Brand New
Marquee ReflectionSelama lebih dari lima belas menit aku duduk terdiam di ruang tamu menunggu poselku kembali berbunyi, menunggu Yoomi meneleponku lagi mengatakan ia sudah di depan apartemen dan segera berangkat ke reuni kecil bersama teman-teman SMA dulu. Awalnya aku menolak untuk menghadiri reuni kecil itu, tapi setelah dibujuk oleh Yoomi dengan segala cara dan segala alasan akhirnya aku menyetujui untuk berangkat. Sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka dan sedikit dalam hatiku sebenarnya aku rindu juga dengan mereka.
Tapi ketika sekelebat wajah seseorang teringat di pikiranku, aku kembali gelisah dan sebal dengan diriku sendiri karena selalu membiarkan wajahnya melintas di pikiranku. Wajah seseorang yang membuatku mati-matian menolak untuk menghadiri reuni itu. Untung saja kemuakkan itu takkan terjadi, lelaki itu tak akan datang malam ini. Dan itu membuatku sangat lega, aku tak perlu terkurung dalam kecanggungan di acara nanti dan aku hanya perlu menikmati reuni ini dengan bahagia. Ha, bahagia, kapan terakhir kali aku merasa bahagia? Entahlah.
Hal yang ku tunggu akhirnya terjadi, Yoomi meneleponku dan aku segera keluar dari kamarku dan meluncur ke lantai paling bawah, menemui Yoomi di halaman parkir depan. Tepat setelah aku duduk di kursi penumpang, Yoomi menginjak pedal gas dan pergi menuju tempat perjanjian.
“Kau kelihatan berbeda hari ini.” Aku menoleh pada Yoomi saat ia membelokkan mobil ke jalan raya dan mengawasi jalanan dari kaca spion. Secara otomatis aku langsung mengamati diriku sendiri dari ujung kepala sampai ujung kaki, mencari perbedaan yang Yoomi maksud. Aku masih tetap mengenakan flat shoes seperti yang biasanya kupakai, bahkan kemarin aku juga mengenakan sepatu ini. Celana jins dan kemeja seperti biasa, tas selempang yang juga seperti biasa. Aku tak melihat perbedaan apapun dari hari-hari lainnya kecuali rambut panjangku yang biasa ku gerai kini kuikat dengan sembarang.
“Apanya?” tanyaku bingung.
“Entahlah. Hanya berbeda saja.” Ujarnya mengangkat bahu.
Aku mendengus. Biasanya Yoomi akan mengomentariku blak-blakan dengan apapun yang terjadi padaku ataupun yang aku pakai. Ia akan berdecak dan bergumam menyebalkan jika ada yang salah dengan apa yang aku pakai. Dan hari ini ialah satu-satunya yang berbeda, karena mengomentariku tapi tidak memberikan alasan yang jelas mengapa ia berkata ada yang berbeda denganku. Bukan Yoomi yang seperti biasanya.
Setelah percakapan yang kelewat pendek itu kami hanya terdiam mengamati jalanan malam yang penuh lampu-lampu. Aku membuang muka ke jendela di sampingku. Menghindari kemungkinan pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Yoomi dengan kediamanku. Ia pasti tahu apa yang aku pikirkan. Ia bukan seorang paranormal atau pembaca pikiran bahkan orang sakti sekalipun untuk mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Tapi mengingat dengan kehidupanku sekarang yang seperti ini, kurasa orang-orang yang dekat dan pernah dekat denganku akan tahu apa yang aku rasakan.
Aku sudah terbiasa dengan kediaman, sebagian besar hidupku kuhabiskan dengan diam sekarang. Itulah mengapa aku tidak menanggapi balik komentar Yoomi saat ia mengatakan aku terlihat berbeda padahal dialah yang berbeda. Aku hanya tidak ingin banyak bicara. Diam adalah senjata paling aman, menurutku.
Yoomi kembali berbelok dan masuk ke wilayah restoran tempat dimana kami akan reuni. Ia memarkirkan mobilnya di tempat parkir dan kami segera keluar dari mobil. Aku sedikit khawatir dengan apa yang mungkin akan terjadi di acara nanti. Sejenak aku ragu dan berhenti saat Yoomi terus berjalan di depanku. Aku menarik napas cepat dan mengeluarkannya. Aku melihat Yoomi membalikkan badan dan aku kembali berjalan menyusulnya. Acara ini akan lebih baik dan menyenangkan tanpa lelaki itu, tenang saja. Aku meyakinkan diri.
Saat kami masuk melewati pintu depan, aku langsung menemukan keberadaan mereka, ya, tidak sulit menemukan mereka tentu saja. Kerumunan paling ramai dan paling banyak memakan tempat. Kulihat tiga meja telah digabung menjadi satu meja panjang dan ada beberapa orang yang telah duduk di sana. Mataku menyapu cepat orang-orang yang duduk dan tidak melihat keberadaan lelaki itu. Aku menghela napas lega dan memasang senyum. Mereka bersorak lirih saat kami datang. Aku hanya berpelukan dengan teman perempuan dan ber high five dengan para lelaki. Setelah selesai menyapa mereka, Yoomi menarik tanganku ke seberang meja untuk duduk. Seseorang dengan senyum menawan dan lesung pipi indah terpasang, berdiri dan menarik tempat duduk untukku. Aku mengenalinya sekitar beberapa bulan yang lalu atau bahkan lebih. Ia rekan kerja Jongdae, bersama seorang lainnya yang bernama Wufan.
Mereka berdua dari Cina dan aku ingat nama mereka. Dan orang yang memberiku kursi ini adalah Yixing. Dia orang yang baik, setidaknya begitulah yang ku tangkap setelah mengobrol dengannya dulu. Aku melemparkan senyum padanya.
“Terima kasih, Yixing.” kataku padanya. Aku melihat Yixing sedikit terkejut saat aku mengucapkan namanya. Ia pasti mengira aku telah lupa.
“Terima kasih kembali −“ Yixing berhenti, mengedikkan kepalanya kecil dan aku menangkap dengan cepat apa yang ia maksud.
“Eunjoo.” Aku mengucapkan namaku. Sekarang aku tahu dialah yang lupa dengan namaku. Aku tahu dia seorang yang baik tapi aku tidak tahu jika dia seorang pelupa.
“Benar. Eunjoo. Maafkan aku. Aku sangat buruk dengan ingatan, kau tahu.” Katanya seolah ia sedang meratapi nasib buruknya karena menjadi seorang pelupa. Aku tertawa karena Yixing begitu lucu dan sangat menyenangkan. Aku ingat saat kami mengobrol dulu dan ia selalu membuat aku dan Jongdae tertawa karena logat bahasanya yang sangat aneh dan lucu.
Sekarang aku tahu ia seorang pelupa setelah ia mengatakannya sendiri. Aku merasakan kehangatan menyebar di seluruh tubuhku saat ini. Merasakan betapa aku sangat merindukan suasana seperti ini dan senang bisa merasa bahagia lagi. Setelah kedatangan kami, yang datang selanjutnya adalah Luhan bersama sepupunya, Zitao. Mereka melambai dan aku kembali tersenyum melihat kedatangan mereka, tak kusangka orang yang hadir begitu banyak dan semakin ramai. Zitao memelukku erat saat menghampiriku di kursi. Zitao teman sekelasku saat dulu kuliah yang kebetulan adalah sepupu Luhan, teman sekelasku saat SMA. Sangat kebetulan.
Aku mengabsen dalam hati siapa saja yang hadir malam ini. Joonmyun duduk di pojok kiri bersama Haeun, istri Minseok, Minseok sendiri, Zitao dan Luhan. Aku berada diantara Yoomi dan Yixing dengan Jongdae, Sehun dan Wufan di seberang meja lainnya, Kyungsoo di sebelah Yoomi. Di pojok kanan ada Nayoung, Chanyeol dan Nammi. Sebagian besar anak perempuan di kelas kami tidak datang karena mereka tinggal jauh dan telah menikah dan punya anak. Beberapa lainnya ada yang tinggal di luar negeri. Di antara mereka yang datang malam ini, hanya Minseok yang telah menikah. Aku lupa nama istrinya, maafkan aku Minseok, aku membatin. Hanya orang-orang ini yang tersisa dan beberapa tamu yang langka seperti Yixing, Wufan dan Zitao misalnya. Mereka bukan alumni sekolah kami, tapi mereka ikut meramaikan acara malam ini. Dan ada beberapa orang yang tidak datang karena urusan pekerjaan atau urusan lainnya, seperti lelaki itu.
Setelah kedatangan tamu terakhir, yaitu Luhan dan Zitao, kami semua memesan makanan dan kerumunan kembali riuh. Jongdae mulai berdebat dengan Nayoung, teman perempuanku, tentang apa yang ingin kami pesan. Persis seperti saat SMA dulu, mereka berdua selalu berdebat dan selalu mengundang tawa bagi kami dengan perdebatan mereka. Terkadang aku bertanya-tanya, mereka berdua ini sebenarnya sedang berdebat atau sedang melawak. Bagi mereka berdua kelihatannya itu berbeda tipis. Mereka selalu menjadi mood maker kami. Tentu saja setelah perdebatan konyol mereka berdua, kerumunan meledak dalam tawa. Aku ikut tertawa tapi perhatianku tetap tertuju pada menu yang sedang ku pegang.
Setelah tawa mereda, semuanya mulai melontarkan pesanan mereka.
“Kau pesan apa?” tanya Yoomi yang duduk di kursi sebelah kiriku.
Aku menoleh padanya dan kembali menatap menuku. Restoran ini menyediakan makanan Cina juga dan itu membuatku ingin makan nasi goreng, jadi aku memesannya. “Nasi goreng.” Aku memberitahunya.
Aku mendengar pesanan yang sama dari sisiku yang lain, Yixing juga memesan menu yang sama.
“Aku juga nasi goreng.” Katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya dan aku mulai merasa aneh dengan orang ini. Tepat setelah ia melihat senyumanku, ia kembali bicara dengan orang di sebelahnya. Aku melongok untuk melihat dengan siapa ia sedang berbicara. Tidak sulit untuk mengetahui siapa orangnya, pria berbadan tinggi dan atletis, yaitu Chanyeol. Kudengar sekarang ia menjadi pemain basket nasional dan telah menjuarai banyak kompetisi. Orang hebat. Dulu aku pernah sekali menontonnya bermain saat SMA, dan tak diragukan lagi ia memang berbakat.
Aku menyapukan mataku ke sekeliling meja dan melihat mereka semua sedang mengobrol hangat setelah beberapa menit berlalu. Dan sepertinya hanya aku yang duduk dan tak ada teman bicara disini. Aku menengok Yoomi dan ia sedang mengobrol dengan Kyungsoo, bahkan aku melihat mereka mengaitkan tangan dan meletakannya diatas meja. Aku mendengus melihat mereka pamer dengan hubungannya. Beberapa orang bergabung dengan pembicaraan mereka dan aku terdiam menatap meja. Aku yakin Yoomi tak akan sebegitu leluasa memamerkan hubungannya dengan Kyungsoo jika Baekhyun datang di acara ini. Aku jamin ia tak akan mau melakukannya.
Aku menghela napas. Menyadari aku juga akan melakukan hal yang sama jika Jongin datang malam ini. Gah, namanya meluncur lepas dari penjagaanku dan aku baru saja menyebutkannya. Sialan. Aku tersenyum tipis, namanya begitu memuakkan dan bagaikan mimpi buruk. Aku bersandar pada kursi dan melipat tanganku di dada. Mataku mendarat pada orang yang duduk di seberang meja di depanku. Mataku membulat saat melihat Sehun sedang menatapku intens, seolah sedang menuduhku karena suatu kesalahan yang telah ku buat. Sesaat aku bingung akan beraksi apa, aku ingin tersenyum padanya, tapi aku ragu. Aku ingin mengalihkan tatapanku, tapi aku takut ia akan mengira aku membencinya atau sombong atau apapun yang membuat salah paham.
Saat Yoomi menyenggol lenganku, aku tahu ia tel
Comments