Part 1

Stars In Your Eyes - KrisHan version (Bahasa)
Please Subscribe to read the full chapter

"Ow!”
 
 
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku ketika aku merasakan seseorang menabrakku dan membuat keseimbanganku hilang. Aku bisa merasa tubuhku limbung, dan tak lama kemudian pantatku mencium permukaan trotoar yang keras, membuatnya berdenyut nyeri. Aku bisa mendengar kaca mata hitam Ray Ban-ku yang lepas mengeluarkan bunyi ‘krak’ yang tidak enak saat orang yang menabrakku menginjaknya. Sial, aku memakai semua uang tabunganku selama 1 tahun untuk membeli kacamata mahal itu. Sial, aku benar-benar sial hari ini.
 
“Astaga! Aku minta maaf!! Aku benar-benar minta maaf!”
 
Suara orang di hadapanku ini begitu berat dan rendah, kalau aku mendengarnya dalam situasi yang berbeda, aku mungkin akan terpesona. Tetapi bagian bawah badanku masih berdenyut sakit akibat pendaratanku yang tidak mulus. Ketika aku mencoba berdiri, seluruh tubuhku langsung protes, dan aku jatuh terduduk lagi di trotoar itu. Aku baru akan mengerang kesakitan ketika tiba-tiba merasakan hembusan angin di depan wajahku, menandakan pemuda di hadapanku—kemungkinan besar yang menabrakku sampai jatuh—mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
 
“Gaho, di mana Gaho?” sambil menoleh ke kanan kiri dengan panik, aku memanggil Gaho. Sejenak tadi aku lupa bahwa aku membawa Gaho, anjing shar pei kesayanganku yang juga adalah anjing penuntunku. Dia sudah memberikanku peringatan sebelumnya, dengan menyalak ringan, memberitahuku aku berjalan di jalur orang lain dan mungkin akan menabrak, tapi aku menghiraukan peringatannya. Aku kan orang buta, tentu saja pejalan kaki lain akan memberikan jalan padaku kan, benar? Salah. Dan di sinilah aku sekarang. Kesakitan, dan kehilangan Gaho. “Gaho, Gaho boy, kau di mana?” aku berseru agak keras. Kenapa dia tidak menjawab sih?
 
“Ini.. anjingmu,” aku kembali mendengar suara rendah itu. Tak lama aku merasakan sebuah jilatan di punggung tanganku. “Dia dari tadi berdiri di sampingmu, mengendusku. Hey,” Aku mendengar pemuda itu tertawa, mungkin Gaho sedang melakukan sapaan ramahnya pada orang asing ini. “Mm, aku hanya ingin memberitahumu kalau kau berada di tengah-tengah jalanan yang sangat padat, Luhan,” ya, ya aku tahu. Tapi mana aku peduli aku ada di tengah jalan orang atau tidak. Aku ini buta! Bukankah masyarakat seharusnya memberi toleransi pada mereka yang kekurangan?  “Kalau kau izinkan aku membantumu berdiri dan—“
 
“Bagaimana kau tahu namaku?” adalah hal pertama yang keluar dari mulutku. Aku tidak bermaksud kasar pada pemuda ini, tapi dari mana dia tahu namaku? Ini sungguh mengerikan.
 
“Oh, itu tertulis di nametagmu.”
 
“Nametagku?”
 
“Ya, maksudku.. bukan, eh.. maksudku,” aku bisa mendengarnya berdehem dengan gugup. Pemuda di hadapanku ini berusaha menutupi kegugupan dan rasa bersalahnya. Rasa bersalah karena apa, aku juga tidak tahu. Karena menabrakku? “Maksudku.. namamu tertulis di nametag anjingmu. Di sini tertulis pemiliknya bernama Lu Han, yang adalah kau, kalau aku tidak salah. Apa aku salah?”
 
Nametag anjingku? “Kenapa aku harus memberitahumu kau benar atau tidak? Bagaimana kalau kau adalah penculik atau pembunuh berantai yang menjadikan aku korbanmu berikutnya?” aku tidak peduli jika aku terdengar kasar. Aku mulai kesal pada orang-orang yang lewat dan menubruk-nubruk tubuhku yang masih terduduk karena tidak sanggup berdiri. Aku tidak akan heran jika orang asing di hadapanku ini akhirnya meninggalkanku begitu saja karena aku mengesalkan, tetapi yang aku dengar malah sebuah tawa renyah dari suara rendah yang mebuat bulu romaku berdiri itu.
 
“Ya,” katanya. “Ya, kau benar. Aku memang seorang pembunuh bayaran, yang memakai jas pink dan celana warna-warni. Kau pikir ada pembunuh bayaran sebodoh aku? Ayolah,” pemuda ini tertawa lagi. Aku tahu dia pasti melihat bibirku yang memanyun karena dipermainkan olehnya. Dia berusaha menahan tawa kerasnya, dan lagi-lagi aku merasakan sebuah tangan terulur di hadapanku. “Aku bantu kau berdiri. Aku bertanggung jawab atas apa yang kau alami, jadi biarkan aku membantumu, Luhan.”
 
Aku akhirnya menerima tangan yang terulur di hadapanku, merasakan telapaknya yang hangat dan sedikit berkeringat. Aku adalah orang yang cukup higienis, jarang menyentuh benda-benda yang tidak aku kenal karena takut tertular apapun penyakit yang mungkin dikandung benda itu. Tapi entah mengapa kali ini aku tidak merasa jijik. Memegang tangannya membuatku merasakan kenyamanan yang janggal, seperti aku sudah sering sekali melakukan ini dengannya setiap aku butuh perlindungan. Pshhhhh, aku bahkan tidak mengenal orang ini tapi pikiranku sudah kemana-mana.
 
“Mana aku tahu, bukan urusanku kau pakai baju apa. Aku buta, kalau kau belum tahu,” kataku sedikit kasar. Tapi aku merasa orang asing ini tahu aku tidak bermaksud menyinggungnya.
 
“Aku tahu, Luhan. Aku tahu,” terbersit sedikit kesedihan dalam suara pemuda ini. Nada bersalah juga tersirat dari perkataannya, aku tidak tahu alasannya. Mungkin dia punya keluarga atau teman yang juga buta. Yang membuatku ngeri adalah, aku tidak menyukai nada itu di dalam suaranya. Rasanya aku ingin menghapus kesedihan di dalam nada bicaranya entah bagaimana caranya. Ya Tuhan, aku bahkan belum mengenal siapa orang ini, bagaimana mungkin aku bisa merasa seperti itu?
 
Kugelengkan kepalaku, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran aneh di dalamnya. Sambil berpegang pada tangannya, aku mencoba melangkah. Tetapi begitu telapak kakiku menyentuh tanah, aku merasakan sakit yang luar biasa menembak tulang ekorku. Otomatis aku mencengkeram lengan kokoh yang entah bagaimana langsung terulur begitu aku membutuhkan pegangan.
 
“Sial. Aku tidak bisa melihat. Dan sekarang aku tidak bisa berjalan. Yah, kurang apalagi penderitaanku hari ini??” aku berseru pada siapapun yang mendengarku. Ya, tentu saja aku kesal. Seharusnya aku bertemu dengan teman-teman masa kecilku yang sudah lama tidak aku temui semenjak aku pindah ke Amerika Serikat. Aku tahu aku belum telat, tapi bagaimana bisa aku ke sana tepat waktu kalau aku tidak bisa jalan begini? Tepat setelah aku menyerukan kekesalanku pada nasib, aku mendengar gemuruh di langit, dan tetesan air mulai membasahi wajahku.
 
“Me and my big mouth,” kataku. Pemuda yang masih memegang lenganku ini terkekeh, rasanya aku ingin memukul wajahnya. Berani-beraninya dia mentertawakan penderitaanku? Walaupun aku harus akui, suaranya memabukkan dan membuatku ingin terus mendengarnya.
 
“Ayo, kita harus berteduh. Aku akan membantumu,” katanya, dan aku merasa lengannya yang sedang tidak memegang lenganku melingkar di pinggangku. Omo, kenapa aku tiba-tiba deg-degan begini? Aku berdiri begitu dekat dengan pemuda tak kukenal ini, dan harum tubuhnya.. harumnya perpaduan antara aroma rokok dan sebuah produk mandi berbau kayu manis dan jeruk yang sangat familiar di hidungku. Produk yang aku dan didi-ku sering pakai bersama ketika dulu kami—tunggu, kenapa aku memikirkan orang itu lagi? Aku menghabiskan 12 tahun hidupku di Amerika untuk melupakan orang itu, tolong jangan sekarang.
 
Aku mendengar pemuda ini berbicara pada Gaho seraya melepas lengannya yang kucengkram dari lenganku untuk memegang besi penuntun Gaho, dan dengan sebelah tangannya menyeimbangkanku agar aku setengah bersandar pada tubuhnya sehingga memudahkannya membantuku berjalan. Ini sangat aneh, tapi aku mempercayainya. Aku sama sekali tidak curiga padanya atau takut pada orang yang belum kukenal ini, dan aku membiarkannya menuntunku ke tempat yang bisa melindungi kami dari hujan. Tak berapa lama, aku sudah duduk manis di sebuah kafe (aku yakin itu adalah sebuah kafe karena aku bisa mencium aroma manis dari kue-kue yang disajikan, juga aroma kopi yang nikmat), menunggu si orang asing membawakan pesanan ke mejaku. Gaho dititipkan ke sebuah kios koran di luar karena binatang peliharaan tidak diijinkan masuk ke dalam kafe. Untungnya penjual koran itu baik hati dan bersedia berbagi atap dengan Gaho sampai hujannya reda dan aku dan Gaho bisa melanjutkan perjalanan. Aku sibuk menengok kanan kiri, mengendus aroma-aroma menyenangkan khas kedai kopi ketika aku mencium aroma kayu manis dan citrus itu menguat. Benar saja, dalam beberapa detik, seseorang menaruh piring di hadapanku.
 
“Satu croissant keju dan segelas peppermint latte pesananmu sudah tersedia, Tuan,” suara rendah si orang asing mengumumkan kedatangannya bersama pesananku. Aku tidak bisa menahan senyum yang berkembang di wajahku. Aku mendengarnya menarik kursi di hadapanku dan menghempaskan dirinya di situ sembari berseru senang, “Ahhhhh~ aku sangat suka cheese cake!”
 
Senyumku makin lebar mendengar kekonyolan itu. Suaranya dan kekonyolannya tidak serasi, tetapi bagaimanapun aku suka mendengarnya. “Terimakasih kau sudah mengambilkan pesananku, umm.....”
 
Ketika akan berterimakasih padanya, aku baru sadar kalau aku belum menanyakan namanya dari tadi. Dan dia juga tidak memberitahuku namanya. Ini sedikit memalukan.
 
“Oh, aku Yif—xing!”
 
“Yifxing?” nama yang sedikit aneh.
 
“Yixing, maksudku. Namaku Zhang Yixing. Yixing, panggil saja aku Yixing. Ya, aku Yixing.”
 
Aku mendengus. Kenapa dia terdengar gugup? Kenapa dia terus-terusan mengulangi namanya? Apa dia memberiku nama palsu? Tetapi aku tidak mendengar nafasnya menjadi cepat, atau gestur kegugupan lain. Hanya pengulangan menyebut namanya saja yang terdengar berlebihan. Seperti dia sedang meyakinkanku, juga dirinya sendiri, bahwa dia adalah Yixing. Ya, ketika kau tidak bisa melihat, mau tidak mau kau harus mengandalkan indera lain selain matamu untuk melihat. Aku menggunakan telingaku untuk mendengar segala gerakan atau gestur dari sekelilingku dan memberitahuku apa yang mereka rasakan dari gestur itu.
 
“Baiklah, Yixing,” aku memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah. “Terimakasih atas traktiranmu.”
 
Memang tadi Yixing bilang dia akan membayar makanan dan minuman untukku, untuk menebus kesalahannya.
 
“Astaga, tidak apa-apa. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan.. dengan.. apa yang telah aku lakukan.. padamu.”
 
“Psssshhhh,” aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajahku, memintanya menghentikan itu. Kenapa dia membesar-besarkan perkara ini sih? “Kakiku hanya terkilir. No big deal.”
 
“.. yeah,” jawabnya setelah terdiam selama beberapa detik. “Ya, aku tahu. Apa.. apa kau yakin kau tidak perlu ke dokter, Luhan ? Kau tidak bisa jalan begitu apa tidak apa-apa?”
 
“Aku tidak yakin apakah aku bisa berjalan, tapi aku yakin aku tidak perlu ke dokter. Seharusnya aku bertemu dengan seorang sahabatku di sekitar Wangfujing sini, tetapi.. kita sedang ada di kafe apa, Yixing ? Biar aku suruh temanku itu datang ke sini saja.”
 
Begitu Yixing memberitahuku nama kafe yang sedang kami sambangi ini – Tous Le Jours – aku langsung mengirim pesan teks pada Tao dan Jongin, meminta mereka untuk datang ke kafe ini karena aku tidak mungkin berjalan ke tempat pertemuan kami seharusnya. Aku menggunakan ponsel model lama yang masih memiliki keypad di atasnya. Smartphone? Bleh, aku tidak bersahabat dengan mereka. Ibuku pernah bilang kalau smartphone sekarang sudah canggih dan ada teknologi pembacaan pesan untuk mereka yang tidak bisa melihat, namun aku tidak mau menghabiskan uang banyak kalau yang bisa aku lakukan dengan ponsel mahal itu sama saja dengan apa yang bisa aku lakukan dengan ponsel murah. Toh aku menggunakan ponselku hanya untuk bertukar telepon atau mengirim SMS. Untuk t

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
xingluyeol #1
Chapter 2: aiguuu ceritanya sangat keren dan mengharukan. happy ending walau dg keadaan yifan yg seperti itu. tapi itu yg mmbuat menarik. aku suka penggambaran karakter luhan dan yifan disini. dan aku baca ini karena aku krishan hard shipper. kkkk. authornim bikin krishan lagi ya. angst, comedy, drama atau apalah yg penting krishan. kkk. soalnya aku suka bgt. segitu aja review dr aku hahha. gomawo and keep writing. u are da best (y)
ricayong #2
Chapter 1: and sosweet^^
naila02 #3
Chapter 2: Keren banget thor. Aku sampe nangis ini. Keren keren keren.. minta di buatin sequel dong. Atau nggak cerita krishan lain deh. Keep writing authornim
chisss #4
Chapter 2: ah serius romantis, nyesek juga sih, ya ampun keren
yupsyupi
#5
Chapter 2: wits ad update an nih,,
oh jadi krishan itu sodara tiri-an gt. btw knp gak cukup donor 1 kornea saja si yifannya? kan biar sama2 ns tetep liat gt,, hehehe cuma komen loh.
btw jadi penasaran sama reaksi papa-mama krishan kl memang mereka lanjut.
naila02 #6
Chapter 1: Keren ceritanya authornim. Update soon ya ✌
ricayong #7
crtnya blm terbayang. .. ditunggu kelnjutannya