Coffe

Coffe

"Apa tidak ada tempat lain selain ini? Kau tahu bukan kalau aku tidak suka kopi?"

 

Gadis itu terus menggerutu. Suasana kafe yang tidak terlalu ramai membuat suaranya terdengar begitu jelas. Ia menatap pria di depannya agak kesal. Pria itu adalah Song Minho. Ini kesekian kalinya Minho membawa gadis itu ketempat yang tidak ia sukai seperti ini.

 

Song Minho sendiri tidak terlalu menghiraukan ucapan gadis itu dan terus menghirup Latte-nya. Papila-papila lidahnya merasakan manis-pahit cairan berwarna coklat itu. Hidungnya sendiri menangkap aroma kopi yang terasa manis di hidungnya. Berbeda jauh dengan gadis didepannya yang sama sekali tidak menikmatinya

 

"Minho-ya, sungguh,aku tidak bisa meminum ini."

 

"Kenapa tidak?"

 

Gadis berambut pirang itu menatap cangkirnya kesal. Sesekali ia mencuri-curi pandang pada pria yang tengah sibuk dengan kopinya. "Aku benci kopi."

 

"Kenapa? Banyak orang suka kopi," tanya Minho lagi sambil menaruh cangkirnya diatas meja. Ia tersenyum pada kekasihnya itu lalu berkata, "kecuali kau mungkin?"

 

"Yeah, kecuali aku," gadis berambut pirang itu membeo. Lee Chaerin nama gadis itu.

 

Ya, Lee Chaerin tidak menyukai minuman yang mengandung kafein itu. Entah apa alasannya, ia sangat menghindarinya. Sangat bertolak belakang dengan pria yang berstatus sebagai kekasihnya saat ini. Ia bisa meminum lima cangkir kopi perhari.

 

"Cobalah walau seteguk, Chaerin," ujar Minho sambil mendorong cangkir Chaerin sedikit. Chaerin menatap cangkir itu gusar dan menyentuh cangkir itu.  Tapi, ia langsung menarik tangannya lagi.

 

"Tidak mau," kata Chaerin pelan. Minho menghela nafas kecewa.  Sulit sekali membuat Lee Chaerin seberapa enaknya kopi itu. Menyadari hembusan nafas itu, Chaerin laangsung bertanya, "Apa kau benar-benar ingin aku menyukai kopi?"

 

"Tidak," jawab Minho cepat. "Aku hanya ingin kau merasakannya."

 

Chaerin heran dengan ucapan Minho. Apa yang harus ia rasakan dari secangkir kopi? Kopi hanyalah minuman yang terbuat dari biji kopi. Tidak lebih begitu. Rasanya pun begitu-begitu saja. Manis dengan sedikit rasa pahit.

 

Minho terkekeh kecil melihat ekspresi bingung di wajah Chaerin. Chaerin membuang mukanya yang memerah. Sebuah tatapan dari  Song  Minho memang bisa "merebus" wajahnya hingga kemerahan.

 

"Kau tahu kenapa aku begitu menyukai kopi?" tanya Minho lagi. Itu tersenyum jenaka pada Chaerin.

 

"Tentu," Chaerin menjawab dengan cepat. Ia sangat ingin tahu alasan dibalik rasa  suka seorang Minho pada secangkir kopi. "Kenapa?"

 

Minho menghirup kopinya lagi. "Itu karena aku merasakannya."

 

Chaerin benar-benar tidak suka hal yang bertele-tele. "Memang apa yang kau rasakan dari kopi?"

 

"Dalam secangkir kopi, aku bisa merasakan banyak perasaan," Minho memejamkan matanya. Walaupun, ia tidak melihat  apapun, ia bisa mengetahui bahwaa Lee Chaerin pasti sedang menatapnya heran.

 

"Perasaan apa? Kau sangat aneh, Song Minho," Chaerin bisa saja menganggap kekasihnya gila hanya karena kopi saat ini. Sungguh, tidak ada perasaan dibalik  secangkir kopi.

 

"Kopi itu menggambarkan kehidupan, Lee Chaerin," Minho berucap seakan ia adalah seorang sastrawan. Ia menghabiskan kopinya sebelum kopi itu dingin. "Rasanya manis-pahit, itu benar benar menggambarkan kehidupan. Tidak selamanya kau merasakan manisnya kehidupan bukan?"

 

Chaerin menahan tawa dengan Minho yang sangat terlihat "sok" saat ini. Tapi, Chaerin tidak terlaalu aneh pada sifat "sok puitis" seorang Song Minho yang merupakan penggemar William Shakespeare itu. "Kau benar juga."

 

"Masih ada lagi," Minho langsung berbicara. "Kebanyakan kopi nikmat diminum saat masih panas. Yeah, walaupun kopi juga enak ditambah es.  Tapi, aku memang lebih suka kopi panas."

 

"Lalu apa hubunganya dengan 'perasaan' atau 'kehidupan' yang kau maksud itu?" tanya Chaerin. Ia mulai tertarik dengan percakapan ini.

 

"Kau tahu sebuah pepatah dari Rusia tentang cinta dan telur?" tanya Minho. Ia melihat gadisnya menggelengkan kepalanya. Minho tersenyum. "Cinta dan telur itu sangat baik jika keduanya dalam keadaan masih segar. Kopi juga sama, kopi itu menggambarkan cinta,Lee Chaerin."

 

"Astaga, kau benar-benar puitis, Song Min Ho," puji Chaerin sambil terkekeh. Minho masih mempertahankan senyumannya.  "Apalagi yang kau tahu tentang kopi?"

 

"Kopi mengandung kafein," ujar Minho lagi. Chaerin tampak nenyimak dengan seksama. "Dan kafein merupakan zat adiktif."

 

"Lalu? Ada apa dengan dengan kafein itu?" tanya Chaerin. Ia tampak begitu menantikan kata-kata bijak yang keluar dari mulut Song Minho.

 

"Kafein itu adalah penggambaran dari dirimu," ujar Minho lagi. Chaerin menatapnya heran. Minho tersenyum lalu terkekeh. "Kau adalah zat adiktif-ku, Lee Chaerin."

 

Chaerin merasakan pipinya memanas karena suara bariton Song Minho. Ia memegangi pipinya, "Astaga, kau merayuku, Song Minho?"

 

Minho terkekeh. "Aku tidak merayumu, aku hanya ingin kau tahu bahwa perasaanku tergambarkan pada secangkir kopi."

 

Chaerin tersenyum tangannya menghapai pegangan cangkir kopinya yang mulai nendingin. Minho agak terkejut melihatnya. "Chaerin, kau akan meminum kopi itu?"

 

"Ya," jawab Chaerin. Ia menatap kopi itu agak lama.  "Biarkan aku merasakan perasaanmu lewat kopi ini, Song Minho."

 

-THE END-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet