Mirror

Hold Me Tight

Author: Aul_Ondubu

Cast: Vhope & Others.

Length: Chaptered.

Rating: T

Genre: Romance, Angst, Self-abuse, , Hurt/Comfort.

Disclaimer: BTS adalah sepenuhnya milik diri mereka sendiri, orang tua, dan tentunya Tuhan mereka. Tetapi untuk ff ini adalah sepenuhnya milik saya, dan dimohon untuk tidak menjiplak maupun mengakuinya sebagai milik Anda.

A/N: Jangan terlalu banyak berharap dengan chapter ini, karena ini hanyalah sebuah chapter pengenalan. Setidaknya, saya ingin membuat kalian mengenal situasi dan kondisi yg harus dihadapi oleh vhope di sini. Btw, sorry karena baru sempet publish .. TTwTT

 

Semoga kalian suka ... ^^d

.

.

.

Aul_Ondubu presents :
 

.

.

.

.

.

++_VHOPE_++

 

 

 

With everything happening today
You don't know whether you're coming or going
But you think that you're on your way
Life lined up on the mirror don't blow it


 

[Lil Wayne ft Bruno Mars – Mirror]

 

 

++_VHOPE_++

.

.

.

.

Berkumpul dan makan malam bersama dengan segenap anggota keluarga biasanya selalu menjadi kegiatan yang sangat mengasyikkan untuk semua orang. Setelah saling menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan dan pekerjaan yang menguras tenaga, semua rasa penat yang membelenggu seolah terobati ketika pada akhirnya kita dapat memandang dan mendengar untaian tawa bahagia dari orang-orang yang kita kasihi. Bertukar pendapat dengan ayah tentang pertandingan olah raga yang telah memasuki musim baru, bersenda gurau dengan ibu mengenai acara televisi yang kian membosankan dari hari ke hari, lalu diakhiri dengan sebuah perdebatan singkat bersama adik dan kakak mengenai perkembangan teknologi yang kian canggih.

 

Ya, seharusnya itu semua menjadi sebuah kegiatan yang kerap ditunggu-tunggu oleh semua orang. Tapi mungkin hal itu sama sekali tidak berlaku untuk seorang Kim Taehyung. Segera setelah ia berhasil menginjakkan kakinya di dalam area restoran, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mengunci mulutnya rapat-rapat dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berulang kali ia mencoba untuk ikut menulikan telinga, tapi ternyata hal itu tidak semudah yang ia kira.

 

“Di antara ribuan mahasiswa yang mengikuti upacara kelulusan beberapa waktu lalu, hanya ada dua orang yang terpilih untuk bisa bekerja di perusahaan sebesar itu. Dan aku benar-benar tidak menyangka bisa menjadi salah satu di antaranya.” Tutur Namjoon yang kembali membanggakan dirinya sendiri. Sembari mengulas seringai di sudut bibirnya, ia melirik sekilas ke arah Taehyung yang menghabiskan makanannya dalam diam seraya melanjutkan, “Yah, setidaknya aku bersyukur karena bisa mewarisi otak cerdas ayah.”

 

Tepat di sampingnya, Seokjin tertawa pelan menanggapi ucapannya. “Kau memang adikku yang sangat hebat, Namjoon-ah. Kau bahkan mampu menyelesaikan pendidikan S2 di usiamu yang baru menginjak angka dua puluh tahun. Berbeda sekali dengan seseorang.”

 

Taehyung tertegun dalam diam. Selera makannya mendadak hilang, tergantikan dengan rasa perih yang perlahan menyelimuti hatinya. Tanpa banyak bicara, Taehyung meletakkan sumpitnya dan berpaling ke arah jendela yang berada tepat di samping kirinya.

 

Samar-samar, ia bisa mendengar suara ibunya yang menimpali ucapan Seokjin. Ketika seuntai tawa terlontar dari mulut wanita itu, mau tak mau Taehyung menolehkan kepalanya sejenak dan menatap wajah bahagia sang ibu dengan pandangan sendu. Wajah cantiknya yang mulai dihiasi oleh beberapa kerutan itu terlihat bersinar dan berseri-seri. Matanya tak pernah lepas memandang Namjoon, bahkan senyum pun seolah enggan untuk beranjak dari bibirnya.

 

“Namjoon memang terlahir sebagai anak yang spesial. Tapi bukan berarti kau tidak seperti itu, Jin.” ujar sang ayah yang pada akhirnya memutuskan untuk terlibat dalam percakapan itu. “Kau adalah orang pertama di antara adik-adikmu yang membuat ayah bangga dengan prestasimu. Lihat, kau bahkan baru dua puluh dua tahun dan kau telah menambahkan gelar dokter di depan namamu!”

 

Ya, itu memang benar. Seokjin adalah putra sulung di keluarga Kim. Dan ia memanglah anak yang hebat dan patut untuk dibanggakan. Ia tampan, memiliki postur tubuh yang ideal untuk pemuda seumurannya, dan semua itu dilengkapi pula dengan kejeniusan otaknya.

 

Setelah berhasil menempuh kelas akselerasi hingga SMU, Seokjin akhirnya resmi terdaftar sebagai seorang mahasiswa fakultas kedokteran di usianya yang pada saat itu baru menginjak usia lima belas tahun. Alih-alih merasa minder dan terkucilkan karena menjadi salah satu mahasiswa termuda di angkatannya, Seokjin justru sukses mendobrak pandangan miring dari orang-orang di sekelilingnya dengan meraih predikat sebagai pemilik nilai tertinggi. Mereka yang dulunya mencibir, kini berbalik memuji. Lagi pula, siapa yang bisa menolak pesonanya?

 

Lain Seokjin, lain lagi dengan yang dialami oleh Namjoon. Terlahir sebagai putra kedua dari keluarga Kim nyatanya tak lantas membuat Namjoon merasa iri akan kesuksesan sang kakak yang kini berhasil mengikuti jejak ayah mereka untuk menjadi seorang dokter. Namjoon berbeda. Dia membenci rumah sakit, dia membenci bau obat-obatan yang menyengat indera penciumannya, dan dia juga sangat membenci decitan nyaring dari sederet brankar yang yang didorong menyusuri koridor rumah sakit. Namjoon menyukai ketenangan dan kebebasan, berbanding terbalik dengan sang kakak yang selalu terlihat serius di berbagai kesempatan.

 

Namjoon berbeda. Ia memang tidak setampan Seokjin, namun ia memiliki kharisma yang bahkan tidak dimiliki oleh sang kakak. Jika Seokjin lebih cenderung bersikap netral dan enggan untuk dijadikan pusat perhatian, maka hal sebaliknya kembali ditunjukkan oleh Namjoon yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kemampuan bersosialisasi yang jauh lebih baik dibandingkan dirinya.

 

Seokjin memang pintar, tapi dia tidak secerdas Namjoon yang memiliki IQ tinggi hingga mencapai angka 148. Sama halnya seperti Seokjin yang menempuh jalur akselerasi, hal serupa pun ikut menular kepada Namjoon yang kemudian tercatat sebagai seorang mahasiswa di Columbia University di usianya yang kala itu baru menginjak usia lima belas tahun. Berbeda dengan Seokjin yang kikuk dan canggung, Namjoon adalah seoranh survivor kebanggaan ibunya. Meski Namjoon tidak sepandai Seokjin untuk urusan mengolah bahan makanan di dapur, tapi setidaknya ia memiliki kemampuan berbahasa asing yang jauh lebih mengagumkan. Dan dengan berbekal hal itu pula, Namjoon akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan S2 di California.

 

Malam ini semestinya menjadi malam perayaan yang menyenangkan untuk seluruh anggota keluarga. Namjoon baru saja kembali dari California dengan membawa gelar baru di belakang namanya dan salah seorang petinggi dari Microsoft juga ikut mendatanginya secara khusus untuk menawarkan sebuah pekerjaan, bahkan sebelum Namjoon mengikuti upacara kelulusan yang digelar oleh pihak kampus. Ya, seharusnya semua ikut bergembira dengan kesuksesan yang berhasil diraih oleh salah seorang anggota keluarga mereka. Tapi sepertinya hal itu tidak memberikan pengaruh apa pun kepada sang putra bungsu, Kim Taehyung.

 

Dibandingkan dengan kedua kakaknya yang sempurna, Taehyung benar-benar berbeda. Dan dia sama sekali tidak sehebat kedua kakaknya yang tidak pernah absen untuk menuai pujian dan berbagai kalimat sanjungan dari kedua orangtuanya. Taehyung tidak pintar seperti Seokjin, apalagi sehebat Namjoon dalam menguasai berbagai macam bahasa asing. Taehyung tidak mengikuti jejak kakak-kakaknya yang sukses menempuh jalur akselerasi, karena ia hanyalah seorang siswa SMU biasa yang menempuh pendidikan normal untuk remaja seusianya.

 

Terkadang, ingin rasanya Taehyung ikut melibatkan diri dan berbagi tawa dengan seluruh anggota keluarganya. Ia juga ingin mendengar ayahnya melantunkan kalimat pujian yang hanya ditujukan untuknya. Ia ingin merasakan hangatnya dekapan sang ibu ketika menceritakan keluh kesahnya. Dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia juga ingin bisa saling melempar gurauan dan tertawa bersama kedua kakaknya.

 

Apakah hal itu terdengar berlebihan untuk bisa menjadi sebuah kenyataan? Taehyung tahu, ia memang tidak sehebat kedua kakaknya yang brilian. Tapi tidak bisakah mereka membuka mata dan menatap ke arah Taehyung walau hanya sekali saja?

 

 

 

 

.....

 

 

 

 

Saat ini waktu telah menunjukkan pukul 00.45, waktu yang cukup larut untuk sekedar melanjutkan aktivitas di malam hari. Satu per satu kendaraan bermotor yang semula sibuk memadati jalan raya perlahan-lahan mulai berkurang, menyisakan beberapa angkutan umum yang masih akan tetap beroperasi hingga pagi menjelang. Bising klakson dan deru mesin yang memekakkan telinga mulai memudar, tergantikan dengan desau angin malam yang berembus perlahan. Dan ketika lampu di tiap-tiap rumah mulai dipadamkan, tidak akan ada lagi kerisauan dan keresahan yang mampu menjangkau alam mimpi.

 

Hal itu pun ikut berlaku untuk kediaman keluarga Kim yang megah nan mewah. Setelah lelah berbincang-bincang dan membahas banyak hal, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang setelah membiarkan Seokjin menyantap sajian penutup yang amat ia sukai. Dengan keadaan perut yang terisi penuh, mereka tampaknya terlalu lelah untuk saling bertukar salam dan lebih memilih untuk segera berlari menuju kamar masing-masing, segera setelah mobil yang mereka tumpangi terparkir sempurna di dalam garasi.

 

Dua jam sebelum tengah malam, ayah masih terlihat sibuk menyimak siaran berita malam alih-alih menemani ibu yang telah lebih dulu terlelap di dalam kamar. Setengah jam setelahnya, terdengar suara Namjoon yang berbicara dalam bahasa Inggris dengan salah satu teman dekatrnya melalui jaringan telepon. Berbanding terbalik dengan kesunyian di kamar Seokjin kini yang tampak serius membagi fokus antara keyboard dan layar komputer di hadapannya. Suara gemeretak dari jari-jemarinya yang bertubrukan dengan deretan angka dan huruf yang tertera di atas keyboard menjadi satu-satunya suara yang memenuhi ruangan itu. Ia bahkan tampak sama sekali tidak terpengaruh oleh suara isak tangis yang menggema di sebuah kamar yang berada tepat di samping kamarnya.

 

Lelehan air mata yang meluncur anggun dari sudut matanya seolah menjadi sebuah tarian pilu yang mengiringi isak tangis pemuda itu. Ia memeluk kedua lututnya dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di sana. Alih-alih memejamkan mata dan berbaring dengan nyaman di atas ranjangnya yang empuk, Taehyung lebih memilih untuk meringkuk di salah satu sudut gelap di dalam kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya. Rasa perih yang berdenyut-denyut di bagian belakang kepalanya sama sekali tidak sebanding dengan rasa perih yang menjalar di dalam relung hatinya. Semakin ia teringat dengan cibiran yang kembali terlontar dari mulut ayahnya, semakin besar pula rasa sakit yang harus kembali ia pendam seorang diri.

 

Pelan dan perlahan, Taehyung mengangkat kepalanya yang semula terbenam di antara kedua lututnya. Alih-alih menampakkan wajah sayu karena terlalu lama menangis, Taehyung justru meringis tertahan saat merasakan kepalanya yang kembali berdenyut perih. Helaan napas berat adalah hal pertama yang terlontar dari mulutnya saat mendapati jari-jemari tangannya yang kini terselimuti oleh cairan berwarna merah pekat yang menjadi penyebab rasa sakitnya. Dengan sedikit terhuyung, Taehyung beranjak bangun dan bergerak menghampiri sebuah cermin yang tergantung di dekat wastafel.

 

Sembari menatap refleksi wajahnya yang terpantul di atas cermin, Taehyung membasahi tangannya dengan air yang mengalir melalui keran dan membasuh sebuah luka baru yang kembali terukir di tubuhya. Selalu saja seperti ini. Di saat emosi dan segenap amarah mulai menguasai jiwanya, Taehyung akan selalu meluapkannya dengan berbagai macam cara hingga tak menyadari bahwa terkadang tindakan gegabah itu selalu berujung dengan menyakiti dirinya sendiri. Luka sayatan yang menghias kedua pahanya bahkan belum sepenuhnya mengering dan sekarang ia telah menambah sebuah kesakitan baru setelah membentur-benturkan kepala bagian belakangnya dengan hamparan dinding tebal yang tidak berdosa. Kabar baiknya, Taehyung masih belum memiliki rencana untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.

 

“Menyedihkan,” gumam Taehyung kepada dirinya sendiri.

 

Ia kembali menghela napas panjang sembari menumpu kedua tangannya di atas pinggiran wastafel. Kedua matanya yang bersorot tajam tak sedetik pun teralihkan pada refleksi wajahnya di atas cermin. Wajahnya yang dulu terlihat segar dan penuh semangat, sekarang telah memudar dan tergantikan dengan kedua pipinya yang tampak tirus dan memucat. Untaian tawa renyah yang semula tidak pernah luput menghiasi wajah tampannya kini telah menghilang, tergantikan dengan kesunyian dari belah bibirnya yang senantiasa terkatup rapat. Bahkan jika diperbolehkan untuk berkata jujur, Taehyung bahkan telah lupa bagaimana caranya untuk bisa mengembalikan senyum di bibirnya.

 

Berbagai macam sindiran dan tekanan yang ia dapat selama ini telah sukses meruntuhkan kepercayaan dirinya. Ia yang dulunya begitu aktif dalam berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler di klub sastra mendadak terhenti begitu saja saat mendengar penuturan seluruh anggota keluarganya yang tak pernah berhenti mengomentari hal itu sebagai kegiatan tidak berguna yang hanya membuang-buang waktu. Ia yang dulunya selalu terlihat riang dan penuh dengan semangat, kini telah berubah menjadi sosok pemuda introvert yang selalu menutup mulutnya rapat-rapat.

 

Apakah salah jika Taehyung tidak sepandai Seokjin dalam pelajaran matematika? Apakah salah jika Taehyung tidak sehebat Namjoon dalam menguasai berbagai macam bahasa asing yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya? Dan apakah pantas jika ayah kandung Taehyung sendiri menyebutnya sebagai anak bodoh yang tidak berguna hanya karena ia tidak sanggup menempuh jalur akselerasi seperti kedua kakaknya?

 

Tidak. Tentu saja tidak.

 

Taehyung mungkin memang tidak pernah bisa mendapatkan nilai sempurna dalam mata pelajaran matematika, tapi apakah mereka tahu jika Taehyung lebih piawai dalam merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita yang menawan? Taehyung memang sangat payah jika ia dipaksa untuk mempelajari bahasa asing, tapi tahukah mereka jika Taehyung sangat mahir dalam memainkan saxophone? Atau pernahkah sekali saja mereka mendengar suaranya yang merdu ketika mendendangkan sebuah lagu?

 

Tsk, konyol sekali. Tentu saja selamanya mereka tidak akan pernah mau tahu dengan kehebatan dan bakat lain yang selama ini terpendam di dalam diri Taehyung selama ia belum sanggup melampaui kehebatan Seokjin dan Namjoon yang selalu terlihat sempurna di mata kedua orangtuanya. Dan meski terkadang Taehyung benci untuk mengakuinya, tapi ia tidak pernah berhenti mengharapkan sebuah keajaiban yang bisa membuatnya duduk berdua bersama sang ayah sembari berbincang dan membahas berbagai macam kegiatan menyenangkan yang ia ikuti di sekolah. Ia ingin bisa berkumpul bersama kedua kakaknya, saling berbagi tawa dan menonton film kesukaannya saat akhir pekan. Dan andai saja ia diberikan kesempatan sekali saja, ia juga ingin bsia seperti Namjoon yang selalu dimanjakan oleh ibunya.

 

Taehyung tahu betul jika impian itu lebih terdengar seperti angan-angan belaka, tapi sedikit berharap tidak ada salahnya, kan?

 

 

 

 

.....

 

 

 

 

Suara debam yang diiringi dengan segenap teriakan sumpah serapah membuat Hoseok tersentak dari tidur lelapnya. Mengerjap perlahan, ia kemudian mendengar suara lengkingan pilu dari seorang wanita yang menyuarakan rasa sakitnya. Selang beberapa detik kemudian, suara hantaman dari sebuah benda keras yang berbenturan dengan kulit membuatnya  kembali memejamkan mata dan menutup kedua telinganya rapat-rapat saat jeritan wanita itu kembali menggema di seluruh penjuru rumah.

 

“Dasar wanita tidak berguna! Untuk apa aku menikahimu jika kau tidak bisa memberiku uang untuk bersenang-senang, hah?! seru sang pria paruh baya dengan sebagian rambut ikalnya yang mulai memutih. Ia menarik rambut wanita di hadapannya yang telah tenggelam dalam kubangan air mata tanpa sekali pun menghiraukan isak tangis yang mengiba sebuah pengampunan darinya.

 

“Tapi aku sudah memberikanmu uang dalam jumlah yang banyak kemarin lusa.” sahut wanita itu di sela tangisnya.

 

“Dan sekarang uang itu telah lenyap! Gara-gara kau, aku kalah di meja judi!” seru pria itu dengan kembali melayangkan sebuah tamparan keras di wajah istrinya. “Seharusnya kau memberikanku uang yang lebih banyak supaya aku bisa memenangkan taruhan dengan nilai tertinggi! Brengsek! Apa aku harus menjadikanmu pelacur supaya kau bisa memberikanku uang yang berlimpah, hah?!”

 

“Ibuku bukan pelacur.” gumam Hoseok yang kini telah berdiri tepat di belakang sang wanita paruh baya yang berlutut tak berdaya di dalam cengkeraman suaminya.

 

“Kau anak kecil tahu apa?!” bentak pria itu yang merasa terganggu dengan kehadiran Hoseok.

 

“Aku mungkin tidak tahu apa-apa, tapi aku tahu betul jika kau sangat menginginkan hal ini.” Hoseok mengeluarkan sejumlah uang kertas yang ada di dalam saku celananya dan mengacungkannya ke udara.

 

Bagaikan keledai bodoh, pria itu segera melepaskan cengkeramannya dan merebut uang itu dari tangan Hoseok dengan matanya yang berkilat penuh nafsu. Seringai menjijikan terlukis di atas wajahnya seiring dengan diketahuinya jumlah nominal uang yang kini tersembunyi di balik genggaman tangannya.

 

“Dia seharusnya tidak akan menderita seperti itu jika kau memberikanku uang ini sejak awal, nak.”

 

Dan tanpa sekali pun mengucapkan terima kasih atau menunjukkan rasa bersalah karena telah memperlakukan istrinya dengan kasar, pria itu segera membalikkan tubuhnya dan bergerak meninggalkan sang putra yang hanya mampu menatap kepergiannya dengan bibir yang terkatup rapat. Hoseok kemudian menghela napas panjang sebelum membuka langkahnya untuk mendekati sang ibu yang bergetar menahan tangis. Dengan gerakan pelan yang menenangkan, Hoseok menenggelamkan tubuh sang ibu ke dalam sebuah pelukan hangat.

 

“Dia sudah pergi, ibu. Kumohon, berhentilah menangis.” bisik Hoseok tanpa sekali pun melepas pelukannya.

 

“Maafkan ibu, Hoseok. Maafkan ibu.” gumamnya seraya membalas pelukan Hoseok dengan sangat erat, enggan untuk melepasnya.

 

“Ssshh... Ibu... Untuk apa meminta maaf padaku? Seharusnya bajingan itu yang meminta maaf kepadamu.” bantah Hoseok yang sama sekali tidak mampu menyembunyikan amarah dalam nada bicaranya.

 

“Hoseok, jaga ucapanmu! Bagaimanapun juga, dia tetap ayahmu!” seru sang ibu memperingatkan. Terkejut dengan apa yang telah terlontar dari mulutnya secara refleks, ia kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajah Hoseok sembari berkata, “Kau tidak seharusnya memanggil ayahmu dengan sebutan kasar seperti itu, nak.”

 

“Tapi dia memang brengsek, bu! Ayah macam apa yang tega menganiaya istri di depan anaknya sendiri? Dia bahkan selalu merampas uang hasil jerih payah ibu untuk mabuk-mabukan dan bermain judi daripada mencari pekerjaan baru untuk membayar uang sekolahku.” balas Hoseok yang masih enggan untuk mengalah begitu saja. “Berhentilah membelanya, bu. Dia sama sekali tidak pantas untuk mendapatkannya.”

 

Alih-alih membantah ataupun menyahuti ucapan Hoseok, wanita bermarga Jung itu hanya mampu menundukkan kepalanya sambil terus menggumamkan kata “Maaf,” berkali-kali. Setitik air bening kembali luruh melalui sudut matanya, membuat Hoseok kembali menghela napas panjang. Tak ingin membuat hati sang ibu kembali terluka dengan kata-katanya, Hoseok kemudian beranjak bangun dan membimbing wanita itu untuk kembali ke kamarnya. Ia menyempatkan diri untuk mengompres luka memar yang menghiasi wajah ibunya dengan air hangat sebelum meninggalkan ruangan itu saat mendapati sang ibu yang telah terlelap dan mulai berkelana menuju alam mimpi.

 

Segala macam keributan yang sempat merobek keheningan malam telah menghilang, tergantikan dengan lembutnya suara desau angin yang berembus pelan. Kini hanya ada Hoseok, berdiri di hadapan sebuah cermin di dekat wastafel di dalam kamar mandi yang memperlihatkan refleksi wajahnya sendiri. Hoseok membiarkan air mengalir dari keran yang terbuka dan membasuh wajahnya beberapa kali. Ia kemudian kembali mengangkat wajahnya, menatap lurus ke dalam matanya sendiri yang terpantul di atas cermin.

.

.

.

.

Mirror on the wall, here we are again
Through my rise and fall
You've been my only friend
You told me that they can understand the man I am
So why are we here talkin' to each other again?


.

.

.

.

Wajahnya yang semula terlihat tenang dan nyaris datar, mendadak sirna dan tergantikan dengan percikan emosi yang perlahan menguasai jiwanya ketika wajah sang ayah kembali terlintas dalam benaknya. Dengan sebelah tangannya yang mengepal sempurna, ia mencengkeram pinggiran wastafel dan menggeram seekor binatang buas yang murka. Ia membentur-benturkan kepalan tangannya ke atas permukaan wastafel yang keras dengan deru napasnya yang memburu. Alisnya mengernyit menahan rasa perih yang perlahan menyelimuti tanggannya, namun Hoseok tak kunjung menghentikan aksinya.

 

Buku-buku jari tangannya kini lecet lebam, menghantarkan rasa perih yang berdenyut angkuh. Seolah mengejek kebodohan Hoseok untuk mengendalikan emosi dan amarah yang terpendam di dalam dirinya. Alih-alih meringis kesakitan, Hoseok kembali menengadahkan kepalanya menghadap pantulan wajahnya di atas cermin dengan pandangan kosong. Ia kemudian mengangkat sebelah tangannya yang tidak terluka dan mengusap wajahnya dengan gerakan yang teramat pelan.

.

.

.

.

Looking at me now, I can see my past

.

.

.

.

Hoseok membawa jemarinya bergerak menelusuri rahang, mengusap perlahan sebuah luka memar yang nyaris memudar. Sekilas bayangan yang terjadi tiga hari silam saling berkelebatan di dalam otak kecilnya, membuat Hoseok tanpa sadar kembali memejamkan mata dan mengernyitkan dahinya. Meski kejadian itu telah berlalu, tapi Hoseok seolah masih bisa merasakan kuatnya cengkeraman sang ayah pada kerah pakaiannya kala itu, dan ia pun masih sanggup mengingat dengan jelas wajah murka ayahnya ketika Hoseok kembali melakukan sebuah pemberontakan.

 

Kabar baiknya, Hoseok nyaris tidak dapat mengingat sedikit pun rentetan kejadian mengenaskan yang harus ia alami ketika mendapatkan segenap pukulan bertubi-tubi dari tangan ayahnya sendiri. Kabar buruknya, Hoseok masih belum sanggup melupakan amarah dan juga rasa sakit yang menyerang jiwanya ketika lagi-lagi ia harus melihat pertengkaran kedua orangtuanya, hingga tak jarang ia pun akan ikut menjadi sasaran amukan sang ayah karena terlalu ikut campur.

 

Ia kemudian menghela napas berat, seiring dengan pergerakan sepasang kelopak matanya yang kembali membuka perlahan. Hoseok menatap dalam-dalam bayangan wajahnya dengan sorot matanya yang mulai meredup. Kenapa ia harus memiliki konflik yang rumit dengan ayahnya sendiri? Haruskah ia selalu menggunakan jalur kekerasan untuk bisa sekedar berinteraksi dengan ayahnya? Tidak bisakah jika mereka duduk berdampingan di ruang keluarga sembari menyaksikan acara komedi kesukaannya? Bohong rasanya jika Hoseok mengatakan bahwa ia tidak merasa kesal dengan segala perlakuan kasar yang telah pria itu berikan padanya. Namun akan terdengar jauh lebih mustahil jika Hoseok mengatakan bahwa ia tidak merindukan kehangatan dan kebersamaan yang dulu selalu melingkupi keluarga mereka.

 

Andaikan manusia super itu nyata, ingin rasanya Hoseok meminta bantuan kepada sang pengendali waktu untuk mengirimnya kembali ke masa lalu. Ia ingin melihat ibunya bisa kembali tersenyum seperti sedia kala, ia ingin kembali melihat kelembutan dan keramahan yang selalu diberikan oleh ayahnya, dan ia juga ingin bisa kembali seorang remaja biasa yang hidup di tengah hangatnya kebersamaan sebuah keluarga. Hoseok tahu betul jika impiannya itu tidaklah lebih dari sekedar imajinasi belaka. Tapi sedikit berharap tidak ada salahnya, kan?

 

 

 

++_T.B.C_++

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vhope00 #1
Chapter 1: MANA LANJUTANNYAAA ;---------;
bambibun #2
Chapter 1: uhh miris banget kehidupan hobi dan tae :"( penasaran sama gimana pertemuan mereka~ hehe. nice story~ update soon ^^ hwaiting!
kimtaehyeng #3
Chapter 1: waaaaa penasaran bangett kann;""
cepet lanjut yaaa
yonyoongi #4
Lanjutin ;;;
kpoplover38 #5
update soon chingu~~