Tahi Lalat

Tahi Lalat

Minggu pagi yang menyenangkan.

Seorang anak sedang bersantai di sofa menonton teve. Pertama kalinya di Minggu pagi. Selama ini ia lebih memilih tidur atau mengkhayal di kasurnya. Namun pengecualian untuk Minggu ini. Karena ….

Ting tung!  “Baekhyun!”

Yehet!”  yang dipanggil segera melonjak dari sofa. Kemudian merapikan kaus oblongnya serta membetulkan letak snapback-nya. “Sebentar!” ia bersiap-siap menuju pintu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, karena sebuah cermin. Disempatkannya merapikan poni dulu. Tak lupa kiss-bye pada cermin malang di dinding itu.

“Baek, kau lama sekali. Aku jalan-jalan dengan Luhan sajalah. Bye!” teriak gadis itu kesal dari luar dan akan beranjak pergi.

“Eh, eh, eh, eh, tunggu!” entah sejak kapan ia sudah membuka pintu.

Ririn mendecak sebal, “Sudah, cepat masuk!” ia segera masuk melewati Baekhyun.

“Lho, ini, kan … rumahku ….” gumam Baekhyun.

Di dalam, Ririn melihat-lihat rumah Baekhyun, “Orang tuamu mana?”

Baekhyun mengangkat bahu, “Belanja, mungkin?” ia berjalan mendahului Ririn, “Eh, di kamarku saja biar lebih bebas.”

“Hah?” gadis itu syok.

“Apa? Maksudku agar lebih bebas bernyanyinya, bodoh. Nanti kau malu bernyanyi di sini?” Baekhyun menaiki tangga sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Dasar pikiranmu.”

“Makanya kalau bicara yang lengkap, bodoh,” balas Ririn sambil mengikuti Baekhyun.

“Selamat datang di kerajaanku,” ucap Baekhyun membuka pintu.

Ririn ragu akan masuk, “Harus masuk?”

Baekhyun mengangguk, “Tentu, Tuan Putri.”

“Apa, sih,” ucap gadis itu pelan dan melangkah masuk, “Eh, tak usah ditutup pintunya.”

“Mengerti, Tuan Putri.”

“Tak usah menjijikkan, tolong,” ia melihat seisi kamar Baekhyun lalu mengangguk-angguk. Mungkin karena kamar Baekhyun tak seberantakan yang dibayangkannya.

“Serba salah di matamu. Kalau bukan perempuan sudah habis kau,” ucap Baekhyun, tersinggung karena kata ‘menjijikkan’.

Ririn setengah tersenyum geli mendengarnya. Namun, ia baru menyadari, “Haha, mau ke mana kau memakai snapback?

“Kau baru tahu aku suka memakai ini di dalam rumah?” dusta Baekhyun.

“Lebih tepatnya tak tahu dan tak peduli.”

Baekhyun memicing, “Coba katakan sekali lagi,” ia mendekati Ririn.

“Aku tak peduli,” tantang gadis itu, meskipun agak ngeri karena Baekhyun terus mendekat.

“Ya, sudah. Aku juga tak peduli kau mau bisa bernyanyi atau tidak,” ucap Baekhyun dingin dan semakin mengecilkan jarak antara dirinya dan Ririn.

“Aku bisa minta diajarkan Jongdae kalau kau tak mau,” kini Ririn mundur perlahan.

“Oh, begitu?” seringai Baekhyun sambil tetap mendekat. Jarak mereka sudah tinggal sejengkal.

“Baek … kau mau apa?”

“Menurutmu?” jantung Baekhyun berdegup kencang berada sedekat ini. Tinggal sedikit lagi.

Sementara Ririn tak bisa mundur lagi dengan tembok di belakangnya, “Sialan. Kau bisa kuadukan Kris,” ucapnya yang kini takut sungguhan.

Kris? Baekhyun berhenti. Teringat kakak laki-laki Ririn itu. Lalu teringat Luhan, orang yang disukai Ririn. Dan teringat persahabatan mereka, dengan sebelas lainnya.

Perlahan, senyum nakal mengembang di wajah Baekhyun, “Ya, Kkaepsong!” lalu ia tertawa terbahak-bahak, “Kaupikir aku mau apa, hah?” ia masih tertawa.

Ririn reflek mengumpatkan kata kasar pada Baekhyun. Tapi Baekhyun bisa melihat kelegaan di wajah gadis itu.

“Aku hanya baru tahu, kau punya tahi lalat kecil di sudut bawah kiri bibirmu. Dan tadi aku hanya mau memastikan apakah mataku benar,” dusta. Baekhyun yakin Ririn pun tahu ia berdusta, walaupun ia memang baru tahu tentang tahi lalat itu barusan. Namun gadis itu diam saja.

“Aku juga baru tahu banyak sekali tahi lalat di wajahmu. Ada …,” Ririn menghitung tahi lalat di wajah Baekhyun, “1, 2, 3, ada 4.”

“Salah. Tiga.”

“Er … oke, tiga. Dan yang satu lagi ada di telingamu, bukan wajah. Puas?”

Ehehet,”  tawanya, “Tak usah terlalu memperhatikanku sedetail itu. Nanti kau suka?”

Ririn mengerutkan kening seakan berkata, ‘Yabg benar saja kau.’

“Tapi kau tahu? Aku paling suka yang sebelah kanan atas bibirku. Karena bagiku ini pemanis wajahku,” tunjuk Baekhyun ke dekat bibirnya.

“Terserah. Aku ke sini mau belajar menyanyi bukan membahas tahi lalat.”

Baekhyun tak menggubris, “Alasan kedua, tahi lalat kita jadi berpasangan! Haha, kaupunya kiri bawah dan aku kanan atas. Rin … bagaimana jika ternyata … kau tercipta hanya untukku? Kalau kau tulang rusukku?” gombal Baekhyun dengan wajah sok pujangga.

Ririn melotot tajam. Sedetik, dua detik, “Nah, yang seperti inilah yang paling brengsek. Bye, aku pulang.”

“Yah, Rin!” tangan Baekhyun terangkat bermaksud menahan. Tapi kemudian terhempas menyedihkan ke paha. Ririn menuruni tangga.

Dari atas, Baekhyun bisa melihat ibunya sudah pulang membawa belanjaan. Ia berpapasan dengan Ririn yang langsung membungkuk memberi salam. Ibunya memang sudah mengenal Ririn. Namun raut wajahnya agak bingung melihat Ririn yang terburu-buru pergi.

Biarlah, pikir Baekhyun. Ia tahu Ririn sudah tak nyaman sejak … ia tak sengaja akan menciumnya. Tapi anak itu berusaha tidak canggung, begitu pun Baekhyun. Mereka berdua sama-sama tak suka kecanggungan. Baekhyun kasihan sendiri tadi melihat gadis itu rasanya ingin sekali pergi. Itulah mengapa ia sengaja menggoda Ririn agar Ririn pergi. Ririn paling tak tahan dengan gombal.

Ia sendiri bingung mengapa bisa senekad itu. Tadi saat mendekati Ririn, ia berniat menyentil dahi gadis itu. Namun pikiran Baekhyun berbelok saat melihat wajahnya.

Sudahlah. Mungkin Minggu pagi seterusnya ia hanya akan tidur lagi di kasurnya sampai siang. Ririn tampaknya tak akan pernah sendirian mengunjungi rumah Baekhyun. Atau bahkan tak pernah sama sekali. Parahnya, kalau sampai Ririn membencinya. Itu mungkin adalah kebodohan yang keseribu satu. Dibenci orang yang sangat kausukai.

“Baekhyun! Sejak Bunda pergi sampai pulang TV tidak dimatikan? Memangnya kau punya uang untuk membayar listrik, hah?” teriak ibunya.

“Ah, i-iya, Bunda!”

***

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
rose0621
#1
keep up the good job! i liked it!