            “Dasar katak busuk!!!” maki Hana sembari menyiapkan kakinya untuk meremukkan lengan Luhan. Tapi Luhan dengan cepat menyingkir dan bangun. Hana tidak kehabisan akal, ia meraih lengan Luhan, mencoba membantingnya. Tapi bahunya di tahan oleh tangan renta pria tua itu. Tidak, dia tidak renta. Dia sangat kuat. Ia bahkan bisa menekan tenaga Hana yang diliputi emosi.

            “Tuan muda cepat menyingkir!” pria tua itu melingkarkan lengannya ke tubuh Hana. “Nona, sudah hentikan!”

            “Ya! Kau akan mati!” Hana meronta-ronta. Si pria tua tidak punya pilihan lain. Ia berbisik meminta maaf tepat di telinga Hana. Detik kemudian Hana terduduk lemas di lantai. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya merasakan bahwa pria itu menyentuh beberapa bagian tubuhnya lalu seluruh sendinya jadi melemas.

            “Saya harap anda bisa tenang sekarang.” Pria tua itu berjongkok di hadapan Hana. Dan di belakangnya bersembunyi si brengsek Luhan.

            “A-apa yang kau lakukan padaku?” Hana ketakutan dengan situasi sekarang. Seorang pembunuh yang merangkap sebagai perampok dan pria tua yang punya sihir?

            “Dia benar-benar lumpuh?” tanya Luhan takut-takut dan dijawab dengan anggukan oleh pria tua itu. “Woah tidak diragukan lagi dari seorang master kungfu.” Pria tua itu membantu Hana berdiri dan mendudukkannya di sofa. “Dalam beberapa menit, anda akan kembali normal.”

‘Oh ya ampun ada apa dengan hari ini?’ tangis Hana dalam hati.

            Kini Hana duduk berhadapan dengan pria tua itu dan Luhan. Sangat terlihat Luhan menghindari tatapan mata Hana. Dan ia terus menempel pada pria tua itu seperti anak kecil.

            “A-aku minta maaf untuk yang tadi. Tidak sengaja.” Luhan tergagap masih menghindarkan tatapannya. Wajahnya memerah karena apa yang dilihatnya tadi terus berputar di kepalanya. Hana ingin meninju wajahnya itu, tapi apa daya tubuhnya belum kembali normal.

            “Saya adalah kepala pelayan di keluarga Tuan Luhan. Anda bisa memanggil saya Zhen.” Pria tua itu memulai, menyodorkan kartu namanya ke atas meja. “Dan orang yang berada di samping saya ini adalah Tuan muda Xi Luhan, tunangan anda.”

            “Dia benar-benar tunanganku?” tanya Hana belum yakin, melihat kartu nama tersebut. Pria tua itu—Zhen—tiba-tiba merogoh saku jasnya. Hana kemudian sadar bahwa pakaiannya berbeda dari yang tadi pagi. Ia mengeluarkan benda berwarna silver metalik dan meletakkannya di atas meja. Pisau lipat?!

            “Jika anda berpikir bahwa saya berbohong, anda boleh memotong lidah saya. Dan tolong sekalian congkel mata saya karena saya sudah tidak sopan melihat anda hanya dengan pakaian dalam.” Zhen menunduk dalam, menyatakan penyesalannya.

            “Arasseo...arasseo. Kau tidak perlu seperti ini.” Hana memotong, menyingkirkan pisau ke sudut terjauh meja. Zhen tersenyum berterima kasih. “Tapi bisakah aku melaporkan dia atas tuduhan pelecehan seksual?” Hana menunjuk Luhan dengan dagunya. Luhan hanya menatapnya dengan dingin dan semakin merapatkan duduknya pada Zhen.

            “Tidak.”

            “Tidak?! Kalau begitu bisakah aku melaporkanmu atas tuduhan percobaan pembunuhan dan kerjasama dengan pelaku pelecehan seksual?!”

            “Pengadilan akan tertawa hingga terpingkal-pingkal.” Zhen tersenyum geli menanggapi pertanyaan Hana.

Hana mendecak pasrah, “kita luruskan. Kau bukan seorang pengantar paket melainkan pelayannya, begitu?” Zhen mengangguk, “Tapi...kenapa dia ada di dalam kardus?!”

            “Aku yang menyuruhnya. Karena aku pikir wanita suka kejutan.” Kata Zhen apa adanya.

            “Tapi aku tidak suka!” Hana menekan tiap katanya, menyesal menjauhkan pisau itu.

            “Astaga! Saya melakukan kesalahan besar! Bunuh saya! Bunuh saya!” Zhen berteriak histeris sambil mencekik lehernya sendiri. Tak adakah orang yang normal di ruangan ini selain dirinya?!

             “Zhen!” Luhan berusaha sekuat tenaga menarik lengan-lengan tua itu menjauh. Hana hanya diam melongo menonton tingkah laku kedua idiot ini. “Ya! Aku yang akan melaporkanmu atas percobaan pembunuhan!”

            “Memangnya apa yang aku lakukan?! Dia sendiri yang ingin bunuh diri!”

            “Bukan dia! Aku! Kau mencoba membunuhku! Pertama dengan pisau yang kau tusukkan saat aku tidur dalam kardus dan kedua saat kau mencoba membuat kulit kepalaku lepas!”

            “Aigo! Itu salahmu! Kenapa kau masuk ke dalam kardus? Dan tidur?! Jangan bercanda!”

            “Ya! Aku hanya berusaha membuat kesan yang baik demi orang tua kita!”

“Astaga! Sekarang saya bahkan membuat kalian bertengkar.” Zhen berdiri—membuat Luhan terjungkal—dan berlari ke belakang, “saya akan menenggelamkan kepala saya di bak mandi. Kalian bisa angkat saya saat saya sudah tidak bernapas.”

            “Zhen!”

            “Kau mau kemana?! YA! Hentikan si tua gila itu!! Dan cepat keluar dari rumahku!!!”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet