The Book

Trapped in Mirror Land

Ditengah udara musim panas yang menyengat, Kang Seulgi mencoba menghibur dirinya. Setelah mengunyah dua bungkus permen karet, diludahkannya bulatan lengket itu sambil memelintirnya diseragam Joo -siswa didepannya. Gadis dengan potongan bob itu menoleh ke arahnya seperti musang sedang dicuri makanannya. Tak ada ekspresi. Seulgi berusaha menyembunyikan tawanya. Joo tak tahu rupanya.

Seulgi mengambil satu bungkus lagi permen. Tanpa berniat mengunyahnya, ia malah menarik permen itu hingga sepanjang pensil. Mata elangnya menerobos celah-celah udara hingga ia menemukan rambut Jikyung yang kecoklatan. Ia tahu benar gadis itu sangat menyayangi rambutnya, terlebih dia seorang fashionista. Setidaknya di sekolah ini. Seulgi malah sengaja melempar permen karet yang memanjang itu kearah rambutnya. Bam! Permen itu tersangkut di rambut bawahnya. Seulgi kembali cekikikan. Mulutnya menggembung karena tak tahan menahan tawa. Salah satu siswa berkacamata dibelakangnya mendengus saat arah pandangnya tertutupi tubuh Seulgi yang tak karuan bertingkah. "Bisakah kau bergeser sedikit? Aku tidak bisa mencatat rumus integral-nya."

Seulgi mau tak mau menaggapinya. Ia menatap murid paling pintar itu dengan tatapan apa-peduliku. Tetapi daripada harus berdebat saat ini Seulgi lebih memilih untuk bungkam. Ia menggeser kursinya.

Di kotak pensil mungilnya -yang belakangan ini ia coreti dengan spidol biru dan ungu- ada beberapa pensil dengan kepala hewan yang lucu. Beberapa karet penghapus dan dua buah pena dengan ujung runcing yang elegan. Seulgi meraih satu pena. Ia memutar ujung pena itu sehingga moncong tintanya terlihat berkilat di matanya. Ia berniat untuk menulisnya judul integral pada garis pertama sebelum sebuah benda ia rasa terjatuh di atas kepalanya. Bukan terjatuh, tetapi dilempar lebih tepatnya. Ia mengaduh kesakitan.

"Bisakah kau tidak mengganggu kelas belajarku?" seru Mr. Dane di depan kelas. Ia masih memegang buku dengan tangan teracung. Seulgi menyadari semua siswa menatapnya. Juga Joo dan Jikyung yang mulai merasakan lengket dirambutnya. Mereka semua menatapnya. Menatap dengan tatapan yang oh aku tak ingin mendapatkannya.Belum sempat ia membela diri tak disangka Mr. Dane menghampirinya. Mengawasi dengan mata kerikilnya yang gelap.

"Why you being like this? Yesterday your Mom called me and say that you're not good at study. Your test result is bad.. What I must do?" semburnya tiba-tiba. Seulgi ternsentak. Sejak dua tahun yang lalu Mr. Dane punya jam di kelasnya jadi dia tahu betul bagaimana sifat guru asal Kanada tersebut. Menggunakan bahasa ibunya -Inggris- saat dia mulai putus asa dan marah. Apa dia marah saat Seulgi tidak mencatat materinya. Integral dengan fungsi dan angka-angka yang membingungkan. Integral tak bisa dimakan, tolong ini hanya satu materi. "Apa aku belum menguasai materi ini? Aku akan berusaha mengulangnya dirumah." bela Seulgi. Ia menurunkan pandangannya. Menatap jelas kuku-kukunya yang di cat oranye dengan tambahan segitiga putih di pangkalnya.

"Bisa kau beritahu ibumu untuk tidak menelponku lagi? Itu sedikit mengganggu. Sekarang terserah padamu mau menerima pelajaranku atau tidak". Bom seperti meledak ke arah Seulgi saat itu juga. Belum pernah ia diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Terlebih seorang guru. Hanya saat umurnya 7 tahun ia pernah di perintahkan pulang karena menumpahkan es jeruk di rok teman sebangkunya. Hanya itu.

"Tapi dia tak pernah memberitahuku jika dia sering menelponmu."

Mr. Dane mengambil langkah panjang dan kembali ke depan kelas. Ia menuliskan beberapa pertanyaan seperti tuliskan pengertian Integral seseuai pendapatmu, tuliskan rumus sederhananya dan cari soal dan coba kerjakan. Lalu dia duduk di mejanya. Selesai. Apa masalahnya selesai?

Seulgi merasa bersalah. Sangat bersalah terlebih pada teman-temannya. Ia sangat malu. Separuh dari mereka termasuk juga Joo dan Jikyung masih mengawasinya. Seulgi mencoba mencari tempat pandang lain yang kosong dari tatapan mereka. Tentu saja kearah belakang, kearah seorang manusia ber-IQ 143. Ia pasti sibuk dengan rumusnya.

 

 

Seulgi memencet tombol bel rumahnya. Nyelonong masuk saat intercom di rumahnya tak menyahut. Ia berjalan dengan mengendap-endap dan berjinjit. Sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan saat ia pulang telat. Sebelum ia pulang, ia sempat pergi ke toko kosmetik membeli pelembab dan sunblock. Juga ia mampir ke salon untuk melapisi kuku-nya dengan coat yang lebih mengilap. Hanya tiga jam pikirnya. Tidak ada suara di rumah sehingga Seulgi merasa aman. Tetapi aneh, pada jam-jam begini semua penghuni rumah telah pulang. Tetapi tak ada kehidupan hingga dapur dan balkon belakang. Seulgi seperti ongokan daging yang tertiup angin di rumahnya. Hingga ia mendengar bunyi berkelontangan di lantai atas. Ia segera berlari menuju sumber suara itu dan mendapati sebuah vas alumunium menggelinding dari kamar utama. Kamar kedua orang tuanya.

Ayah dan Ibu bertengkar lagi.

"Ibu-" belum sempat ia membuka pintu, ia meredam langkahnya. Ia menurunkan kepalanya dan menempel di pintu seperti cicak. "Bagaimana kau mengajari putrimu? Bagaimana nilainya bisa seburuk ini."

"Aku sudah menyuruhnya untuk belajar lebih giat. Untuk ini, aku sudah menelpon gurunya."

Seulgi terasa tersayat dua kali. Belum menguap ingatan kata-kata Mr. Dane yang sedikit banyak membuat hatinya mengkerut, sekarang kedua orang tuanya mempermasalahkan hal yang sama. Apa ini gara-gara integral dan rumusnya itu? Atau karena satu mata pelajaran itu yang membuat nilai jeblok. Seulgi ingin tumbuh dewasa sekarang juga.

"Pindahkan saja dia ke Amerika, mungkin dia akan belajar dengan lebih baik." Suara Ayah menyahut dengan sedikit tenang. Terdengar suara kursi berderit. Mereka terdengar sunyi kali ini. Karena tak mendengar suara lagi, Seulgi berniat untuk kembali ke kamarnya. Ia mencoba berdiri setelah tadi merosot sedemikian hingga ia merasa tulang keringnya dingin karena menempel ubin.

Ia menyeka sudut matanya yang berair. Sial! Ia menangis. Bukannya tumbuh dewasa ia malah merengek seperti anak kecil. Payah dan bodoh. Ia mengutuk dirinya dalam hati. Tiba ia disebuah ruangan dengan cat dasar oranye lembut, dengan dekorasi kayu yang dinamis dan tempelan stiker bunga yang sejuk. Ia merasa berada di surga dunianya. Sebuah ruangan dimana ia mencurahkan kegelisahannya. Seulgi tak segan-segan berbica pada ruangan itu. Berharap ia bisa membuang seperempat dari keluh kesahnya dan berbagi dengan ruangan itu. Hanya itu yang bisa membuatnya tenang. Untuk sementara.

Meski terkadang keresahan itu datang lagi beberapa hari kemudian.

Seulgi melempar tasnya kemudia menutup kedua matanya dengan tangan. Ia duduk bersila diatas ranjang. Belum melepas sepatu tentunya. Angin malam yang mulai terasa mencekik menerbangkan surainya. Jendela belum ditutup sehingga angin dengan mudah menggelitik cuping hidungnya. Seulgi beralih menuju sebuah kotak disamping tempat tidurnya. Sudah menjadi kebiasaan jika keluarga Kang selalu menyimpan buku pada peti-peti kulit. Seulgi termasuk dari dari keluarganya yang mewarisi kebiasaan itu. Di dalam kotak dengan lapisan kulit berwarna kayu ia mengambil beberapa buku cerita. Diantaranya karya fiksi anak-anak termasuk kisah Putri Salju dan Alice in Wonderland. Diantara semua itu ia paling suka cerita Peterpan. Wendy dan Neverland adalah tokoh dan tempat impiannya. Siapa yang tak ingin menjadi gadis seperti Wendy? Pergi ke sebuah tempat yang luar biasa indah dengan seorang lelaki tampan yang bisa terbang. Seulgi bisa tersenyum malu berhari-hari saat membayangkan Peterpan mengetuk jendelanya.

Sayangnya ia bosan dengan buku itu saat ini. Sampul yang ia lapisi sendiri dengan kain beludru safir membuat buku itu terlihat keren melebihi sebuah novel. Seulgi dan keluarganya menghargai kata-kata, sehingga ia bisa saja mengeluarkan banyak uang untuk mebeli dan merawat kata-kata dalam bentuk novel maupun perkamen. Sekarang buku itu jatuh berdebum diatas lantai. Seulgi mengabaikannya untuk kesekian kali.

Ia teringat ada satu buku yang memancing perhatiannya. Sebuah buku yang seumur hidupnya belum pernah ia baca. Bahkan menyentuhnya pun belum. Ia berlari sekencang mungkin kearah perpustakaan kecil mereka. Ruangan dengan lebar 6x6 meter yang penuh dengan peti-peti buku dan kursi yang empuk untuk membaca. Seulgi membuka satu kotak kecil di atas meja dengan cat ungu gelap. Letak kunci peti-peti itu. Ia mencari sebuah kunci dengan logo Dad di permukaannya. Sial hanya empat kunci dengan logo Dad. Ia butuh yang warna hijau dan dalam kotak itu tak ada satu kuncipun yang terlihat berwarna hijau.

Seulgi teramat penasaran untuk menjamah buku itu. Jemarinya tak henti bergoyang saat ia meraba permukaan peti dengan lapisan kulit yang menyerupai kulit kayu ek yang sedikit wangi. Ia mengangkat peti itu dan mengguncangkannya. Mengoyak lebih keras hingga sebuah benda mengkilat seukuran ibu jari terjatuh dari bawah. Tepat! Anak memang tak jauh bersarang dari induknya. Seulgi tertawa puas dalam hati.

Ia mengibaskan poni dengan satu hentakan tangan. Sebagai selebrasi atas kemenangannya. Ia membuka gemboknya. Seulgi mengutuk karena kunci itu tak bisa masuk ke lubangnya. Ia terus memaksa tetapi nihil. Ukuran kunci itu lebih besar dua kali dari lubangnya. Sangat mustahil ini kuncinya.

Ternyata ayahnya tak sebodoh itu.

Oh, Ingat!

Ada kotak lain yang berwarna perak. Sesuai dengan kunci ini. Tanpa ba-bi-bu Seulgi berlari ke sebuah kotak perak -yang juga milik ayah- diantara kotak milik ibu. Ia memasukkan kunci itu di lubangnya. Pas.

Kotaknya terbuka.

Seulgi tertawa sarkastis dengan temuannya. Kotak sebesar itu hanya diisi sebuah kunci yang tak sampai seukuran kotak korek api. Lucu. Ayahnya sangat pintar.

Belum sampai lima menit Seulgi sudah mengoyak gembok itu. Dengan satu tarikan peti hijau itu terbuka. Engselnya sedikit berat, mungkin jarang dibuka. Bahkan Seulgi curiga jika Ayahnya juga belum pernah menyentuh buku itu. Hah sangat lucu!

Tunggu, apa-apaan ini.

Wendy?

Hanya buku Peterpan? Yang benar saja

 
 
 
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fafa_sasazaki
#1
Chapter 3: temen seulgi yg pindah ke jepang kok aku bayanginnya yuta ya?? khkh
ga nyangka klo si cowok mas moon,,
fafa_sasazaki
#2
Chapter 1: seulgi bandelnya ya Allah,,

keluarganya seulgi suka buku! whoa!! aku banget tuh. aku pernah juga jaman sekolah di perpus ada novel yg cover depan belakangnya udah ilang, trus aku pinjam, aku bawa pulang, aku kasih cover bikinan sndri dr karton. seenggaknya stlh itu bukunya jd lbh baik.

hai,, aku new reader here, suka sekali sama RV. salam kenal
Taeminie718 #3
Lah baru foreword? next! next! next!
rapbye0n
#4
Update soon authornim! I really happy that this story is in bahasa, my mother language!♡ fightinggg~^^!!!