One

A Walk Towards You

“ Hey nomor 32!! Apa tidak bisa benar sedikit huh? Posisimu salah!! “

PRITTTTT

Beriringan dengan sahutan serak khas bapa-bapa berumur, lengkingan peluit menggelitik gendang telinga dengan nadanya yang melengking tinggi. Bola voley berwarna biru kuning yang semula siap di pukul terarah  seketika melesat jauh keluar lapangan. Seluruh personil yang berdiri berkeringat di tengah lapangan  bernapas lega dan mulai berbenah meninggalkan arena pertandingan.

“ Oh my god ya ampun ya ampun! “

Seorang gadis berperawakan kurus dengan ukuran mata yang tidak bisa dibilang kecil, jatuh terduduk di tengah lapangan. Peluh bercucuran mengaliri pelipisnya tampak berkilat terkena pancaran sinar matahari pagi. Napasnya turun naik tidak teratur seperti orang yang kehabisan pasokan udara.

“ Yulia! “

Suara parau tiba-tiba terdengar beriringan dengan derap langkah panjang. Lelaki paruh baya dengan peluit datang menghampiri gadis yang tengah terduduk kelelahan.

“ Sudah berapa lama kamu sekolah di sini? Masih saja tidak tahu cara memukul bola dengan benar. Mau kuberi nilai C hah? “

Yulia—panggil saja dia Sasha, si gadis bermata besar itu meringis mendengar kicauan pedas guru olahraganya. Ia memalingkan sedikit pandangannya ke samping tak berniat sedikitpun memandang gurunya yang kini berdiri bagai tower di hadapannya.

“ Berusahalah lebih keras, paham! “

Kilatan-kilatan air bermuncratan dari rongga mulut sesepuh guru olahraga itu. Dengan angkuh, lelaki tua itu melangkah pergi meninggalkan Sasha  yang mencoba memicingkan matanya takut-takut air semburan mulut itu hinggap di wajahnya. Dari pinggir lapangan tampak murid-murid berkerumun sembari berbisikan satu sama lain dan tertawa menyaksikan nasib seorang gadis malang yang dihujat gurunya sendiri.

Oooohh apakah aku terlahir hanya untuk memukul sebuah bola voley

Sasha mengutuk dirinya sendiri.

“ Kajian tambahan di akhir kelas, eoh? “

Sebuah suara ringan yang terdengar tidak asing tiba-tiba menghampiri Sasha.  Sosok tinggi berperawakan apik berdiri di sebelahnya sembari mengulurkan tangan. Sebuah senyum tersungging di wajahnya.

“ hmm “

Gumam Sasha malas. Ia meraih tangan itu dan bangkit dari posisi terpuruknya.

“ Hidupmu tidak akan sempurna tanpa hujatan dari orang lain “

Dengan bijak (dan mencoba menghibur dirinya sendiri) Sasha membenahi bagian belakang celana olahraganya yang penuh dengan debu-debu kasar.

“ Begitukah? Kalau begitu hidupmu sempurna sekali ya “

Sasha melempar tatapan mata sinis kepada temannya. Namun sesaat kemudian intensitas kesinisan itu berkurang.

“ Terlalu sempurna “

Gelak tawa tak terelakan keluar dari mulut teman sepermainan Sasha—panggil saja Ai.  Dengan riang Ai menggandeng lengan Sasha dan menggeretnya keluar dari lapangan memasuki gedung sekolah.

“ Ayo kita makan saja di kantin! “

......................

 

Apalagi yang bisa mendeskripsikan suasana kantin di waktu istirahat selain—Ramai—hilir mudik manusia berseliweran di pintu masuk kantin sekolah, suara denting alat makan, tawa histeris dan percakapan lainnya mengambang di udara dan menyebar ke seluruh pelosok ruang kantin. Tidak masalah sebenarnya, karena tidak ada yang merasa terganggu dengan hal itu.

“ hari ini kita makan hemat. Susu dan sandwich pengisi energi setelah olahraga “

Ai mendudukan dirinya di hadapan Sasha yang sudah lebih dulu berkutat dengan makanannya. Menu makanan yang Sasha pilih tidak jauh berbeda dengan Ai—sepotong sandwich dan susu—hanya porsinya saja yang lebih wajar daripada—

“ Kau makan sebanyak itu? Yang benar saja “

Dengan mulut yang sedikit terisi potongan sandwich, Sasha berkomentar. Bagaimana mungkin ai menyebut menu makanannya hemat bila tiga buah sandwich tertata rapi di piringnya.

“ ini tetap lebih murah daripada junk food yang lain. lagipula aku mendapatkan gratis satu potong. Hasil menawar “

Ai mengedipkan sebelah matanya sebelum melahap potongan pertama sandwich. Sasha hanya bisa tertegun melihat temannya.

“ lanjutkanlah “

Komentarnya singkat.

Suasana seketika jatuh dalam keheningan selama beberapa saat karena keduanya sibuk melahap makanan. Lagipula pembicaraan di sela makan bukanlah hal yang diperkenankan oleh agama—singkatnya itulah yang diucapkan guru agama mereka—menikmati pengisian ulang cadangan makanan untuk perut memang terasa lebih penting.

Selang waktu beberapa menit, dari kejauhan—tepatnya dari pintu masuk—ramai-ramai segerombol anak memasuki kantin. Setelan seragam berjas rapi, figur badan tinggi ideal, gaya rambut keren dan muka bercahaya—siswa kelas presiden—dengan gaya upper class nan bermartabat sukses menarik perhatian.

Tidak ada yang terlalu spesial sebenarnya dari siswa bertitel kelas presiden. Hanya saja aura yang dipancarkan oleh mereka jelas berbeda dengan siswa kelas reguler. Poin plus yang membuat mereka kelewat unggul—dan tenar.

“ owh!! Anwak kewlas pwesidwen! “

Ai berseru dengan suara yang tertahan oleh potongan sandwich di mulutnya. Sasha  yang semula menundukan kepalanya karena terfokus pada serpihan sayur di rotinya sontak mengangkat pandangannya ke arah pintu masuk. Anak-anak kelas presiden itu tampak asik berbincang sembari memilah cemilan istirahat mereka.

“ woahh tumben sekali mereka sudah mengambil jam istirahat. Bukankah waktu istirahat mereka baru dimulai satu jam lagi “

Ai mulai berkomentar lagi ketika isi mulutnya telah kosong, Sasha merespon ucapan temannya dengan gumaman tanda setuju. Memang bukan hal yang lumrah bagi siswa kelas presiden untuk ikut beristirahat di jam yang sama dengan kelas reguler, mengingat jumlah kelas mata pelajaran yang dimiliki kelas presiden jauh lebih banyak dan lebih lama.

“ Mungkin guru kelas mereka memberikan kelonggaran waktu. Lagipula anak kelas presiden tidak mungkin membolos “

Jawab sasha singkat. Kemudian ia mulai fokus menghabiskan potongan terakhir rotinya.

“ begitukah? tapi mana Reky? Tidak terlihat “

Sasha menghentikan kunyahan di mulutnya ketika sebuah nama terlontar dari mulut Ai. Pandangannya menatap lurus teman di hadapannya.

“ Untuk apa repot-repot mencari orang itu. Selesaikan saja makanmu “

Nada bicara Sasha tba-tiba berubah ketus, ekspresi wajah mencibir terpancar dari wajah Ai melihat respon temannya.

“ Aish berlebihan sekali, kau juga pasti mencarinya kan? jangan pura-pura “

Ai memajukan posisi wajahnya agar Sasha dapat dengan jelas mendengar ucapannya. Sementara Sasha hanya memutar bola matanya malas.

Pembicaraan tentang siswa kelas presiden bukanlah sesuatu yang tabu bagi mereka berdua. Terlebih menyangkut seseorang bernama Reky itu. Kasarnya, sejak 5 tahun kebelakang, Ai dan Sasha sudah bagaikan paparazzi yang kemana pun dan kapan pun selalu up to date tentang info dari kelas kepresidenan.

Sekolah Negara Indonesia, singkatnya adalah sekolah favorit yang dibangun oleh menteri pendidikan Indonesia dengan tujuan menyaring siswa siswi terbaik dari seluruh penjuru negeri. berdiri dengan megah di pusat ibukota, sekolah ini terbagi atas sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada setiap tahapan pendidikannya, sekolah ini terbagi lagi atas dua kelas; kelas reguler dan kelas presiden.

Kelas reguler adalah kelas normal sebagaimana SMP dan SMA pada umumnya, namun standar yang ditetapkan untuk masuk ke sekolah ini tidaklah mudah. Maka sudah dipastikan siswa yang berada di kelas reguler adalah siswa siswi pilihan. Selain kelas reguler, kelas presiden juga menjadi ikon kebanggaan Sekolah Negara Indonesia. Kelas presiden merupakan kelas eksekutif yang hanya di sediakan 2 kelas per angkatan. Dihuni oleh siswa siswi terbaik dari yang terbaik. Perbedaan yang paling jelas diantara reguler dan presiden adalah dari banyaknya jam pelajaran dan mata pelajaran yang tersedia. Sehingga tidak heran jika anak-anak kelas presiden akan datang lebih awal dan pulang lebih lama dari kelas reguler.

Poin plus yang dimiliki oleh anak kelas presiden, adalah mereka pasti terkenal seantero sekolah, terlebih bagi ketua dan anggota senat kelas kepresidenan—dan Reky termasuk diantaranya.

Ya, Reky Trisna Saputra. Siapa yang tdak mengenalnya. Sosok idaman seperti di kebanyakan drama-drama korea  yang selalu dielu-elukan guru dan siswi satu sekolah. Tampan, berkarisma, pintar, seorang atlet basket, berwawasan tinggi, dan memiliki skil A++ dalam bersosialisasi. Hell—siapa yang tidak tergoda. Reky memang bukan ketua utama di kelas kepresidenan, tapi Reky merupakan siswa yang berkontibusi aktif untuk kemajuan sekolah. Tidak heran ia dipuja oleh banyak orang.

 

Termasuk Sasha yang kelewatan memujanya.

 

........................

 

“ kau tidak berniat memberinya kenang-kenangan sebelum dia pergi? “

Perpustakaan pribadi sekolah. Di tempat inilah Sasha dan Ai kini terdampar. Tugas makalah sejarah dan biografi membuat mereka tidak punya pilihan lain selain tenggelam dalam buku-buku tebal berdebu yang kertasnya kuning-kuning kasar dan berbau.

“ apa yang harus aku berikan “

Jawab Sasha malas. Sejak satu jam lalu berada di perpustakaan, belum ada satu pun tugas yang mereka selesaikan, terlebih Sasha  yang  sedari tadi hanya terduduk lesu di hadapan buka tebal tanpa sedikitpun membacanya.

“ hmmm coba berikan dia surat cinta haha, ide bagus? “

Ucap Ai riang sembari menusuk-nusuk pipi Sasha dengan ujung penanya.

“ Ha. Lalu sebelum dibaca pun dia akan langsung membuangnya “

Pesimistik. Pada akhirnya, semua yang berhubungan dengan perasaan yang terabaikan akan berakhir dengan ketakutan sebelum memulai. Sasha sudah muak dengan semua kegagalan yang ia raih hanya untuk mengejar-ngejar lelaki bernama Reky itu. Mulai dari menanggung malu, sampai hancur berkeping-keping. Tak terhitung.

“ kalau begitu bacakan saja di depannya. Oh dan buat sajaknya seperti puisi yang kau bacakan di depan kelas minggu kemarin, eoh? “

Ai masih dengan nada yang berapi-api mengutarakan idenya.  Sebuah tatapan mencibir tersorot dari mata Sasha—apa kau tidak bisa lebih cerdas sedikit dalam memberi saran?!—Sasha bahkan tidak mengerti, apakah Ai bermaksud mengejeknya dengan ide gila itu atau dia memang terlalu payah untuk mencerna kelogisan idenya sendiri.

“ aku lebih memiliih tidur di rumah. Sudahlah!! Lupakan soal itu “

Untuk kesekian kalinya mood sasha kembali berubah suram. Memikirkan Reky hanya membuat segalanya terasa mencekik.

“ Lalu kau mau membiarkan dia pergi begitu saja? Keputusan sekolah mengirimnya ke luar negeri mungkin akan membuat dia menetap lama di sana. Kau tahu Amerika? A-ME-RI-KA. Itu sangat jauh! mungkin kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi “

Suasana pun seketika hening. Ucapan Ai terasa mengambang di udara, mencuri-curi kesempatan untuk  berikatan dengan oksigen yang Sasha hirup, membuat dadanya seketika sesak.

“ masih ada waktu tiga bulan sebelum dia pergi. Setidaknya kerahkan kemampuan terakhirmu. Bahkan meskipun dia langsung melupakan atau membuang apa yang kau berikan, kau sudah memberikan akhir yang baik untuk perjuanganmu selama ini “

Dan untuk kali ini, Sasha merasa ucapan Ai ada benarnya.

......................

 

Suasana sore kota Jakarta dengan debu-debu yang berseliweran di udara membuat para pejalan kaki di tepi jalan harus repot-repot bermasker dan berpayung untuk melindungi diri mereka sendiri. Namun, tidak sedikit pula diantara kebanyakan pejalan kaki yang memilih berjalan menerjang apapun itu bentuk polusi yang ada, seakan tidak ada waktu berurusan dengan hal semacam itu.

Diantara kerumunan pejalan kaki yang sedang menunggu giliran untuk menyebrang jalan, Sasha tertunduk lesu. Sepanjang jalan dari sekolah menuju halte bis, ia hanya memandangi sepatu converse hitamnya sambil sesekali menendangi kerikil di jalan. Kata-kata yang diucapkan Ai di perpustakan sukses mengambil alih pikirannya.

Aku harus bagaimana...

Batinnya berucap lirih. Langkahnya tampak lesu dan dadanya terasa sesak.  Pikirannya kalut memikirkan jangka waktu yang tersisa bagi Reky sebelum pergi ke luar negeri. Ya, karena sesungguhnya yang membuat dada Sasha terasa sesak bukanlah keciutan nyalinya memberikan kenangan terakhir untuk Reky—tapi merelakan Reky pergi dan tidak akan pernah menemuinya lagi—itulah yang mengiris pedih hatinya.

“ Bahkan berada di satu lingkungan denganmu selama bertahun-tahun pun aku tidak pernah bisa menggapaimu “

Langkah kaki Sasha terhenti di sebuah jembatan kecil di tepi jalan raya. Di bawah jembatan itu terhampar aliran sungai yang jernih kebiruan. Semilir angin menerpa helaian rambutnya membuat wajahnya terangkat, memandangi langit kota Jakarta yang mulai teduh kemerahan.

“ Dan sekarang kau akan pergi sangat jauh meninggalkanku.... “

Gerungan mesin kendaraan ditambah bunyi klakson yang saling bersahutan tidak membuat suasana melankolis hati Sasha meredup. Semuanya malah terasa lebih menyakitkan. Di tengah keramaian ini Sasha merasa hatinya dibawa pergi entah kemana. Meninggalkannya dengan rasa hampa dan kesepian yang menderu . Pelupuk mata terasa kian memberat, siap-siap menitikan air mata yang tak terhitung berapa kali mengucur hanya untuk laki-laki bodoh yang bahkan tidak pernah barang sedikitpun peduli padanya. Lalu kenapa Sasha masih peduli? Lalu kenapa Sasha harus menagisinya lagi? Kenapa sasha harus—

“ Hey anak muda!! “

Sebuah suara tiba-tiba mengagetkankan Sasha, ia sontak membalikan tubuhnya dan menemukan sesosok—perusak momen dramatis—kakek tua dengan setelan kemeja kotak-kotak jadul bertopi koboi berdiri sambil memegangi sebuah koper dorong.

“Aku mau bertanya. Kau tahu dimana alamat ini? aku tersesat “

Kakek itu menyodorkan sebuah kertas dengan tulisan tangan di atasnya. Sasha yang masih tertegun mengambil secarik kertas itu dengan ragu.

Apa-apaan, datang tiba-tiba mengagetkan lalu bertanya tanpa basa-basi dulu

Orang tua.

“ umm... gedung kementrian? tidak terlalu jauh dari sini. Kakek bisa berjalan lurus terus..... nanti kakek akan menemukan bangunan besar “

Sasha menyerahkan kembali kertas tersebut pada kakek tua itu dengan tatapan tidak paham. Untuk apa seorang kakek tua berkoper mencari gedung kementrian? Apa dia hendak berdemo?

“ Lalu kau anak muda akan membiarkanku berjalan sendiri begitu huh? Antarkan aku! “

Kakek itu dengan kasar meraih kertas yang Sasha sodorkan. Kemudian dengan tergesa-gesa menarik kembali kopernya berjalan melewati Sasha.  

Mau apa lagi kakek tua ini....

“ Kenapa diam saja!?!? Antarkan aku! “

Sebuah hentakan roda koper di tanah membuat mata Sasha berkedip beberapa kali. Kakek tua itu mengulum mulutnya kemudian berjalan lagi dengan cepat.

“ Ya ampun... “

Kemudian Sasha berlari kecil untuk menyusul kakek asing pemarah itu yang ternyata sangat gesit berjalan.

 

........................

 

“ Pertemukan aku dengan Ntis! Bantu aku mencarinya “

“ HAH?!? “

Sasha yang baru saja hendak meninggalkan kakek itu di depan gedung kementrian tiba-tiba ditarik tangannya. Cengkeraman kakek itu kuat dan kasar. Apalagi ini?!?!?

“ Aku tidak mengenal siapapun di kantor kementrian. Kakek bisa bertanya pada satpam “

Sasha melepaskan tangannya dari cengkeraman kakek tersebut, ekspresi wajah kakek itu tampak tajam—atau memang mukanya yang sudah begitu?

“ Aku baru pertama kali kesini, Ntis menyuruhku datang ke kantornya dan dia akan membawaku ke rumah. Kau harus mempertemukanku dengan Ntis. Dia punya mobil bagus! “

Lha... Sasha semakin tidak mengerti dengan situasi saat ini. bagaimana mungkin dia bisa terjebak dengan seorang kakek-kakek perajuk di depan gedung kementrian?

“ Tapi ini sudah sore, aku harus pulang “

Sebuah alasan kembali Sasha lontarkan. Sebenarnya itu bukan alasan yang dibuat-buat, kenyataannya dia memang harus segera pulang. Tapi.....

“ Lalu bagaimana denganku? Kau bisa pulang dengan bis sementara aku hanya bisa pulang dengan Ntis! Nanti aku akan menyuruh Ntis mengantarkanmu dengan mobilnya yang bagus! “

MOBIL BAGUS?!? Masa bodo dengan mobil bagus, naik bis pun Sasha tidak masalah—dan siapa pula Ntis yang kakek ini bicarakan?

“ Baiklah baiklah aku akan bertanya pada satpam “

Pada akhirnya Sasha tetap mengalah. Satu-satunya yang ia inginkan adalah menyudahi ini semua dan segera pulang ke rumah(setelah itu ia dapat menangis, melanjutkan dramanya yang sempat tertunda—sepuasnya).

Sasha berdiri di sebuah teras besar tempat tamu-tamu biasa mengantri. Sebuah pos yang terlihat lebih mirip seperti meja pantry menampakan dua sosok penjaga keamanan berseragam biru tua. Sasha mendekati meja itu perlahan.

“ Permisi. “

Kedua security itu menoleh ke arah Sasha. Mereka langsung bersiap di posisi masing-masing seakan sudah tahu bahwa mereka tengah dibutuhkan.

“ Aku mencari seseorang yang bekerja di kementrian. Apakah ada yang bernama bapak Ntis? “

Begitu mendengar pertanyaan Sasha, kedua security itu mengernyitkan alis.

“ Ntis? Ntis yang mana? Tidak ada yang bernama Ntis di kementrian ini “

Ucap salah seorang security  dengan pasti.

“ uh... kakek itu mencari seseorang bernama Ntis. Dia bilang Ntis menyuruhnya datang kemari. Dia bilang Ntis punya mobil yang bagus “

Gelak tawa langsung meluncur dari kedua security itu ketika Sasha menjelaskan apa yang kakek itu ucapkan padanya. Sasha pun tahu ini konyol, tapi tidak ada lagi ciri-ciri spesifik yang kakek itu jelaskan selain.... Ntis dan mobilnya yang bagus.

“ Mungkin ade ini salah orang. Atau... hati-hati saja barangkali ade ditipu oleh kakek itu. Sekarang tindak kriminal banyak motifnya “

Security lain yang sebelumnya diam angkat bicara. Temannya di sebelah ikut mengangguk. Sebuah aroma kejanggalan mulai menghinggapi pikiran Sasha.

“ uh.. begitu kah? Baiklah kalau begitu terimakasih “

Sasha membungkukan sedikit tubuhnya untuk berterimakasih kemudian segera berlari menghampiri kakek asing yang sedari tadi berdiri manis menunggunya di kejauhan.

“ Umm mereka bilang tidak ada orang bernama Ntis di kantor ini. apa kakek yakin? Aku rasa lebih baik kakek... pergi ke kantor polisi “

Ucapan Sasha mulai terdengar ragu. Ya, pikirannya telah dirasuki doktrin dari kedua security tadi. Jangan-jangan kakek ini... orang jahat.

“ Untuk apa aku ke kantor polisi? Kau pikir aku penjahat. Tidak berguna sekali! Biar aku yang tanya sendiri “

Dengan gusarnya kakek itu berjalan melewati Sasha yang tertegun mendengar amarah yang dimuntahkan padanya. Tak berapa lama kakek itu sudah melesat melewati pintu masuk tanpa meminta izin dari security. Jelas saja kedua security itu mencegahnya.

“ Tunggu, bapak ini siapa? Tidak boleh seenaknya masuk ke kantor kementrian “

Kedua security itu mencengkeram tubuh rentan sang kakek dan menjauhkannya dari pintu.

“ Aku ada urusan dengan Ntis! Kalian yang tidak tahu apa-apa diam saja! “

Sang kakek mulai meninggikan suara kemudian mencoba menerobos paksa pertahanan dari kedua security itu. Sontak saja keduanya mendorong paksa sang kakek sampai tersungkur ke lantai.

“ Bapa mau kami laporkan ke polisi hah? Lagipula gembel tidak diperkenankan masuk ke sini “

Deg

Dan begitu melihat sang kakek kesusahan berdiri, Sasha segera berlari menghampirinya. Dibantunya kakek itu berdiri.

“ Bapak, tidak sopan sekali mendorong kakek tua begini. Lagipula dia bukan gembel.  Berani sekali berkata begitu? “

Sasha mulai berteriak. Matanya melotot menantang kedua security itu yang benar-benar tidak tahu sopan santun.

“ Ampun. Kantor kementrian bukan tempat bermain. Pergi saja kalian berdua! “

Salah seorang security dengan ketusnya mengibaskan tangannya. Layaknya menyuruh ayam untuk pergi.

“ dia hanya ingin bertemu dengan Ntis. Tidak bisakah kalian mempertemukannya? Dia datang dari jauh “

Dengan berani sasha mencoba menyelip di celah kosong yang tidak dihalau oleh security. Namun dengan gesit para penjaga itu kembali mendorongnya.

“ Tidak ada yang namanya Ntis!! Kers kepala sekali! Kami bisa panggil polisi sekarang! “

Cih, polisi apanya? Mereka bukan narapidana yang kabur untuk apa memanggil polisi segala. Sasha mengibaskan poninya yang menghalangi rambutnya. Entah kenapa keraguan pada kakek itu kini hilang, yang ada Sasha malah ingin memukul kedua security itu. Kalau begini tidak ada pilihan lain. Sasha menarik napasnya dalam-dalam—

“ NTIS!!! NTIS!! KAU DIMANA? KAKEKMU MENCARIMU!! NTIS!! “

Sasha mengeluarkan suara lengikingan kebanggaannya. Berteriak dengan kencang di depan pintu masuk kementrian sambil berusaha mendorong security-security menyebalkan itu.

“ HEH! Diam! Apa-apaan kau—“

“ NTISSSSSSSS!!! NTISSSS! “

Suara sasha semakin keras dan tiba-tiba saja salah seorang security menjambak ikatan rambutnya—Akhh sialan!—tanpa tanggung-tanggung sasha menendang kemaluan si penjambak rambutnya tersebut.

“akhh!! “

Rintih penjaga itu kesakitan. Kemudian dengan keadaan rambut yang sudah tidak beraturan Sasha kembali berteriak. Dari pojok matanya Sasha dapat melihat sang kakek mengumpat-umpat kedua security itu.

Semua kacau.

Semua jadi sangat kacau.

.........................

 

“ Saya rasa pertemuan hari ini kita sudahi saja dulu. Konsep perkembangan pendidikan di era modern seperti yang anda bilang, lebih baik dibahas lebih lanjut di sidang rutin. Saya sangat mengharapkan penjelasan anda di sidang nanti “

Dua orang  lelaki berjas dengan gaya upper class tampak sibuk berbincang, diiringi alunan musik klasik dan cahaya sore kemerahan yang terpancar dari jendela besar di sebuah ruang luas berAc nan nyaman tersebut. Seorang lelaki, yang tampak paling sepuh diantara keduanya yang juga pemilik ruangan itu melemparkan senyum ramah pada lawan bicaranya.

“ Baiklah Pak Nuh, akan saya atur ulang pembahasan untuk ide ini. sampai bertemu di sidang rutin yang akan datang. “

Keduanya pun berjabat tangan. Dengan gaya lugas, lelaki yang dipanggil Pak Nuh mengiringi tamunya menuju pintu keluar. Mereka terjebak dalam pembicaraan singkat ketika tiba-tiba sebuah suara melengking mengangetkan keduanya.

“ NTISSSS “

Suara itu berulang kali terlontar diiringi dengan suara riuh lainnya. Bahkan alunan musik klasik di ruangan itu tidak bisa menutupi kegaduhan yang baru saja mereka dengar.

“ loh suara apa itu? “

Tamu dari Bapak Nuh tampak terheran-heran. Keduanya melampar tatapan bingung. Tak lama kemudian suara gaduh itu terdengar lagi.

“ NTIS!!! NTIS!! KAU DIMANA? KAKEKMU MENCARIMU!! NTIS!! “

“ Ntis? “

Bapak Nuh mengernyitkan alisnya. Rasanya tidak asing.

“ jangan-jangan... “

Dengan cepat dan tanpa memerdulikan tamunya, Pak Nuh langsung berlari keluar ruangan. Ruangannya tepat berada di sebelah lobi masuk, maka tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di sana dan mendapati suasana kacau balau. Suara itu semakin jelas terdengar, dan suasana lobi masuk menjadi ramai dengan staff kementrian. Mereka tampak berusaha melerai keributan yang terjadi dan—

“ Ada apa ini? “

Suara Pak Nuh memecah keributan yang terjadi di tempat itu. Ia menyelip diantara kerumunan staff kementrian dan berhasil sampai di pusat kejadian perkara. Matanya membulat tertegun.

Seorang siswi  yang tampak berantakan

Dua orang satpam yang tampak emosi

Beberapa staff yang melerai

Dan seorang kakek yang berdiri kebingungan di antara mereka

Mata Pak Nuh jatuh ke arah kakek tua tersebut.

 

“ Ntiss!! “

Kakek itu dengan riangnya berucap. Tanpa pikir panjang ia langsung berjalan mendekat dan memeluk Pak Nuh.

“ Ntis, susah sekali mencarimu “

Kakek itu melepas pelukannya dan mulai bersungut-sungut tentang segala kesulitan yang ia hadapi. Pak Nuh hanya mengangguk mendengar penjelasan sang kakek.

“ Kakek tidak bilang kalau sudah sampai, dan apa-apaan ini semua? “

WHAT

WHAT

TUNGGU DULU

Sasha dengan cepat menarik tubuhnya menjauh dari cengkraman staff kementrian yang mencoba melerainya. Ia membenahi jas sekolahnya yang bertengger  tidak simetris. Pandangannya langsung berubah panik.

“ Aku sudah bilang, tapi dua satpam bodoh ini tidak percaya. Mereka malah mendorongku! “

Pak Nuh menjatuhkan tatapannya pada dua satpam yang kini menunduk. Entah sebagai bentuk penghormatan atau karena malu.

Tak berapa lama pandangan Pak Nuh jatuh pada Sasha.

Deg.

Kenapa tidak bilang sejak awal kalau Ntis itu Bapak menteri pendidikan hah?!?!?

 

Te Be Se

what do you think?

haha niatnya sih mau oneshot eeee malah jadi chaptered. semoga tidak shock sa.

xoxo

 

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet