Intro

The Game

Dentuman keras musik khas kelab malam memenuhi pendengaranku. Kugoyangkan kepalaku ringan mengikuti iramanya seraya melangkahkan kaki pasti menuju ‘singgasana’-ku.

Yo, kau sudah datang.” Seruan Suga Oppa menyambutku ketika kupijakkan kakiku di sampingnya. Tangannya masih sibuk memutar piringan, mengatur musik yang membuat semua orang bergoyang karenanya.

“Seperti yang kau lihat. Kurasa ini giliranku.”

Kepala berambut cokelat di depanku itu mengangguk ringan sebelum mengucapkan salam perpisahan – karena aku yang akan menggantikan tugasnya. Baru saja Suga Oppa memutar lagu terakhirnya ketika kurasakan sesuatu bergetar di kantung celana pendekku. Malas kuambil benda elektronik itu.

“Selamat bertugas.” Sebuah headphone terasa menggantung di leherku, membuatku mengangkat kepala mendapati senyum hangatnya di depanku.

Kuanggukkan kepalaku sekilas ke arahnya yang mulai melangkah melewatiku setelah menepuk pundakku sebelumnya. Ah, benar juga ponselku masih bergetar.

 

Hi, Oppa. Ada apa?” Seruku ke arah seseorang di seberang sana. Aku harus bertarung dengan musik yang baru saja diputar Suga Oppa.

“Kau sudah di kelab?” Jemariku mulai menari di atas mixer ketika suara di seberang terdengar. Kim Namjoon, kekasihku yang sangat populer itu.

“Ya, jadi katakan saja apa perlumu.”

“Aku ingin kita putus.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari seberang tepat ketika lagu ini berakhir, membuatku dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

“Putus? Baiklah, aku akan mengemasi barangku dan kupastikan aku sudah pindah besok. Goodbye.” Kuputuskan sambungan dua arah kami begitu saja sebelum memasukkan benda elektronik itu ke dalam saku celanaku.

Kumulai memutar piringan di depanku, memainkan sebuah lagu yang telah kusiapkan. Memasang salah satu headphone  di telingaku, dan mengambil mic untuk menyapa orang-orang di bawah sana.

Wassup everybody! The Queen in the buildin’, make some noise~” Sebuah lagu mulai terputar ketika ratusan orang di depanku berteriak menyambutku. Kuawali sesi kali ini dengan lagu bertempo sedang; Bumkey feat San.E – Attraction.

 

Aku sudah tahu suatu saat lelaki itu akan mengakhiri hubungan kami. Aku tahu dia selalu bermain dengan wanita lain di belakangku, bahkan sejak pertama kali hubungan kami bermula tahun lalu. Jika bukan karena aku tak memunyai tempat tinggal di Seoul dan dia tak butuh seseorang untuk menyiapkan makanan, aku tak akan mau bertahan di sampingnya, apalagi tinggal bersamanya hanya untuk melihatnya pulang tengah malam dengan wanita yang berbeda-beda.

Okay, aku memang tak benar-benar mencintainya. Aku juga tak peduli dia tidur dengan berapa wanita dalam semalam. Aku tak peduli asal dia tak mencoba melakukan itu padaku. Hey! Meskipun aku bekerja di dunia malam dan memiliki seorang kekasih bejat sepertinya, tapi aku masih bisa menjaga harga diriku!

Sekarang, aku sudah punya sebuah apartemen untuk kutinggali sendiri. Lagipula aku sudah bosan harus bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuknya dan pelacur yang dibawanya. Sakit hati? Menangis? that! Aku bisa hidup dengan lebih baik tanpanya. Dia yang akan menangis karena telah mencampakkanku.

 

 

Ketukan hak sepatu dan lantai marmer menggema di seluruh koridor. Kupijit pelan keningku yang terasa pening. Aku hanya minum sedikit malam ini, kenapa rasanya pusing sekali?

Omo!” Seruan seorang lelaki terdengar ketika kurasakan sebuah tangan melingkar di pinggangku dengan sigap. Menangkap tubuhku yang oleng. Sial.

“Maaf.”

Kucoba menegakkan tubuhku, tapi percuma. Kepalaku terlau pening, jangankan untuk berjalan, bahkan berdiripun susah.

“Biar kuantar kau pulang.” Kini tangannya mendekap pundakku setelah sebuah jaket tebal membungkus tubuhku, membawaku berjalan di sampingnya.

Siapa orang di sampingku ini? Aku merasa mengenal suaranya dengan baik. Tapi, aku hanya tak bisa mengingatnya. Suaranya seperti sering kudengar. Entahlah, aku tak peduli siapa dia. Aku percaya padanya.

 

***

 

Sinar hangat matahari menerpa pipiku, membuatku membuka mata perlahan dan mendapati suasana sebuah ruangan dengan dominasi warna hitam. Di mana ini? Ini bukan kamarku ataupun kamar... Kubawa tubuhku bangkit seketika, menggapai baskom di atas nakas di samping tempat tidur. Sepertinya pemilik kamar sudah menyiapkannya, tahu aku akan muntah ketika terbangun nanti.

“Akhirnya, kau bangun juga.” Sebuah sapu tangan terulur di depanku. Kuambil kain itu untuk menyeka bibirku, sebelum mengangkat kepalaku untuk menatap si pemilik kamar. Suga Oppa?

Oppa? Kenapa kau, ah bukan bukan kenapa aku ada di sini? Di kamarmu?”

“Kau mabuk semalam, aku ingin mengantarmu ke tempatmu. Tapi, aku tak tahu di mana kau tinggal jadi kubawa kau kesini, ini apartemenku.”

Kubulatkan bibirku seraya mengangguk-angguk mengerti, “Terima kasih.” Sebuah senyum kecil kupamerkan untuknya. Tentu saja aku perlu berterimakasih.

“Tak masalah, minumlah ini. Setelah itu, gosok gigimu aku sudah menyiapkan makan siang untuk kita.” Segelas air madu hangat dengan irisan jeruk lemon terulur di depanku. Tunggu...

“Makan siang?”

“Ya.” Tawa kecilnya menguar seraya menunjuk jam digital di atas nakas, 03.00 pm.

Eomma-ya! Maaf aku tidur terlalu lama.”

“Tak apa, minumlah dulu aku harus membersihkan dapur.” Tangan besarnya bergerak mengusap kepalaku sebelum kakinya melangkah keluar dari ruangan ini.

Lelaki pucat itu selalu baik padaku, memerlakukanku seperti adiknya sendiri. Padahal dia sempat menentangku habis-habisan ketika aku mulai menjadi DJ di kelab malam milik keluarganya. Tapi, sekarang dia mendukungku sekaligus melindungiku. Memang tidak secara langsung, tapi aku tahu dia selalu mengawasiku. Dia selalu ada ketika aku membutuhkannya. Mungkin, karena kami sama-sama berasal dari Daegu?

 

“Bagaimana rasanya?” Pertanyaannya terdengar ketika kusuapkan sepotong kue beras ke dalam mulutku. Rasanya...

Uhk,” kutarik dahiku mengernyit merasakan sesuatu yang menyeruak ke hidungku. Aku memang tak bisa memasak  masakan yang paling enak tapi ini, “apa kau memasukkan kaos kaki kedalamnya?”

Mata kecilnya membulat menatapku. Oh ayolah, masakannya benar-benar – Eommaya! Kini giliran Suga Oppa yang mengernyit setelah memakan sup kue berasnya.

“Kau merasakannya?”

Kepalanya mengangguk perlahan, “Kurasa aku memasukkan terlalu banyak tauco. Bodoh sekali. Maaf.”

Hehehe... Tak apa, kita bisa makan nasi gorengnya. Ini terlihat enak.” Kugerakkan sendokku mengambil nasi goreng di depanku dan memakannya. Lumayan, rasanya seperti ramyun instan.

“Aku benar-benar tak berniat meracunimu.” Ujarnya lagi seraya ikut memakan nasi goreng buatannya.

“Aku tahu, kau tak akan tega menyakiti wanita berhati lembut sepertiku.”

“Ya, wanita berhati lembut yang selalu mengumpat setiap hari.”

Yaa!” Kubulatkan mataku seraya menendang kakinya di bawah meja, membuatnya mendesis mengusap tulang keringnya. Rasakan itu!

 

 

Kupatut diriku di depan cermin, memandang bayangan seorang gadis dengan kemeja denim kebesaran yang menutup sampai pahanya. Ya, aku meminjamnya dari Suga Oppa. Aku harus mengemasi bajuku yang masih tertinggal di rumah Namjoon Oppa – atau yang biasa orang lain kenal dengan Rap Monster. Syukurlah Suga Oppa mau membantuku.

Lagipula, hanya ada sedikit baju yang tertinggal di sana. Aku sudah mulai memindahkan yang lain sejak dua minggu yang lalu. Ah! Satu lagi, aku tak tahu ini kebetulan atau takdir. Tapi, ternyata apartemen yang baru kubeli bulan lalu itu hanya berjarak tiga pintu dari apartemen Suga Oppa! Betapa sebuah kebetulan yang menguntungkan.

 

“Kau sudah siap?” Suara Suga Oppa memecah perhatianku dari depan cermin, mengalihkan pandangan ke arahnya.

“Siap.” Kuanggukkan kepalaku sebelum menyambar tasku di tempat tidur dan berjalan ke arahnya.

“Kau yakin kekasihmu,”

“Mantan kekasih.” Sambarku membenarkan kata ganti yang digunakannya ketika kaki kami mulai mencapai pintu apartemen.

“Ya, mantan kekasihmu tak akan marah melihatmu datang bersamaku?”

“Kenapa dia harus marah? Hubungan kami sudah berakhir. Lagipula, aku tak pernah marah melihatnya datang bersama wanita lain setiap malam,” tangan Suga Oppa masih sibuk mengunci pintu. Tapi, matanya membola menatapku kaget. Kurasa aku pernah bercerita tentang ini, “aku bahkan menyiapkan sarapan untuk mereka.”

“Kukira kau berbohong tentang wanita-wanita itu.”

“Kenapa aku harus berbohong? Tak ada keuntungan yang kudapat dari merusak image-nya yang sudah rusak.” Kukendikkan bahuku tak acuh seraya melangkahkan kaki menuju elevator dengan Suga Oppa  di sampingku.

“Tapi kau tetap bertahan bersamanya. Selama satu tahun.”

“Karena kurasa itu lebih baik daripada aku harus pergi dari rumahnya yang nyaman dan tidur di pinggir jalanan Myeongdong.”

 

“Tapi, Jii...” Kalimatnya terdengar menggantung ketika kami berdiri berdampingan di dalam elevator yang kosong. Kuangkat kepalaku menatapnya yang sedikit lebih tinggi dariku, penasaran menunggu lanjutan kalimatnya.

“Kau, dia... Tak pernah melakukan ‘itu’ padamu ‘kan?” Kedua pasang telunjuk dan jari tengahnya bergerak naik turun lengkap dengan ekspresi wajahnya yang sangat khawatir. Menggelikan!

Ahahaahahaha... Tentu saja tidak! Dia bisa kubunuh kalau benar-benar melakukannya. Ini hanya untuk suamiku, dan orang sepertinya tak pantas menjadi suamiku.”

“Syukurlah,” nafasnya menghela terdengar lega. Benar-benar menggelikan.

“Sekarang kau penasaran kenapa dia mau bertahan denganku, padahal aku tak pernah mau melakukan-‘nya’?” Kini giliran kedua pasang jariku yang naik turun pada kata –nya. Suga Oppa hanya mengangguk dengan ekspresi heran di wajahnya.

“Karena aku bisa membantunya membuat musik yang bagus, dan dia butuh seseorang untuk mengurus rumahnya.”

“Tapi dia memintamu sebagai kekasihnya, bukan pembantu!”

“Anggap saja ‘kekasih’ adalah nama halus untuk jabatanku.”

Sekali lagi bahuku mengendik acuh ketika sepasang mata kecil itu berputar sebal. Entah kenapa, aku tak pernah sakit hati meskipun lelaki itu memerlakukanku seperti pelayan di rumahnya. Mungkin karena rumahnya terlalu nyaman untuk kutinggali. Mungkin karena dia membuatku nyaman bersamanya? Tidak! Ini pasti hanya karena rumahnya yang nyaman.

 

 

Kulangkahkan kakiku memasuki rumah Namjoon Oppa dengan Suga Oppa  yang berjalan di belakangku. Aku masih hafal kombinasi kode pintunya – tentu saja. Jadi aku bisa memasuki rumah ini sesuka hati meskipun lelaki itu tak di rumah. Kurasa aku bisa merampoknya suatu hari.

 

Oppa, kau datang ke mari untuk membantuku. Bukan untuk melihat foto.” Kubuka pintu kamarku, meninggalkan Suga Oppa yang masih mematung menatap sebuah foto berukuran poster yang dipajang di ruang tamu – fotoku bersama Daenamhyup yang di ambil akhir tahun lalu.

“Kau mengenal Daenamhyup?” Langkah kakinya terdengar mendekat ketika kubuka almariku dan mengeluarkan sebuah koper dari dalam sana.

“Setidaknya aku tahu bagaimana cara mereka memakan daging – seperti hewan buas.”

“Sepertinya semua orang juga melakukan itu. Hahaha... Apa yang perlu kubantu?”

“Tolong masukkan barang-barang di meja rias itu ke sini.” Kuelungkan sebuah kotak yang disambutnya dengan anggukan kecil.

