Regretting Trauma

Regretting Trauma

Persis seperti sembilan tahun lalu. Di tempat yang sama, kami bermain gelembung. Yang kuingat dari waktu silam adalah rambutnya masih sangat cepak, kaca matanya masih tebal, baju dan style-nya masih sangat lugu.

Sekarang dia sudah tumbuh besar. Rambutnya lebih panjang dan terlihat lebih baik. Dia melepas kaca matanya dan tentu saja mengenakan pakaian yang bagus. Kalau tidak ingat dia adalah saudaraku, mungkin aku sudah menyukainya dari dulu, menyatakan cinta, dan kami bisa berpacaran.

Tapi aku memang menyukainya.

“Park Sunyoung!”

Sambil terkekeh, aku menoleh. “Apa? Lihat, aku bisa meniup yang besar!”

“Ah, ini kekanaan. Ayo lakukan sesuatu yang lebih dewasa.”

Keningku mengeriyit, “Apa? Lebih ‘dewasa’? Maksudmu?” Tanyaku sambil menekankan kata dewasa.

“Yah, apa yang kau pikirkan, dasar bodoh. Maksudku kita bisa bermain baseball, golf, liburan ke tempat yang menyenangkan, atau melakukan yang lain. Tapi—bermain gelembung? Oh, ayolah. Kita sudah dua puluh tahun.”

“Park Chanyeol, ini menyenangkan.” Komentarku sambil meniup gelembung lagi. “Kau suka Spongebob, kan? Dia sangat suka meniup gelembung degan Patrick. Bukankah kau Spongebob dan aku Patrick?”

Chanyeol mendesah. “Kau masih mengingatnya? Astaga itu memalukan.”

“Memangnya kenapa? Masa lalu harus dikenang. Tidak boleh dibuang begitu saja, sayang.” Ujarku.

“Sayang?”

Dalam sekejap, kepalaku menoleh ke Chanyeol. “Apa? Kau tidak berpikiran aku memanggilmu sayang, kan? Maksudku masa lalu itu sayang kalau dibuang, begitu.” Jelasku.

Chanyeol mengalihkan pandangannya. “Ti-tidak… aku tidak berfikir begitu.” Mataku tidak lepas dari mata Chanyeol yang berkedip beberapa kali, lalu pandangannya berpencar kemana-mana. “Ya. Aku memang berpikiran begitu.” Akunya.

“Kau kira kita baru kenalan kemarin? Ya, aku sudah mengenalmu lebih dari setengah hidupku.” Kataku dengan senyum lebar.

“Aku tahu.”

“Baiklah, ayo pergi bermain golf.”

“Kau mau? Kenapa tidak bilang dari tadi!” Seru Chanyeol semangat.

Entah memang takdir atau bagaimana, sejak kecil kami memang bersama-sama. Keluarga kami pun mengenal baik satu sama lain. Kalau dituliskan dalam naskah film atau drama, mungkin Chanyeol adalah cinta sejati dan takdirku.

Apartemen kami bersebelahan. Kami tahu password-nya satu sama lain. Menginap di tempat Chanyeol sudah menjadi hal yang biasa, begitu sebaliknya. Taka da satu pun tetangga yang curiga dengan hal itu.

“Pelankan musiknya, kau menyakiti telingaku.” Protesku saat kami ada dalam perjalanan menuju lapangan golf.

“Kau sedang datang bulan, ya? Sensitif sekali.” Komentar Chanyeol. “Ini tanggal berapa? Ah, 24? Kau memang datang bulan pada tanggal itu. Atau 23, 25? 26?”

Ya, kau ini! Dasar mesum!” Ucapku sambil memukul lengan Chanyeol.

“Apanya yang mesum? Apa topik tentang datang bulan adalah hal yang mesum? Dari mana kau menyimpulkan itu? Bahkan psikolog, dokter, dan guru tidak akan mengatakan itu mesum. Memang dasar otakmu saja.” Chanyeol membela diri.

“Ya! Itu mesum, setidaknya menurut diriku sendiri. Kenapa? Mau berdebat? Kau lupa aku pernah dapat juara di lomba debat tingkat nasional?”

Chanyeol kembali fokus pada jalanan di depannya. “Kau hanya juara dua. Apanya yang dibanggakan.”

Aku melipat tangan di dada. “Daripada kau tidak pernah mengukir prestasi sama sekali. Kau hanya main game dan membaca komik. Mandi saja sekali sehari. Pemalas.”

Chanyeol menoleh, “Oh, kau benar-benar mengajakku berdebat? Baik. Kita taruhan, yang kalah harus melakukan apapun yang pemenang suruh. Bagaimana, setuju?”

Aku diam. Mataku membesar dan lurus menatap ke depan. “Chanyeol, awas!!!”

Gelap. Setelah itu aku tidak ingat apapun.

*

Aku terbangun dengan pandangan sedikit samar. Beberapa titik cahaya terlihat jelas di atasku. Samar-samar aku mendengar beberapa orang tengah berbincang. Hanya suara, tidak jelas apa yang mereka bicarakan.

“Sunyeong-ah, kau sudah sadar?”

Ibu. Itu suara ibuku.

Aku ingin membukan mulut dan bertanya apa yang terjadi, tapi bernafas saja rasanya sakit. Kepalaku pusing sekali. Tangan terasa kaku. Bahkan aku tidak bisa merasakan kakiku.

“Tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Jangan memikirkan apapun, istirahat saja.” Ucap ibuku seraya menggenggam tanganku erat.

“Chanyeolie… dimana?” Akhirnya. Setelah melawan rasa sakit ini aku bisa membukan mulut juga.

Genggaman ibuku terasa sedikit renggang. “Itu….”

“Masih belum sadar, tapi tidak apa-apa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ayahku medekat dan tersenyum padaku.

“Ah….” Kepalaku berdenyut. Rasanya seperti mau meledak. Yah, meski pun aku belum pernah—dan tidak akan pernah—merasakan bagaimana rasanya kepala meledak itu.

“Sudah kubilang jangan memikirkan apapun. Istirahat saja, Ibu akan kembali setelah berbicara dengan dokter. Arrachi?” Ibuku tersenyum, mengusap pelan kepalaku, kemudian berlalu diikuti ayahku yang mengekor di belakangnya.

*

“Ibu, mengapa Chanyeol belum boleh pulang?”

Ya. Aku sudah pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Rasa sakitku sudah banyak berkurang. Tidak ada luka serius. Tapi yang membuatku heran, keluargaku sepeerti menyembunyikan keberadaan Chanyeol. Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak.

“Apa kalian….”

Ibuku duduk di sampingku. “Ah, tidak. Bukan seperti itu maksud kami. Chanyeol masih harus menjalani perawatan. Beberapa hari lagi dia pasti pulang.” Kata ibuku dengan senyum manis sekali.

“Pasti?” Tanyaku.

“Ya, pasti.” Jawab ibu.

Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang pemuda jakung dengan tampilan acak-acakan. Aku sangat mengenali pemuda itu. Mataku berbinar melihatnya.

“Park Chanyeol!” Seruku sambil berlari ke arahnya, lalu memeluknya begitu saja.

Tangan Chanyeol mengadah. Wajahnya tampak bingung. “Maaf… nona?”

Melepaskan pelukanku, aku menatap Chanyeol. “Aigoo, baru saja keluar dari rumah sakit kenapa wajahmu tegang sekali. Ayo makan bersama kami, ibuku masak sup rumput laut. Kau lupa, ini hari ulang tahunku.” Ucapku panjang dengan senyum lebar.

Chanyeol menyipitkan matanya. “Ulang tahun? Makan bersama? Sejak kapan kita….” Kemudian terdiam sejenak. “Ah, ulang tahun? Ibuku meminta aku memberikan ini padamu. Mungkin kau orang yang dimaksud. Kurasa ini juga sup rumput laut. Selamat ulang tahun.”

Melihat Chanyeol mengulurkan  kotak makanan dengan senyum tipis dan wajah lugu seperti itu membuatku gugup. Apa ini? Tadi dia memanggilku nona. Dia juga tidak ingat tanggal ulang tahunku, juga ‘sejak kapan kita makan bersama’. Tapi bagaimana bisa dia mengingat password apartemenku?

Bibirku bergetar. “Chanyeol, kau….”

“Ya?”

Tiba-tiba ibuku datang dan mengambil kotak makanan dari tangan Chanyeol. “Ah, Chanyeol. Terimakasih supnya. Sunyoung akan makan dengan baik. Sampaikan terimakasih kami kepada ibumu. Kau bisa datang lagi lain waktu.”

“Tentu saja, bibi.” Setelah membungkuk, Chanyeol berbalik dan kembali ke apartemennya.

*

Setiap malam, air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Mendengar penjelasan dari ibu yang mengatakan bahwa Chanyeol mengalami hilang ingatan sementara dan sedikit gangguan jiwa, aku tak tahu harus merespon bagaimana. Dari dulu aku memang suka menganggilnya idiot, tapi sumpah aku tidak bermaksud mengatakan bahwa dia benar idiot dalam arti sesungguhnya.

Park Chanyeol. Pemuda itu, bagaimana dia bisa menderita seperti itu. Sehari sebelum kecelakaan, dia mengatakan akan mentraktirku makan ramen. Tapi sekarang aku hanya bisa tersenyum miris tiap kali melihat Chanyeol menggaruk kepalanya, tersenyum seperti orang autis, dan melakukan hal bodoh.

Noona, bisa susunkan ini?” Tanya Chanyeol sembari memamerkan deretan gigi putihnya.

“Tentu saja.” Jawabku sambil mendekati Chanyeol, lalu menyusukan tumpukan puzzle yang membentuk sebuah rumah.

“Wah, bagus sekali! Seperti rumah idaman. Besok kalau sudah besar aku mau membut rumah seperti ini. Noona jjang!” Sambil tepuk tangan, Chanyeol mengacungkan jempol di depan mataku.

“Ya. Park Chanyeol. Kau memang ingin membuat rumah idaman seperti ini. Dan puzzle ini yang kau beli di Seoul saat umur kita masih delapan tahun.” Batinku.

“Kau sudah makan? Mau makan apa? Kimchi? Kimbap?” Tanyaku sambil menyeka keringat yang menetes dari dahi Chanyeol.

“Tidak.” Jawab Chanyeol singkat. Tiba-tiba air muaknya menjadi sendu. “Noona, aku ingin….”

Yang kurasakan kini adalah—basah. Astaga, berapa kali dia mengompol di rumahku. Dan yang tidak pernah kusangka adalah Chanyeol membuka celananya tepat di depanku. Tepat di depanku.

YAA! PARK CHANYEOL, APA YANG KAU LAKUKAN?! PAKAI KEMBALI CELANAMU!!!” Teriakku.

Kulihat wajah Chanyeol seperti anak kucing yang ditelantarkan induknya. Aku tahu itu artinya memohon. “Ayaaaaaaaah!”

Sedetik kemudian, ayahku muncul dari kamar. “Astaga, Chanyeol. Ayo ke kamar mandi.”

*

Akhir-akhir ini aku menjadi frustrasi tiap berhadapan dengan Chanyeol. Dia tidak lagi membuka celana di depanku karena aku melayangkan pukulan dari tongkay baseball jika dia melakukan itu. Tapi tetap saja, tingkah idiotnya membuatku kesal. Tolong, aku belum mau menjadi ibu dan punya anak. Dan aku bersumpah akan mendidik anaku di masa depan agar tidak berperilaku idiot seperti ini.

Kapan dia akan sembuh, bagaimana caranya, pengobatan dan berbagai macam terapi itu. Aku tidak tahu. Semakin hari rasanya semakin malas saja. Kini aku terlalu larut dalam duniaku sendiri. Menggambar, melukis, menulis, apapun. Sepertinya aku mengabaikan Chanyeol terlalu sering. Dia tidak lagi ke rumahku setiap hari, karena aku tidak akan menjawab panggilannya dan bahkan bersembunyi dia datang mencariku.

Entah. Aku lelah. Malam ini aku hanya ingin tidur dengan tenang.

Ketika aku terlelap, aku bermimpi. Saat umurku 27, aku menikah dan punya anak kembar. Aku hidup dalam rumah yang nyaman. Aku tidak melinhat—atau tepatnya mengingat—wajah pria yang menjadi suamiku. Hanya terlihat dia tinggi dengan rambut sedikit panjang melebihi tengkuk lehernya.

Tiba-tiba aku terjatuh. Rasanya tubuhku ini berat sekali. Memang, berat badanku naik setelah aku melahirkan. Tapi berat ini—sungguh tidak wajar. Seperti menopang tiga karung beras dengan berat masing-masing 100 kilogram.

Mataku terbuka. Aku bangun. Hal pertama yang kulihat adalah—

—wajah Chanyeol dengan mata terpejam.

Untuk sesaat aku diam. Chanyeol tidur. Aku mengira itu tidak masalah, tapi setelah merasakan kancing bajuku terbuka semua, aku tidak yakin itu bukan masalah.

“AAAAAAAAAAA!!!!”

*

“Kenapa dia ada di sini lagi? Bukankah sudah kubilang, usir dia kalau datang lagi.” Kataku sambil memakan apel di tanganku.

Chanyeol menoleh sambil mengacungkan puzzle. “Noona, bisa tolong pasangkan ini?”

“Pasangkan pantamu.” Bentakku sambil berlalu mengabaikan ayahku dan Chanyeol di ruang keluarga.

Di dapur, ibuku sedang memasak. “Sunyoung-ah, apa kau tidak terlalu keras dengan Chanyeol?” Tanya ibu lembut.

“Tidak. Memangnya kenapa.” Tanyaku tanpa nada bertanya.

“Kau harus memahami situasi dan keadaannya.” Ibu memasukkan garam di masakannya. “Kau tahu dia menjadi seperti itu sejak kecelakaan.”

“Lalu?”

“Lagi pula malam itu dia tidak melakukan apapun padamu, kan?” Lanjut Ibu.

“Tidak melakukan apapun? Dia membuka kancing bajuku, juga ‘menaikkiku’ hingga aku sulit bernapas. Ibu bilang dia tidak melakukan apapun padaku? Bagus aku tidak hamil atau semacamnya.” Tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

“Sunyoung-ah….”

“Terserah Ibu saja.” Ujarku cuek lalu berjalan menuju kamarku.

Ketika aku membuka pintu kamar, aku mendapati Chanyeol dengan banyak cat minyak yang tercecer di lantai. “PARK CHANYEOL, APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Noona, aku membuat bebek air dan merias bonekamu. Lihat, dia lebih cantik.”

Sejenak, aku menghirup napas panjang. Mengontrol agar emosiku tidak meledak. Tapi bagaimana aku bisa tenang dan biasa saja melihat peralatan menggambarku—pensil, bolpoin, spidol, krayon, cat air dan cat minyak, sketch book, dan kanvas—berserakan di lantai. Semuanya hancur.

Park Chanyeol, kau tidak termaafkan.

Aku menggeret paksa Chanyeol keluar dari apartemenku. “Keluar kau! Jangan pernah kembali ke sini. Ayah, ganti password apartemen!”

Wajah Chanyeol bingung. Sepertinya dia mau menangis. Sumpah, seperti anak SD yang merengek karena dimarahi orang tuanya. “Noona, aku membuatmu marah? Apa bebek airku jelek? Bonekamu kurang cantik? Aku akan membuatnya lebih cantik lagi, maafkan aku noona.”

