I Miss You

Two Is Better Than One

Title: Two Is Better Than One

Pair: VHope

Disclaimer: BTS adalah sepenuhnya milik diri mereka sendiri, orang tua, dan tentunya Tuhan mereka. Tetapi untuk ff ini adalah sepenuhnya milik saya, dan dimohon untuk tidak menjiplak maupun mengakuinya sebagai milik Anda.

Rated: T.

Genre: Romance, Hurt/Comfort, Songfict, and absolutely .

.

.

.

.

Aul_Ondubu presents:

.

.

.

.

.

Hari ke-dua puluh empat di bulan Desember adalah satu-satunya hari yang paling dinantikan oleh seorang Kim Taehyung, jauh melebihi keantusiasannya dalam menyambut hari kelahirannya, bahkan kekasihnya. Tak pernah sekali pun Taehyung menyia-nyiakan hari itu dengan terbangun tatkala matahari telah mencapai puncak tertingginya, atau hanya duduk terdiam di depan televisi dengan semangkuk besar popcorn manis dan sekotak susu stroberi kesukaannya. Tidak, Taehyung tidak akan melakukan hal sia-sia itu karena kekasihnya pun tak akan menyukainya jika Taehyung benar-benar melakukannya.

 

Setiap tahun, di tanggal dua puluh empat Desember, Taehyung akan terbangun pagi-pagi sekali, bahkan jauh lebih pagi dibandingkan saat hari-hari biasa. Taehyung tidak pernah memasang sebuah alarm ataupun melingkari kalendernya dengan spidol merah setiap tanggal dua puluh empat, tetapi hal ini seolah sudah menjadi doktrin yang tertanam dengan kuat di dalam otak kecilnya.

 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Taehyung segera terbangun dari posisi berbaringnya dan meregangkan sejenak tubuh kurusnya yang terasa kaku karena terlalu lama tertidur. Ia menolehkan kepalanya ke arah jendela berbingkai kaca yang ada di kamarnya dengan tatapan kosong. Dari tahun ke tahun, tetap tidak ada yang berubah dengan keadaan cuacanya. Meskipun salju belum turun dan menyelimuti dataran Korea dengan hamparan karpet putihnya, tapi kungkungan hawa dingin yang begitu menusuk hingga ke tulang selalu menjadi hal pertama yang menyambut Taehyung ketika ia membuka mata. Tapi setidaknya, Taehyung selalu berdoa dalam hati, semoga akan ada sebuah hal berbeda yang bisa ia dapatkan pada hari ini.

 

Sambil mengulum senyum, Taehyung kembali menggerakkan tubuhnya dan beranjak meninggalkan tempat tidur. Sepasang tungkainya yang jenjang mengayun dengan perlahan, membawanya melangkah mendekati sebuah cermin berukuran setengah badan yang ia gantung di atas dinding. Sebelah tangannya terangkat dan meraih sebuah foto berukuran postcard yang ia selipkan di sudut cermin. Dan tanpa ia sadari, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas hingga melengkungkan seulas senyum yang menawan. Matanya tak pernah lepas memandangi sepasang pria yang menjadi objek foto tersebut.

 

Taehyung kembali mengangkat sebelah tangannya dan mengusap permukaan foto tersebut dengan sayang. Eum, mungkin lebih tepatnya, ia hanya mengusap potret dari seorang pria bertubuh tegap yang tampak tersenyum bangga saat memperlihatkan seragam kerjanya. Hoseok namanya. Jung Hoseok, seorang pria berusia dua puluh empat tahun yang telah berprofesi sebagai seorang prajurit kebanggaan Korea Selatan sejak empat tahun yang lalu. Lain halnya dengan Taehyung yang hanya berprofesi sebagai seorang guru bahasa di sebuah sekolah dasar. Meskipun memiliki profesi yang berbeda, warna kulit yang berbeda―dan cenderung kontras, tapi setidaknya mereka masih memiliki beberapa kesamaan. Mereka sama-sama menyukai musik bergenre rock alternatif, sama-sama benci dengan serangga, sama-sama menyukai caramel macchiato, dan yang terpenting adalah; mereka sama-sama saling mencintai.

 

Ya, Hoseok adalah satu-satunya pria yang mampu mencuri dan memiliki hati Taehyung selama lima tahun terakhir. Tentu saja, lima tahun bukanlah waktu yang terbilang singkat. Namun rasanya seolah baru saja kemarin sore ia mengenal Hoseok. Hoseok yang tampan, Hoseok yang tak banyak bicara, Hoseok yang selalu menungguinya di depan ruang klub jurnalistik, dan Hoseok yang telah mencuri ciuman pertamanya di malam pergantian tahun.

 

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Taehyung kembali tertarik ke atas, melengkungkan seulas senyum yang menawan ketika ia mengingat-ingat awal pertemuannya dengan Hoseok yang tidak disengaja. Taehyung menengadahkan kepalanya dan berpaling ke arah jendela kaca yang berembun. Taehyung masih ingat betul, lima tahun yang lalu, ia pertama kali bertemu dengan Hoseok saat pria itu menawarkan sebuah bantuan kecil untuknya sepulang sekolah.

.

.

.

.

Kala itu, di pertengahan bulan Agustus, matahari bersinar dengan cukup terik meskipun waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Waktu yang sedikit lambat untuk pulang ke rumah mengingat jam pelajaran terakhir di Seoul Senior High School telah berakhir sejak hampir satu setengah jam lalu. Tapi itu bukan masalah yang begitu berarti untuk Taehyung. Ia memang kerap kali pulang terlambat ke rumahnya. Hampir setiap hari, kecuali untuk hari sabtu. Jika kalian berpikiran bahwa Taehyung adalah tipikal seorang pemuda badung yang lebih mementingkan waktu bermain dan bersenang-senang, maka dengan tegas kukatakan bahwa jawabannya adalah: Tidak. Ya, Taehyung memanglah bukan seorang siswa badung yang telah menjadi incaran para guru bagian kedisiplinan. Ia bahkan cenderung introvert dan menutup diri dari teman-temannya.

 

Namun meski begitu, prestasi Taehyung tak bisa dianggap remeh. Selama dua tahun berturut-turut, Taehyung berhasil mempertahankan gelarnya sebagai pemilik nilai tertinggi di angkatannya. Ia juga telah dipercaya untuk memimpin klub jurnalistik di sekolahnya. Dan itu adalah salah satu alasan mengapa Taehyung seringkali pulang terlambat.

 

Ketika pelajaran telah berakhir, Taehyung akan segera pergi ke ruang klub jurnalistik yang ia pimpin dan mengarahkan para anggota untuk membuat beberapa artikel yang bisa mereka salurkan melalui mading maupun koran sekolah yang diterbitkan hampir tiap minggunya. Hari ini adalah hari jumat, dan itu tandanya akan ada begitu banyak tumpukan lembaran kertas berisikan bermacam-macam artikel yang harus ia pilah satu per satu. Dan Taehyung nyaris saja berteriak histeris saat teringat bahwa ia telah berjanji pada kakaknya untuk pulang lebih cepat dari biasanya.

 

Dengan nanar Taehyung menatap mejanya yang dipenuhi oleh kertas dan mendesah lelah. Mau tidak mau, Taehyung harus membawanya pulang dan melanjutkan pekerjaannya di rumah. Ya, mungkin memang seharusnya begitu, atau Seokjin dengan senang hati akan membakar puluhan koleksi komiknya karena telah melanggar janji. Ugh, Taehyung jadi ngeri saat membayangkan kakaknya benar-benar akan melakukan hal itu.

 

Dengan satu gerakan cepat, ia pun segera mengambil empat kantung plastik berukuran cukup besar yang ia simpan di laci dan memasukkan lembaran-lembaran itu ke dalamnya. Ketika semua kantung telah terisi penuh dengan puluhan lembar artikel, Taehyung kembali menghela napas berat seraya bergumam, “Bagaimana caraku membawa ini semua?!”

 

“Aku bisa membantumu,” sahut sebuah suara dari celah pintu ruang jurnalistik yang sedikit terbuka. Sebuah bola basket menggelinding perlahan ke dalam ruangan, dan kemudian masuklah seorang pemuda yang belum pernah Taehyung temui sebelumnya.

 

Pemuda itu masih menggunakan celana seragamnya, namun ia hanya memakai sebuah kaus hitam polos sebagai atasannya. Taehyung tidak tahu mengapa pemuda itu melepaskan seragamnya, tapi menurut analisisnya, mungkin saja ia tidak ingin membuat seragamnya kotor. Dan hal itu terbukti dari sekujur tubuhnya yang masih dihiasi oleh peluh. Anak klub basket, pikir Taehyung saat meraih sebuah bola basket yang terhenti di dekat mejanya. Pemuda itu meraih sebuah handuk kecil dari dalam tasnya, mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher, kemudian tersenyum pada Taehyung yang masih saja terdiam memerhatikannya. Taehyung tidak ingat apa yang tengah dipikirkannya saat itu, tapi ia ingat ketika ia membalas senyuman pemuda di hadapannya dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

.

.

.

.

I remember what you wore on the first day,

You came into my life and I thought,

“Hey, you know, this could be something”

.

.

.

.

“Jadi ternyata kau siswa pindahan?” tanya Taehyung sambil tetap melangkahkan kakinya. “Pantas saja aku tidak pernah melihatmu.”

 

Pemuda itu  mengulum senyum, kepalanya menoleh menatap Taehyung. “Aku memang siswa pindahan,” sahutnya. “Tapi itu saat di tahun kedua. Aku sudah satu tahun ada di sekolah yang sama denganmu.”

 

“Eh? Benarkah?” tanya Taehyung terperanjat.

 

Pemuda itu menganggukkan kepalanya seraya meneguk sekaleng softdrink yang sempat ia beli sebelumnya. “Kelasku bahkan tepat di samping kelasmu. Benar-benar tidak pernah melihatku, eh?”

 

“Sama sekali tidak pernah,” sahut Taehyung sambil memperlihatkan cengirannya yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Mungkin karena kau terlalu sibuk mengubur diri di lapangan basket, jadi aku tidak pernah melihatmu.

 

Itu adalah kalimat ejekan secara halus, dan pemuda itu tahu seharusnya ia merasa marah ataupun kesal, tapi itu tidak terjadi saat ini. Ia hanya melirik ke arah Taehyung sambil sesekali ikut tertawa pelan, tanpa sekalipun memberikan kalimat bantahan maupun balas mengejek Taehyung. Ketika keduanya berbelok di sebuah persimpangan, pemuda itu berkata, “Namaku Jung Hoseok.”

 

Taehyung menghentikan langkahnya sejenak dan menatap ke arah pemuda yang baru saja menyebutkan Hoseok sebagai namanya. Taehyung meletakkan sebuah kantung yang ia bawa dengan menggunakan tangan kanannya dan beralih mengulurkannya pada Hoseok, bermakasud mengajaknya berjabat tangan. “Aku Kim Taehyung.”

 

Hoseok menatap tangan Taehyung yang terulur padanya, lalu membalas jabatan tangannya seraya tersenyum simpul. “Senang dapat mengenalmu, Taehyung-ssi.”

 

Taehyung tahu, itu hanyalah kata-kata sederhana yang seringkali orang-orang ucapkan saat berkenalan. Dan Taehyung pun tahu, Hoseok menggenggam tangannya hanya untuk membalas jabatan tangan yang telah ia awali terlebih dahulu. Namun untuk senyum itu, Taehyung tidak tahu dan benar-benar tidak mengerti bagaimana pemuda di hadapannya itu bisa membuatnya menahan napas. Hanya karena seulas senyum simpul yang terlukis di atas bibirnya.

.

.

.

.

‘Cause everything you do and words you say,

You know that it all takes my breath away~

.

.

.

.

Istirahat makan siang masih akan berlangsung satu setengah jam lagi, tapi Taehyung sudah menguap tak sabaran. Sementara Mr. Cho menjelaskan tentang sejarah kemerdekaan Korea Selatan, Taehyung hanya memberenggutkan bibirnya sambil sesekali mencoret-coret buku catatannya. Dan ia pun nyaris memekik histeris saat tanpa sadar tangannya telah mengukir nama ‘Jung Hoseok’ di halaman bukunya dengan bolpoin bertinta merah. Sebelum teman sebangkunya melihat buku catatannya yang telah dipenuhi oleh nama Hoseok dengan beberapa hiasan di sana-sini―yang membuatnya terlihat seperti seorang anak perempuan―Taehyung pun merobek halaman itu, melipatnya menjadi beberapa bagian, lalu menyelipkannya ke dalam saku kemeja. Setidaknya hal ini terasa jauh lebih aman dibandingkan jika Taehyung meremasnya menjadi sebuah bola kecil dan membuangnya di lantai.

 

Hei, bicara soal Hoseok, lagi-lagi hal itu membuat Taehyung mengulum senyumnya. Empat bulan telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka dan kini keduanya menjadi lebih dekat satu sama lain. Hoseok seringkali mengajak Taehyung untuk pulang bersama, mentraktirnya es krim setiap hari rabu, dan meneleponnya hampir setiap malam―meskipun terkadang topik yang mereka bahas hanya terpusat pada Green Day, Coldplay, Radiohead, Nirvana, dan berbagai band beraliran rock alternatif lainnya.

 

“Ya! Kau mulai tidak waras, eoh?” cibir seorang pemuda bermata sayu yang hampir setahun ini menjadi teman sebangkunya. “Dari tadi kuperhatikan, kau hanya tersenyum seperti orang idiot tanpa sekalipun memperhatikan pelajaran. Jangan-jangan kau kerasukan hantu penjual es krim yang meninggal dua minggu lalu ya?”

 

Taehyung biasanya akan langsung menggulung buku catatannya dan melayangkan sebuah pukulan untuk pemuda itu tiap kali dia mengejeknya. Tapi tidak untuk kali ini. Taehyung kembali menampilkan senyum bodohnya, lalu menumpu dagunya dengan sebelah tangan sambil bergumam, “Dia bahkan jauh lebih tampan daripada paman penjual es krim.”

 

“Well, sepertinya kau memang benar-benar kerasukan.” pemuda itu bergidik ngeri dan menggeser bangkunya menjauh.

 

Taehyung menoleh ke arah teman sebangkunya dan terkekeh pelan, membuat kedua matanya menyipit. Ia hendak membalas ucapan pemuda itu, tapi sebuah getaran dari ponselnya menginterupsi. Taehyung merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel berwarna hitam metalik dari dalamnya. Dengan cekatan, ibu jari Taehyung yang telah terlatih segera membuka notifikasi yang masuk dan membuka sebuah pesan dari seseorang yang berhasil membuat si jenius Kim Taehyung terlihat bagaikan orang idiot di sepanjang pagi ini.

.

.

.

.


From: Hoseok.

 

Hei, tadi pagi kakakku baru saja pulang dari Jepang. Aku membawa banyak makanan hari ini. Nanti kita makan bersama, ya? Kutunggu di taman belakang sekolah. ^^d


.

.

.

.

Taehyung memekik tertahan saat menyadari bahwa ia masih ada di dalam kelas. Ia menggigit bibirnya dan menoleh ke arah teman sebangkunya sambil menampilkan seutas senyum yang tak dapat diartikan oleh siapapun, kecuali dirinya sendiri.

 

Pemuda itu memasang sikap waspada dan balas memandang Taehyung. “Apa?” tanyanya ketus.

 

“Dia mengajakku makan siang bersama, Jimin-ah!” ucap Taehyung antusias.

 

“Dia―siapa?” tanya pemuda yang baru saja dipanggil oleh Taehyung dengan nama Jimin. “Paman penjual es krim?” tebaknya asal.

 

Dan hal itu nampaknya berhasil membuat Taehyung kembali seperti sedia kala. Ia memutar bola matanya dengan malas, menggulung buku catatannya yang terabaikan di atas meja, kemudian memukulkannya di kepala bagian belakang teman sebangkunya itu.

 

“Ouch!” Jimin mengerang pelan sambil mengusap kepalanya yang terasa berdenyut akibat pukulan Taehyung. “Sial.”

.

.

.

.

“Kenapa kau tidak bilang jika makanannya sebanyak ini?” ratap Taehyung yang hanya menatap sekotak bento berukuran besar di hadapannya. “Ini bahkan kotak bekal yang biasa dipakai untuk piknik keluarga. Kau mencoba membuatku mati konyol karena kekenyangan, eoh?”

 

Mendengar hal itu Hoseok hanya tertawa pelan sambil menarik tangan Taehyung untuk ikut duduk bersamanya di atas rerumputan. “Jangan bicara seperti itu. Aku juga tidak memintamu untuk memakan semuanya, kan?” Hoseok membuka kotak bekal yang ia bawa dan meraih sepotong telur gulung dengan sumpitnya. Alih-alih memasukkan telur itu ke dalam mulutnya, Hoseok justru mengarahkan telur itu tepat di depan mulut Taehyung, mengisyaratkannya untuk memakan telur itu lebih dulu.

 

Dengan sedikit ragu Taehyung membuka mulutnya dan melahap telur yang disuapkan oleh Hoseok untuknya. “Bagaimana? Enak?” tanya Hoseok antusias.

 

Taehyung tersenyum ke arah Hoseok sambil menganggukkan kepalanya. “Agak asin, tapi ini cukup enak.” Taehyung meraih satu sumpit lainnya yang disiapkan oleh Hoseok dan kembali mengambil sepotong telur gulung lagi untuknya.

 

“Aish, sepertinya aku memasukkan terlalu banyak garam ke dalam kocokan telur itu.” Hoseok menggerutu pelan, tapi akhirnya ikut memakan telur itu bersama Taehyung.

 

Sementara di lain pihak, Taehyung tampak menghentikan kunyahannya dan berbalik menatap Hoseok. “Jadi ini telur buatanmu?”

 

“Iya, hehe.” sahut Hoseok sambil tertawa. “Aku hanya bisa membuat telur, tapi sekalinya memasak sendiri malah terasa asin.”

 

“Itu karena kau bodoh,” timpal Taehyung santai, matanya menggerling jahil ke arah Hoseok.

 

“Ya! Coba kau ulangi lagi kata-kata itu!” gertak Hoseok dengan mulutnya yang terisi penuh dengan kimbab.

 

“Aku hanya bercanda,” Taehyung mengambil sepotong daging dan tertawa sebelum memakannya. “Makanannya sangat enak, kok. Terima kasih.” ucapnya tulus.

 

Hoseok tidak menjawabnya. Ia hanya membalas senyuman Taehyung, mengusak rambutnya perlahan, dan kembali melanjutkan makannya dalam diam. Well, tidak sepenuhnya diam, sih. Sesekali ia terlihat mengajak Taehyung untuk membahas beberapa pertandingan basket yang sempat ditontonnya tiga hari lalu, mengeluh tentang jadwal latihan klub basket yang tak beraturan semenjak pelatih mereka terserang flu, dan sesekali menanyakan pada Taehyung tentang aksinya saat bertanding beberapa minggu lalu. Meskipun Taehyung tidak pernah mengerti tentang apapun yang menyangkut olahraga basket, tapi setidaknya ia cukup mengerti bahwa permainan Hoseok dan kawan-kawan satu timnya beberapa waktu lalu tidak bisa dianggap remeh.

 

Ya, semua orang juga tahu jika tim basket yang dimiliki oleh sekolahnya adalah tim terkuat di antara sekolah-sekolah lain. Ia bahkan berani bertaruh jika tim lawan pasti akan mengalah lebih awal saat melihat anggota dari tim sekolahnya. Taehyung tertawa dalam hati saat membayangkannya. Tim basket sekolahnya memang diisi oleh siswa-siswa dengan nilai atletik terbaik seperti Yoongi, Minho, Hoseok, Jongin, dan Junhong. Sebenarnya nilai atletik Taehyung juga tidak terlalu buruk untuk ukuran siswa biasa, tapi dia tidak pernah tertarik dengan olah raga sejak dulu. Tubuhnya juga terlalu kurus untuk disebut sebagai seorang atlet.

 

Lain halnya dengan Hoseok yang bertubuh tegap dan atletis, meskipun masih kalah jika dibandingkan dengan tubuh Minho dan juga Jongin yang terlihat lebih kekar dan berisi. Tapi setidaknya kulit Hoseok yang putih itu membuatnya terlihat sangat manis, dan terkadang Taehyung iri dengan hal itu. Kulitnya benar-benar terlalu gelap untuk ukuran seorang remaja Korea yang mayoritas berkulit cerah.

 

“―hyung? Ya! Taehyung-ah!” seru Hoseok seraya mengguncang bahu Taehyung.

 

“E, eh?” Taehyung akhirnya tersadar dari lamunannya dan hanya merespon panggilan Hoseok dengan mengerjapkan matanya. “Apa?”

 

Hoseok mendengus cukup keras. “Dari tadi aku mengajakmu berbicara panjang lebar, tapi ternyata kau tidak mendengarkanku sama sekali?” Hoseok belum pernah sekalipun merasa marah pada Taehyung, tapi kali ini Taehyung bisa menangkap kekesalan yang tersembunyi dalam nada bicaranya.

 

“Ma, maaf,” Taehyung berucap pelan.

 

“Sudahlah, tidak apa-apa.” Hoseok kembali menampilkan senyumnya dan melahap sepotong udang. “Hei, ngomong-ngomong, kau ada acara tidak saat malam tahun baru nanti?”

 

“Entahlah,” jawab Taehyung tak yakin. “Biasanya aku akan berkeliling kota dengan kakakku, lalu pulang dan membakar ikan bersama teman-temannya. Memangnya kenapa?”

 

“Bagaimana jika kau pergi denganku saja?” usul Hoseok antusias. “Aku akan mentraktirmu, jangan khawatir.”

 

Untuk sesaat, Taehyung terlihat bimbang. Ia menggigit bibirnya dan bola matanya bergerak-gerak gelisah, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin sekali menjawab “Ya” dan menerima ajakan Hoseok. Tapi di sisi lain, Taehyung takut jika kakaknya marah karena dia tidak ikut menghabiskan malam tahun baru bersama-sama. Tapi, hey! Taehyung itu sudah delapan belas tahun! Dia sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya sendiri. Dan lagi pula ada Hoseok bersamanya. Apa lagi yang harus ia takutkan?

 

“Baiklah, aku mau.” ucap Taehyung sambil tersenyum lembut.

.

.

.

.

Hyung, apakah penampilanku oke?” tanya Taehyung untuk yang ke sekian kalinya.

 

Seokjin, yang saat itu tengah mengaduk kopinya, hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan sang adik. Ia menyeruput kopinya sedikit sebelum bergumam, “Bertanyalah satu kali lagi, dan aku akan melemparimu dengan semangkuk bubur kentang.”

 

“Tapi sayangnya kau tidak memiliki sesendok pun bubur kentang yang bisa kau lemparkan padaku,” Taehyung tertawa pelan sambil membenahi tatanan rambutnya. “Penampilanku benar-benar oke ‘kan, hyung?”

 

“Berapa kali lagi aku harus menjawabnya?” Seokjin mengerang, jengah dengan pertanyaan adiknya yang hanya menanyakan tentang penampilannnya malam ini. “Kau tampan, Taehyung-ah. Apa itu cukup?”

 

Taehyung membalikkan tubuhnya menghadap sang kakak, lalu tertawa pelan. “Aku memang tampan.”

 

Yeah, sesukamu lah.” sahut Seokjin malas seraya melangkah ke ruang tengah dan menyalakan televisi. “Jam berapa kau akan pulang?”

 

“Eum, entahlah.” jawab Taehyung tak yakin. Ia meraih sebungkus roti cokelat dari meja makan dan kemudian ikut bergabung bersama sang kakak di ruang tengah. “Hyung tidak pergi keluar?”

 

“Tidak. Namjoon akan ke sini satu jam lagi.”

 

Taehyung hanya mengangguk affirmatif dan ikut menyimak pertandingan sepak bola yang sedang ditonton oleh Seokjin, meskipun―lagi-lagi―dia sama sekali tidak mengerti apa pun tentang sepak bola. Yah, sepertinya Taehyung memang ditakdirkan untuk tidak berkawan dengan berbagai jenis olah raga. Dan Taehyung pun terang-terangan menghela napas lega saat bel yang terpasang di pintu rumahnya berbunyi.

 

Hyung, sepertinya Hoseok sudah datang. Aku pergi dulu!” Taehyung menyambar jaketnya yang tersampir di dekat meja makan dan segera berlari menuju pintu masuk tanpa menunggu jawaban dari sang kakak.

.

.

.

.

“Hai,” sapa Taehyung sesaat setelah membuka pintu rumahnya dan mendapati Hoseok yang berdiri menantinya.

 

“Hai,” balas Hoseok sambil tersenyum. “Sudah siap?”

 

Taehyung membalas senyuman Hoseok dan menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Sangat siap. Kita pergi sekarang?”

 

“Tentu,” Hoseok membalikkan tubuh tegapnya dan segera melangkah mendekati motornya dengan Taehyung yang mengikutinya dari belakang. “Masih ada waktu tiga jam sebelum pukul dua belas. Kau ingin pergi kemana terlebih dulu?”

 

“Hm, terserah kau saja.” jawab Taehyung seraya menerima sebuah helm yang diulurkan oleh Hoseok.

 

“Baiklah, bagaimana jika kita ke kedai ramen?” usul Hoseok sambil menyalakan mesin motornya.

 

“Apakah aku bisa memprotes usulanmu?” tanya Taehyung yang kini telah memposisikan dirinya di jok belakang.

 

“Kurasa tidak,” Hoseok tersenyum kecil, lalu memacu motornya meninggalkan kompleks perumahan Taehyung dengan kecepatan sedang.

.

.

.

.

Cuaca di malam pergantian tahun kali ini cukup bersahabat. Angin tidak berhembus terlalu kencang, meskipun hawa dingin di musim ini masih terasa membelenggu hingga ke tulang. Tapi itu tidak jadi masalah karena Taehyung dan Hoseok telah memakai berlapis-lapis pakaian untuk menghangatkan tubuh mereka.

 

Saat ini waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan mereka telah menghabiskan waktu selama dua jam untuk menyantap dua mangkuk ramen super pedas, yang kemudian dilanjutkan dengan berkeliling kota sambil sesekali berhenti di sebuah toserba untuk membeli minuman hangat. Kini keduanya tak lagi terduduk di atas jok motor, melainkan duduk berdampingan dengan nyaman di atas rerumputan. Awalnya Taehyung mengira jika Hoseok akan mengajaknya pergi ke pusat kota dan menyaksikan pesta kembang api, tapi ternyata pemuda itu justru membawanya ke sebuah villa yang terletak di bukit, tak begitu jauh dari kota.

 

Mirip seperti bukit yang ada di kartun Doraemon, pikir Taehyung. Dan mungkin pilihan Hoseok untuk membawanya ke bukit ini tidak terlalu buruk, mengingat Taehyung yang cukup menyukai tempat setenang dan sedamai bukit ini. Ditambah lagi, menurut Hoseok, kembang api yang diluncurkan dari pusat kota akan terlihat jauh lebih indah jika dilihat dari tempat ini.

 

“Apa kau sudah merencanakan hal ini sebelumnya?” tanya Taehyung saat Hoseok mengambil kayu bakar yang tersimpan di sebuah gubuk kecil di samping villa.

 

“Anggap saja begitu.” Hoseok terkekeh pelan seraya mengeluarkan sebuah pemantik api dari saku jaketnya. “Villa ini dulunya milik kakekku, dan aku belum pernah menghabiskan malam tahun baruku di tempat ini. Karena itulah aku mengajakmu kemari. Tidak apa-apa, kan?”

 

“Kau bercanda? Aku suka tempat ini.” Taehyung menuangkan minyak tanah ke atas kayu bakar dan membantu Hoseok menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh keduanya. “Kau harus sering-sering mengajakku ke sini.”

 

“Tidak masalah,” sahut Hoseok sesaat setelah api mulai menyala. “Hari minggu besok aku akan menjemputmu pukul sembilan pagi jika kau mau.”

 

“Baiklah, aku akan menunggumu.” Taehyung tersenyum ke arah Hoseok, sambil sesekali menggosok-gosokkan kedua tangannya.

 

“Kau kedinginan?” tanya Hoseok yang―entah kenapa―terdengar khawatir.

 

“Tidak,” elak Taehyung, masih dengan mempertahankan senyumnya. “Api unggun ini cukup membuatku hangat.”

 

Tapi jawaban itu tidak cukup untuk Hoseok. Ia tahu betul jika saat ini Taehyung tengah berjuang melawan rasa dingin. Dan hal itu tercermin dari suaranya yang bergetar dan giginya yang juga saling bergemeletuk. Cuaca di daerah perbukitan seperti ini memang kurang menguntungkan jika mengunjunginya saat musim dingin seperti sekarang. Dan Hoseok sedikit merutuki kebodohannya karena telah membuat Taehyung kedinginan.

 

“Kemarilah,” ujar Hoseok seraya menarik pelan sebelah tangan Taehyung untuk berpindah tempat menjadi duduk membelakanginya.

 

“Ho, Hoseok, apa yang kau―”

 

“Menghangatkanmu,” gumam Hoseok yang kini telah melingkarkan kedua tangannya di pinggang Taehyung, memenjarakannya ke dalam sebuah dekapan hangat. “Sudah tidak dingin lagi, kan?” tanya Hoseok sembari menyandarkan kepalanya di pundak Taehyung dan menatapnya dari samping.

 

“Dasar kau ini,” Taehyung tertawa pelan sambil menggerakkan tubuhnya, tapi tidak melepaskan dirinya dari pelukan pemuda bertubuh tegap yang ada di belakang tubuhnya. “Sekarang jauh lebih hangat rasanya.” lanjutnya pelan seraya menyandarkan punggung sempitnya di dada bidang Hoseok.

 

“Benarkah?” tanya Hoseok, dan Taehyung menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Kalau tahu begini, seharusnya aku memelukmu dari dulu saja.”

 

“Kalau begitu kenapa baru kau lakukan sekarang?” Taehyung bergumam  dengan sangat pelan hingga Hoseok merasa tidak begitu yakin telah mendengarnya.

 

Hoseok mempererat pelukannya dan menajamkan telinga, menunggu Taehyung untuk kembali mengucapkannya. Tapi Taehyung hanya terdiam sembari menatap langit, tak berniat untuk mengulangi perkataannya yang tak membutuhkan jawaban.

 

“Taehyung-ah,” panggil Hoseok setelah terdiam cukup lama.

 

“Ya?”

 

“Jika hidup adalah sebuah perumpamaan, menurutmu aku ini seperti apa?” tanya Hoseok.

 

“Entahlah,” jawab Taehyung tak yakin. “Mungkin... kau lebih cocok diumpamakan sebagai seekor panther.”

 

“Panther,” ulang Hoseok sambil tersenyum kecil. “Kenapa bisa begitu?”

 

“Kau ingat dengan Jimin, teman sebangkuku?” tanya Taehyung alih-alih menjawab pertanyaan Hoseok terlebih dahulu. Dan Hoseok pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Saat dia tahu bahwa aku mengenalmu, dia terlihat begitu terkejut. Dia memintaku untuk menjauh darimu, karena menurutnya, kau bukan anak baik-baik. Kau pemuda yang sombong, arogan, dan tatapan matamu terlihat menakutkan saat kau sedang mengerjakan sesuatu dengan serius. Dan dia juga—”

 

“Dia berkata seperti itu?” tanya Hoseok memotong ucapan Taehyung.

 

“Ya, dia memang berkata seperti itu. Tapi kurasa aku tahu alasannya,” Taehyung tersenyum kecil, lalu kembali menengadahkan kepalanya dan menatap langit. “Saat pertama kali kita melihat seekor panther, mungkin hal pertama yang terpikirkan oleh kita adalah; menakutkan. Matanya yang tajam dan tak pernah lepas dalam menatap mangsa, kecepatan dan kegesitannya dalam berlari, dan ditambah lagi dengan bulunya yang berwarna hitam legam. Benar-benar visualisasi yang menakutkan, dan terkadang membuat kita enggan untuk sekedar mendekatinya.

 

“Pemikiran itu seolah telah menjadi doktrin di pikiran semua orang untuk tidak pernah mendekati ataupun mencari masalah dengan sosok panther itu sendiri. Dan jika hal itu benar-benar kita terapkan dalam pikiran kita, selamanya kita tidak akan pernah tahu jika masih ada banyak hal positif yang bisa kita lihat dari sosok panther yang menakutkan. Tatapan mata panther memang menyeramkan, tapi tidak ada yang tahu jika panther melakukan hal itu sebagai bentuk sikap waspada untuk hal-hal lain yang bisa mengancam keberadaannya. Panther memang agresif, tapi tidak ada yang tahu jika panther adalah sosok yang hangat dengan teman-teman satu koloninya. Panther memang terkenal beringas jika sudah berhadapan dengan musuhnya, tapi tidak ada yang tahu jika panther akan menjadi induk yang begitu bertanggung jawab dengan anaknya. Dan aku juga bisa melihat hal itu dari dirimu.

 

“Dari sorot matamu, terkadang kau memang terlihat angkuh dan sombong. Tapi setelah aku mengenalmu, ternyata kau orang yang cukup baik. Kau begitu dingin dengan orang lain yang tidak kau kenal, tapi kau hampir selalu membuatku tertawa jika kita bersama. Dan meskipun kau terlihat tak acuh, tapi nyatanya kau tak pernah absen untuk memberikan perhatianmu untukku. Jadi, yah, kau adalah panther.” dan Taehyung kembali tersenyum kecil saat selesai memberikan penjelasannya.

 

“Wow,” Hoseok terpana mendengarnya. “Aku―aku tidak menyangka jika kau memperhatikanku sampai seperti itu.”

 

“Tapi kenyataannya kau memang seperti itu, Caballo.” ujar Taehyung yang kemudian disusul dengan kekehan pelan dari celah bibirnya.

 

“Caballo?” Hoseok mengerutkan keningnya sambil mendengus geli. “Bosan memanggilku Kuda, eh?”

 

“Caballo itu bahasa Spanyol dari kuda, bodoh. Tidak ada bedanya.” sahut Taehyung yang kini tertawa lebar karena ucapannya sendiri. Puas telah berhasil mengerjai Hoseok.

 

“Aish, dasar kau ini,” Hoseok tersenyum kecil seraya melirik sebuah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Whoops, tinggal satu menit lagi menuju pukul dua belas tepat. Ayo cepat buat permohonan!”

 

Taehyung hanya tersenyum tipis mendengarnya, lalu ia pun memejamkan kedua matanya dan bergumam, “Semoga tahun ini kita bisa lulus dengan nilai terbaik, bisa mewujudkan cita-cita kita, dan semoga―”

 

“Semoga kau juga mencintaiku, seperti aku yang sangat mencintaimu.” sahut Hoseok yang memotong ucapan Taehyung.

 

“E, eh?” Taehyung kembali membuka kedua matanya dan terbelalak mendengar ucapan Hoseok. “A, apa katamu?”

 

“Haruskah aku mengulanginya?” Hoseok berbisik pelan, membuat Taehyung sedikit bergidik saat merasakan napas hangat pemuda itu yang menggelitik telinganya. Hoseok melepaskan tautan kedua tangannya yang melingkari pinggang Taehyung dan membalikkan tubuh pemuda berkulit gelap itu untuk menghadap ke arahnya. Gemerlap warna-warni yang menghias langit malam sambil diiringi oleh suara ledakan dari bunga api raksasa yang dinyalakan dari pusat kota layaknya alunan sebuah melodi romantis yang mengiringi keduanya. Hoseok menangkupkan sebelah tangannya di pipi Taehyung, mengusapnya dengan lembut dan penuh kasih, lalu berbisik, “Aku mencintaimu.”

 

Hanya dua kata sederhana, namun berhasil membuat kedua pipi Taehyung bersemu kemerahan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas dan membentuk seulas senyum yang terlihat begitu menawan di atas wajahnya. Taehyung membuka bibirnya dengan perlahan, dan membalas pernyataan cinta Hoseok hanya dengan tiga kata, “Aku juga mencintaimu.”

 

Dan pada detik berikutnya, segala sesuatu di sekitar mereka terjadi begitu cepat, bahkan sebelum Taehyung dapat mencernanya. Kedua mata Taehyung kembali terpejam dengan sempurna, dan ia dapat merasakan sebuah lumatan lembut di atas bibirnya. Taehyung hanya tersenyum samar ketika menyadari bahwa saat ini Hoseok tengah mengecup dan membelai bibirnya dengan lembut. Tidak ada hal lain yang bisa Taehyung lakukan selain membalas kecupan Hoseok, dan hal itu dengan senang hati akan ia lakukan untuk kekasih tercintanya.

 

Bibir saling mengecup, tangan saling bertautan dengan mesra, dan suara ledakan kembang api yang menjadi melodi pengiringnya. Adakah hal lain yang jauh lebih manis dari ini?

.

.

.

.

Taehyung menghela napas panjangnya dan kembali mengalihkan pandangannya pada selembar foto yang ada dalam genggaman tangannya. Lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu, dan mereka telah memilih jalan hidup mereka masing-masing. Sebulan setelah upacara kelulusan SMU, Hoseok mengatakan pada Taehyung bahwa ia ingin mendaftarkan dirinya sebagai seorang prajurit angkatan darat. Hoseok bilang, dia ingin meneruskan perjuangan ayahnya yang telah meninggal dunia saat dirinya masih berumur tiga belas tahun. Sebagai kekasih yang baik, Taehyung menanggapi keinginan Hoseok dengan memberikannya dukungan penuh selama masa pelatihan.

 

Lain Hoseok, lain pula dengan Taehyung. Pada awalnya, Taehyung memutuskan untuk mengikuti saran kakaknya dengan mendaftar ke salah satu fakultas kedokteran yang sama dengannya. Tapi kemudian Taehyung merubah pendiriannya dan memutuskan bahwa kelak ia akan menjadi seorang guru bahasa. Seokjin tidak mempermasalahkan hal itu, karena menurutnya ini adalah keputusan yang dibuat sendiri oleh Taehyung dan hanya Taehyung-lah yang tahu tentang kemampuannya sendiri.

 

Taehyung mengulurkan sebelah tangannya dan mengembalikan lembaran foto itu ke tempat semula. Ia kembali mengulas sebuah senyum tipis, lalu beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

.

.

.

.

Seokjin baru saja selesai menyantap semangkuk corn flakes kesukaannya saat ia melihat siluet tubuh jangkung adiknya bergerak menuruni anak tangga dan kemudian turut bergabung bersamanya di dapur. Taehyung terlihat begitu rapi dengan setelan kemeja cokelat polos dan celana jeans hitamnya, berbanding terbalik dengan penampilan Seokjin yang masih terlihat kumal dan sama sekali belum menyentuh air sejak terbangun hampir empat puluh lima menit yang lalu. Seokjin meletakkan mangkuknya yang telah kosong ke tempat pencucian piring sambil mengawasi pergerakan adiknya yang kini tengah meracik segelas susu cokelat panas.

 

“Kau akan pergi lagi?” tanya Seokjin pelan.

 

Taehyung menghentikan pergerakannya dan menganggukkan kepalanya sembari melirik sekilas ke arah sang kakak yang kini berdiri mengawasinya. “Aku sudah berjanji pada Hoseok. Dan aku tidak mungkin mengingkarinya.”

 

Seokjin menghela napas berat dan menggelengkan kepalanya jengah. “Ini malam natal. Tidak bisakah kau berdiam diri di rumah bersamaku?” Seokjin bertanya dengan nada datar. “Persetan dengan segala janji konyol yang sudah kau buat untuk Hoseok! Untuk apa kau tetap bersikeras pergi jika nantinya kau―”

 

“Cukup, hyung.” sahut Taehyung memotong ucapan Seokjin. “Ini adalah keinginanku sendiri, dan aku sudah cukup dewasa untuk menentukan apa saja yang akan kulakukan. Jadi hyung tidak perlu mengkhawatirkanku.”

 

“Terserah,” ucap Seokjin pada akhirnya. “Tapi aku sudah memperingatkanmu.”

 

Seokjin mendengus dengan cukup keras, sebelum akhirnya ia kembali membuka langkah dan beranjak meninggalkan dapur. Meninggalkan Taehyung yang hanya mematung di tempatnya sambil mengepalkan tangan. Taehyung memejamkan kedua matanya dan menghela napas panjang untuk kembali menstabilkan emosinya yang sempat tersulut akibat ucapan sang kakak. Ia kemudian meninggalkan susu cokelatnya yang masih terisi penuh dalam gelas dan meraih jaket serta mantel yang ia sampirkan di sofa ruang tengah, dan segera beranjak meninggalkan rumahnya tanpa harus repot-repot meminta izin pada kakaknya.

.

.

.

.

Suasana di stasiun kereta pagi ini masih terlihat cukup lenggang. Taehyung menghentikan langkahnya dan melirik arlojinya yang baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Waktu yang sedikit terlalu awal untuk memulai aktivitas di hari libur seperti saat ini. Taehyung menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku mantel tebalnya dan kembali mengayunkan sepasang tungkai jenjangnya melintasi peron yang sepi.

 

Sejenak, Taehyung tampak menghentikan langkahnya dan menatap ke arah ujung perlintasan kereta api yang masih belum memberikan tanda-tanda bahwa akan ada kereta yang berhenti ataupun singgah di stasiun ini. Taehyung menghela napasnya dan perlahan meletakkan tulang duduknya secara sempurna di sebuah kursi tunggu yang ada di sana.

 

Taehyung menggigit bibirnya gelisah dan kembali berdoa dalam hati bahwa akan ada―setidaknya―satu kereta yang singgah pada hari ini.

 

“Hoseok, pulanglah.” gumam Taehyung lirih. “Aku menunggumu di sini.”

 

Taehyung mendesah pelan seraya merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. Kedua matanya memejam perlahan dan ia kembali teringat dengan sebuah kejadian yang ia alami tiga setengah tahun yang lalu, saat-saat di mana Hoseok datang menemuinya untuk yang terakhir kali.

 

Taehyung masih ingat betul. Kala itu, di penghujung bulan Juni, Hoseok datang menemuinya dengan cara yang sedikit tidak wajar. Biasanya, Hoseok akan mengirim sebuah pesan singkat untuk Taehyung jika ia ingin bertemu. Atau terkadang, saat sore hari Hoseok akan menjemput Taehyung di kampusnya. Tapi entah apa yang ada di pikiran Hoseok saat itu, secara diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam rumah Taehyung ketika jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Taehyung, yang kala itu telah terlelap dengan nyaman dalam bungkusan selimutnya, mendadak terbangun saat mendengar suara ketukan dari jendela kaca yang terhubung dengan balkon di kamarnya.

 

“Hoseok?” ucap Taehyung sedikit bingung saat ia membuka jendela dan membiarkan Hoseok masuk ke dalam kamarnya. “Ada apa? Ini sudah hampir tengah malam.”

 

Hoseok tidak menjawab. Ia hanya mengulas senyum pahit yang belum pernah Taehyung lihat sebelumnya. Ia terlihat kacau, ditambah dengan ekspresi wajahnya yang terlihat begitu suram, dan barulah Taehyung menyadari bahwa Hoseok sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

 

Taehyung ingin bertanya kenapa, tapi ia mengurungkannya saat Hoseok menarik sebelah tangannya dan menenggelamkan tubuh kurus Taehyung ke dalam dekapan hangatnya. Meski awalnya Taehyung terlihat sedikit ragu, tapi kemudian ia pun turut melingkarkan kedua tangannya di punggung Hoseok. Membalas pelukannya, sekaligus memberi isyarat bahwa Taehyung akan tetap bersama dengannya, apapun yang terjadi.

 

“Kau terlihat lelah,” ujar Taehyung saat Hoseok telah melepas pelukannya. “Mau kuambilkan minum?”

 

Hoseok menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku hanya membutuhkan dirimu, Taehyung-ah.”

 

“Jangan khawatir,” Taehyung tersenyum seraya menepuk dada kiri Hoseok. “Aku akan selalu ada di sini untukmu.”

 

Hoseok tersenyum kecil dan mengusak rambut Taehyung dengan sayang. Ia kemudian berbalik ke arah balkon dan memberi isyarat pada Taehyung untuk ikut bergabung bersamanya, duduk beralaskan lantai sambil memandangi gemerlap taburan bintang di atas langit. Taehyung, yang masih tak mengerti dengan apa yang diinginkan oleh Hoseok, hanya mengangkat bahu sembari ikut terduduk di samping kekasihnya.

 

Taehyung mengira Hoseok akan segera membuka mulut dan mengatakan sesuatu untuk menjawab rasa penasarannya. Namun pada kenyataannya, pria itu hanya terdiam menatap langit dengan pandangan yang tak dapat Taehyung artikan.

 

Chagiya,” panggil Taehyung pelan. “Katakanlah sesuatu.”

 

Hoseok mengalihkan pandangannya ke arah Taehyung dan merentangkan sebelah tangannya, mengisyaratkan Taehyung untuk lebih mendekat padanya. Taehyung pun kembali menurut dan Hoseok merangkul pundak Taehyung dengan posesif.

 

“Tiga hari yang lalu, aku dipanggil oleh atasanku.” ucap Hoseok pada akhirnya. “Aku diminta untuk menjaga wilayah perbatasan, dengan jangka waktu yang belum dipastikan.”

 

Taehyung tersentak dan segera melepaskan dirinya dari rangkulan Hoseok. “Menjaga wilayah perbatasan?” tanyanya tak percaya. “Tapi kau bahkan belum genap setahun bekerja sebagai angkatan darat!”

 

“Aku tahu,” sahut Hoseok berat hati. “Situasi negara kita semakin berbahaya. Ada begitu banyak pasukan Korea Utara yang menyusup ke dalam negara kita, sementara kamp penjagaan di wilayah perbatasan masih kekurangan anggota.”

 

“Tapi kenapa harus kau?” tanya Taehyung sedih. “Tidak bisakah kau menolaknya?”

 

“Seandainya aku bisa,” Hoseok mengulas senyum pahit.

 

Taehyung memandang wajah tampan Hoseok dengan sendu seraya menghela napas berat. “Kapan kau akan berangkat?”

 

“Besok lusa,” sahut Hoseok pelan. “Maukah kau mengantar keberangkatanku ke stasiun?”

 

“Tentu,” jawab Taehyung sembari membaringkan kepalanya di pundak Hoseok. “Tapi malam ini kau harus memelukku sampai matahari terbit.”

 

Dan tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, Hoseok pun segera mengubah posisi duduknya hingga kini ia duduk tepat di belakang Taehyung. Bagaikan déja vu, Hoseok melingkarkan kedua tangannya di pinggang Taehyung, sama seperti saat pertama kali ia memeluk pemuda itu. Hoseok mempererat pelukannya dan mengecup tengkuk Taehyung sebelum membaringkan kepalanya di bahu sempit Taehyung seraya berbisik, “Aku mencintaimu, Taehyung-ah.”

 

“Aku bahkan lebih mencintaimu,” ujar Taehyung yang juga balas berbisik. Kedua matanya terpejam sempurna, namun perlahan dapat ia rasakan adanya setetes air bening yang luruh melalui sudut matanya.

.

.

.

.

“Berjanjilah bahwa kau akan sering-sering mengabariku,” ujar Taehyung yang menatap lurus kedua mata Hoseok.

 

“Akan kuusahakan,” Hoseok tersenyum kecil seraya mengusak pelan rambut Taehyung. “Aku akan ditempatkan di daerah pegunungan. Mungkin akan cukup sulit untuk mendapatkan sinyal telepon.”

 

“Lalu kapan kau akan pulang?” tanya Taehyung yang mengabaikan ucapan Hoseok sebelumnya.

 

“Aku tidak tahu,” Hoseok mendesah berat. “Tapi maukah kau berjanji satu hal padaku?”

 

Taehyung menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Katakanlah,”

 

Hoseok mengangkat kedua tangannya dan menangkupkannya di pipi Taehyung. “Aku tidak tahu kapan aku akan pulang. Tapi berjanjilah padaku bahwa kau akan menunggu kepulanganku di stasiun ini setiap tahunnya, tepat di tanggal dua puluh empat Desember. Kau akan menjadi orang pertama yang menyambut kedatanganku, dan kemudian kita akan menghabiskan malam natal dan tahun baru bersama-sama lagi seperti dulu. Bisakah?”

 

“Ya,” jawab Taehyung parau. “Apapun akan kulakukan jika memang hal itu bisa membuatmu kembali padaku.”

 

“Terima kasih,” Hoseok mengecup kening Taehyung dengan sayang, dan memeluk tubuh kekasihnya dengan erat. “Aku pasti akan sangat merindukanmu.”

 

Taehyung hanya tersenyum kecil dan membalas pelukan Hoseok tak kalah erat. Rasa-rasanya ia tak ingin melepaskan pelukan ini, pelukan yang mungkin tak bisa lagi ia rasakan di tahun-tahun ke depan saat Hoseok tak ada di dekatnya. Namun suara lengkingan peluit yang memekakkan telinga mau tak mau menginterupsi kegiatan keduanya. Hoseok melepaskan pelukannya dengan tak rela, setelah sebelumnya kembali mengecup kening Taehyung untuk terakhir kalinya.

 

“Jaga dirimu baik-baik.” ujar Hoseok seraya tersenyum sendu.

 

Ia kemudian membalikkan tubuh tegapnya dan melangkah memasuki gerbong kereta yang akan segera berangkat dalam hitungan menit. Pintu menutup dengan sempurna dan kereta mulai bergerak pelan. Taehyung membuka langkah, ikut bergerak mengikuti laju kereta yang membawa kekasihnya pergi, sampai akhirnya ia terhenti saat kakinya tak mampu lagi untuk mengejar. Taehyung menatap sendu ke arah kereta yang kini telah bergerak menjauh sebelum akhirnya ia menunduk menatap tanah.

 

Sebuah tepukan di bahu kirinya membuat Taehyung menoleh dan menemukan sosok Seokjin yang mengulas senyum tipis untuk menguatkan adiknya. Taehyung ingin membalas senyuman Seokjin, namun ia justru terisak pelan di bahu sang kakak yang kini mendekapnya penuh kasih.

.

.

.

.

And now I’m left with nothing…

So maybe it’s true

That I can’t live without you,

And maybe two is better than one.

There’s so much time,

To figure out the rest of my life,

And you’ve already got me coming undone.

.

.

.

.

Terhitung dengan hari ini, telah tepat tiga tahun lamanya Taehyung menunggu kepulangan Hoseok. Ia senantiasa duduk termenung di sudut stasiun sejak pagi hingga senja menjelang, hanya meninggalkan tempat duduknya untuk sekedar membeli minuman dan makanan ringan, berdiri dan menatap penuh harap pada tiap-tiap kereta yang berhenti, lalu kembali terduduk lemas saat menyadari bahwa tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan Hoseok yang mampu ia temukan.

 

Taehyung menghela napas panjangnya seraya mengeluarkan sebuah ponsel yang tersembunyi di balik saku celana. Ia membuka kunci pengaman yang ia pasang pada ponselnya dan menatap display ponselnya dengan sendu. Ibu jari Taehyung bergerak dan mengusap pelan fotonya bersama Hoseok yang diambil saat upacara kelulusan SMU. Di saat-saat seperti ini, Taehyung seringkali mengingat-ingat segala kenangan manis yang pernah ia torehkan bersama Hoseok.

 

Ia teringat saat pertama kalinya Hoseok datang menawarkan sebuah bantuan padanya di ruang jurnalistik, ia teringat saat pertama kalinya Hoseok memperkenalkan dirinya, ia teringat saat pertama kali Hoseok mengejek dan menyebut dirinya sebagai prince cinnamon  karena kulitnya yang gelap seperti halnya kayu manis, ia teringat saat pertama kalinya Hoseok menunjukkan ketakutannya terhadap serangga, ia teringat saat pertama kalinya Hoseok mengajaknya pergi di malam pergantian tahun, dan ia teringat saat pertama kalinya Hoseok menciumnya.

.

.

.

.

I remember every look upon your face,

The way you roll your eyes,

The way you taste,

You make it hard for breathing…

.

.

.

.

Taehyung kembali menghela napasnya yang terasa begitu berat sembari memejamkan kedua matanya. Berulang kali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hoseok akan segera pulang dan ia tak akan merasa kesepian lagi di hari-hari mendatang.

 

Tapi hal itu tidak semudah yang ia kira. Di satu sisi, hatinya menjerit pilu dan telah mengibarkan bendera putih sebagai bentuk kekalahan. Ia lelah, dan Taehyung pun mengakui hal itu dengan berat hati. Namun di sisi lain, di saat ia kembali teringat dengan Hoseok, ia ingin tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semuanya memang akan baik-baik saja jika ia mau bersabar sedikit lagi. Dan ketika ia telah mencapai titik jenuhnya seperti saat ini, Taehyung pun menyadari dengan penuh bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Hoseok di sisinya. Taehyung membutuhkan Hoseok di sampingnya, yang akan selalu memeluknya di saat ia lelah, yang akan selalu tersenyum untuk menguatkannya, dan akan selalu mencintainya apapun yang terjadi.

.

.

.

.

‘Cause when I close my eyes and drift away,

I think of you and everything’s okay,

I’m finally now believing

That maybe it’s true,

I can’t live without you...

.

.

.

.

Senja mulai menjelang, namun Taehyung masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia nyaris saja benar-benar akan menyerah dan pulang ke rumahnya dengan kembali membawa segenggam harapan kosong yang sia-sia, sebelum akhirnya ia tersentak ketika terdengar pemberitahuan bahwa kereta terakhir akan segera tiba dalam lima menit. Taehyung beranjak bangun dari tempat duduknya dan segera melangkah lebih dekat ke perbatasan peron saat kereta mulai melambatkan lajunya, lalu akhirnya berhenti tepat di hadapan Taehyung yang berdebar penuh harap. Pintu kereta mulai membuka perlahan dan satu per satu tubuh asing mulai berjalan melewati Taehyung yang kini telah mengedarkan pandangannya ke segala sudut untuk menemukan siluet dari seorang pria bertubuh tegap yang amat dirindukannya.

 

Tapi ketika seluruh penumpang telah turun dan seluruh gerbong telah kosong, Taehyung masih belum bisa menemukan figure yang ia cari. Pintu gerbong kembali menutup dan kereta pun mulai bergerak perlahan menjauhi area stasiun. Taehyung menghela napas kecewa dan melangkah mundur dengan lunglai, lalu kembali terduduk di tempatnya semula dengan hatinya yang berdenyut sakit.

 

Taehyung menatap hampa ke arah perlintasan kereta dan perlahan-lahan dapat ia rasakan pandangannya mulai mengabur saat pelupuk matanya telah digenangi oleh air mata. Taehyung tidak ingin menangis, tapi kini ia justru terisak pelan dengan kepalanya yang menunduk dalam.

 

Ia lelah. Benar-benar lelah. Ia lelah menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan ia lelah karena ia tak pernah bisa berhenti mengharapkan keberadaan Hoseok yang akan kembali berada di sisinya.

 

Setelah beberapa saat tenggelam dalam badai tangisnya, Taehyung menghapus jejak air matanya dengan kasar dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun pergerakannya terhenti saat ia merasakan adanya sepasang tangan lain yang mendekapnya dari belakang. Taehyung ingin memberontak dan melepaskan diri, tapi hati kecilnya memberitahukan Taehyung untuk tidak memberikan perlawanan apapun.

 

Tangan-tangan itu memeluknya semakin erat, dan jantung Taehyung seolah berhenti berdetak saat pemilik tangan itu berbisik, “Aku pulang, Taehyung-ah.”

 

Tanpa menunggu aba-aba, Taehyung segera membalikkan tubuhnya dan menemukan seorang pria bertubuh tegap yang ia kenal, tersenyum lembut ke arahnya. Itu Hoseok-nya. Hoseok-nya yang begitu ia cintai, dan Hoseok-nya yang telah ia nanti kehadirannya selama tiga tahun.

 

Dan penantiannya tidak sia-sia. Dengan senang hati Taehyung segera menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Hoseok saat pria itu merentangkan kedua tangannya, meminta sebuah pelukan hangat yang tak pernah lagi ia rasakan selama tiga tahun terakhir. Taehyung menumpahkan tangis bahagianya sambil sesekali menyumpahi dan memaki Hoseok karena telah membuatnya menunggu terlalu lama, dan Hoseok hanya membalasnya dengan tertawa kecil sembari menciumi seluruh wajah Taehyung yang semakin terlihat tampan, sama seperti dirinya.

 

“Sebentar lagi hari mulai gelap,” ucap Hoseok saat melepaskan pelukannya. “Ayo kita pulang.”

 

Untuk yang pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, Taehyung kembali mengulas senyuman yang hanya akan ia berikan untuk Hoseok. Taehyung menganggukkan kepalanya dan menggandeng tangan kekasihnya dengan lembut. Keduanya akhirnya beranjak meninggalkan tempat itu dengan tangan yang saling bertautan mesra, seolah enggan untuk melepasnya.

.

.

.

.

And finally, two is better than one...

.

.

.

.

++_FIN_++


Two is better than one. Berdua lebih baik daripada sendirian. Together is better than to be alone.

 

Hehe. Gimana ff-nya?

Terlalu random kah? Atau malah terlalu buruk untuk dibaca? XD

Kkk~

Yah apapun itu, aul berharap jangan sampe ada yg jadi silent reader ya ..

Terima kasih sudah berkunjung~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vhope00 #1
Chapter 1: pas seokjin udah marahin taehyung. udah sempet ngira kalo hoseok udah mati karna perang/? udah pengen nangis. terus pas ternyata taehyung ga nemu hoseok, JDER NANGIS KEJEEEERRR. YA AMPUN KA AUL JAHAT BANGET SAMA AKU ;_________; huhuhu bener bener ngira kalo ini bakal sad ending ternyata.. "aku pulang, Taehyung-ah" NANGIS KEJER PT2 YA AMPUNNFUDBEOENSO LAFYU KAK AUL ;3;
da0tazu3 #2
Chapter 1: Kak......... bagus baget, aku hapir mau nangis soalnya aku ikut bahagia ama Taehyung, keren bgt kak, beneran
raebmonster #3
Chapter 1: Haduh kak ini beneran bagus bgt yaampun.. Ga tahan nangis pas kalimat yg "aku pulang, Taehyung-ah." BAGUS BGT KAK OMGGG bahasanya juga halus, haduh gaboong pokoknya aku suka bgt deh <3
chiJhope #4
Chapter 1: Ampun mak.. FFnya keren gila. Gue nangis kejer baca nih FF. udah deg degan aja bacanya. Takutnya bad ending, ternyata happy ending. Bahagia banget. Thanks author. Ini keren. Buat Vhope lagi yah. Aku hardshippernya Vhope. ^^
nabilalifiau #5
Chapter 1: Huwaaa sempet nangis masa pas taehyung ditinggal hoseok T.T
Sedih, kirain hoseok ga akan pulang2 :'(
Tapi untung happy ending hihi :3
Suka deh pokoknya♥
blackmelody
#6
Chapter 1: Haiiiiii kita bertemu lagii!!!

Aduh ffmu bagus2 amat sih, angst nya dpt tapi akhirannya fluff gitu bikin puas♡♡♡♡