Holding onto Gravity

Holding onto Gravity

“You said I will happy.”

Singkat saja tapi begitu membunuh.

Yunho tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri sekarang. Bersiap mendengarkan apapun yang akan dikatakan selanjutnya oleh Shim Changmin. Seseorang yang tiba-tiba ada di hadapannya setelah bertahun-tahun lenyap dihembus angin. Entah siapa yang menghilang. Sama saja.

“Itu yang kamu katakan lima tahun lalu padaku. Disini, di tempat ini, di saat-saat seperti ini.”

“Sudah lima tahun?”

Changmin hanya tersenyum sinis. Sebuah respon yang sudah terlalu lekat di kepala Yunho.

“Sepertinya hidup hyung begitu luar biasanya sampai lupa sekarang sudah berselang lima tahun sejak kejadian itu.”

“Tidak seperti yang kamu duga,” kali ini Yunho berjalan mendekati Changmin hingga mampu dilihatnya dengan jelas sosok tinggi kurus itu. Badannya tidak berubah banyak, hanya raut wajahnya semakin keras dengan sorot mata lebih nyalang.

Entah seperti apa kehidupan yang sudah kuberikan.

Seharusnya kehidupan yang terbaik.

“Bagaimana kabarmu?”

“Pertanyaan apa itu?” Changmin melirik tangan Yunho namun dengan cepat dia menyadari dan langsung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Yunho tahu apa yang ingin diperiksa oleh Changmin.

“Never better than before,” jawab Changmin parau. Dia mengeluarkan rokok dari saku coat-nya dan menyulutnya di tengah terpaan angin lalu menghembuskan asapnya ke langit.

“Di kota yang sama, publik area yang sama dan di bawah cuaca yang sama namun tidak pernah bertemu. Bahkan bertanya kabar pun tidak padahal nomor kita tidak pernah ganti. Hanya hyung yang bisa melakukan hal seperti itu.”

Iya, aku memang setega itu.

Seketika Yunho rasa bersalah menggerus hatinya, pelan namun pasti karena dialah penyebabnya. Dulu dia tidak menduga akan menjadi sejauh ini. Terlalu jauh. Sekuat mungkin Yunho memaksakan diri untuk tersenyum.

Sepertinya senyumku pun terlihat sangat buruk.

Angin bertiup kencang memainkan rambut mereka berdua namun hanya rambut Changmin yang menutupi wajahnya.  Seperti masa itu, hanya sedikit lebih panjang. Yunho ingat bagaimana dia menyukai menyibakkan rambut yang jatuh di mata Changmin kemudian....ah sudahlah.

Kenapa mengingat hal itu di saat seperti ini. Yunho kemudian merapatkan mantelnya, hari ini dia sedang tidak enak badan dan situasi seperti ini akan membunuhnya beberapa menit lagi. Sebaiknya segera selesaikan ini.

Walau terlambat namun Yunho tetap beranda-andai seandainya ada pilihan kembali ke masa lalu dia tidak akan berlari ke rooftop ini saat temannya menelponnya dengan panik untuk mencari Changmin. Andaikan saja 15 menit itu bisa dia dapatkan kembali.

Kopiku pasti sudah tidak enak lagi, padahal tadi masih banyak.

“Untuk apa hyung ke sini? Khawatir aku bunuh diri?” nada dingin itu menusuk hingga berdarah dan terlontar tanpa rasa dari mulut Changmin yang masih mengepulkan asap rokoknya.  Aroma tembakau itu menguar bersama angin senja musim semi yang dingin. Aroma yang disukai Yunho dulu dan membuat merindukan itu lagi sekarang. Begitulah Changmin-nya. Membius tanpa terduga.

“Iya aku khawatir.”

“Merasa bersalah, bukan khawatir.”

“Chang…”

“Sebenarnya aku memang ingin lompat. Rencananya sih begitu.”

Kini Yunho memegang lengan Changmin dan menyentaknya keras. Dia tidak suka ada yang bermain-main dengan kata kehidupan apalagi bila itu adalah Changmin.

“Hyung…aku sudah katakan waktu itu. Ini semua akan percuma. Aku tidak akan bahagia. Aku sudah menurutimu selama lima tahun ini tapi hasilnya apa?!”

“Aku masih percaya masih ada harapan."

"Tahukah kamu hyung....dalam buku yang kubaca ada kata-kata seperti ini, 'Harapan jumlahnya sedikit dan sebagian besarnya abstrak sedangkan cobaan banyak dan biasanya konkret'. Dan itulah yang kualami.”

Changmin kemudian menatapnya dengan sorot mata yang tak mungkin Yunho lupakan. Pandangan yang selama ini melekat di setiap kebersamaan mereka. Tak pernah berubah dari saat pertama mereka berkenalan hingga berpisah. Dulu itu terasa manis tapi kini sakitnya bukan main.

Memang lebih baik bunuh diri saja sepertinya.

Dulu kan juga merencanakan begitu.

Yunho tak mampu membendung memori masa lalu itu. Yang membuat mereka berakhir seperti ini adalah dirinya, begitu pun yang memulai. Jadi sosok bajingan itu ya adalah dia. Seharusnya yang patut melompat dan tergeletak bersimbah darah di jalanan adalah dia juga. Yunho tak menyangka malah Changmin yangmerasa lebih pantas menggantikan posisinya.

“Aku tahu aku yang salah.” Yunho begitu ingin menyentuh wajah Changmin dan menciumnya seperti dulu tapi itu tak mungkin. Tak sebaiknya dilakukan, lebih tepatnya. “ Tunggulah sebentar lagi aku akan segera pergi. Dua hari lagi aku sudah tidak akan berada di sini, aku akan tinggal di Jepang.”

“Bukan itu masalahnya!” desis Changmin yang tenggelam diantara suara angin. “Dimanapun itu, selama kamu masih hidup, aku tidak akan tenang. Kamu bernafas tapi tanpa aku. Aku tidak bisa menerimanya.”

Yunho tertegun tidak tahu harus bereaksi apa. Pasti sekarang wajahnya pucat pasi, entah karena kalimat itu atau perutnya yang kembali terasa sakit.

“Tapi aku tidak mungkin membunuhmu. Jadi kupikir lebih baik aku saja yang menghilang.”

Jika di film-film romantis jika orang yang kamu cintai berkata begitu maka adegan selanjutnya adalah menawarkan diri untuk berkorban, atau ya kembali berbaikan dengan sebuah ciuman manis. Tapi kenyataan memang tidak seindah fiksi. Yunho jelas tidak ingin menawarkan diri untuk dibunuh kan. Tapi dia juga bertekad mereka berdua harus pulang dalam keadaan hidup-hidup.

Memikirkan menyelamatakan dua nyawa membuat kepala Yunho berdenyut hebat. Meski pandangannya mulai gelap namun dia berusaha tak berpegangan. Tangan kirinya jangan sampai keluar dari saku, bagaimanapun caranya. Maka cengkeraman tangan kanannya pada Changmin semakin kuat.

“Tak ada satupun diantara kita yang akan mati dengan cara sekonyol ini.”

Suara angin begitu menderu tapi Yunho yakin Changmin mendengarnya. Jarak wajah mereka tak ada sepuluh senti, bahkan tubuh sudah melekat begini.

“Ini tidak konyol hyung. Ini serius. Ini masalah kebahagiaan seumur hidup.”

“Min…please….please…”

“Maafkan aku hyung. Tadinya aku benar-benar tak ingin menganggumu. Aku mencoba segala cara tapi tak berhasil. Aku berusaha membencimu tapi malah semakin memikirkanmu. Aku tidak tahu aku harus bagaimana sekarang. Aku tidak mau kamu pergi tapi melihatmu juga membuatku tersiksa. Lalu aku harus bagaimana? ”

Changmin melepaskan diri dari genggaman Yunho dan mengacak-acak rambutnya, matanya begitu kentara menahan perih, kalut dan panik. “Kamu tidak tahu rasanya hyung! Tidak akan pernah tahu! Orang sebahagia kamu tidak akan pernah tahu!”

Bahagia? Aku?

Yang pasti aku tahu Min….melebihi yang kamu ketahui.

“Berhenti! Jangan mendekat! Please hyung….jangan mendekat dan jangan sentuh aku.”

Yunho tak menggubrisnya.

“Ini serius hyung! Jangan mendekat!”

Tangan Changmin sudah menyentuh pagar rooftop gedung berlantai 10 ini. Kini Yunho memilih berhenti.

“Pikirkanlah perasaanku juga. Aku ingin kamu tetap hidup Min.”

“Memikirkan perasaanmu? Kamu saja memilih melupakanku jadi kenapa aku harus memikirkan kepentinganmu?”

Yunho terbatuk-batuk. Angin yang keras membuat kerongkongannya kering untuk berbicara panjang lebar. Air liurnya pun sudah habis untuk membasahi tenggorokannya dan kini suaranya hilang padahal masih harus membujuk Changmin turun dari rooftop terkutuk ini.

Akhirnya hanya ada suara batuk Yunho yang semakin tak enak didengar.  Seolah-seolah lidahnya akan terlempar keluar dari mulutnya dalam sekali sentakan batuk. Yunho terbatuk-batuk hingga membungkuk-bungkuk dan keringat dingin mulai mengalir.

Changmin yang semula ragu kini perlahan mendekat meski takut-takut. Ia sudah tak peduli lagi itu jujur atau tipuan untuk melunakkannya. Kemudian dia melingkupi tubuh Yunho dari terpaan angin. Begitu dekat dan lekat namun tak memeluk erat. Seolah-olah dia hanya tembok tinggi. Namun Yunho merengkuh tubuh itu di pelukannya. Tak peduli paru-parunya masih belum kembali normal. 

“Stay with me.”

Yunho akhirnya memeluk tubuh itu dengan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya di bahu Changmin. Saat itu Yunho melihat kilauan cincin di jari manisnya dari balik tubuh Changmin. Pantulan cahaya senja keemasan di cincin itu terasa luar biasa menyakitkan.

“Mianhe.”

 

 

*********

 

 

Yunho tidak pernah tahu dan tidak mau tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang diingatkan kala itu paru-parunya semakin sakit dan batuknya begitu menyiksa. Entah apakah sempat turun ke  lantai dasar atau terkapar di rooftop. Tahu-tahu saja terbangun di kamar rumah sakit.

Kini semua orang menanyainya apa yang terjadi sehingga bisa pingsan namun tak ia jawab. Karena Yunho juga tak tahu apa jawabannya. Apakah yang dialaminya bersama Changmin adalah nyata.

Tak ada koran, jawaban panggilan telepon atau pembicaraan tentang Changmin. Orang-orang sekitar Changmin tak lagi menghubunginya dan dia juga tak mau tahu. Lebih baik baginya untuk tidak mengetahui apa-apa.

Ya, biarlah begini.

Bairlah apa yang terakhir dia lihat menjadi ingatannya tentang sosok itu.   

Apakah dia benar-benar melompat?

……………

……….

“Jung Yunho-shii? Saya akan memeriksa darah Anda.”

“Silahkan.”

Perawat itu berhenti sesaat ketika melihat Yunho menjulurkan lengannya. Tapi tak berapa lama kemudian ia melanjutkan tugasnya dengan cekatan seperti tidak terjadi apa-apa.

Yunho hanya memperhatikan dari sudut matanya respon si perawat itu melihat beberapa bekas sayatan di jalur nadinya.

Untunglah Changmin tak melihatnya.

..........

......

Ah, apa yang dilakukannya saat ini ya?

 

 

***The End***

 

 

Quote from 1Q84 by Haruki Murakami

"Harapan jumlahnya sedikit dan sebagian besarnya abstrak sedangkan cobaan banyak dan biasanya konkret"

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
luvnanda #1
Chapter 1: EEEEHHHHHHHH !!!!?????? ⊙.⊙
elkyouya #2
Chapter 1: anjirrrrr babe lu tegs bgt T^T knp gw baru nemu nih ff hari ini T^T bagus bgt..... keep writing please...
kawaii_massu #3
Chapter 1: Bb.. senengnya bikin homin pisah.. tragis pula.. T^T
upiek8288 #4
Chapter 1: hemz sedikit bgg...but its good work!