“Kau bisa main puzzle kan? Letakkan saja di tempat yang pas.”

Okay okay.”

 

Kumasukkan satu persatu pakaianku yang tersisa ke dalam koper. Kamar yang nyaman ini, aku akan meninggalkannya. Rumah ini juga, membuatku menghela nafas berat mengingat aku harus meninggalkannya. Kuakui, meskipun aku tak menyukai pemiliknya tapi aku menyukai rumah yang telah kutinggali selama satu tahun terakhir ini. Dapur yang luas, home theatre 3D, studio di lantai dua, mungkin aku akan lebih merindukan para rapper gila yang memanggil dirinya ‘Daenamhyup’ itu. Kapan kami bisa membuat musik bersama lagi?

Sudahlah, aku tak akan menyesal pergi dari sini. Aku akan berdiri tegap dan berjalan ke depan. Satu tahun kemarin hanya seperti tahun-tahun yang lain di hidupku. Tak ada yang istimewa darinya.

 

“Sudah semua?” Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu terdengar. Apa bertanya sekali saja tak cukup?

“Sudah. Ayo pergi.” Kuseret koperku ke luar kamar dan langsung berhenti ketika mendapati seorang lelaki tengah berdiri di ruang tengah. Menatapku. Menatap kami berdua lebih tepatnya.

“Kau benar-benar akan pindah?” Suara beratnya terdengar agak kaget. Aku berani bertaruh mata kecil itu membola di balik kacamata hitamnya.

“Ya, bukankah hubungan kita sudah berakhir?”

“Dan kau memulai hubungan dengan lelaki itu agar bisa tinggal di rumahnya?” Tangannya menunjuk Suga Oppa yang berdiri di sampingku. Kenapa dia terdengar marah? Hey, dia yang memutuskan hubungan kami semalam!

“Ya,” kuanggukkan kepalaku mantap menjawabnya, “kau tak curiga kenapa aku mengemasi barang-barangku akhir-akhir ini? Ah, tentu saja kau terlalu sibuk dengan wanita-wanita itu. Ayo kita pergi dari sini, Oppa-ya.”

Kurangkul lengan Suga Oppa seraya melangkahkan kaki ke arah Namjoon Oppa yang masih mematung menatap kami. Untung Suga Oppa berinisiatif menarik koperku. Aku hampir melupakannya!

Ah, satu lagi.” Kuhentikan langkahku tepat di hadapannya hanya untuk mengatakan sesuatu, “Kau sebaiknya mengganti kode pintumu. Aku masih menghafalnya dengan baik, aku juga masih hafal jam berapa saja kau tak akan ada di rumah. Aku punya banyak kesempatan untuk merampok rumah ini.”

Kutunjukkan senyum manisku untuk terakhir kali sebelum melangkahkan kaki melewatinya. Kuharap aku bisa benar-benar bebas dari cengkraman monster ini.

 

***

 

“Aku punya sebuah ide.” Kepalanya mendekat ke arahku dengan sendok ice cream menempel di sela bibirnya.

Suga Oppa berbaik hati menraktirku ice cream di perjalanan pulang kami menuju apartemen baruku. Dia bilang, ini akan membuatku merasa lebih baik. Bukankah aku memang baik-baik saja?

“Apa?”

“Ayo lakukan sebuah permainan. Kau, dan aku, kita akan berlaku seperti kekasih yang baik.” Kekasih yang baik? Apa yang sedang dibicarakan lelaki ini?

Oppa, katakan saja kalau kau menyukaiku. Kau ingin aku benar-benar menjadi kekasihmu?” Kuputar bola mataku malas seraya menyuapkan cotton candy flavoured ice cream ke dalam mulutku. Suga Oppa boleh saja menraktirku ice cream dan membantuku pindah. Tapi, menjadi kekasih yang baik dia bilang?

“Kita coba saja dulu. Mulai sekarang, selama tiga puluh hari ke depan kita harus mengawali hari dengan menyapa satu sama lain dan mengucapkan selamat tidur setiap malam, juga mengucapkan ‘I love you’ atau apalah itu sejenisnya dan bertemu minimal satu hari sekali. Yang pertama kali benar-benar jatuh cinta berarti kalah dan harus menuruti apa saja yang diinginkan oleh yang menang.”

“Kau menantangku, Suga-ssi?”

Kunaikkan satu alisku menatapnya dengan senyum sinis andalanku. Sementara lelaki pucat itu hanya mengendikkan bahunya. Okay, ini tak sulit. Tak masalah.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet