Biarlah aku jadi kenanganmu yang padam ditelan malam

End

Apa yang kau harapkan saat kau membuka kamar sahabatmu di pagi hari jumat yang cerah di awal musim semi?

Apapun selain sahabatmu yang menggelepar, tergantung dengan seutas tambang plastik biru menjerat lehernya.

Apa yang bisa kau lakukan saat di depanmu sahabatmu meregang nyawa, atas pilihannya sendiri, dengan sepucuk surat bertuliskan namamu di atas meja belajarnya? Air mata masih belum kering dari kertas yang tak lagi licin itu.

Kau berteriak, panik berusaha memotong tambang itu dan membebaskan sahabatmu.

Tapi apa lalu tindakanmu ini akan membuatmu mejadi pahlawan?

Bagaimana kalau tindakanmu ini hanya refleks dari keegoisanmu?

Bagaimana kalau sekali saja.. hanya sekali kau mendengar dan mengabulkan permintaan sahabatmu, walaupun untuk yang terakhir kalinya.

Walaupun permintaan itu adalah kematian.

Akankah kau memenuhinya?

 

Kau menangis dan menangis, memeluk erat tubuh itu, masih hangat walaupun nafasnya tinggal satu-satu.

Kau menangis dan menangis, berteriak mengamuk pada saluran 911 untuk segera mengirimkan pertolongan.

“aku ingin dia hidup! Aku ingin dia hidup sampai aku mati nanti!”

Kau pemuda egois. Kau memaksakan kehendakmu bahkan pada kematian.

“tetaplah disini bersamaku, jangan pergi jangan pergi, kumohon, aku membutuhkanmu.”

Kau terus meracau, bagai merapal mantra. Air matamu turun membasahi wajahnya, bercampur dengan air matanya sendiri dan liur yang masih basah di ujung bibirnya.

“kau janji kau akan menjadi pendampingku di altar bukan? Kau mau mengingkari janjimu sendiri?” kau meremas tangannya yang mulai dingin, susah payah menggosok buku-buku jarimu sendiri ke telapak tangannya, seperti yang sering kau lakukan saat kalian lebih muda dulu.

Kau ingin tertawa, menertawakan ironi yang terjadi hanya beberapa hari menjelang hari pernikahanmu.

Kalau saja kau sedikit lebih cermat.

Mungkin kau bisa melihat luka dalam matanya saat ia mengucapkan selamat atas pertunanganmu.

Mungkin kalau kau sedikit lebih cermat.

Mungkin kau menyadari sedikit kekecewaan yang muncul saat ia tersenyum dan menepuk punggungmu sebelum menghilang dalam kerumunan manusia di tengah ramainya myeondong di malam tahun baru.

Mungkin kau akan menyadari kalau jauh di dasar hatimu kau ingin dia mencegahmu melamar gadis yang kau ‘cintai’.

 

Detik demi detik terus berlalu, dan matanya terpejam erat.

Berakhir sudah, kata otakmu. Tapi hatimu menjerit meminta keajaiban.

Dengan tangan yang gemetar kau cari nadinya, hilang.

Panik, dan panik meracuni seluruh sistemmu. Buru-buru kau baringkan tubuh sahabatmu, CPR kau berikan dengan berantakan, bercampur degan air mata. Dan horor yang meliputimu saat tubuh itu mulai dingin dan kaku, bibir itu jadi biru.

Kau tahu rasanya saat kau ingin menyusul saja? Jendela hanya 5 langkah jauhnya, kematianmu sendiri hanya lima langkah jauhnya, namun kau tidak bisa membawa kakimu untuk melangkah.

Kau masih mengharap keajaiban, yang kau tahu hanya terjadi dalam dongeng.

“bangun kau brengsek! Bangun! Kyungsoo bangun!”  tentu saja dia tidak akan bangun. Tidak akan ada lagi pemuda pendek yang akan memukul lenganmu saat kau berbuat hal bodoh.

Tidak akan ada lagi senyum yang berkembang dibibir penuhnya saat kau memuji masakannya, dia tidak akan terbangun lagi untuk selamanya.

Dan kau tidak pernah bertanya mengapa, karena kau tahu, kau lah penyebabnya.

 

Kau yang membunuh sahabatmu sendiri.

Bahkan mungkin dalam arti yang betul-betul literal.

Mungkin kaulah yang memasang tambang plastik biru itu di langit-langit kamarnya, toh dia tidak pernah cukup tinggi untuk melakukannya sendiri.

Mungkin kau yang mencampurkan obat tidur dalam susunya semalam dan saat ia sudah lelap kau yang memanggul tubuhnya dan menggantungnya dalam lingkaran jerat itu.

Lalu kau berpura-pura  panik dan menelepon 911, seakan-akan dia membuat keputusan bodoh dan kau kebetulan ada disana disaat-saat terakhir, muncul sebagai pahlawan.

 

Mungkin kau yang melakukan semua itu.

Untuk mencegah orang lain memilikinya saat kau pergi nanti.

Karena dia milikmu.

 

Sungguh kau pemuda egois. Dan kau bangga akan hal itu. Setidaknya kau egois untuk kebahagiaanmu sendiri. Kau tahu benar kebahagiaanmu datang tidak dengan merugikan orang lain. Karena kau yakin dia juga setuju, dia akan melakukan segalanya demi dirimu.

 

Lonceng gereja berdentang sayup-sayup dalam otakmu. Dan kau berpikir, ini damai yang kau cari. Berdua dengan sahabat yang tulus kau cintai dalam dekapanmu.

Selamanya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jungaya
#1
Chapter 1: bang judulnya sooooooo cheesy meskipun isinya nggak

/pats your head/
lelgeg
#2
Chapter 1: 1st... aku rodok terharu moco e, opo maneh nyangkut2 pernikahan, lalu seterusnya dan seterusnya
eissshh ige mwoyaaa