Chapter 8 - Grey
Time Works Wonders
Pergantian musim belum terlalu jauh. Meskipun matahari berusaha menelusup di awan musim gugur pagi ini, bau basah sisa hujan tadi malam dan dinginnya udara masih enggan menyingkir. Dapat ia rasakan begitu jelas di wajahnya, saat jendela ia turunkan dan sambutan angin yang tidak begitu ramah mengacak rambutnya.
“Tutup jendelanya.” Yunho memerintah dari kursi pengemudi di sampingnya.
Changmin tidak mengindahkannya dan tetap memandang apa pun di pinggir jalan yang bisa ia tangkap dengan matanya saat mobil melaju dengan kecepatan sedang. Yunho menggumamkan sesuatu tentang alergi dan flu, namun suaranya hanya membaur dengan angin. Changmin hanya ingin melihat, bukan mendengar.
Pikirannya mengembara ke memorinya tadi pagi saat Sooyeol yang pagi-pagi sekali dengan berseri-seri memberitahu kejutan yang telah ia janjikan sebagai hadiah pernikahan mereka. Sebuah rumah baru untuk kalian berdua, kata wanita itu. Terkejut, Changmin hanya bisa mendengarkan bagaimana ibu mertuanya bercerita tentang bagaimana ia harus mencari ke seluruh penjuru kota untuk menemukan rumah yang pantas untuk mereka berdua.
Selera Sooyeol tidak buruk, ternyata, setelah Changmin sendiri menyaksikan betapa manisnya rumah yang akan mereka tempati begitu mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah berukuran sedang. Dari sana Changmin dapat melihat bangunan dua lantai itu memiliki halaman depan yang ditata sedemikian rupa sehingga beberapa pohon cemara memagari jalan setapak yang mengarah ke samping rumah. Jendela-jendela besar rumah itu sedikit memberikan gambaran bagaimana interior rumah tersebut. Menarik, pikir Changmin.
Saat mereka memasuki rumah baru mereka, hal pertama yang Changmin lakukan adalah menggerakkan matanya ke segala penjuru. Kakinya melangkah tanpa aba-aba dari otaknya. Meskipun kekagumannya begitu jelas di matanya, Changmin tetap mengatakan, “Ini sedikit gila. Aku tidak akan meninggalkan apartemen lamaku.” Sambil membuka mulutnya ia berjalan perlahan.
Yunho mengikutinya di belakang. “Kau ingin kita tinggal di apartemenmu?”
“Bukan kita. Hanya aku.” Changmin memutar tubuhnya dan melirik Yunho sekilas yang sudah menghempaskan tubuhnya di sofa dan berusaha melepaskan kancing jaketnya. “Kau bisa tinggal di sini,” katanya. Changmin berjalan menuju jendela bundar di samping dan matanya mengikuti jalan setapak yang sebelumnya ia lihat dari depan mengarah ke bagian belakang yang tidak bisa ia lihat dari tempatnya berdiri. Ia menjulurkan kepalanya hingga menyentuh kaca jendela.
“Apakah rumah ini punya halaman belakang?” tanyanya kepada Yunho.
Yunho menyandarkan kepalanya, merentangkan kedua lengannya di atas sandaran sofa, dan memejamkan matanya. “Bagaimana aku bisa tahu?” jawabnya.
Changmin melengos dan memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Semakin ke belakang ia berjalan, semakin matanya tidak berhenti mengamati semua pojok. Ruangan depan mungkin terlihat luas, namun di bagian belakang ternyata berukuran lebih kecil dan personal, sesuai seleranya. Ia menemukan sebuah tangga yang mengarah ke lantai atas dan ia mengabaikan sejenak rasa penasarannya terhadap halaman belakang. Di atas hanya terdapat tiga ruangan: satu kamar utama dan satu kamar tamu yang diselingi dengan satu ruangan yang difungsikan untuk membaca dan bekerja, dilihat dari rak-rak dan meja kerja yang mengisi penuh ruangan itu. Changmin sudah bisa menebak ruangan itu akan menjadi ruangan favorit Yunho.
Tanpa menunda lagi, ia menuruni tangga, mengabaikan beberapa ruangan, dan menuju ke pintu belakang. Matanya melebar saat ia mendapati halaman belakang penuh dengan bunga bermacam-macam warna yang ditanam berdekatan membentuk sebuah taman bunga. Dan ia sudah bisa memastikan bahwa ini adalah tempat kesukaannya di antara semua pojok rumah baru itu.
Tanpa terasa ia sudah berdiri di sana lebih dari satu menit dan satu-satunya yang ia lakukan hanyalah memandang.
“ Berapa lama kau akan berdiri di sana?” Yunho berdiri dibelakangnya dan mengintip apa yang ada di depan Changmin. “Aku pikir kau tidak senang dengan rumah ini?”
“Aku hanya tidak senang jika harus tinggal satu atap denganmu,” koreksi Changmin.
“Baiklah,” kata Yunho. “Aku akan memberitahu Ibu untuk menjual kembali rumah ini.”
Changmin melebarkan kedua matanya dan dengan cekatan memutar tubuhnya.
“Yunho!” serunya. Yunho berhenti berjalan dan bergeming sejenak di tempatnya sebelum menatap Changmin dari balik bahunya. Changmin bahkan tidak menyesal saat dia kembali berseru. “Aku tidak pernah mengatakan aku tidak menyukai rumah ini.”
Yunho hanya mengangkat kedua bahunya sebelum meneruskan kembali jalannya. Changmin berharap orang itu tidak menyeringai sambil memunggunginya.
+++
Matanya bengkak pagi itu saat ia bercermin. Rambutnya terlihat sangat mengenaskan di atas kepalanya akibat tubuhnya yang tidak bisa diam di ranjang, bergerak ke sana ke mari untuk membuat tubuhnya nyaman. Ia bukannya menangis semalam atau memukul-mukul kedua matanya dengan sengaja. Mungkin ia hanya kekurangan hormon melatonin.
Satu hal yang menjadi masalah Changmin adalah, ia tidak bisa tidur di tempat asing. Yunho sudah menawarkan untuk tidur di sofa kamar mereka dan kemudian Changmin dapat tidur dengan nyaman di tempat tidur. Namun tentu saja tidak akan ada kata nyaman jika ia tidur satu ruangan dengan Yunho. Dengan pertimbangan itu akhirnya Changmin tidur di kamar tamu untuk menghindari kecanggungan.
Kegagalannya tadi malam untuk tidur membuatnya memikirkan Yoochun dan dengan segera ia menghubungi kekasihnya itu. Jadilah ia semalaman berbicara dengan Yoochun melalui telepon.
“Kau menyukai rumahnya?” tanya Yoochun.
“Hmm, ada kebun bunga di halaman belakang,” katanya antusias meski tertahan. “Aku harus mengundangmu kemari dan lihatlah sendiri.”
Ada jeda yang membuat Changmin menunggu beberapa detik. “Tidak, kau tidak akan.”
Senyum Changmin luruh dan ia terdiam, mereka terdiam dalam rentang waktu yang cukup lama sehingga ia harus mencari topik lain untuk dibicarakan. Akhirnya mereka hanya membicarakan hal-hal tidak penting yang membuat Changmin bosan dan tertidur dengan sendirinya. Dan saat ia berhasil tertidur, bumi telah berotasi sedemikian rupa dan matahari telah bersiap menyinari permukaan Seoul.
Changmin keluar dari kamarnya. Saat ia menuju ke dapur, Yunho sudah berada di sana, duduk sambil membaca sesuatu. Yunho mendongak sejenak untuk melirik Changmin sebelum secepat kilat memfokuskan matanya lagi ke barisan-barisan huruf di atas kertasnya.
Canggung. Tidak ada yang berbicara. Pertama kalinya Changmin melihat seseorang yang lain selain ayahnya ataupun Yoochun di pagi hari. Pagi pertama, hanya mereka berdua. Tiba-tiba ia merasa gugup.
Changmin berdehem. “Aku kira kau sudah berangkat kerja.”
Yunho kemudian mendongak penuh dan meletakkan kertasnya. Walaupun mata Yunho selalu seperti itu, namun kali ini ia menemukan keduanya terlalu sayu.
“Kau tidak tidur semalaman?”
“Tidak bisa tidur,” jawab Yunho jujur. Ia mengamati Changmin sejenak. “Apa yang terjadi dengan matamu?”
“Sama, aku rasa.”
Yunho tidak memberikan respon, yang membuat mereka hanya saling memandang canggung. Yunho yang pertama memutuskan aktivitas saling memandang mereka. “Aku harus berangkat sekarang.”
Changmin mengamati punggung Yunho yang menjauh. Ia kemudian membuat secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri dan mempertimbangkan dengan terlalu berlebihan apakah ia harus membuatkan satu lagi untuk Yunho sebelum ia berangkat, sampai-sampai beberapa menit kemudian ia tidak sadar Yunho kembali ke dapur lagi, lengkap dengan perlengkapan kerjanya.
Yunho ragu-ragu di ambang pintu saat Changmin mendongak.
“Aku pulang malam,” katanya. Changmin masih menunggu Yunho yang terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun pada akhirnya Yunho hanya mengatupkan mulutnya dan menunggu reaksi Changmin.
“Oh.” Changmin menggenggam erat cangkir tehnya. “Baiklah.”
Yunho masih berdiri di sana dan Changmin benar-benar tidak tahu apa yang orang itu inginkan, atau apa yang seharusnya ia ucapkan. Haruskah ia mengatakan ‘sampai jumpa’ ? Atau mengantar Yunho hingga ke depan?
“Kalau begitu –”
“ Ingin teh sebelum berangkat?”
“Tidak.” Yunho terlalu cepat menjawab. “Maksudku, aku harus segera berangkat.”
Changmin hanya mengangguk-angguk dan menatap cangkir di tangannya. Saat ia mendongak Yunho sudah tidak ada di tempatnya semula. Changmin mendesah.
+++
“Bisa kau menjelaskan mengapa dokumen bukti ada di tangan Donghae?”
Yoohyun terlihat tenang meskipun Yunho terdengar geram.
“Bagaimana kau bisa tahu dokumen itu ada di tangannya?”
Yunho membuang muka. “Kemarin orang itu datang dan memberitahuku. Dia bahkan mengubah nama marganya dan saat ini menjadi direktur Haewon Group dari Jeju. Aku sudah mencari profilnya. Tidak banyak yang kutemukan. Sepertinya mereka belum ingin menampakkan batang hidung mereka.” Yunho mendongak. “Anehnya, mereka bahkan sudah membangun relasi dengan perusahaan-perusahaan kecil di luar kota. Organisasi mereka benar-benar tidak masuk akal.”
“Tentu saja mereka menekan perusahaan-perusahaan itu. Sebentar lagi Chil Seong Pa akan mengambil alih mereka. Sudah bisa ditebak.”
“Mereka mempertaruhkan identitas mereka.” Yunho mengerutkan dahinya.
“Mereka selalu berfungsi, dimanapun, dalam keadaan apapun. Mudah saja jika ingin menutupi identitas mereka. Mereka ada tanpa harus menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Bekerja tanpa ada yang menyadarinya. Permainan politik terselubung.” Yoohyun mengangkat satu alisnya. “Kau pikir bagaimana mereka bisa mendapatkan dokumen bukti itu dari tanganmu begitu mudahnya?”
“Ada banyak orang licik di dalam tubuh mereka. Ini tidak bisa dibiarkan.” Yunho berdiri dari kursinya sambil memandang kedua mata Yoohyun dan bertanya dengan lirih. “Menurutmu, apakah ada kaki tangan Chil Seong Pa di perusahaan ini?”
“Kemungkinan besar,” jawab Yoohyun. Satu sudut bibirnya terangkat. “Konspirasi yang kita bicarakan sejak awal... Perusahaanmu mungkin dalam bahaya. Bahkan jika mereka tidak mempunyai catatan buruk perusahaanmu pun, mereka bisa memutar balikkan fakta, Yunho.”
Yunho menegang mendengarkan kalimat terakhir Yoohyun. Jika saja Donghae tidak mempunyai senjata apapun untuk menjatuhkannya, mungkin Yunho masih bisa duduk bersilang kaki dan memutar-mutar pena dengan santai. Tapi tidak begitu kenyataannya. Donghae memiliki satu catatan hitam masa lalu Jung Corporation yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom yang akan meluluh-lantahkan perusahaannya. Meskipun Yunho juga memegang buk
Comments