Jangan Lupa Aku Mencintaimu

Description

Changmin gemetaran.

Foreword

Udara dingin pagi menyelinap masuk dari celah jendela. Meniup, menembus sampai kelopak matanya yang masih menutup. Pelan-pelan kesadarannya terkumpul. Indra lain mulai menangkap suasana sekitar. Aroma tanah basah yang terbawa angin bercampur bau sabun mandi. Suara air memukul lantai berbaur dengan hujan. Hangat menyelubung perlahan begitu kulit mulai merasakan tekstur lembut selimut membungkusnya. Changmin mendesah nyaman sebelum bergerak lambat menyamping. Dia mulai membuka mata, berkedip malas sekali lalu membuka mata lebih lebar menyadari spasi kosong disampingnya. Matanya bergulir kearah kamar mandi. Lampu menyala. Terdengar bunyi nyaring air membentur lantai yang mulai teredam oleh suara hujan di luar. Suara petir menyusul setelahnya. Pagi yang muram. Bukan berarti dia tidak suka hujan. Hanya saja hujan selalu membuatnya lebih melankolis dari hari biasa. Membuatnya terkadang memikirkan hal yang tidak ingin ia pikirkan. Mungkin bisa dibilang dia memang benci hujan. Tapi dia suka sensasi hangat suasana rumah saat turun hujan. Sebut saja dia benci secara parsial.

 

Changmin mengulet singkat kemudian mulai mengambil posisi duduk. Dia menoleh kearah jam. Pukul 6 pagi. Yunho pasti harus mengejar jadwal untuk syuting drama. Drama laga yang Yunho geluti akibat celetukan konyolnya. Katanya, ‘cobain drama laga hyung, keren parah!’, sambil bercanda ketika Yunho tengah menimbang-nimbang tawaran peran. Esok harinya tiba-tiba dia laporan sudah teken kontrak dengan wajah sumringah. Tadinya dia senang-senang saja. Tapi Changmin tidak menyangka Yunho akan jadi serepot ini. Padahal Yunho bisa saja tidak menggubris celetukannya. Dia merasa sangat bersalah ketika melihat Yunho pulang malam bahkan pagi dengan wajah kuyu. Kemarin malah membawa pulang luka di kaki kiri. Sedangkan dia malah dihadiahi waktu luang yang bebas ia isi dengan apapun asalkan memenuhi standar ‘keamanan’ versi Yunho—yang artinya harus memboyong sekompi kawalan lengkap dengan tangan kanan Yunho yang paling awas. Changmin semakin merasa tidak enak. Dia hanya bisa membalasnya dengan bekal makan siang dan kunjungan rutin ke lokasi syuting. Tapi dia akui dia sangat menikmati tiap adegan Yunho dalam karakter (dan tentu saja waktu liburannya). Lelaki itu terlihat sangat keren. Apalagi kalau sudah masuk adegan tarung. Changmin senyum-senyum sendiri membayangkan lelaki itu berputar diudara lalu menebas musuh dengan ekspresi super macho. Ketika itu Yunho keluar dari kamar mandi.

 

“Min-a?” sapa Yunho sambil mengeringkan rambut. Changmin nyengir salah tingkah. Dia merasa jelek sekali ketika melakukan itu.
“Aku ngebangunin? Masih pagi kok.” kata Yunho berjalan menghampiri.

“Nggak. Dingin jadi aku bangun.”

“Dingin?”

Changmin tersenyum manis ketika Yunho duduk disamping kakinya lalu menyampirkan selimut sampai bahu.

“Mau apa? Telat nggak kalau aku bikin pancake? Atau sup ayam mungkin?”

“Mungkin aku makan katering hari ini. Sorry.

Ekspresi Changmin mengendur.

“Kemarin rasanya aneh ya?” Yunho tertawa sekali.

“Nggak. Kemarin enak banget. Tapi kayaknya hari ini aku udah telat. Makan di sana aja ya. Nggak pa-pa kan?”

“Memang jadwalnya jam berapa?”
“Jam setengah 7.”  Yunho nyengir lebar sambil bergegas bangkit sebelum kena sambit.

Changmin menghela napas frustasi. Dengan cekatan ia memindai isi lemari lalu melempar sepasang pakaian untuk Yunho keatas kasur sambil ngedumel. Yunho masih cengengesan di belakangnya sambil mengeringkan rambut.

“Deket kok.” celetuk Yunho mulai mengancing celana.

“Kali lain aku harus minta salinan jadwalmu dari Kyungjae hyung.” ujar Changmin lalu bergegas ke arah dapur.

“Jeruk atau susu?” serunya.

“Susu.”

 

“Sini dulu, hyung.” Changmin setengah berbisik sambil menggulung celana Yunho ketika lelaki itu tengah memakai sepatu. Dia mengernyit.

“Kamu mandi nggak ganti perban?”

“Lupa.”

Changmin langsung mengeluarkan kasa baru, kapas alkohol, antiseptik, dan plester nyaris seperti sulap. Yunho bahkan tidak sadar bagaimana benda-benda itu bisa muncul ditangan Changmin. Dia bergeming memerhatikan Changmin mengaplikasikan ini  itu pada lukanya seperti rutinitas. Yunho selalu terkesima akan kepiawaian Changmin. Material istri sekali lelaki ini, pikirnya. Yunho merasakan hatinya bergejolak membayangkan kata ‘istri’.

“Dah.” Changmin merapikan keliman celana Yunho. Kepalanya menoleh kearah jam dinding seperti gerakan refleks. Yunho buru-buru bergerak sebelum Changmin bereaksi melihat penunjuk waktu.

“Dadah, Changminnie~” Yunho mengecup dahi Changmin sekenanya kemudian buru-buru menghilang dibalik pintu depan. Changmin mengendikan bahu.

 

Dia melamun sambil menatap pintu menemani hening. Kepalanya berkali-kali mengingatkan akan aktivitas harian yang harusnya ia lakukan saat ini hanya untuk terurai kembali kemudian. Seperti berlari memutari lapangan olahraga lalu kembali ke titik semula. Trek yang tidak selalu sama setiap kali Changmin melewatinya. Sekali dia melintas pada kenangan lama yang menghangatkan hati. Berikutnya hal yang sama membuatnya terenyuh. Serbuan kenangan menyergapnya seketika. Semua tentang Yunho. Seolah-olah hidupnya hanya terporos pada lelaki itu. Setiap melihat lelaki itu menghilang dibalik pintu di depannya dia merasa asing. Seolah dia bukan bagian dari dunia lagi. Dia ingin selalu ada kemana pun lelaki itu pergi selama ia bisa. Mungkin dia hanya menyelamatkan diri saja. Tapi sungguh dia hanya ingin bisa bersama dengannya. Itu dia. Entah dengan Yunho. Dia lelaki yang memiliki segala—sampai kadang Changmin merasa ini tidak adil—sedangkan tidak banyak yang bisa Changmin tawarkan untuknya. Sekali Changmin terka, mungkin Yunho menyukai cara berpikirnya. Dia perbanyak membaca buku untuk memperluas gagasan. Selanjutnya dia pikir mungkin Yunho menyukai fisiknya—entah wajah atau tubuhnya. Dia lalu rajin berolahraga, membentuk gurat otot, mengatur diet, merawat kulit, mempelajari mode pakaian terkini agar dia bisa terlihat sempurna bersanding disebelahnya. Kemudian dia pikir mungkin Yunho menyukai kepiawaiannya dalam mengurus lelaki itu atau pekerjaan rumah. Membuat Yunho merasa benar-benar menyandang status suami, misalnya. Dia mulai mendalami rutinitas kerumahtanggaan: memasak, membersihkan rumah, sampai membuka tungkai untuknya kapanpun lelaki itu butuhkan. Changmin tidak pernah ambil pusing soal tukar peran. Dia menikmati setiap permainan dengan Yunho.

 

Tapi Yunho adalah lelaki pemilik segala. Hal-hal seperti itu bisa dia dapatkan tanpa harus spesifik berasal darinya. Tidak banyak yang bisa ia tawarkan. Yang bisa dia lakukan hanya berusaha memenuhi kebutuhannya saja. Hari dimana Yunho tuntas melihat seluruh milik Changmin menjadi hari yang paling menakutkan baginya. Titik jenuh yang selalu menghantui dengan bayangan punggung Yunho menjauh dan menghilang. Rasa tidak berdaya menyeruak begitu saja pelan-pelan menggerogotinya. Dia benci perasaan seperti ini.

Changmin mengerjap beberapa kali. Dia tidak bisa terus berlari memutar. Pilihannya hanya maju.

Dari awal memang tidak seharusnya dia mendengarkan pemikiran ngaco seperti ini. Suara air dan udara dingin membuatnya terbawa suasana melankolis. Memberikan celah bagi ketakutan terbesarnya untuk mengambil bentuk. Makanya dia benci hujan.

 

Changmin berjalan lambat-lambat menuju dapur. Menatap nanar pada tumpukan piring kotor dan alat masak yang belum sempat ia cuci kemarin. Paling malas kalau sudah harus mencuci penggorengan. Dia menimbang sejenak apakah lebih baik untuk memasak terlebih dulu saja. Akhirnya dia tidak memilih keduanya. Changmin memutuskan untuk menata ruang terlebih dulu. Memindai apapun yang terasa tidak pada tempatnya lalu mengembalikan seperti semula. Kebanyakan sisa-sisa aktivitas Yunho malam lalu. Membuang bungkus makanan yang ditinggal Yunho begitu saja diatas meja, memungut entah remah apa di lantai, menutup botol minuman setengah isi lalu menyimpannya dalam kulkas, melipat pakaian yang masih cukup bersih dan menggantung jaket dalam lemari, merapikan dokumen-dokumen Yunho yang berserakan sesuai urutan halaman. Diluar dugaan tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Yunho mulai bisa menangani kebiasaan lamanya, menyisakan kekacauan setiap kali dia beraktivitas. Entah Changmin harus lega atau was-was. Lega migrainnya semakin mendekati status sejarah. Was-was semakin berkurang gunanya dalam peran. Sekarang dia harus kembali berhadapan dengan tumpukan piring dan alat masak kotor atau memasak. Dia ingin memasak, tapi sisa makanan kemarin malam masih ada dalam kulkas. Sayang kalau tidak cepat dihabiskan. Dia bisa makan itu untuk sarapan. Yunho tidak akan pulang sebelum malam. Changmin menggeram malas. Sepertinya dia memang harus cuci piring terlebih dulu.

 

Dia melepas cincin sebelum bergelut dengan sabun dan air. Minggu lalu dia hampir saja kehilangan cincin ini gara-gara licin sabun membuatnya tergelincir dari jari kemudian nyaris menggelinding masuk dalam saluran air. Changmin menjerit keras sekali saking paniknya diikuti gaduh suara pecah belah bertumbukan sampai membangunkan Yunho. Lelaki itu begitu terkejut, tergopoh-gopoh keluar kamar dengan wajah tegang. Saking terkejutnya dia hanya bisa mengomeli Changmin dengan nada tinggi soal adegan konyol yang membuatnya jantungan pagi-pagi begitu mengetahui kronologis sebenarnya.

 

“Apa sih kamu begitu aja!! Bikin orang jantungan pagi-pagi!!”

“Aku juga kaget!! Kalau cincinnya sampai masuk gimana?!”

“Cincin begitu aja kok!! Kan bisa aku belikan yang baru, kamu mau berapa pasang juga!!!”

“Cincin begitu aja?!! Sudah ganti keberapa itu yang ada dijarimu?!!”

 

Saat itu Changmin hampir mati rasanya melihat Yunho menarik paksa cincin dijari kemudian setengah melempar perhiasan platina itu keatas meja dengan bunyi nyaring. Dia lantas berbalik memunggunginya lalu menghilang ditelan pintu kamar. Changmin berusaha sekuat tenaga menghimpun kontrol diri dari panik sepanjang hari. Pada akhirnya Yunho yang terlebih dulu mengamit lalu mencium tangan sambil bergelung merapat disamping Changmin segera setelah sampai rumah sebelum hari itu berakhir. Changmin merasa konyol sekali hari itu. Yunho juga mencium pipinya lalu merengkuh hangat seolah tidak terjadi apa-apa. Kadang Changmin begitu menyayangkan keputusannya. Menyayangkan pertemuan mereka. Menyayangkan ranah yang telah dipijak mereka berdua. Semakin dia terikat akan semakin menyakitkan untuk berhadapan dengan kenyataan mutlak. Bahwa tidak ada ruang untuk keabadian di dunia ini. Kebahagiaannya selalu diikuti bayangan kesadaran bahwa suatu saat semua ini akan berakhir. Tapi dia telah luluh ketika Yunho menyemat cincin untuknya. Mencurahkan permintaan akan dirinya. Dan tidak ada yang tidak bisa ia berikan untuk lelaki itu. Dia mempercayai Yunho dengan segala yang ia miliki walau tidak seberapa.

 

Hujan masih mengguyur bumi. Dia seolah berdiri ditengah tumpahan langit saat air mulai membasahi tangan. Changmin termangu sesaat. Membiarkan air terus mengalirkan dingin ke telapak tangan. Ditengah perkabungan ia melamun kearah gelas setengah isi disudut bak cuci. Setengah isi, dengan kata lain juga setengah kosong. Pelan-pelan senyum kecil merekah diwajahnya. Dia teringat bahasan seorang psikiater perancis tentang gelas setengah kosong setengah isi. Amsal salah satu determinan kebahagiaan: sudut pandang akan segala sesuatu. Mereka dengan gelas setengah isi jelas akan lebih bahagia dari mereka dengan gelas yang selalu setengah kosong. Lucu sekali. Sebuah gelas bisa menceramahi macam-macam terhadap angan pribadi. Tiba-tiba Changmin merasa privasinya teretas. Entah oleh seseorang atau sesuatu. Mungkin juga oleh dirinya sendiri. Kesadarannya yang lain, si sudut pandang setengah isi. Changmin menyemat senyum lebih lebar. Ya, dia adalah lelaki yang berbahagia. Isi gelasnya dituang oleh seseorang yang paling ia damba. Setengah sisanya biarlah kosong. Kabar menyenangkan bahwa artinya dia masih punya spasi untuk dituang. Kalau dipikir-pikir Changmin tidak bisa membayangkan kebahagiaan seperti apa yang bisa dia rasakan lebih dari ini. Dia tidak memiliki masalah sama sekali perihal keuangan maupun kesehatan. Dia dikelilingi orang-orang yang dia cintai. Kalau dia harus membuat perbandingan, dia yang sekarang merasa lebih berbahagia dari dia dimasa lalu, dia sangat yakin.

 

Changmin mulai menyabuni cucian sambil memikirkan aktivitas selanjutnya. Dia baru ingat dia harus menghubungi Jaewon untuk konfirmasi detil syuting video klip terbaru Beat Burger. Dia harap Yunho tidak marah. Begitu Jaewon menawarkan Changmin sebagai model tempo hari dia langsung menyanggupi. Dia senang bisa berpartisipasi dalam membantu Jaewon mempromosikan grup. Lelaki  itu sudah terlalu banyak membantunya akan berbagai hal. Senang rasanya memiliki kesempatan untuk membalas. Sekali lagi dia harap Yunho tidak keberatan. Entah kenapa lelaki itu selalu tegas terhadap peraturan: apapun aktivitas yang bersangkutan dengan Changmin harus melewatinya terlebih dulu. Changmin sering menggodanya dengan keluhan bahwa dia berhak menentukan apapun terhadap hidupnya sendiri. Tapi Yunho bersikeras. Dia benar-benar memberi tekanan mengenai hal ini. Changmin tidak terlalu mengerti kenapa, tapi membuat Yunho naik pitam juga sama sekali bukan kehendaknya. Biarlah, dia rasa Yunho hanya tidak suka perasaan kehilangan kontrol akan sesuatu—atau dirinya. Mudah-mudahan nama Jaewon bisa memberinya pengecualian.

 

Tinggal satu mangkuk dan si gelas setengah isi setengah kosong yang belum ia tangani ketika perhatiannya teralih pada pemandangan luar jendela. Seorang perempuan berpayung transparan memunggunginya ditengah hujan. Figur yang cantik sekali. Rambut hitam panjangnya digelung rendah meninggalkan helaian tipis rambut disekitar lehernya yang terbuka dilatari butiran lembut air hujan jatuh dari langit pucat. Perempuan itu mengenakan gaun putih dibawah lutut dengan cardigan biru langit. Perempuan itu bergeming dengan wajah sedikit menengadah. Dia terlihat seperti serpihan langit pagi yang terasing ditengah putih keabuan yang sendu.

Tak lama tubuhnya bergerak. Seperti tengah menimang-nimang. Changmin memanjangkan leher sambil terus menyabuni mangkuk pelan-pelan kemudian membilasnya dengan air. Perempuan itu mulai memutar badan kearah dimana Changmin bisa melihatnya. Benar saja, dia tengah menimang seorang bayi. Jarak mereka bisa dibilang cukup jauh tapi entah mengapa dia bisa melihat wajah mereka dengan sangat jelas. Seakan dia ikut berdiri ditengah hujan tepat didepan mereka dengan hanya berbatas kaca. Changmin tercenung menatap perempuan itu menimang-nimang bayinya penuh kasih. Mengingatkannya akan potret yang bertengger di ruang keluarga kampung halaman. Potret seorang bayi dan perempuan dewasa muda menggendongnya dengan senyum bahagia. Ayahnya dulu memberitahu kalau beliaulah yang mengambil foto itu. Zaman-zaman kedamaian, Changmin belum tahu bandel katanya.

Changmin merasa tubuhnya terpilin dari dalam. Air mata ibunya yang beliau pikir tak terlihat olehnya. Helaan napas pasrah ayahnya yang berusaha memahami demi dirinya. Semua berputar seperti kilas balik. Suara seorang gadis tiba-tiba berderang ditelinga. Berteriak, ‘kenapa kamu?!’ dengan delikan benci terhujam padanya. Wajah gelisah Yunho kemudian muncul dibenaknya. Ia menggiring punggung adiknya ke tempat yang lebih privat setelah memberi sekilas pandang kearahnya. Changmin tidak pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Yunho tidak pernah ingin membicarakan hal itu. Changmin juga tidak pernah mendesaknya. Egonya tidak ingin mengingatkan Yunho akan keraguan yang mungkin bersarang dihati. Keraguan yang mungkin perlahan akan menggeser pandangnya tentang mereka. Mempertanyakan definisi kebahagiaan dan cinta terhadapnya. Changmin menggigit bibir.

 

Perhatiannya segera teralih pada seorang lelaki berjas biru tua yang berlari menerjang hujan kearah perempuan itu dan bayinya. Perempuan itu menoleh lalu segera berbagi naungan payung dengan lelaki itu. Changmin langsung berasumsi bahwa dia adalah sang ayah. Mereka tersenyum satu sama lain lalu berciuman singkat. Si ayah kemudian bermain dengan bayinya. Menjawil pipinya gemas, mengusap kepalanya hati-hati, lalu kembali menjawil pipi. Bayi itu bergerak-gerak risih lalu menangis, bergelung kearah ibunya. Mereka tertawa. Perempuan itu membuai bayinya sampai tangisnya mereda. Changmin menyemat senyum kecil melihat adegan keluarga sederhana itu. Kebahagiaan terlihat begitu sederhana. Dia ingin sekali bisa menggenggam tangan Yunho saat ini. Mungkin dia akan ikut tersenyum bersamanya. Memikirkan kebahagiaan yang sama dengannya hanya dengan merasakan kehadiran satu sama lain.

 

“Aku ingin anak laki satu atau dua. Pokoknya yang terakhir perempuan.”

 

Senyumnya mengendur. Changmin mengerjap beberapa kali sambil memproses suara yang menyeruak dalam kepala. Gema suara Yunho terasa meresap dalam tiap pori-pori tubuhnya. Seketika itu pula tangis bayi itu berhenti. Dia menoleh, menatap Changmin. Mata jernih itu seolah melihat jauh menembus kedalam jiwanya. Mempertanyakan, menghakimi, lalu nyaris seperti iba. Changmin gemetaran. Dia tidak mengerti. Dia sudah memberikan apa saja yang dia punya sebaik yang ia bisa. Dia mencintai Yunho sebesar itu. Bukankah yang mereka butuhkan hanyalah satu sama lain?

Bukankah begitu?


Mata jernih itu masih menatapnya. Menghakiminya.

 

Apakah begitu?
 

Changmin terkesiap lalu segera mencari tumpuan saat kakinya mendadak kehilangan daya. Jarinya menyinggung sesuatu sebelum denting logam menyita kesadaran. Matanya bergulir cepat pada sumber suara. Cincinnya menggelinding masuk dalam saluran air sepersekian detik sebelum Changmin sempat meraihnya. Mulutnya membuka tanpa suara. Dia terlalu terkejut untuk memekik. Sekujur tubuhnya menegang lalu mendingin seketika. Bagaimana ini?
Bagaimana ini?!
Mengapa dia bisa begitu ceroboh?!
Tangannya segera mencari, merogoh sedalam mungkin kedalam lubang hitam yang menelan ikatannya dengan Yunho. Dadanya tercekat. Dia menarik napas susah payah.

Tolol! Bodoh! Dungu!

Baru minggu lalu dia melakukan kecerobohan. Sekarang dia malah melakukan kesalahan yang sama. Benar-benar dungu. Tangannya masih mencari putus asa.
Bagaimana bisa dia membiarkan Yunho mengetahui hal ini?
Yunho tidak membutuhkan kecacatan. Dia tidak punya waktu pada ketidaksempurnaan. Dia tidak punya ruang untuk kesalahan. Dia tidak butuh tambahan beban. Dia mungkin kemudian mempertanyakannya. Mungkin akan membencinya.

Napasnya mulai memburu. Panik menyelubunginya. Kepalanya sakit bukan main. Tangannya meraih semakin dalam.

Pandangannya mulai mengabur ketika dia merasakan sesuatu menariknya menjauh. Changmin berusaha melawan gravitasi asing yang semakin kuat menariknya paksa. Dia terus meronta  sampai pandangannya memutih lalu berubah gelap.

_____________________________________________________________________________________________________________________________________________

 

Petir menyambar menggetarkan kaca. Yunho mengernyit lalu kesadaran menyergapnya perlahan. Dia menarik napas dalam. Matanya menyipit kearah jendela. Hujan cukup deras diluar. Sekarang masih pukul tiga pagi. Yunho lalu menghela napas keras-keras. Demi Tuhan, dia baru saja terlelap dua jam  yang lalu. Cari perhatian sekali petir itu..

 

Dia meregangkan otot lalu bergerak menyamping, meraih Changmin yang terlelap disampingnya. Yunho mendesah nyaman membayangkan sensasi hangat merengkuh punggung lembut Changmin. Diluar ekspektasi, tangannya malah menyentuh guling yang mulai mendingin, menyesuaikan diri dengan temperatur. Kini Yunho terjaga sepenuhnya. Lelaki itu tidak berada di tempat.

Dia lantas memindai sekitar. Changmin tidak tertangkap lapang pandangnya. Matanya membuka lebih lebar. Dia lekas bangkit dari kasur lalu segera memastikan jendela terdekat sudah terkunci dengan baik. Begitu dia hendak memeriksa kamar mandi, langkahnya terhenti oleh suara samar air mengalir. Bukan suara hujan. Seperti suara dari cerat pancuran. Yunho bergegas menuju dapur, mendapati Changmin tengah mematung didepan bak cuci dengan keran terbuka mengairi tangan. Dia menghela napas panjang. Changmin berjalan dalam tidur lagi.

 

Yunho setengah berjingkat menghampiri. Dokter bilang cara terbaik untuk Changmin adalah dengan membawanya kembali tidur perlahan tanpa membangunkan. Berusaha membangunkan hanya akan membuatnya terguncang. Kalau sudah begitu dia bisa saja melakukan hal-hal tak terduga, beliau bilang. Yunho sangat menaruh perhatian akan hal ini. Changmin yang mulai menjangkau kesadaran lain semakin dalam begitu mengkhawatirkannya. Tempo hari dia nyaris berjalan kearah balkon dan menerobos teralis. Yunho panik bukan main. Dia langsung berkali-kali mengingatkan diri, dan pendamping Changmin kalau dia tidak berada ditempat, untuk selalu memastikan semua jendela terkunci rapat. Satu hari dia pernah berjalan menuju kamar mandi lalu tergelincir genangan air. Kepalanya terantuk dudukan westafel sebelum ambruk menghantam lantai. Changmin mengeluh sakit kepala sepanjang hari keesokan harinya. Dia merasa bertanggung jawab akan sebagian dari penyebab Changmin menjadi seperti ini. Lelaki itu tidak pernah memiliki kebiasaan ini sebelumnya—sebelum dia bertemu dengan Yunho. Biangnya sederhana: terlalu kelelahan, kurang istirahat. Hal ini sebagian adalah akibat dari sifat keras dan perfeksionisnya dalam nyaris segala hal. Terutama pekerjaan yang digelutinya; otomatis juga digeluti oleh Changmin. Maka itu dia ingin melindunginya dari apapun yang bisa menyakiti. Menyeleksi kegiatan personal Changmin yang dirasa tidak perlu, memberinya waktu luang sebisa mungkin. Yunho bahkan menemukan kesempatan untuk memberinya sedikit liburan. Dia harap itu bisa membantunya. Tapi sepertinya memang butuh waktu untuk merubah kebiasaan.

 

Begitu Yunho baru mencapai meja makan, dia melihat Changmin sedikit limbung. Dia refleks mempercepat langkah untuk meraihnya. Lelaki itu menegang merasakan sentuhan Yunho di pinggangnya. Yunho mengerjap bingung. Alisnya bertaut gelisah melihat lelaki itu menatap kosong pada lubang saluran air didepannya. Dia berusaha mencari dalam biji matanya tanpa berhasil menemukan apapun. Hampa yang kerap membalas matanya setiap kali Changmin berkutat dengan kesadaran lain selalu membuatnya terenyuh. Yunho menutup keran kemudian menyentuh bahunya.

“Changmin” ujarnya memulai.

Tiba-tiba dia merangsek, panik, berusaha meraih sesuatu dalam lubang saluran air. Yunho mendesiskan umpatan sebelum mencengkram tangan Changmin, mencoba menariknya keluar. Benaknya kalang kabut memikirkan celah kesalahan yang mungkin dia lewati sampai membuat Changmin mengalami semacam serangan panik. Mudah-mudahan bukan karena dia membangunkannya tanpa sengaja.

“Hei. Hei. Changmin.” Yunho berusaha menekan nada bicara agar tidak meninggi. Susah payah mengontrol paniknya sendiri. Lelaki itu masih berusaha merogoh lubang kecil terkutuk itu dengan geraman kesal. Tangannya mulai memerah. Yunho akhirnya harus menarik paksa lelaki itu menjauh dari bak cuci. Changmin mulai berteriak, meracau, meronta-ronta dalam cengkramannya. Mencoba mendorong Yunho menjauh, membebaskan diri. Tangannya menggapai-gapai. Yunho mendekap semakin erat. Memerangkap kedua lengannya. Tergamang melihat ketakutan Changmin yang begitu meluap-luap. Mulutnya terus berdesis menenangkan.

“sshh..nggak pa-pa, Changmin.” bisiknya ditelinga.

Tangannya yang lain membelai apa saja yang ia yakini bisa memberikan rasa nyaman untuk dia yang lebih muda. Sesekali matanya memejam, berusaha meraih Changmin dari kesadaran yang lain. Membawanya pulang. Memaksa Changmin membalas pandangnya dengan pendar mata sebagaimana yang biasa Yunho damba. Menyelamatkannya dari kehampaan mata kosong itu.

 

Tak lama lelaki itu mulai kelelahan lalu terkulai. Yunho membantunya berjalan kembali menuju kamar. Changmin terduduk diatas kasur. Yunho memerhatikannya sejenak sebelum berjalan memutari tempat tidur. Menarik selimut untuk mereka berdua.

“Hyung.” bisik Changmin ketika Yunho baru saja membawanya berbaring. Yunho memeluknya sebelum membalas.

“Hm?” ada jeda sebelum lelaki itu balik membalas.

“Kok udah pulang?”

“Kamu nggak seneng aku pulang cepet?” ujar Yunho sambil terkekeh.

Changmin menyungging senyum kecil. Reaksinya sedikit terlambat dengan jawaban Yunho. Tapi setidaknya hal itu memberinya sepercik tenteram dalam hati. Bahwa suaranya sampai menjangkau lelaki itu ke seberang sana.

“Mau makan?” tanya Changmin kemudian. Dia mencoba bangun. Yunho buru-buru mempererat pelukannya.

“Nggak usah, nggak pa-pa. Tidur aja yuk?”

Changmin berkedip seperti tengah memproses seuatu.

“Oh, kamu mau?”

Yunho tersentak begitu merasakan sepasang tangan mulai menarik celananya. Changmin bergeser merendahkan diri, melesak dalam selimut.

“Changmin! Nggak, maksudku..aku bukan mau itu!”

Dia buru-buru menarik kembali celana tidurnya ketempat semula sambil mencengkram lengan atas Changmin gelagapan. Dia merasa konyol sekali. Entah sejak kapan udara sekitar terasa memanas. Yunho berdehem sambil membuka selimut sampai pinggang. Memperlihatkan Changmin yang masih menatap kosong padanya—tepatnya pada selangkangannya. Yunho bergeser mundur tidak nyaman lalu menarik Changmin kembali ke posisi semula.

 

“Kamu nggak mau.” bisik Changmin lagi.

“Bukannya—“

“Kamu mau apa?” suaranya nyaris sunyi.

Yunho tertegun melihat sebulir air mata turun menyeberangi pangkal hidungnya. Bola mata yang lain segera membasahi bantal.

“Apa yang bisa aku—“ desis Changmin sebelum menarik napas sekaligus dalam satu isakan kuat. Tubuhnya berguncang hebat. Yunho mengatupkan rahang kuat-kuat. Matanya ikut memanas. Dia lalu mendekap, membenamkan kepala lelaki itu dalam-dalam didadanya. Meredam sedu-sedan, berbagi kekhawatiran yang bahkan tidak begitu ia pahami. Tapi batinnya bisa menerka. Dan terkaannya tidak begitu menyenangkan hatinya. Ia membelai rambutnya sebesar ia ingin menempeleng kepalanya. Kadang menepuk-nepuk punggungnya sebesar dia ingin mengguncang bahunya kuat-kuat. Tubuh mereka berkelindan erat sedalam ia mendambanya. Yunho kembali memejamkan mata. Berharap bisa segera menemukan lelaki itu di seberang sana dan menyelamatkannya. _____________________________________________________________________________________________________________________________________________

 

Yunho mendengar sesuatu dalam gelap. Seperti helaan napas berat, satu-satu teratur keluar dari mulut seseorang. Ia menajamkan telinga. Bukan suaranya. Matanya membuka, memberi sedikit celah untuk mencari. Bola matanya bergulir ke samping. Changmin sudah menghilang dari dekapannya. Berpindah kebawah lantai sisi tempat tidur melakukan serangkaian olah raga. Dia baru menyelesaikan sesi sit up, mengatur napas sejenak kemudian berbalik, melanjutkannya dengan gerakan push up. Yunho ingin menyapanya. Tapi entah kenapa matanya terasa begitu berat. Akhirnya dia mengalah pada gelap yang kembali menyelubunginya.

 

“Hyung.”

 

Ada tangan menepuknya. Yunho kembali mengintip dari celah mata. Samar-samar ia melihat bayangan Changmin menjulang didepanya dengan rambut basah melekat di wajah dan dahi. Kulit coklat dan otot-otot padatnya seolah memantulkan cahaya. Bibirnya mulai bergerak.

“Aku buat sarapan. Kamu ada syuting jam 10 kan? Bangun sekarang nggak?”

Yunho bergumam tidak jelas lalu tersenyum begitu mengenali suara itu. Kelopak matanya terasa jauh lebih ringan kali ini.

“Pagi, Min-a” gumamnya lagi sambil mengulurkan tangan kearahnya, minta dipeluk.

Changmin tertawa kecil.

“Nggak ada peluk-peluk kalau kamu belum sikat gigi.”

Yunho tidak menggubris. Dia menarik paksa lengan lelaki itu, mengunci tubuh ramping Changmin dengan kakinya.

“Udahan push up-nya?”

“Udah dari sejam yang lalu.” balas Changmin sambil mendorong wajah Yunho menjauh dari miliknya. Yunho tidak sadar sudah sejam berlalu sejak pemandangan terakhir diterima indranya. Sebodo, pikirnya.

“Hyung, aku mau syuting video klip Beat Burger hari ini. Nanti siang absen ya. Aku buat bekal kok kalau kamu mau.” Changmin bicara soal kunjungan ke lokasi syuting drama Yunho. Lelaki yang lebih tua cemberut.

“Kok kamu nggak bilang aku?”

Changmin memasang senyum paling manis.

“Jaewon hyung minta tolong aku. Bolehin dong. Aku juga mau punya hidup.”

Yunho berpikir sejenak lalu menggumamkan rentetan syarat setengah hati. Changmin menyeringai puas lalu kembali berusaha membebaskan diri. Dia mengeluh ketika Yunho mempererat pelukannya.

“Yunho, aku handukan doang!” gerutunya. Yunho menghirup wangi sabun dari bahunya lalu bersenandung.

“Changminnie pagi-pagi udah wangi banget~”

“Udah pagi kamu masih bendung iler.”

Yunho membuka mulut lalu menghela napas didepan wajahnya. Changmin refleks menjauhkan wajah sambil merengut.

“Anji—bau!!” serunya sembari mengibas tangan didepan hidung. Yunho terbahak puas lalu menyeringai jahil.

 

Tiba-tiba kejadian semalam kembali berputar dikepalanya. Mungkin karena mereka berada pada posisi yang kurang lebih sama saat ini. Ingatan wajah sendu Changmin mengundang sayang. Senyumnya melembut. Tangannya mengusap tulang pipi. Meraup banyak-banyak ekspresi yang terpancar dari bola mata dihadapan. Menikmatinya menyuarakan kesal lalu tanya tanpa perlu kata. Membebaskannya dari mimpi buruk malam lalu.

 

“Hei.” ujarnya bergegas bangkit. “Aku punya sesuatu.”

Changmin mengekor gerakan Yunho lewat matanya dari atas kasur. Bertanya-tanya melihatnya merogoh-rogoh sesuatu dalam tas punggung. Yunho menarik tas kertas yang sudah renyuk kemudian menghampirinya dengan wajah sumringah. Dia menjatuhkah diri keatas kasur berhadapan dengan Changmin. Tangannya mengeluarkan kotak hitam panjang dari dalam tas kertas. Changmin memindai singkat tas kertas disampingnya, mencoba membuat praduga. Mereknya sudah tidak terlalu terbaca selewat pandang. Perhatiannya kembali teralih ketika Yunho membuka kotak ke satu sisi agar Changmin bisa melihat isinya dengan jelas. Matanya melebar. Sepasang gelang perak dengan desain serupa. Satu terdiri dari rantai yang lebih kecil dari sebelahnya. Yunho mengeluarkan bunyi riang kemudian mengambil gelang yang lebih tipis.

 

“Sini tanganmu.” pinta Yunho. Mereka memerhatikan gelang yang kini melingkar di pergelangan tangan kiri Changmin.

“Bagus kan?”

“Hm. Makasih.” Changmin menyemat senyum, masih mengapresiasi gelang ditangannya. Matanya kemudian menangkap gurat luka memerah di sekitar jari-jarinya. Dia mencoba mengaduk dasar ingatan akan asal mula jejas-jejas itu. Dia tidak berhasil menemukan apapun. Tapi dia memiliki spekulasi. Jejas ini, sakit yang menyerbu kepala segera setelah ia membuka mata, matanya yang mendadak sembab, Yunho yang mendekapnya begitu erat dalam tidur, lalu ini. Changmin mengangkat wajah.

“Ada apa hyung, tiba-tiba?”

Yunho tengah memasang gelang miliknya. Changmin mengulur membantunya.

“Aku emang naksir ini dari lama. Tadinya mau buat peringatan jadian kita. Tapi ternyata nggak kuat, gatel pengen ngasih lihat.” jawab Yunho sambil terkikik. Changmin tidak segera mempercayainya.

“Biasanya kamu yang paling ribut soal timing. Menentukan makna kamu bilang.” celetuknya. Yunho hanya tertawa singkat saja tanpa berani membalas mata lawan bicara terlalu lama. Changmin merasa sesuatu bergeser, melesak tepat pada tempatnya. Sebuah gambar yang lebih jelas kini terpampang dalam benak. Matanya bergulir turun. Dia mengangguk kecil.

“Aku mau menyenangkanmu aja.” Yunho mencoba kembali.

Changmin memberinya senyum sendu sebelum kembali menunduk, menelusuri alur rantai dipergelangannya. Yunho mengumpat dalam hati akan jawabannya sesaat tadi. Dia mengerti bahwa Changmin mengerti. Dia membiarkan lelaki itu berkutat dalam pikirannya sejenak. Memberinya privasi kembali setelah miliknya terakhir kali teretas dalam-dalam diluar keinginannya.

 

Changmin masih menunduk. Pelan-pelan rasa malu menyelubungi relung. Dia tidak ingin membayangkan apa yang terjadi padanya malam lalu. Seperti apa dia yang ia perlihatkan didepan Yunho tanpa permisinya sama sekali. Tatapan seperti apa yang Yunho tuju padanya begitu disodorkan dengan pribadi itu. Changmin merasa ditelanjangi bulat-bulat lalu dipertontonkan pada berpasang-pasang mata memindainya. Rasa bersalah kemudian menyelinap masuk membayangkan lelaki didepanya terpaksa terjaga untuk menanganinya. Membayangkan resah yang menggelayuti pikiran setiap kali ia hendak menutup mata. Changmin merutuki dirinya yang begitu tidak berdaya. Kata payah mulai bergema ditelinga. Dia mengerjap beberapa kali.

 

Changmin tersadar dari lamunan ketika Yunho tertawa kecil lalu mengusap telinganya diantara jari.

“Telingamu merah.” kata Yunho basa-basi. Changmin menarik napas lalu memberanikan diri.

“Aku ngapain?” tanyanya tanpa getar.

Yunho hanya tersenyum kemudian mengendikan bahu.

“Mungkin kamu lupa.” balasnya. Changmin masih menunggu.

Yunho lalu menatapnya dengan sorot mata itu. Sorot mata yang selalu membuatnya merasa memiliki makna, bernilai, begitu nyata. Berbagai rasa lembut dan menyenangkan teradiasi padanya. Dia merasa berdiri ditengah ruangan putih tanpa batas. Bertumpu pada lantai kaca dengan langit penuh bintang dibawah kakinya. Dia hampir dapat melihat keabadian dari sana. Suara Yunho berdenting begitu jernih ditelinganya. Changmin merasa kehilangan pijakan lalu terjatuh, melayang-layang  di udara.

 

“Aku mencintaimu.”

_____________________________________________________________________________________________________________________________________________

 

 

Spesial untuk kakak yang memamerkanku sebagai adik didepan idolanya.
Aku mencintaimu, kak <3

Comments

You must be logged in to comment
Bigeast88 #1
Omg why aku baru nemu ff ini skrg? Ini bagus bangeeet dan aku suka gaya bahasanya.. thanks udah nulis ff ini ^^
MaxmyKai #2
intinya jangan pernah takut akan kehilangan-nya selagi dia mencintaimu ,benar-vebar aku lupa tak terhitung baca ff ini tapi tetep bikin hatiku campur aduk ,maafkan diriku yg baru review sekarang
Siwonnie96 #3
"Mungkin kamu lupa" "Aku mencintaimu" Ini inti dari ceritanya :') so sweet, so deep
Changmin terlalu takut Yunho meninggalkannya, jadi berusaha keras untuk sempurna, sehingga ketika ada kesalahan yang diperbuatnya (ngilangin cincin) Changmin jadi 'sakit' gitu. Changmin lupa kalau Yunho mencintainya. Dia lupa alasan kenapa Yunho memilihnya adalah karna Yunho sangat mencintainya. As much as Changmin has

Wah... Ceritanya kerennn, maknanya dalem bgt, thumbs up buat kakak authornya ^^ bodohnya aku baru baca cerita ini sekarang, baru ketemu :( Mianhae kak...
yellow_grass #4
“Hyung.” bisik Changmin ketika Yunho baru saja membawanya berbaring. Yunho memeluknya sebelum membalas.
“Hm?” ada jeda sebelum lelaki itu balik membalas.
“Kok udah pulang?”
“Kamu nggak seneng aku pulang cepet?” ujar Yunho sambil terkekeh.

MY GOOOOODDDDDDDD ASFAGDAFSAFDAFAAFADADFAD

maafkan diriku karena sangat terlambat memposting komentar ini m(_ _)m

Kata-katanya sungguh indah.. membuatku tersenyum-senyum sendiri saat membacanya.. lalu tertegun sejenak karena agak lemot dengan apa yg dimaksudkan..

But still..
Aku sudah membacanya 13x hingga hari ini ahahahahahah

Please write more
I love yaaaaaaa ❤❤
fraucynth1a #5
/terharu/ *thumbs up*
LMS_239
#6
changmin sakit apa?? u.u
strawberryvanilla
#7
Pesanmu kuterima dengan baik.
Sekali.
dua, tiga, empat, dan lima kali
Tak henti-hentinya kata itu mengalir darimu.
Begitu banyak cinta sehingga aku nyaris tenggelam di dalamnya.

p.s:
satu-satunya penyesalanku saat ini adalah bahwa aku tidak bisa bersamamu dan mengatakan kata-kata ini langsung di hadapanmu, Dik.
Aku mencintaimu. Yakinkanlah bahwa hal ini bukan dependensi melainkan hal yang harus di bagi <3