ON the WAY HOME: 1. The Traffic Light

On the Way Home

Belajar adalah rutinitas wajib namun enggan dilakukan oleh kalangan pelajar. Mungkin tidak bagi mereka, pelajar dengan kepribadian rajin dan tekun. Sehun bukanlah salah satu dari pelajar yang rajin ataupun tekun. Ayolah, lihat apa yang dia lakukan sekarang. Seorang guru menjelaskan beberapa rumus fisika yang cukup rumit dan anak itu sama sekali tidak memperhatikan. Seisi kelas sibuk mencatat sembari berusaha memahami materi, sementara Sehun justru secara diam-diam memakai earphone dan mendengarkan musik kesukaannya.

Bel tanda pulang sekolah berbunyi tepat saat sang guru selesai menjelaskan materi terakhir pada bab yang dipelajari hari ini. Sehun yang sedari tadi sudah mengemasi barangnya dengan rapi di dalam tas, hanya tinggal menentengnya kemudian berlari menuju gerbang dan kini ia telah berada di luar area sekolah.

Seseorang menepuk bahunya ketika remaja nakal itu hendak kembali menyumpalkan earphone ke telinganya. Artis idolanya baru-baru ini merilis album baru dan Sehun tidak bisa satu jam saja tanpa mendengarkan lagu baru sang artis yang begitu enak untuk didengarkan.

“Besok akan ada test mengenai materi tadi dan kau sama sekali tidak mencatat rumus? Dasar jenius.” Sindir Jongin sembari merangkul Sehun.

“Benarkah? Setelah ini aku akan menuju tempat les. Aku akan belajar bersama tutorku saja. Aku akan jauh lebih paham jika belajar dengannya.” Jawab Sehun tanpa menghiraukan Jongin.

Sehun hanya menghela napas. Ia ingin cepat menemui tutornya dan memahami segala materi fisika –yang dibencinya. Lalu ia akan siap untuk test esok hari tanpa harus belajar semalam suntuk. Demikian rencana belajar seorang Oh Sehun.

.

.

.

Sore belum sepenuhnya berganti malam. Sebagian langit tampak menunjukkan semburat merah jingga dan sebagian yang lain telah menggelap. Namun Sehun masih bisa melihat awan mendung tebal yang menggantung di langit. Ia mempercepat langkahnya. Rumahnya masih cukup jauh dan ia tidak ingin tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup.

Ia berada pada jarak dua ratus meter sebelum mencapai jalan raya yang penuh kendaraan. Matanya menangkap sesosok yang tidak asing berjalan sekitar lima belas meter di depannya. Sehun berjalan lebih cepat menghampirinya.

Sosok itu adalah Jongin.

Jongin yang melihat Sehun menghampirinya, menghentikan sejenak langkahnya sembari memainkan ponselnya. Kemudian dua remaja lelaki itu berjalan berdampingan.

“Kukira kau bolos les tadi, Jongin.”

“Tentu tidak, baby Hun.”

Hingga mereka mencapai pada sisi jalan raya, bersiap untuk menyeberang. Hanya Jongin yang menyeberang. Rumahnya ada di pinggir jalan raya, berada di sebelah coffee café milik kakak perempuannya. Satu kali menyeberangi zebra cross, melangkah beberapa meter dan Jongin akan sampai di rumahnya.

“Bye, Jongin!” Sehun yang tidak ikut menyeberangi jalan, kini hanya berdiam memperhatikan Jongin yang menunggu lampu merah menyala. Jongin tidak membalas ucapannya namun Sehun diam saja.

Traffic light menyala merah dan Jongin serta beberapa pejalan kaki lainnya berjalan melintasi jalan bergaris-garis putih itu. Sehun tidak melanjutkan perjalanannya sampai ia sendiri melihat Jongin telah tiba di seberang sana. Sekedar memastikan sahabatnya itu sampai di rumahnya dengan selamat.

Sehun melihat Jongin telah memasuki rumahnya dan menutup pintu utama. Tepat saat itu pula, lampu traffic berganti hijau. Kendaraan saling berlomba untuk melaju.

Awan semakin pekat dan Sehun memutuskan untuk pulang menaiki bus. Ia berbalik arah dan berjalan menuju halte bus yang berada tiga puluh meter di depannya.

Tap.

Satu langkah.

Tap.

Dua langkah.

Tap.

Tiga langkah.

Lalu, bam! Sehun terkesiap ketika seseorang menepuk pundaknya. Lewat ekor matanya, Sehun melirik telapak tangan seseorang yang menyentuh bahunya sekarang. Lantas ia menoleh untuk melihat siapa sang pemilik tangan.

Itu Jongin.

Benar-benar Jongin dan Sehun tercekat melihat sosok sahabatnya itu.

Jongin? Bukannya ia sudah masuk ke rumahnya tadi? Sehun bersumpah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sosok Jongin tadi sudah sampai di rumahnya.

“Jongin?”

“Aku ingin mampir ke rumahmu. Ajarkan aku materi fisika untuk test besok. Aku yakin kau sudah menguasai materi itu di tempat les.” Jongin berucap dingin. Tapi wajahnya tersenyum.

Dan kemerahan.

Bukan semburat merah di pipi karena malu. Tetapi seluruh wajah serta kulit tangannya sedikit memerah seperti habis berlari jarak jauh. Nafasnya juga sedikit tersenggal. Tapi tidak ada setitik pun peluh menempel di kulit Jongin.

“O…oke? Kita ke rumahku sekarang.” Timpal Sehun dengan tertegun.

Pikiran Sehun berkecamuk. Ia melirik ke arah traffic light, jalan raya, dan rumah Jongin. Kemudian mengerling pada Jongin yang berjalan di sebelahnya dalam diam.

Sejak ia melihat Jongin telah tiba di rumahnya, lampu traffic light bahkan belum berganti menjadi merah kembali –masih hijau hingga kini. Berarti seharusnya tidak ada seorang pejalan kaki pun yang dapat menyeberangi jalan ini. Kecuali jika seseorang yang nekat, tapi rasanya tidak mungkin. Mengingat jalan raya ini cukup ramai akan kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Lantas bagaimana bisa Jongin kembali ke seberang jalan hanya dalam kurun waktu beberapa detik? Sehun pikir, sekalipun Jongin berlari tidaklah tiga detik juga waktu yang ia butuhkan.

Sehun benar-benar tercengang. Sedikit rasa takut menyergapnya, namun ia berusaha tenang. Ia berpikiran bahwa mungkin saja yang ia lihat tadi bukan Jongin melainkan kakak laki-laki Jongin, Kim Jongdae. Trotoar begitu penuh dengan orang-orang. Maka Sehun memberikan kelonggaran jalan pada pejalan kaki lainnya dengan cara tidak berjalan berdampingan melainkan membiarkan Jongin berjalan di depannya. Sehun mengekor sambil memainkan ponselnya.

Dua sahabat itu terus berjalan hingga berada sepuluh meter dari halte. Sehun hanya memandangi Jongin di depannya yang sedang menyiapkan uang untuk membeli tiket bus. Sehun merundukkan kepalanya –melihat ke arah ponselnya – dan dua detik kemudian ketika ia mendongakkan kepalanya kembali, Sehun terkejut.

Jongin menghilang.

Apa lagi? Apa lagi yang kali ini?

Jongin menghilang?

Dalam dua detik?

Mustahil.

Kemana dia?

Sehun mencari ke segala arah dengan rasa takut yang membelenggu. Tapi nihil, Jongin tidak ada di sekitarnya. Akal sehatnya tidak lagi bekerja. Ia segera membeli tiket bus dan –beruntung –bus yang akan ditumpanginya sudah datang. Setidaknya, Sehun bisa cepat sampai di rumah.

.

.

.

Jongin hanya melongo ketika Sehun menginterogasi dirinya saat mereka makan siang di kantin.

“Apa tadi katamu? Aku tiba-tiba menghilang?”

“Ya. Kau meninggalkanku. Aku bingung mencarimu. Aku takut dan aku segera pulang.”

“Apa tidak salah,Sehun? Kau bilang setelah pulang les aku tiba-tiba ingin mampir ke rumahmu, lalu pada saat kita menuju halte aku menghilang tanpa jejak?”

“Benar, Jongin.”

“Dan sebelum itu kau melihatku sudah masuk rumah?”

“Tepat, Kkamjong.”

“Mustahil!”

“Apa?”

“Ada yang harus kau ketahui,Sehun.”

“Apa?!”

Sehun sedikit emosi dan Jongin hanya bisa memaklumi. Karena hal ini juga membuatnya bingung, tidak mengerti.

“Kemarin………” ia menghela napas berat. Masih sedikit tidak percaya dengan cerita Sehun.

“Aku bahkan tidak pergi les. Aku bolos.” lanjut Jongin.

 

-FIN-

There will be a sequel, I promise

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
bubblerabbit
#1
Chapter 1: Baru merinding di ucapan terakhir jongin :/
so scary
pnkohy #2
Chapter 1: Kok serem sih *merinding
Tapi bagus kok ceritanya aku suka HAHA
hanhyema
#3
Chapter 1: hahahahaha, (ini ketawa karena dikit banget padahal lagi asik-asik baca.) Dek, dipanjangin lah. Nanti sequel wajib eon dikasih tahu, ne? Ini serasa ada penyegaran hal baru yang bisa diangkat jadi ff, seneng sama plot dan cara kamu nulisnya. GOOD LUCK for sequel. hehe