“Buat saja bebek airmu sendiri! Rias saja wajah idiotmu itu! Atau,” aku berjalan cepat ke kamarku untuk mengambil boneka teddy bear yang tadi dirusak Chanyeol, lalu melemparkannya. “Ambil ini. Rias sesukamu. Jadikan pacarmu, buka bajunya sepuasmu. Aku tidak peduli. Yang kuinginkan adalah kau enyah dari hidupku!”

“Park Sunyoung!” Betak ayahku.

“Apa? Ayah mau membela dia? Bela saja.” Ujarku sambil tersenyum simpul. Tepat saat itu aku melihat orang tua Chanyeol keluar dari apartemennya dengan wajah khawatir melihat anaknya yang tersungkur di lantai.

 

Sejak kejadian itu, aku menjadi gadis yang cuek. Acuh tak acuh. Tak peduli dengan lingkungan sekitar. Malam dimana Chanyeol tidur di kamarku membuat aku begitu trauma dengan hal-hal semacam itu. Mungkin itu juga yang membuatku membenci Chanyeol. Pemuda itu masih sering memencet bel apartemenku, tapi aku mengacuhkannya.

*

Yang kuinginkan adalah kau enyah dari hidupku.

Yang kuinginkan adalah kau enyah dari hidupku.

Kalimat itu selalu terngiang di kepala Chanyeol. Hari-hari belakangan, ia sering melamun di balik jendela.

Enyah. Hilang. Menghilang. Musnah.

Chanyeol berdiri. Berjalan tanpa ekspresi dan tanpa kedipan. Ia menuruni tangga dan sampai di lantai dasar. Melihat jalan raya di depannya, kepalanya seperti dipaksa memutar DVD lama yang tersimpan di memori otaknya.

Dasar mesum!’

‘Kau berani taruhan?’

‘Chanyeol-ah, ayo bermain golf.’

‘Ayo lakukan hal yang sedikit dewasa.’

‘Chanyeol, awas!!’

Chanyeol tersadar. “Enyah.” Gumamnya pada diri sendiri.

Tanpa arah dan alasan yang jelas, Chanyeol berjalan menyebrangi jalan raya. Pengendara di jalan tentu akan memakinya karena ia tidak berjalan di zebra cross. Tapi Chanyeol tidak meneruskan perjalnannya hingga ujung. Ia berhenti di tengah jalan, menunggu trus besar yang melaju dengan kecepatan super di depannya.

*

Aku berdiri, membungkuk, lalu bersujud. Berdiri, membungkuk, lalu bersujud. Begitu seterusnya.

Setelah kematian Chanyeol, baru aku menyadari betapa berartinya dia bagiku. Sebodoh apa dia, seidiot apa pikiran dan tingkah lakunya, bahkan jika wajahnya jelek sekali pun, aku tetap menyayanginya.

Aku tetap menyuukainya. Sebagai teman, sahabat, saudara, dan sebagai pria.

Bahkan tanpa taruhan pun, aku mau melakukan apapun yang Chanyeol suruh. Karena aku menyukainya.

Aku memang sangat trauma dengan kejadian malam itu. Tapi ternyata aku lebih terpukul saat tahu Chanyeol bunuh diri di tengah jalan, seminggu setelah aku mengatakan dia untuk enyah dari hidupku. Mulut kotorku ini memang tidak bisa dijaga kalau aku sedang emosi. Kalau Chanyeol tidak amnesia, tentu dia akan mengerti dan memahamiku disaat-saat seperti itu.

Dia benar-benar enyah. Enyah dari hidupku. Enyah dari dunia. Tak banyak yang ingin aku katakan lagi padanya. Semua pertanyaan untuk Chanyeol di kepalaku berubah menjadi pertanyaan untuk diriku sendiri.

Entahlah. Aku terlalu lelah untuk bertanya, apalagi menjawab. Yang bisa kukatakan saat ini hanyalah,

Rest in Peace, Park Chanyeol.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet