Jejas

Description

Bersamamu, aku merasa bisa menjelma jadi apa saja.

Foreword

Yunho melengos menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Changmin menatapnya keras kepala.

“Kan aku sudah bilang, jaga kondisi, jaga kesehatan. Kalau mau olahraga, capek capek, jangan lupa istirahat. Kalau sudah gini kan ngerepotin banyak orang,” ceramahnya panjang lebar sambil menunduk memerhatikan Changmin tengah mengganti perban elastis di lantai. Pergelangan kaki kirinya bengkak, sedikit kebiruan karena ngotot dia pakai main badminton sama teman—kata Changmin. Padahal dia masih dalam tahap penyembuhan setelah terkilir 3 hari yang lalu. Cuma rally saja katanya. Yunho menolak keras. Baginya mau main santai atau serius tetap saja badminton. Tapi bukan Changmin namanya kalau tidak keras kepala. Sejak mereka sempat pisah rumah Changmin semakin tidak nurut saja dengan nasihat Yunho. Yunho menghela napas sekali lagi.

 

“Aku kan sudah minta maaf,” celetuk Changmin. “Kamu juga waktu sakit kaki maksain latihan di studio kan?”

“Waktu itu kan aku sudah sembuh.”

“Baru mau sembuh,” Changmin memberi penekanan pada kata kedua. “Baru tiga hari juga.”

“Kamu jatuh lebih heboh kemarin!” volume suaranya meninggi. “Sampai biru begitu!”

Changmin cemberut. Yunho memutuskan untuk tidak memberinya ampun.

“Itu dadamu kenapa lagi, dicengkram terus? Habis kesikut jangan-jangan?!”

Changmin berdecak.

“Atau jatuh dada duluan waktu main?!”
“Berisik! Terserah aku mau apa!!” seru Changmin. Matanya membelalak emosi. Respon yang segera dia sesali sesaat setelahnya.

 

Yunho bergeming. Menatapnya lurus nyaris tanpa emosi. Changmin membalas tatapannya takut-takut. Hanya ego yang masih menjaganya tetap statis menatap wajah lelaki di depannya. Dia tahu seharusnya dia dengarkan nasihat orang-orang disekitarnya. Manajernya, dokternya, Yunho. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Seolah-olah mengusir perhatian Yunho secara tidak langsung dengan kata ‘tidak usah ikut campur’. Tapi Changmin hanya ingin menyegarkan pikiran dan suasana hati sesaat. Begitu banyak tekanan yang tidak bisa dia keluarkan seenaknya pada siapa saja memenuhi kepala saat itu. Dia hanya ingin tertawa lepas sebagai dirinya sejenak. Melupakan perannya, tenggelam dalam eksistensi pribadi. Changmin tidak pernah menyangka semahal itu harga angan sederhananya. Melihat respon Yunho jawabannya sudah jelas.

 

“Kamu benar. Maaf ya, Changmin,” ujar Yunho sambil tersenyum singkat. Hatinya semakin miris.

“Kutunggu di studio jam 9.”

Changmin mengikuti langkah Yunho bergerak menjauh dengan matanya. Yunho tidak berpaling lagi sampai menghilang ditelan pintu keluar. Changmin menjambak rambutnya frustasi sesaat setelahnya. Susah minta maaf padanya kalau sudah begitu. Kira-kira Changmin sudah tahu seperti apa Yunho akan menyikapinya setelah ini.

Benar saja. Jam Sembilan kurang 15 menit Changmin sudah tiba di studio, meregangkan otot. Penari latar yang lain mulai berdatangan. Yunho muncul tepat pukul sembilan. Seketika itu pula sapa riangnya bergema—kepada salah satu penari, bukan dia. Changmin berusaha menarik perhatian dengan menatapnya lekat-lekat. Biasanya paling lama 5 detik Yunho akan menoleh membalas panggilan bisunya. Tapi dalam keadaan seperti ini jelas tidak akan semudah itu. Changmin masih berusaha ketika Yunho menepuk tangan tanda latihan dimulai. Dia tidak memalingkan wajah sama sekali.

_____________________________________________________________________________________

 

“Hyung, makan?”

Yunho sibuk membaca entah apa.

“Yunho hyung.”

“Hm?”

“Makan?”

“Udah. Changmin aja makan.” balasnya sambil menoleh singkat.

“Aku nggak lihat kamu makan apapun sejak latihan tadi.”

“Aku udah makan roti tadi.” kata Yunho cepat sebelum tersenyum tipis kemudian beranjak dari sofa menelepon seseorang.

 

Changmin mematung. Sejak pagi dia tunggu-tunggu interaksi seperti ini walaupun sesaat. Setelah dapat dia malah berharap Yunho tidak usah mengacuhkannya saja. Senyum tipis itu seolah mendorong, mengusirnya pergi. Sorot mata Yunho terasa jauh. Mulutnya membuka kemudian menutup. Tidak jadi. Lelaki itu menyambar kunci mobil, menyelipkan sepatu dikaki lalu meluncur menuju restoran langganan. Dinginnya angin malam tak sampai indranya. Tapi Changmin bisa tahu sedingin apa hanya dari balik kaca mobil. Dia menyalakan pemanas. Menggosok tangan ketika laju mobil terhenti lampu merah. Sudah mau akhir tahun. Sebentar lagi musim dingin. Musim kesukannya walaupun sebenarnya dia tidak terlalu kuat udara dingin. Yah, jauh lebih baiklah daripada panas. Menderita dibawah cuaca terik itu rasanya tidak enak sekali. Heran bagaimana Yunho bisa begitu ceria waktu musim panas lalu di Jepang. Panasnya sudah seperti bocoran neraka dia masih saja hiperaktif kesana kemari. Dia menepis pikiran terakhir.

 

Lampu lalu lintas berganti warna. Changmin melaju malas, melamun ditemani sepi jalanan tengah malam. Tanpa sadar tujuannya sudah jauh terlewat sedari tadi. Dia tidak berbalik. Stir dia atur sesuai naluri tanpa tujuan mengikuti irama sendu musik instrumental film drama Jepang yang ia tonton baru-baru ini. Ceritanya tentang janji sebuah pasangan dimasa lalu. Sang wanita pergi, sang pria berusaha memenuhi janji dengan penuh harap. Begitu maraknya perpisahan. Sudah cukup Changmin mengalaminya. Tatapannya mengeras.

Entah sudah berapa lama dia berkendara. Dia bahkan tidak tahu ada di mana. Tapi sepi jalanan terasa sama saja. Tiba-tiba dia ikut merasa sepi. Temannya memang tidak seberapa. Sering juga dia pergi dengan teman-temannya tanpa Yunho. Membicarakan hal yang bahkan tidak pernah dia bicarakan dengan lelaki itu. Melakukan hal yang tidak pernah dilakukan mereka berdua dengan yang lain. Tapi rasanya tidak begini. Changmin menghela napas lambat-lambat.

 

Perut kosongnya berbunyi mengingatkan tujuan utama lelaki itu ngeluyur semalam ini di jalanan. Changmin menepi di depan minimarket 24 jam. Mereka menjual sandwich dan ramen instan di sana. Dia ingin makan ramen pedas. Mungkin juga sandwich setelahnya. Mungkin dia akan beli dua. Changmin merapatkan jaket abunya sebelum melangkah keluar, mengunci mobil, kemudian berjalan lambat menuju pintu depan. Nyeri di pergelangan kaki kirinya makin rewel saja. Dada kanannya juga malah ikut-ikutan berlomba menyita perhatian. Changmin mendesis kesal. Dia benci kalau Yunho benar. Dia memang kena sikut cukup keras waktu berlatih basket dengan Julien. Bukan sengaja memang. Masalah perdadaan ini bukan salah siapa-siapa. Tapi kalau soal kaki memang salahnya. Dia yang ngotot main badminton pagi-pagi dengan Jongsu. Dia tahu persis bagaimana imbasnya beberapa jam kemudian. Tapi dia tidak peduli. Yunho menyayangkan ketidakpeduliannya. Sifat kekanakannya yang membuat lelaki itu naik pitam sebagai pemimpinnya dalam grup dan sebagai kakak.

Changmin menyambar ramen super pedas kemudian mengaduknya cepat setelah menuang air panas. Rasa bersalahnya berubah menjadi kesal. Kesal karena logikanya membuktikan bahwa dia memang bersalah. Dia harus mengalah. Changmin kesal. Biasanya dia tidak begini. Menggantungnya selama ini, sejanggal ini. Ini semua salah Yunho. Salah Yunho sudah membuatnya tidak terbiasa untuk mengalah.

Changmin melirik jam tangannya. Sudah pukul 1 pagi. Penerbangannya jam 8 pagi besok. Dia belum siap-siap. Inginnya sih tak acuh saja. Tapi dia tidak bisa terus tidak peduli. Ada perkerjaan yang harus dia lakukan. Beginilah hidupnya. Changmin menutup matanya sejenak, memantapkan diri. Mungkin dia terlalu lelah. Terlalu sibuk memuaskan orang-orang sampai lupa pada sekitarnya. Sudah seharusnya dia bertindak sesuai usia.

 

Matanya membuka perlahan. Menegak sisa sup sebelum membayar pada kasir yang tampak mengantuk berat. Changmin tersenyum singkat sesudahnya kemudian mendorong pintu kaca. Tepat dua langkah kemudian, seorang lelaki kurus tinggi lewat didepannya. Menyinggung bahunya sedikit tapi cukup untuk membuat Changmin terdorong kebelakang. Lelaki asing itu mengangguk tanda maaf sambil lalu. Changmin mengikuti langkah lelaki itu dengan matanya; sedikit kesal. Tinggal jalan saja pakai acara tabrak menabrak segala..

Seketika itu pula Changmin menyadari sesuatu. Dia menoleh cepat. Lelaki itu nyaris menghilang dipersimpangan ketika Changmin mulai berlari mengejarnya.

 

“BERHENTI!!” serunya melihat lelaki itu mulai berlari menyadari Changmin kejar. “MALING!!!”

Lelaki asing itu panik. Dia menambah kecepatan sambil mencengkram barang curian erat-erat dibalik kantung parka hijau tuanya. Changmin berusaha memperkecil jarak tapi rasanya lelaki itu terlihat semakin jauh saja. Kepalanya berdenyut hebat membayangkan repotnya mengurus laporan kehilangan isi dompet. Kartu kredit, debit, ATM, SIM, KTP, Kartu game center favoritnya di Jepang, pokoknya macam-macam. Bahkan seingatnya dia menyelipkan bukti transfer produk Lego edisi terbatas untuk bukti pengambilan dalam dompet. Changmin mempercepat langkah sambil menggeram frustasi.

 

“WOI!!! BERHENTI, MALING!!” teriaknya lagi. Lagi-lagi lelaki itu menghilang dibalik tikungan. Entah sudah simpang keberapa yang dia lewati. Dalam kepalanya kini hanya terisi bagaimana cara mendapatkan benda coklat gelap itu kembali secepatnya.

“BER—“ kalimat Changmin terpotong oleh cengkraman tangan kokoh dari balik dinding pada kerah jaketnya. Changmin terseret maju kemudian tahu-tahu saja kepalan tangan seseorang sudah mendarat menghantam solar plexus-nya. Sekali, Changmin masih kaget. Dua kali, tangannya refleks menyengkram bagian nyeri. Kepalanya berputar, diafragmanya melemah, mogok bekerja sama menyuplai oksigen untuk paru-paru. Otot-otot ekstremitas melemas seketika. Changmin ambruk sambil meringkuk lemas berusaha menarik napas untuk dadanya yang mulai sesak. Disaat yang sama lelaki itu menggeledah Changmin. Menarik paksa ponsel Vega Iron keluaran terbaru yang dia titip beli pada manajer. Lelaki itu sudah ngacir jauh entah kemana saat Changmin akhirnya berhasil menyeret udara masuk mengisi rongga dada. Napasnya satu-satu sambil menggeram menahan sakit disetiap tarikan napas. Sesaknya masih mengaburkan pandangan.

 

Changmin menyeret tubuhnya menyandar pada tembok. Entah bangunan apa. Perutnya mual, dadanya sesak, kakinya terlalu sakit untuk digerakan. Dia ingin bisa menanggalkan kaki lalu menumbuhkan yang baru seperti seekor cicak. Akan sangat praktis kalau manusia bisa melakukan itu. Efek sampingnya paling hanya akan ada banyak anggota gerak teronggok di jalanan. Paling juga nanti ada yang bersihkan. Tapi sekali lagi kenyataan menyerbu sadarnya ketika rasa sakit tajam menjalar dari pergelangan kaki kirinya saat dia coba berdiri. Desahan lelah Changmin agak bergetar. Pukul berapa sekarang?

Benaknya penuh dengan penerbangan pukul delapan. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum memindai sekitar. Pertama dia harus segera kembali ke mobil. Kunci mobil masih aman terselip di saku celana yang menjorok agak dalam diatas lipatan pahanya. Ditengah hari super sial ini ternyata dia masih punya secuil keberuntungan. Lelaki cungkring bregsek itu gagal menggerayanginya sampai sana saat dia tengah mati-matian menarik napas. Changmin berusaha berdiri dengan tumpuan kaki kanan. Susah payah akhirnya berhasil juga. Kaki kirinya terseret-seret mengenaskan. Tujuannya tidak jauh-jauh. Hanya sampai boks telepon umum di ujung jalan sana. Tapi dengan kecepatannya yang tersaingi seekor siput—Changmin berpikir sejenak apakah siput bisa dikatakan sebagai ‘ekor’—rasanya seperti beratus meter. Bisa gawat kalau kaki kirinya dia seret lebih jauh lagi. Dia butuh bantuan segera.

 

Ada tiga keberuntungan dari belas kasih Tuhan untuknya. Pertama, begundal itu tidak sempat merampas mobilnya. Kedua, makhluk terkutuk itu tidak memukul wajahnya—yang masalahnya bisa semakin panjang karena dia punya jadwal pemotretan dalam waktu dekat ini. Ketiga, dia hapal nomer-nomer penting yang tentunya sangat berguna disaat seperti ini.

Dengan satu langkah besar dia sampai. Tangannya meraih gagang telepon kemudian jarinya berhenti pada tombol angka 0. Dia menimbang-nimbang kira-kira siapa yang bisa dia hubungi. Dalam kepalanya berputar-putar sederet nomer milik Kyuhyun, manajernya, Jongsu, dan Yunho. Ah, dia baru ingat manajernya baru saja ganti nomer. Sial. Kandidatnya berkurang satu. Sekarang dia hanya punya Kyuhyun, Jongsu, dan Yunho. Tidak, Kyuhyun tidak bisa dihitung. Dia baru berangkat ke Cina sore ini. Changmin ingin meninju pesawat telepon detik itu juga. Ternyata dia hanya punya Jongsu dan Yunho.

Dia termangu sejenak. Pilihannya cukup mudah.

_____________________________________________________________________________________

 

Lelaki itu mengendarai mobilnya lambat-lambat. Matanya jelalatan memindai trotoar sepi temaram untuk seorang lelaki semampai satu itu. Kaget sekali tiba-tiba dia telepon sedini ini. Dia tengah enak-enak tidur ketika lelaki itu menghubunginya untuk ketiga kali. Kesal masih kental pada nada bicara kata pertamanya sebelum mencair mendengar suara tipis lelaki itu. Changmin jelas dalam masalah. Kagetnya belum seberapa ketika Changmin menyebutkan posisi saat itu. Saat itu juga dia setuju kemudian langsung meluncur pergi. Di sinilah dia sekarang. Jelalatan dalam mobil dengan kaca terbuka lebar seperti om-om hidung belang haus hiburan. Tidak sulit untuk mencari siapa saja ditengah kelenggangan seperti ini.

 

Changmin tengah meringkuk memeluk lutut ketika Jongsu menepi kemudian keluar dari mobil, mendekatinya. Begitu Changmin mengangkat wajah dia mengeluarkan recehan dari dalam saku lalu melemparnya didepan kaki Changmin kemudian nyengir lebar. Changmin melemparnya ke jalan.

 

“Kampret..” desisnya. Jongsu tertawa.

“Maaf maaf..Jangan ngambek begitu dong. Yuk?”

Changmin mengaduh saat Jongsu membantunya berdiri. Kaki kirinya dia lipat sedikit menggantung diatas tanah. Jongsu memapahnya masuk mobil.

“Mobilmu?”

“Tinggal aja.” jawab Changmin singkat. Jongsu mengangguk mengerti.

“Ini mau ke rumahmu atau ikut ke aku dulu?”

Changmin menimbang sejenak.

“Jam delapan aku mau ke Jepang tapi. Cuma satu malam sih.”

“Oh. Mau pinjam bajuku dulu? Mungkin agak besar sih. Semalam aja kan di Jepang?”

Changmin mengangguk sekali.

“Terserah. Tapi kamu nggak berangkat sama-sama Yunho?”

“Aku ketemu dia di bandara.” jawab Changmin cepat. Jongsu manggut-manggut saja.

Setelah cukup lama mengenal Changmin, awalnya Jongsu pikir lelaki ini tertutup. Tidak sepenuhnya salah sebenarnya. Hanya saja dibalik sekat yang menjaga ruang hatinya, mengejutkan bagi Jongsu melihat betapa transparan lelaki itu. Walaupun dia tidak menyinggung apapun Jongsu tahu kalau hubungan Changmin dan Yunho sedang tidak mulus. Jongsu pun tidak menyinggung apa-apa. Dia menyibukkan diri memerhatikan jalan sementara Changmin melamun kearah lain sampai rumah.

 

“Gimana kakimu? Apa mau ke rumah sakit dulu? Coba liat.”

Changmin menarik celana panjangnya lalu bergeming melihat Jongsu melepas perban elastisnya perlahan. Dahi lelaki yang lebih tua berkerut khawatir. Dia mendesis seolah-olah rasa sakit teradiasi padanya dari pergelangan kaki Changmin.

 

“Kompres es mau?”

“Makasih, hyung.”

“Nggak, aku jadi nggak enak malah rally sama kamu tadi pagi. Harusnya kita main game aja di rumahku.”

Changmin tertawa sekali sambil mengikuti Jongsu menuju dapur lambat-lambat.

“Udah duduk di sofa aja.” ujar Jongsu. Changmin menolak halus.

“Kalau main game di sini kayaknya kakiku malah lebam lebih parah sehabis menendangimu kalau kamu berani menang.”

Jongsu tertawa renyah. Tangannya memasukkan es satu-satu kedalam kompres.

“Tapi benar aku minta maaf. Aku jadi nggak enak.”

“Nggak, makasih udah jemput.”

Jongsu membalas senyum Changmin lebih lebar.

“Sama-sama.”

 

Malam itu mereka berbagi kasur. Jongsu mengganti kompres Changmin beberapa jam kemudian sebelum kembali tidur. Changmin bergumam sesuatu sesaat sebelum Jongsu terlelap.

_____________________________________________________________________________________

 

Yunho memutar kunci pelan-pelan. Kesadarannya hilang timbul terseok-seok minuman keras.Tidak ada yang sibuk dia kerjakan akhir-akhir ini. Tidak seperti biasanya. Tidak setelah kepergian orang-orang itu. Yunho sedikit oleng begitu pintu membuka.

 

Hening menyambutnya. Lagi.Yah, penyambutan meriah jelas tidak termasuk dalam ekspektasinya. Changmin pasti sedang keluar. Pergi minum, pergi ke Gym atau mungkin malah mengunci diri dalam kamar. Yunho juga tidak ingin mengganggunya. Changmin sudah melalui banyak hal. Dia butuh waktu membangun diri. Begitu juga dengan Yunho. Bahkan mungkin saja sikapnya ini sebenarnya hanya untuk membalut luka sendiri.

 

Langkah Yunho terhenti di depan pintu kamar Changmin. Tadinya ingin langsung mandi saja. Tapi entah kenapa rasanya dia ingin masuk menengok adiknya. Adik bungsunya yang sedang meledak terakhir kali Yunho berinteraksi dengannya. Setelahnya hanya percakapan singkat biasa saja. Malah kadang tidak bertatap muka seharian. Yunho maklum. Tapi entah kenapa hari ini instingnya bilang buka pintu itu.

Yunho mengetuknya tiga kali. Tidak ada jawaban. Dia ketuk lagi dua kali.

 

Alih-alih jawaban dari dalam seseorang malah membalas ketukannya dengan ketukan. Yunho mengerjap bingung. Ternyata ketukan itu berasal dari pintu depan. Yunho tengah mencuci wajah dengan air keran ketika intensitas ketukan seseorang dibalik pintu bertambah. Dia ingin terlihat sedikit lebih waras di depan tamunya nanti.

 

Begitu pintu terbuka wajah cemas familiar menyambut. Yunho lebih terkejut melihat lelaki yang dipapahnya. Minho meminta izin masuk sambil tergopoh-gopoh. Yunho refleks membantunya memapah Changmin. Wajahnya pucat berpeluh. Matanya menutup dengan alis bertaut. Mulutnya entah menggumamkan apa.Changmin jelas lebih teler darinya. Tapi bukan hal itu yang menarik perhatian Yunho. Tinju kanan Changmin terbalut perban—atau gips mungkin—dengan bercak kemerahan samar pada permukaannya. Minho menghela napas keras ketika mereka akhirnya berhasil mendaratkan Changmin ke atas sofa. Changmin mengeluh tidak jelas kemudian tertidur tak lama kemudian. Yunho lantas menatap Minho, meminta penjelasan. Lelaki yang lebih muda kebat-kebit ditatap Yunho intens seperti itu.

 

“Aku ditelepon Changmin hyung tadi.” ujarnya memulai “Tapi kayaknya kepencet. Soalnya cuma terdengar ribut-ribut. Terus nggak lama ada yang meneleponku lagi buat jemput.”

“Bukan Changmin?”

Minho menggeleng.

“Aku nggak tahu siapa, katanya teman di gym.”

Yunho memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut hebat. Teman siapa?

Kenapa dia tidak bertanggung jawab langsung membawa Changmin pulang kalau memang mereka pergi sama-sama?

Ingin sekali Yunho menghujani Minho pertanyaan macam-macam. Tapi melihat keadaan sepertinya hal itu bisa dia lakukan nanti dengan narasumber langsung.

“Oia, hyung. Besok tolong bawa Changmin hyung ke dokter ini.” Yunho mengernyit melihat sebaris nama pada kartu nama ditangan Minho. “Operasinya bisa dimulai jam 1 siang kata beliau.”

“Operasi apa?” potong Yunho cepat. Ada jeda sesaat sebelum Minho menjawab.

“Operasi rekonstruksi tulang. Buat benerin tinju kanannya. Beliau bilang ada patahan tulang yang harus diambil dan disusun lagi.”

Yunho menahan napas. Berbagai asumsi yang tidak-tidak berputar dalam benak Yunho. Kenapa bisa begitu?

Apa terjadi sesuatu padanya?

Apa yang anak itu pikirkan?

 

“Besok aku sudah ada jadwal. Maaf ya, hyung.”

Yunho menggeleng sambil memaksakan senyum.
“Biar aku yang antar dia besok. Maaf jadi merepotkanmu.”

Yunho mengantar sampai depan setelah Minho berpamitan singkat. Dia menghela napas berat sambil bersandar dibalik pintu. Matanya bergulir kearah Changmin yang tertidur telungkup. Tangan kanannya menggantung dibibir sofa. Merah disana terlihat lebih pekat sekarang.

_____________________________________________________________________________________

 

“Halo?”

“Yunho?”

“Siapa ini?” jawab Yunho ketus. Dibelakangnya Jooyoung—manajer Changmin—tampak sibuk menelepon dari tadi. Dia melirik jam dinding. Pukul 3 pagi.

“Ini Jongsu. Lee Jongsu. Maaf menelepon malam-malam begini. Aku cuma mau ngabarin Changmin ada di rumahku sekarang, lagi tidur. Takutnya kamu nyariin.”

Yunho menghela napas pendek. Jooyoung menoleh kearahnya dibalas anggukan dan kata ‘Changmin’ tanpa suara dari mulut Yunho. Air mukanya mengendur.

“Ponselnya ikut diambil jadi dia nggak bisa ngehubungin kamu. Ah, tapi mobilnya aman ditinggal di depan minimarket. Besok—ah, nggak—nanti aku antar kesana mungkin habis dari bandara?”

“Tunggu..tunggu..”

Migrain Yunho rasanya kambuh mendengar rentetan informasi ini.

“Diambil gimana maksudnya? Dia ketempatmu nggak bawa mobil?”

“Dia dirampok orang didepan minimarket waktu mau pulang. Kakinya sakit jadi dia telepon minta dijemput, nggak bisa bawa mobil sendiri.” Yunho mengerjap beberapa kali di seberang.

“Nanti pagi aku antar dia ke bandara, nggak usah khawatir.” sambung Jongsu terkantuk-kantuk.

“Oh, makasih banyak, nanti aku jemput saja Changmin dari tempatmu. Bisa minta alamat?”

Jongsu menyebutkan sebaris alamat sebelum mengucap selamat malam. Yunho masih bertahan dengan posisinya beberapa saat setelah sambungan terputus. Suara Jooyoung menguap lebar dibelakangnya menyadarkan.

“Kyuhyun?” tanya Jooyoung seadanya.

“Jongsu.” jawab Yunho singkat. Jooyoung manggut-manggut  saja.

“Dia baru dirampok depan minimarket.”

“Wah? Jongsu?”

“Changmin.”

Jooyoung membelalak tidak percaya. Yunho lantas bangkit dari sofa.

“Nanti pagi aku jemput dia. Hyung sama Kyungjae hyung duluan aja ke bandara. Kami nyusul.” ujar Yunho nyaris datar.

“Oia, sama tolong minta security ambil mobil Changmin depan minimarket sebelum pergi. Tinggal saja di parkiran kantor. Duplikatnya ada di laci kaus kaki, dalam amplop coklat. Makasih ya, Hyung.”

Jooyoung mengangguk pelan. Matanya mengekor Yunho sampai menghilang dibalik pintu kamar.

_____________________________________________________________________________________

 

Yunho terbangun mendengar suara sesuatu membentur kulkas disusul tarikan kursi. Kepalanya berdenyut luar biasa. Tubuhnya terasa ditimpa berkarung-karung beras. Dia berjalan limbung keluar kamar. Lelaki berdarah-darah semalam sudah pindah posisi ke meja makan. Tangan kiri Changmin menumpu dahi. Dia menutup mata. Didepanya ada secangkir jus jeruk sisa entah kapan. Yunho bahkan tidak ingat mereka punya jus jeruk dalam kulkas. Yunho menatapnya sejenak sebelum terseok-seok ke atas sofa. Massa tubuhnya menimbulkan bunyi lembut yang terdengar nyaring dalam ruangan sunyi itu. Changmin bergeming. Tidak ada yang membuka interaksi. Sibuk mendengarkan desir napas masing-masing.

 

“Min-a.” ujar Yunho serak. Yunho berdehem pelan. “Kita harus bicara.”

“Hm.” bisik Changmin nyaris tak terdengar.

Yunho menoleh cepat kearah Changmin. Lelaki itu masih bergeming. Emosi Yunho merangkak naik. Dia lempar bantal terdekat sekuat tenaga persis kearah wajah. Changmin nyaris terjengkang dari atas kursi.

 

“AKU BILANG KITA HARUS BICARA!!!”

“Anjing.. YAUDAH SANA NGOMONG!!”

 

Seperti gerakan refleks, Yunho bangkit dari sofa kemudian berjalan cepat kearah lelaki itu. Changmin melotot, menantang.

 

“HAL TOLOL APA YANG KAMU LAKUIN SEMALAM?!” serbu Yunho. Changmin menyeringai.

“Syuting film o homo episode ‘budakku seorang masochist’.”

“SHIM CHANGMIN!!”

Changmin mendadak berdiri. Mendorong kursi kebelakang dengan deritan keras. Dia menyejajarkan wajahnya dengan milik Yunho.

“Aku nggak perlu tahu kan, Hyung?” tatapan Yunho melunak. “Kenapa sekarang repot-repot tanya perihalku?”

“Changmin, aku bukannya—“

“KAMI!!” jerit Changmin keras sekali. “KALIAN SEMUA!!! AKU NGGAK USAH TAHU!!! EKSISTENSIKU DISINI CUMA TANDA TANYA BESAR!!! NGGAK ADA PENTINGNYA KASIH TAHU SEORANG REMEH KAYAK AKU!!! NGGAK SIGNIFIKAN!!”

“Changmin!! Siapa bilang begitu?!!”
Changmin tertawa miris.

“Kayaknya aku terlalu besar kepala buat seorang tukang teriak. Nggak tahu diri, berharap macam-macam.”

“Apaan sih kamu! Ngelantur!!”

Mata bulat Changmin membalas milik Yunho. Dibalik emosi yang meluap-luap dari sekujur tubuhnya, mata itu tidak memancarkan apapun. Yunho melihat luka bernanah dari sana.

“Apa sekarang bahkan kamu juga membenciku?” bisik Changmin lebih seperti bertanya pada diri sendiri. Kata-kata Yunho sudah diujung lidah ketika tersendat oleh sinar putus asa yang terbersit di mata lelaki yang lebih muda.

“Beritahu aku, hyung. Bagimu apa dia yang ada di depanmu ini?”

Kali ini, Yunho bergeming. Mudah baginya untuk mengeluarkan begitu banyak kata yang mungkin bisa mendeskripsikan peran lelaki ini dari berbagai aspek. Teman? Sahabat? Kolega? Adik kandung sendiri?

Semua kata itu kini terdengar sumbang. Tuntutan Changmin membingungkannya. Dia tidak bisa bilang.

 

Changmin mendengus kemudian melempar gelas ke dinding sampai hancur berantakan. Dia terhuyung, terantuk kaki kursi sebelum jatuh kebelakang. Yunho maju selangkah melihat lelaki itu mengerang kesakitan setelahnya sambil meringkuk mencengkram tangan kanan yang refleks menumpu tubuh. Bunyi gaduh gelas pecah disusul erangan Changmin berderang keras ditelinga Yunho menyampur aduk emosinya. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Dia bahkan tidak sanggup menjawab pertanyaan sederhana lelaki itu. Dia merasa takluk.

Matanya menatap nyalang kearah Changmin yang meringkuk di depannya. Setengah iba, setengah mencari penjelasan. Dia sudah tidak mengaduh lagi. Yunho mengamati wajah pucat pasi dihadapannya. Dulu cahaya kekanakan selalu terpancar dari sana setiap kali mereka berpapasan. Senyum mekar yang dulu meradiasikan riang sampai ke hatinya kini terkunci bibir kering itu. Kerlip magis di matanya kini telah redup oleh kelopak mata yang nyaris menutup. Wajah kaku itu tengah tersedu dimata Yunho.

 

Sesuatu menusuk hatinya seketika. Seketika itu pula untuk pertama kalinya Yunho meyakini sesuatu yang pasti. Dia yang ada didepannya saat ini, Yunho akan lakukan apa saja untuk melindunginya.

_____________________________________________________________________________________

 

Jongsu baru saja menuangkan susu ke dalam mangkuk berisi sereal ketika suara gaduh benda jatuh tertangkap indranya. Dia menoleh kearah kamar. Sebentar, wajah kusut Changmin muncul dari balik pintu.

 

“Jam berapa, hyung?” ujarnya serak.

“Jam 6 pagi.”

Changmin menghela napas keras.

“Kok jam dindingmu udah jam 8..”

“Iya, aku percepat jarumnya biar nggak malas-malasan diatas kasur. Hehehe..”

Changmin menarik kursi kemudian menjatuhkan diri diatasnya. Jongsu menyodorkan mangkuk sereal sebelum bergabung. Changmin melahap sarapan tanpa suara. Baru dua suap, dia menyadari sesuatu yang janggal dengan meja makan ini. Ada satu mangkuk lagi didepan kursi kosong di depannya. Changmin mengerjap. Jongsu terlihat cuek-cuek saja.

 

“Jongsu hyung—“

Seseorang membuka pintu kamar mandi menginterupsi kalimatnya. Changmin refleks menoleh. Dia nyaris tersedak melihat Yunho keluar dari sana. Matanya mengikuti langkah Yunho mendekat sambil bengong.

 

“Sini makan.” undang Jongsu. Yunho membalasnya dengan senyum ala eksekutif. Changmin mati kutu. Sendok di tangannya menggantung di bibir mangkuk entah berapa lama.

“Changdol-a.”

Changmin tersadar dari kaget. Matanya melebar memberi respon pada lelaki di depannya.

“Ayo habiskan. Kita berangkat jam 7.”

“...ya.”

 

Yunho menyodorkan pakaian ganti dan handuk kering sebelum Changmin mengunci diri dalam kamar mandi. Suara air memukul lantai menyusul kemudian. Jongsu tengah mencuci mangkuk ketika Yunho berjalan mendekat hendak membantunya. Lelaki yang lebih tua tersenyum ramah melihat Yunho berdiri di samping.

 

“Makasih, hyung, udah bantu Changmin.”

“Nggak, aku yang ajak rally sama dia kemarin. Aku nggak sangka kakinya bisa sampai sakit begitu.”

Yunho mengeringkan mangkuk bersih lalu menaruhnya di rak. Batinnya sedikit kesal mendengar pernyataan Jongsu. Jadi dia yang ajak Changmin main kemarin?

 

“Tadi malam..” tanya Yunho menggantung. Jongsu mengangkat alis.

“Oh, iya, tadi malam aku ditelepon dia minta dijemput. Kakinya sakit buat jalan katanya. Dompet sama ponselnya dirampok orang waktu dia mau pulang dari minimarket. Jadi dia telepon dari telepon umum.”

Yunho manggut-manggut.

“Habis itu dia langsung tidur. Kami nggak ngapa-ngapain kok di kasurku.” sambung Jongsu cekikikan.

Yunho memaksakan tawa. Dia akan pastikan itu nanti dengan bocah genit satu itu.

 

Tak lama Changmin keluar dari kamar mandi. Dia melirik kearah Yunho sejenak lalu melipat handuk basah ditangannya.

“Ada kantung plastik di dalam tas.” kata Yunho sambil menunjuk tas punggung di atas kursi panjang depan televisi dengan dagu. Changmin mengangguk sekali. Yunho kembali menoleh kearah Jongsu.

“Kami berangkat dulu kalau begitu.”

“Ya, oke. Kamu nyetir sendiri?”

Yunho mengangguk membenarkan. Changmin melirik Yunho sekali lagi.

“Yaudah. Hati-hati di jalan ya.”

Jongsu mengantar sampai depan. Dia melambai riang pada Changmin yang membalas lambaian tangan lelaki itu. Tak lama mobil Yunho sudah melaju bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Pagi itu jalanan ramai lancar. Lagu lama mengalun pelan dari radio meramaikan hening. Changmin ikut-ikutan memerhatikan jalan di depan seperti si pengendara.

“Tadi malam..”

Sialan. Ini adalah topik terakhir yang ingin Changmin dengar dari mulut lelaki itu.

“Kenapa kamu nggak telepon aku?”

Pertanyaan Yunho menusuk langsung ke dadanya. Dia harus jawab apa?

Karena mereka sedang marahan?

Karena Changmin takut yang menjemputnya hanya Yunho yang direpotkan dengan ketidak tulusan di hatinya?

Pada akhirnya dia bungkam. Dari sudut mata, dia tidak lihat Yunho melirik kearahnya sama sekali.

 

Mobil mereka berhenti tersendat lampu merah. Changmin semakin kalut. Matanya bergerak tidak tahu harus melihat kearah mana. Tiba-tiba sebuah tangan terangkat mengusap tengkuknya sayang. Changmin malah tertunduk dibuatnya. Yunho ikut menunduk mencari wajah Changmin lalu tertawa sekali.

“Kamu itu..” bisik Yunho menggambang.

Mobil kembali melaju lambat-lambat mengikuti lampu hijau. Yunho yang sedang memutar stir ke kiri melirik Changmin yang bergerak pelan-pelan dari sudut mata. Sebentar, Yunho merasakan kepala lelaki itu beristirahat dipangkal pahanya. Dia bergeser menyamping, mencari posisi yang lebih nyaman. Yunho membelai singkat rambut coklatnya.

 

“Hyung marah.” ujar Changmin pelan.

“Iyalah. Kamu tidur berduaan sama om-om dibelakangku.”

Changmin tersenyum kecil.

“Punya Jongsu hyung lebih kenceng.”

Yunho menunduk sekilas.

“Apaan?”

Changmin merantukkan kepalanya sekali keatas paha Yunho. Dia cekikikan membayangkan wajah cemberut lelaki di atasnya. Baru Changmin membuka mulut tiba-tiba sandaran kepalanya berpindah tempat.

“AU!”

Changmin refleks mengambil posisi duduk sambil memegangi dahinya yang terbentur stir. Wajah cemberut Yunho membalas kerut di dahi Changmin.

“Turun!” gerutu Yunho. Changmin berdecak kemudian merapatkan kaki Yunho paksa sebelum kembali merebah.

“Nggak tahu orang lagi bercanda..” celetuk Changmin. Yunho menarik anak rambut Changmin gemas.

“AU!!!” Changmin kembali duduk. Yunho menatapnya sambil menggigit bibir, menahan tawa.

“Sakit banget itu!!”

“Cuma aku pilin dikit!”

“Terus ditarik!!” sembur Changmin.

Yunho terkekeh.

Sorry..sorry.. nggak sengaja, sorry..”

Changmin menatapnya tidak percaya. Yunho tertawa renyah sambil menggiring kepala Changmin kembali ke posisi semula.

 

Tidak ada yang membuka pembicaraan setelahnya. Mereka tidak perlu bertukar kata untuk menyenangkan hati satu sama lain. Changmin diam saja mendengar suara Yunho tengah membalas telepon Kyungjae yang semakin sayup bercampur guncangan pelan laju mobil meninabobokannya. Dia memejam mata. Angannya kembali pada dapur apartemen lama mereka beberapa tahun lalu.

_____________________________________________________________________________________

 

Yunho menghabiskan sisa air mineral yang dibelinya diperjalanan tadi sambil melepas sepatu. Sayup-sayup suara desis penggorengan tertangkap indranya. Dia memanjangkan leher.

 

“Min-a?” sapa Yunho.

Changmin menoleh singkat kemudian mengangkat mangkuk tanda menawari bagian. Yunho mengangguk sekali sebelum menarik kursi. Matanya melirik tangan kanan Changmin yang berbalut gips menggantung disamping. Batinnya hendak bertanya macam-macam tapi tidak jadi. Diam diantara mereka dilatari desis penggorengan dan wangi telur mata sapi membuatnya nyaman. Tak lama, Changmin meletakkan semangkuk nasi disusul sendok dan sepiring telur mata sapi didepannya. Terima kasih Yunho dibalas angkukan kepala Changmin yang tengah menarik kursi. Hanya denting alat makan meramaikan suasana. Tidak ada tukar pandang diantara mereka. Sususan kata yang nyaris berbentuk kalimat berkali-kali diurai dalam benak masing-masing.

Changmin melirik Yunho setelah suapan terakhir. Rambutnya setengah basah oleh keringat. Botol air mineral kosong terbengkalai di dekatnya. Matanya menangkap kantung plastik putih dekat bak cuci. Kira-kira Changmin tahu baru darimana lelaki ini. Yunho mengangkat wajah mendengar derit kursi. Changmin berjalan menuju bak cuci lalu mengintip isi kantung plastik.

 

“Aku dari pasar ikan.” jelas Yunho mengonfirmasi rekaan Changmin. “jalan-jalan.”

Changmin tidak membalas. Dia mengeluarkan isi plastik lalu memasukkannya dalam freezer. Mata Yunho mengikuti langkah Changmin berjalan mendekat, mengambil mangkuk kosong dan alat makan, lalu membawanya ke bak cuci bergabung dengan milik Changmin. Diluar dugaan, Changmin berbalik setelahnya. Yunho mengangkat alis. Changmin mengangkat tangan kanannya.

 

“Ah, iya. Kamu nggak bisa kena air.” Yunho beranjak menghampiri lelaki itu. “Kayak kucing..”

Changmin tertawa kecil mendengar komentar terakhir Yunho. Yunho terpana. Lelaki itu benar-benar tertawa.

“Ngapain di pasar ikan?” tanya Changmin sembari menyandar dibibir meja. Yunho mulai menyabuni cucian.

“Jalan-jalan aja sih. Cari angin..”

“Survey?”

Yunho menoleh, agak tersinggung, membalas mata Changmin yang terlihat murni ingin tahu.

“Kamu pikir aku mau jualan ikan?” sambung Yunho ketus.

“Aku cuma tanya. Hyung kan suka aneh-aneh. Siapa tahu beneran ingin jualan ikan.”

Changmin tersenyum simpul.

“Walaupun sebenarnya aku lebih suka kalau kita usaha yang lain sih.”

Yunho mengerjap mendengar jawaban lelaki itu. Apa tadi dia bilang?

“Hah?” Yunho membeo pikirannya.

“Ya apa kek.” Changmin mengendikkan bahu sambil meletakan mangkuk bersih ke rak. “Jadi penyanyi misalnya?” lanjutnya penuh arti.

“Apa kamu bilang tadi?” ulang Yunho. Changmin berbalik menghadap lawan bicara. Dia menarik ujung bibir kirinya.

“Kamu dengar, hyung.”

“Nggak, tadi kamu bilang apa?”

Changmin mengerutkan dahi, bingung.

“Kita..usaha lain?”

 

Kita.

 

Aku dan kamu.

 

Yunho tidak menyangka Changmin akan menggunakan kata ganti itu tanpa jejak ragu sedikitpun. Dia masih menggunakannya saat bicara dengan Yunho. Yunho terenyuh. Bibirnya menggantung senyum.

 

“Atau..kamu lebih suka jualan ikan..?”

Yunho tertawa sekali.

“Aku ingin bangun sekolah.”

“Jangan suruh aku ngajar.” Yunho membalas senyum Changmin lebih lebar.

“Kalau jadi perancang sesuatu?”

“Asal bisa kupakai buat endorsement. Jangan pakaian dalam.”

Deburan adrenalin mendadak menyerbu pembuluh darah Yunho diantara haru. Changmin menangkap deburan itu. Deburan yang sama ketika dia mememergok Yunho tengah menatap pertunjukan musik dengan pilu didepan televisi. Lelaki itu tengah meredup. Pemandangan yang sungguh menghancurkan hati. Dia tidak mau begini. Changmin tidak akan membiarkannya padam. Tidak untuk dia yang masih mengulurkan tangan pada lelaki remuk, lumat pada emosi, sepertinya. Tidak cahayanya.

 

“Gimana kalau musisi?”

“Bacok semua begundal yang berani nyenggol kita.”

 

Bersama lelaki ini, Changmin merasa bisa menjelma jadi apa saja. 

_____________________________________________________________________________________

 

“Kamu ngelamun apa sih?” ujar Yunho membuyarkan lamunan Changmin dibalik matanya yang menutup. Lelaki itu tersenyum tipis.

“Ngelamunin sekuel.”

“Hah?”

“Kayak yang nggak tahu aja biasanya ngapain kalau habis berantem.”

Ada jeda sejenak sebelum telunjuk Yunho menelusuri garis wajah dia yang dibawah.

"Kamu yang minta ya."

Changmin menyeringai begitu merasakan perubahan pada sandaran kepalanya.

“Yah..” bisiknya dramatis. “Jadi nggak empuk lagi..”

____________________________________________________________________________________________________________________________________

 

Sangat tepat dilatari lagu 'You're Still The One' dari Shania Twain. Hahahaha..

Makin hari makin bikin sirik saja duo ini..

Comments

You must be logged in to comment
LMS_239
#1
aaahhhh bagus bgt xD
kyak asli kenyataan kekeke

aaahhhh tuh endingnya pada mau ngapain xD
niyalaw
#2
EPIC STORY!!!!!! Akhirnya nemu story yang gaya bahasa begini xD keren keren keren!!! karakternya mereka banget/? hahahahahahhahaha ending juga epic banget lmao emang ya si duo makin lama bikin gemes/?

thanks udah bikin story bagus ini. di tunggu another homin fanficnya.
deliciousshim #3
ohhh lupa mau komenin endingnya yg bikin cekikikan:

“Yah..” bisiknya dramatis. “Jadi nggak
empuk lagi..”

ㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋ jjang!
deliciousshim #4
suka banget gaya bahasanya. suka suka sukaaa <3

ceritanya bagus, bikin senyum2, bikin terharu pas flashback masa2 kegelapan mereka.
makasih udah nulis ini > u < sering2 yaaa ^^
purewhite1981 #5
Awesome..
Ceritanya menarik..
kawaii_massu #6
Bagus! Rasanya cute kalo ada cerita mengenai kehidupan sehari-hari yunho ma changmin yg kayak gini.. sering2 yah. Thanks. ^^