Indonesia

Spirit
Please Subscribe to read the full chapter

Tik. Tok. Tik. Tok.

Mataku mengikuti setiap jarum jam itu bergerak memutar.

Tik. Tok. Tik. Tok.

 

5…

 

 4…

 

3…

 

2…

 

 

1.

 

 

 

 

 

Awooo!

 

 

Suara aungan serigala terdengar dari kamar yang tepat bersebalahan denganku. Aku bisa merasakan bulu kudukku seperti ombak menegang dari ujung kakiku hingga tengkukku. Suara aungan itu semakin lama semakin keras memekakkan telinga, hingga saat serigala itu hendak berteriak lagi, tiba-tiba suaranya terhenti.

Hening.

Aku menghela napas lega. Akhirnya, dia bangun juga. Tidak habis pikir, kenapa Hyung harus memasang ringtone alarm yang sangat menyeramkan seperti itu? Menghela napas sekali lagi sebelum aku bangkit dari kasurku dan menuju kamar mandi. Melepas satu-persatu pakaianku dan melemparnya dengan tidak peduli dalam perjalan menuju kesana. Dan selanjutnya yang aku tau, semua berlalu dengan buram.

 

~*~

 

Rintik hujan mengetuk-ngetuk jendela kamarku membuat irama yang menenangkan. Ku sampirkan tas berwarna hitam itu kebahuku dan berjalan menuju lantai bawah.

Dan tepat ketika aku hendak menuruni tangga, Bosung dari belakangku berlari dan menuruni anak tangga, mendorongku kesamping hingga tubuhku terhempas ke dinding dan jatuh ke beberapa anak tangga. Tanpa rasa bersalah dia terus berlari.

Aku menghela napasku untuk yang kesekian kali. Anak muda seumurku tidak seharusnya mengluh terus.
Tapi hidupku memang pantas untuk dikeluhkan. Aku mencoba berdiri dengan mencoba mendorong tubuhku dengan kedua tanganku. Tapi aku segera terjatuh lagi begitu aku merasakan sakit di sekitar pergelangan tangan kananku.

Saat aku mau mencoba berdiri lagi, David hyung berjalan dengan gontai melewatiku. Tidak ada sapaan selamat pagi, tidak ada kalimat khwatir. Dia hanya berjalan lalu.

Aku ingin menangis.
 

Air mata yang berada di pelupuk mataku, siap sedia untuk runtuh kapan saja. Tapi yang kurasakan air bukan mengalir dari mataku, melainkan dari hidungku. Dengan tangan bergetar aku mengusapnya. Dan noda hitam menghiasi telapak tanganku.
 

Darah.

Darah hitam.
 

Ah… mungkin aku sedang sakit. Kuusap asal luka itu dan bangkit dari dudukku. Suara sumpit dan sendok bertemu dengan mangkuk tedengar dari arah ruang makan. Kulangkahkan kaki menuju lemari es melewati empat orang yang sedang sibuk mengisi perut mereka, tanpa melihatku, tanpa menanyakan keadaanku, dan tanpa mengingatkanku untuk sarapan.

Aku tertawa sarkas dalam pikiranku.

Bagaimana aku sarapan jika meja itu hanya menyediakan empat kursi? Bagaimana aku bisa makan jika mereka hanya menyiapkan empat porsi?

Aku dilupakan.

Sejak dua bulan yang lalu mereka menghiraukanku. Aku ingat betul saat pagi hari aku terbangun, mereka sudah melupakanku. Mereka melihatku dengan tatapan kosong. Tidak lagi menyapaku, tidak lagi menyediakan makan, hanya memberiku tatapan kosong.

Seminggu setelahnya, mereka memutuskan untuk pindah ke kota ini, Biga-si, kota hujan. Dimana setiap waktunya kota ini tertutup hujan dan embun. Perbandingan antara hujan dan tidak hujan—dimana awan tetap mendung—adalah 70 : 30. Selalu mendung seolah matahari membenci kota ini. Memberikan hanya  sedikit cahayanya dengan berat hati. Entah apa yang keluargaku pikirkan untuk berpindah kekota yang menyedihkan ini.

 Saat mereka mengemasi barang, aku harus menaikkan barang-barangku sendiri ke truk pindahan, dan menurunkannya sendiri. Aku juga mendapatkan kamar kecil di pojok lorong, yang juga mereka taruh barang-barang yang tak terpakai. Dan kini kamarku menyiratkan sebuah gudang usang. 

Mereka juga tidak mengurus surat kepindahanku, jadi terpaksa selama hampir dua bulan ini aku tidak sekolah. Hingga kemarin aku yang bosan berada dirumah mencoba berjalan-jalan mengelilingi kota yang hanya di temani sweater tipis dan payung kecil yang serba berwarna hitam menembus rintik-tintik hujan. Aku berjalan melewati beberapa sekolah yang ada di kota itu, sangat menyenagkan jika aku bisa sekolah lagi ya.

 

Aku terus berjalan hingga menemukan plang bertuliskan 'Selamat Tinggal Kota Biga'. Aku sudah berada di ujung kota. Senyuman tipis melwati bibirku sekilas, secepat angin yang berhembus lalu. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam diriku telah mengeksplor kota ini sendiri. Seperti berpetualang.

Kuputar tubuhku dan mengambil langkah untuk menyusuri jalan yang aku lewati tadi. Tapi dari sudut mataku, sebuah bangunan tua bertuliskan 'Mediator High School' seolah memanggilku. Tanpa sadar kakiku melangkah menyebrangi jalanan yang sepi ini dan menuju bangunan itu. Aku berdiri diam di depan pagar besar, melihat suasana sekolah itu. Nampak beberapa mobil dan sepeda terparkir rapih di lapangan sekolah. Tidak ada pos satpam, tidak ada tempat parkir dan tidak nampak berpenghuni. Yang ada hanya gerbang hitam besar yang menyelimuti sekitar sekolah, lapangan besar yang digunakan untuk memarkirkan kendaraan, dan bangunan besar yang sudah kusam dimakan waktu. Bulu kudukku merespon dengan cepat. Ada yang aneh dari sekolah ini. Mungkin aku harus segera pergi dari sini.

Aku memutar tubuhku, namun terlompat kebelakang saat wajahku bertemu dengan dada bidang yang dibungkus oleh jas putih. Sejak kapan ia berdiri dibelakangku?

Dengan tubuh bergetar, kuberanikan diriku untuk menatap pria di hadapanku. Dia tersenyum hangat padaku. Dia berpakaian serba putih dari ujung kepalanya hingga ujung kaki. Hanya sebuah nametag yang ada didadanya berwarna emas bertuliskan 'Head Master Andy Lee'. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku dan jarak yang terlalu dekat denganku, membuat tetesan hujan dari payungku membasahi sepatu kulit putihnya. Tapi sepertiny dia tidak mempermasalahkannya dan tetap tersenyum.

"Kenapa diam saja? Sudah waktunya pelajaran dimulai." dia berkata setelah melihat jam tangannya. 
Aku yang masih kaget hanya bisa menggelengkan kepalaku lemah. 

Seolah bisa membaca pikiranku, dia berkata lagi "Tidak apa-apa. Datang lagi besok. Pukul 07.30 pelajaran pertama akan dimulai. Pastikan kau tidak terlambat." Dia berkata tanpa menghilangkan senyum dibibirnya dan diakhiri dengan mengacak rambutku pelan sebelum berjalan memasuki area sekolah. Seolah tersadar dari sihir, aku membungkuk dalam padanya dan berseru, "Nama saya Ahn Daniel. Terimakasih, Pak Lee!"
 

~*~
 

Aku mengambil sekotak kecil susu pisang dan meninggalkan rumah tanpa lupa mencuri pandang pada keluargaku yang tidak perduli.

Kubuka payung hitamku dan mulai berjalan menuju ujung kota. Akhirnya, aku bisa bersekolah kembali!
Sekolah masih sangat sepi, ku tengok jam tangan hitam yang membelit lenganku, 07:10. Aku datang terlalu pagi.

“Hey, kau!” Seseorang berteriak dari arah belakangku. Jika sekolah ini tidak sesepi kuburan, mungkin aku akan menghiraukan panggilan itu. Karena hanya ada aku seorang disini

Aku menoleh, pria dengan senyuman cerah menghampiriku setengah berlari. Lama sekali aku tidak melihat senyum secerah ini. Dia tersenyum seakan dia tidak mempunyai masalah, seakan dunia ini penuh lollipop dan gula-gula.

"Hai, kau baru disini?"

Aku mengamininya dengan anggukan kepala. “Aku kemarin berte—“

"Keren! Ngomong-ngmong, namaku Ricky." Senyumannnya melebar memperlihatlan gigi-gigi putihnya yang berjajar. Selanjutnya yang aku tau, dia menarik tanganku dan menyeretku kesebuah ruangan kelas. Tidak kulewatkan geraman kecil giginya yang lewat sesaat sebelum meraih kenop pintu.

Pria yang lebih pendek beberapa sentimeter dariku ini membuka pintu. Di dalam sana sudah ada beberapa orang. Tiga orang pria dan satu wanita. Dan dengan kedatanganku, mereka berhenti berbicara, memberikanku sebuah pandangan yang tak bisa kubaca.

Kurasakan tenggorokkanku mengering dibawah hujanan mata mereka. Hening ini membuatku bergetar dalam takut dan canggung. Hingga suara decakkan kesal dari gadis itu memecahkan kesunyian.
Dengan sekejap dia sudah berada didepan Ricky, merengkuh kerah bajunya seiring dengan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Seolah dia memancarkan hawa dingin.

"Sudah kubilang," gadis itu berdesis tajam dengan suara kecil, tapi aneh, rasanya dia berbisik tepat ditelingaku. Membuatku bergidik."aku tidak butuh bantuan dari pengganggu seperti kalian! Urusi masalah kalian sendiri! Aku bersumpah jika kalian masih melakukannya aku akan menyeret kalian semua keneraka!"

Mata cokelat kosongnya sekarang berubah menjadi merah darah. Aku hanya bisa terpatung melihatnya.
Namun Ricky membalasnya dengan senyuman ramah dan memegang tangan gadis itu. "Kau akan pergi ke surga, bukan neraka."

Gertakkan gigi gadis itu semakin kencang, dan yang tak kusangka, tangan kecil wanita itu mampu mendorong tubuh Ricky hingga menabrak papan tulis dibelakangnya. Membelahnya menjadi dua.

"AKU TIDAK MAU MENINGGALKANNYA! AKU INGIN TETAP DISINI!" Gadis itu menjerit histeris. Menutup kedua telinga rapat-rapat dengan tangannya, menunjukkan betapa kesalnya dia.

Kurasakan telingaku berdengung hebat, meruntuhkan keseimbangan badanku. Jika bisikkan saja terdengar jelas ditelingaku, bisa kau bayangkan saat dia menjerit?

Tapi hanya dalam hitungan beberapa nanosecond jeritannya terhenti, begitu pula wanita yang menjerit ikut menghilang seolah tertiup hembusan angin, meninggalkan hanya dengungan hebat ditelingaku.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Ricky dengan suara samar-samar diantar dengungan. Aku mendongak melihatnya mengulurkan tangannya padaku, yang kuraih dengan sedikit enggan. Masih dalam shock dengan yang terjadi barusan.

Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang sama padanya. Bagaimanapun dia yang terlempar tadi.

Dia tersenyum, “Aku baik-baik saja. Ini sudah biasa bagi—Oh!” dia berseru sembari menjetikkan jarinya, bagai dia baru menyadari sesuatu yang terlupa.  Dengan memegang kedua bahuku, Ricky memutar tubuhku hingga menghadapi tiga pria lainnya yang aku lupakan keberadaan mereka untuk beberapa saat.

“Hyung-deul, lihatlah!” Ricky mendorong sedikit tubuhku, “Apa kalian juga berpikir dia tipe-nya C.A.P hyung?”

Pria dengan kepala kecil dengan malas menyenderkan punggungnya ke kursi, “kau menyebut semua orang adalah tipenya, Ricky.”

“Tapi, Chunji,” pria yang terlihat lebih pendek dari yang lain melihat dalam-dalam pada mataku. Membuatku merasa ditelanjangi oleh matanya. “jika dilihat-lihat, dia memang seperti tipe-nya.” Dia mengangguk mantap seolah setuju pada ucapannya sendiri.

“Yah, Changjo, berhenti berkaca dan lihatlah dia. Bagaimana menurutmu?”

Changjo, pria yang sedang mengaca dan tidak hentinya membenarkan poni, akhirnya melihat padaku sesaat sebelum menenggelamkan dirinya lagi dalam kaca.

“Hmm…” gumamnya menyetujui dengan acuh tak acuh.

Aku tidak tau siapa C.A.P hyung ini. Aku tidak tau kenapa mereka terlihat sangat lega saat mereka sampai pada kesimpulan; bahwa aku benar tipe pria yang bernama aneh yang bahkan tidak aku kenal itu. Dan aku juga tidak tau, kenapa mereka mem-pairing-kan aku dengan seseorang yang memiliki alat kelamin yang sama denganku.

Ricky memelukku dari belakang dan berlompat keatas dan

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
140795nap
#1
Chapter 1: omg cap he's so sweet :( but i'm curious can he go to where niel is? since it's not his wish right :(((
good job author nim! :D
melidin
#2
Sound interesting...i'll wait for your update...please update soon..