Chapter 4 - Revelation
Time Works WondersChapter 4
~ Revelation ~
Yunho memegang keningnya. Sudah menjadi gestur andalannya saat ia merasa frustasi. Akhir-akhir ini kepalanya berdenyut hebat dan matanya serasa menahan seribu beban. Ia lelah, namun harus tetap berdiri untuk melanjutkan hidupnya yang semakin tak menentu.
Kantornya menjadi rumah utamanya sekarang. Berkas-berkas bertebaran di atas mejanya, menunggu untuk disentuh dan diselesaikan dengan segera. Jika bukan karena ibunya yang melimpahkannya pekerjaan “pembiasaan” untuknya, Yunho tidak akan mencuri beberapa malam penuh di meja kerjanya untuk menyelesaikan semuanya dalam satu waktu.
Namun tetap saja itu bukanlah poin penting mengapa ia rela menghabiskan malam-malamnya di kantor. Ada sesuatu yang membuatnya membungkus diri dalam kesibukan yang hampir tidak masuk akal akhir-akhir ini.
“Laporan itu,” ucap Yunho. “Apakah asli?”
Yoohyun, yang berdiri di depan meja kerjanya, bermuka tenang. “Positif,” jawabnya.
“Sial.” Yunho mengutuk pelan. “Bagaimana dia bisa mendapatkannya? Berkas-berkas itu, bahkan aku tidak pernah memegangnya. Bagaimana bisa?”
Yoohyun menautkan kedua alisnya. “Kau perlu memikirkan adanya konspirasi yang mungkin terjadi dalam masalah ini.”
Yunho mendesis. “Aku tidak menyukai ini sama sekali,” katanya geram. “Kita harus bertindak cepat.”
“Jangan,” larang Yoohyun. “Lebih baik kita menunggu.”
Yunho merasa tidak sabar. “Mengapa? Menunggu hanya akan memperburuk keadaan. Dia bisa saja menyerang kapan pun dan saat itu terjadi mungkin perusahaan ini sudah kacau balau!”
Yoohyun melangkah ke depan, matanya tajam dan pasti, seakan menantang Yunho. Orang yang sekarang berdiri di hadapan Yunho hanyalah kaki tangannya, namun di setiap ujung keputusan, Yunho memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Yoohyun. Setiap sarannya akan ia ambil dengan percaya diri tanpa mempertimbangkan lebih lanjut. Meskipun demikian, kali ini ada perasaan yang sepertinya tidak benar. Yunho ingin mempelajari lebih lanjut tentang itu, namun mengurungkannya dengan segera mengingat ia tidak memiliki waktu banyak untuk memikirkan hal semacam itu.
“Kau ingin menyerangnya?” balas Yoohyun. “Apa kau benar-benar yakin?” Yunho melihat suatu tantangan nyata di mata Yoohyun yang tidak bisa ia tepis.
“Aku,” kata Yunho tidak yakin, berhenti sejenak. “Aku bisa melakukannya.”
Yoohyun yang berada tepat di depan mejanya, meletakkan kedua telapak tangannya di meja, tubuhnya condong ke depan. “Benarkah?”
Yunho menelan gumpalan yang menyekat tenggorokannya. Yoohyun benar-benar telah mendapatkannya. Bahkan seolah orang itu tahu apa yang ada di pikirannya.
Yunho menegakkan badannya. “Apa kau mengetahui sesuatu, Yoohyun?” tanyanya sambil menatap tepat ke arah mata Yoohyun.
Mencondongkan kepalanya ke samping, Yoohyun berkata dengan tenang, “Aku bersih.” Kedua tangannya terangkat dalam posisi defensif. “Aku mungkin saja tahu sesuatu, tapi aku yakin itu bukan sebuah ancaman untukmu jika aku yang mengetahuinya.” Setiap kata ia katakan dengan suara stabil, membuat Yunho secara suka rela merasa lega. Ya, benar. Bukan sebuah ancaman.
Yunho menyandarkan bahunya kembali ke bangku. Begitu banyak pertanyaan dan sebagainya di kepalanya, ia memejamkan mata. Kedua tangan ia satukan di atas meja. Ia menarik napas dan menghelanya, suatu pekerjaan yang akan selalu orang normal lakukan dengan mudahnya. Namun baginya, bernapas itu susah, karena setiap tarikan dan hembusannya menggiringnya semakin dekat kepada hal-hal yang tidak ia inginkan. Semakin dalam ia menyelam, semakin gelap semuanya terasa.
“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan Yoohyun membawanya ke permukaan. Yunho membuka matanya dengan berat hati.
“Hm,” jawabnya singkat. Yunho mendongak dan melihat tatapan khawatir dari Yoohyun.
“Benarkah?”
Ia tahu Yoohyun akan selalu ikut campur. Tidak ada gunanya memberikan jawaban yang aman kepadanya hanya untuk sekedar membuatnya tidak khawatir.
“Tidak. Tidak juga.” Yunho mengubah jawabannya.
Yoohyun melangkah ke belakang. “Baiklah,” katanya mulai mengganti nadanya dengan lebih serius. Sepertinya orang itu tahu dimana ia harus berhenti ikut campur. “Aku akan kembali lagi saat kau membutuhkanku.”
“Kau sudah bekerja keras,” ucap Yunho. “Pastikan istirahatmu tenang.”
“Aku mengerti,” respon Yoohyun. Ia mengencangkan topi di kepalanya, mencondongkannya ke depan hingga menutupi matanya, dan mengenakan maskernya kembali. “Aku pergi.”
Yunho menatap punggung Yoohyun yang semakin menjauh sebelum sosoknya menghilang di balik pintu. Ia mendesah panjang saat ruangannya sepi kembali. Malam sudah terlanjur dalam. Jam kerja seharusnya sudah lalu. Namun beberapa karyawannya masih terjaga di kantor untuk menyelesaikan tugas darinya atau hanya sekedar untuk menghormatinya. Etika jam kerja rela ia langgar demi perusahaan ini. Yunho akan melakukan apapun.
Demi perusahaan ini? Yunho bertanya dalam kepalanya. Mungkin ia terlalu terbelenggu dalam penyangkalan. Jauh di lubuk pikirannya, ia sendiri tahu ini bukan hanya sekedar perusahaan yang sebentar lagi akan ia pimpin. Ini tentang masa lalu yang tidak akan pernah lepas ikatannya. Ini juga tentang egonya, sebagai seseorang yang tidak bisa melupakan.
Yunho mengeluarkan sebuah foto dari dalam laci meja kerjanya dan menatapnya untuk waktu yang cukup lama, bertanya-tanya apa yang sedang orang itu lakukan saat ini, di tempat yang berbeda, yang barangkali tidak pernah memikirkan dan bertanya-tanya kembali apa yang sedang Yunho lakukan. Kepesimisan itu tidak menghentikan Yunho untuk tersenyum lemah ketika perasaan hangat itu menjalar kembali di dadanya.
Akan tetapi, memori tentang malam yang basah di mobilnya, setelah keluar dari rumah sakit, mengacaukan suasana hatinya dalam hitungan detik. Meskipun sudah berhari-hari mereka tidak bertemu, Yunho masih mengingat bagaimana pengakuan orang itu jatuh begitu saja dari mulutnya bersamaan dengan riuhnya air hujan.
Ia frustasi, lebih karena keadaan menjadi semakin rumit. Bukan saja perusahaannya, tapi juga kehidupan pribadinya mulai terombang-ambing.
Haruskah ia marah padanya?
Yunho menguatkan kakinya sebelum ia berdiri dari kursinya. Ia mengamati bagian atas meja kerjanya yang hampir penuh oleh berkas-berkas yang tidak ingin ia tengok untuk sekarang. Papan namanya berdiri di depan meja itu, memberikan impresi bahwa orang yang duduk di belakang meja itu bukanlah orang biasa, atau setidaknya itulah yang orang-orang mungkin pikirkan saat melangkah masuk dan membaca papan itu. Ironisnya, Yunho tidak bisa bangga akan hal itu.
Dalamnya malam ternyata belum membuat suasana jalanan di bawah sana bungkam. Samar-samar ia mendengar suara klakson yang dibunyikan. Perhatiannya teralihkan. Yunho melangkah menuju jendela besar di samping mejanya.
Ia mendesah. Tubuhnya mendadak terasa berat. Atau mungkin beban di bahunya yang membuatnya sedikit limbung? Atau pikiran-pikiran berat yang menguasai kepalanyakah yang membuatnya pusing? Entahlah. Yunho hanya tahu bahwa ia sangat lelah. Sangat lelah hingga ia hanya bisa menatap kosong ke arah gemerlap cahaya kota di depannya. Ia ingin menikmati momen ini, namun bernapas pun tidak membuatnya lebih nyaman.
Ia hanya bergeming seraya telinganya samar-samar mendengar suara dari belakangnya.
“Yunho?”
Sekarang, di saat seperti ini pun otaknya sempat berhalusinasi. Mengapa harus suara orang itu, Yunho tidak tahu.
“Apakah itu kau?”
Yunho membiarkan kepalanya bermain-main dengannya lebih lama. Matanya masih memandang ke depan.
“Jung Yunho,” lanjut suara di kepalanya.
Dan saat ia menggerakkan bola matanya, otaknya mulai membuat bayangan tidak nyata di jendela. Orang itu berdiri tepat di belakangnya. Memperdayanya lebih lanjut, instingnya dibuat merasakan kehadiran nyata seseorang.
“Apa yang kau lakukan?”
Dan kini telinganya dengan jelas menangkap suara itu. Bukan lagi suara yang berasal dari kepalanya. Jika otaknya membuat trik semacam itu lebih lanjut lagi, mungkin Yunho bisa menggila. Satu tepukan di bahunya kemudian, dan dirinya menyerah. Nyata atau tidak, ia memutar tubuhnya dan dengan kepercayaan buta yang ia miliki, menyandarkan kepalanya yang sudah terasa sangat berat di bahu Changmin.
Desahan lega yang keluar dari mulutnya mengiringi kesadarannya yang mulai terlepas dari tubuhnya. Dan ketika sebuah lengan menyangga tubuhnya yang hampir terjatuh, Yunho menutup kedua matanya.
+++
Suara samar-samar pintu dibuka dan seruan yang mengikutinya membuat sistem di otaknya kembali bekerja dengan tiba-tiba. Dalam situasi terburu-buru, napasnya tertahan di tenggorokan dan matanya terbuka lebar menatap seorang wanita di ambang pintu yang juga menatapnya dengan tidak kalah terkejutnya dengan mulutnya yang terbuka lebar.
“Apa yang kau lakukan di sini?” seru wanita itu sembari berjalan lantang ke arahnya. “Beraninya kau memasuki kantor ini sembarang– “
Wanita itu berhenti saat wajah Changmin terlihat jelas. BoA mengedipkan matanya, mencoba untuk memroses sesuatu di kepalanya.
Changmin memanfaatkan momen tersebut untuk menegakkan badannya yang terasa kaku akibat posisi tidurnya yang tidak nyaman di bangku Yunho semalaman.
“Maaf,” ucapnya pelan. Suaranya masih parau. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke sofa di sudut ruangan, tempat dimana Yunho seharusnya berbaring. Sayangnya ia tidak menemukan siapapun di atas sofa itu. Changmin melirik jam tangannya, lalu mengerutkan keningnya sebelum menatap BoA. “Apa yang kau lakukan pagi buta begini di kantor? Di mana Yunho?”
BoA menyilangkan kedua lengannya di dada. “Aku yang bertanya terlebih dahulu. Sedang apa kau di sini?”
“Keadaan darurat semalam,” katanya sambil mengusap-usap lehernya yang sakit. “Yunho seharusnya ada di sini.”
“Tapi dia tidak ada di sini,” kata BoA memberitahu. Wanita itu mengangkat dagunya sedikit. “Jika aku tidak salah, kau adalah teman Jung Daepyonim. Benar atau tidak, ini bukanlah hal yang tepat untukmu masuk ke ruangannya tanpa izin, terlebih lagi bermalam sesukamu di sini. Tentunya kau cukup cerdas untuk mengetahui tempat ini bukanlah sebuah hotel.”
Meskipun apa yang dikatakan BoA adalah benar, namun semua asumsinya salah. Karena tersinggung, Changmin memicingkan matanya. Kepalanya sudah mulai bekerja dengan penuh sekarang.
“Biarkan aku meluruskan satu hal. Aku tidak masuk secara sembarangan hanya karena aku adalah teman Jung Yunho,” kata Changmin membela diri.
“Tidak apa-apa, BoA.” Seseorang masuk, membawa dua buah cangkir teh di kedua tangannya. Yunho baru saja kembali. Ia dengan tenang meletakkan satu cangkir di depan Changmin dan menyesap yang satunya lagi sembari melihat BoA yang menunundukkan kepalanya hormat.
Yunho melirik Changmin dan berkata dengan nada yang hampir sugestif. “Terima kasih telah menemaniku semalam.”
BoA melebarkan matanya ketika ia menafsirkan kalimat Yunho terlalu dalam.
Changmin mencoba bersikap setenang mungkin. “Jangan berkata seperti itu di depannya.”
BoA kemudian menatap Changmin dan Yunho secara bergantian dengan ekspresi menghakimi, terlebih kepada Changmin. Wanita itu terlihat ingin berseru kepadanya agar berhenti membuatnya terkejut, namun tentu saja kehadiran Yunho menyelamatkannya.
“Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu di sini?” tanya BoA perlahan.
Sudut bibir Yunho sedikit sekali terangkat, Changmin hampir melewatkannya. “Dia tunanganku.”
Satu detak yang terlewatkan oleh jantung Changmin menyebabkannya berdetak tidak beraturan setelahnya. Mendengar Yunho mengatakan itu adalah sesuatu hal yang baru untuknya. Mungkin ia belum terbiasa mendengarnya, atau mungkin hal sepele seperti cara Yunho mengatakannya. Seolah itu bukanlah hal yang perlu direnungkan sebelum atau sesudah ia mengatakannya. Karena bagi Changmin, kalimat itu mengandung lebih dari satu masalah.
Lebih dari terkejut, kini BoA terlihat tertekan dengan pengetahuan baru itu. Meskipun demikian, rasa lega menyeruak di dada Changmin ketika BoA meluruskan wajahnya kembali saat menatapnya. Changmin hanya berharap wanita itu berhenti berpikir seolah ia adalah penyusup asing yang tidak sopan. Sekarang tidak ada alasan baginya untuk terlihat seperti ingin berteriak kepada Changmin.
“Oh.” Mata BoA melihat apapun kecuali mereka berdua. Lalu berhenti pada Yunho. “Maafkan atas kelancanganku, Daepyonim.”
“Tidak masalah.” Yunho meletakkan cangkirnya. “Ada apa?” tanyanya kepada BoA, mengalihkan topik pembicaraan.
Boa buru-buru mengangkat folder yang ia bawa. “Aku bermaksud meletakkan ini di mejamu, tapi karena kau sudah di sini, ini...” BoA memberikan folder itu kepada Yunho.
“Terima kasih,” ucap Yunho.
Boa menundukkan badannya sebentar sebelum akhirnya wanita itu bergegas keluar. Tidak lupa ia melayangkan sebuah tatapan untuk Changmin.
Changmin mendesah terlalu keras sehingga Yunho memutar kepalanya ke arahnya.
“Bagaimana tidurmu?” tanya Yunho datar dan terkesan basa-basi.
“Jika kau pikir tidur di kursi itu nyaman,” jawab Changmin tanpa menjelaskan lebih lanjut.
“Baguslah. Sekarang, kau bisa berdiri dari sana karena aku membutuhkan kursiku.”
Tanpa menunjukkan keengganannya, Changmin berdiri dan membiarkan Yunho mengambil alih singgasananya.
“Bagaimana keadaanmu? Jauh lebih baik?” tanya Changmin. “Aku lihat kau sudah bisa berjalan,” ejeknya.
“Hm.” Respons Yunho sama tak acuhnya dengan sebelumnya. Changmin menunggu jawaban lain, namun Yunho sepertinya tidak ingin membela dirinya atau setidaknya menjelaskan sesuatu tentang kejadian tadi malam.
Saat Yunho membisu dan sibuk dengan berkas-berkasnya, Chang
Comments