Satu dan Selesai

What If

‘Selamat ya, lulus sekolah ini dengan nilai terbaik dan menjadi peringkat satu dari 200 siswa’

Sebuah pesan yang masuk ke handphoneku, dari sebuah nomor yang tak dikenali olehku.

Hanya itu, tak ada yang lain.

Kukerutkan keningku, bingung. Akhirnya kuketik balasan padanya.

‘Maaf, ini siapa? Namun, terimakasih dengan ucapan selamatnya. Untukmu juga, selamat dengan kelulusannya.’

 

Setelah selesai makan siang dirumah, pesan balasan masuk ke handphoneku.

            ‘Hahaha~~~ kau tak menyimpan nomorku?Tapi, terima kasih kembali juga, untukmu’

Karena aku memang dalam situasi tidak ingin bermain tebak-siapa-aku, jadi aku hanya membalasnya dengan…

            ‘Siapa.Kamu?’

Sambil tiduran diatas kasur, Ting.

‘Kekeke~~~ Okey, Zhang Yixing, kau tak amnesia dengan teman sekelasmu, kan? Oh, ralat, mantan-teman-kelasmu-mu ini’

 

Aku hanya melempar handphoneku ke kasur, dan pergi keluar rumah. Jalan-jalan dan mencari ice cream sepertinya menyenangkan. Lagipula akhir-akhir ini, udara sangat tidak bersahabat.

Minggu depan aku akan pergi dari kota ini untuk melanjutkan studiku. Tak ada pilihan lain karena tak ada universitas di kota ini yang memiliki major yang kuinginkan. Jadi, memang harus pergi.

Aku membeli sebuah gelang dari perak ketika melewati toko pernak-pernik. Dalam pikiranku, mungkin ini bisa menjadi benda pengingatku tentang kota ini, untuk sementara.

 

            “Kau sudah pulang, sayang. Ini ada buah melon di meja makan. Makanlah”

 

Aku memakan buah melon yang sangat segar tersebut sendirian di meja makan. Sambil membaca Gallagher Girl, sebuah novel yang masuk dalam daftar favoritku. Menyumpal telingaku dan mendengarkan musik dengan volume yang sangat keras, berharap telingaku rusak dan tidak akan bisa mendengar teriakan-teriakan dari dua orang di dapur.

 

            “Ini hadiah dari kami, sayang. Kau sangat menginginkan boneka teddy bear ini, kan?”

 

Aku hanya memeluk lututku di pojok kamar, dalam keadaan gelap gulita, menghindar dari dunia luar. Menangis sendirian.

 

Satu minggu, dan sekarang aku berada di stasiun. Dalam waktu satu jam, akan pergi meninggalkan kota ini. Menggenggam sebuah gelang perak yang kubeli seminggu lalu.

           

            “Jaga diri baik-baik, sayang. Kami akan terus mendukungmu. Jika sudah sampai, telepon kami,

            sayang.”

 

“Jaga diri baik-baik. Telepon ibu ketika sudah sampai di apartemen”

“Baik, bu, sampai jumpa”, ucapku sambil memeluknya kemudian mendorong satu koper dan menggendong sebuah ransel berjalan kea rah kereta dan mengaitkan pengait gelang dan memakainya ke tangan kananku.

“Sampai jumpa”, bisikku.

……………………………………

Ketika sampai di apartemen baruku, tempat tinggalku selama bersekolah disini, yang kulakukan adalah langsung duduk di sofa. Memutar kepalaku, melihat sekeliling ruang depan ini. Bagus. Tak mewah namun juga tak jelek. Nyaman.

Tak terasa, aku tertidur di sofa, dan lupa untuk mengabari ibuku kali ini.

 

            “Oh, sayang, kau sudah sampai? Apartemennya nyaman? Sudah makan?”

 

Kuhela nafasku. Menunggu sangat lama, dan tak ada jawaban dari ibu. Mencoba berpikir positif, mungkin ibu sedang tidur. Sekarang, beliau sering merasa lelah. Aku sangat khawatir dengannya.

Ketika rasa bosan melandaku, dan rasa lapar belum mendatangi perutku, dengan asal aku membuka pesan-pesan di handphone hitamku ini.

“Nomor asing?”, gumamku ketika melihat sebuah nomor asing di daftar pesan ini. Kubuka dengan penasaran.

Selanjutnya, kutemukan diriku mengatur baju-baju ke almari, buku-buku, bacaan, novel maksudku ke rak buku di samping meja belajar, dan sedikit merapikan ruangan dan membersihkannya. Kemudian berjalan keluar, turun ke lantai dasar, pergi, memasuki sebuah swalayan tepat disamping apartemen ini.

“Mungkin, ramyeon, telor, roti, susu, dan buah peach, cukup sampai besok. Dan instant (ini khusus untuk ramyeon)”, gumamku ketika mendorong kereta belanjaan.

 

…………………………………………..

 

Tak ada yang berkesan ketika memasuki bangku kuliah, yang ada hanya lelah. Namun, tak bisa dipungkiri, aku menyukai major yang kuambil. Jadi tak ada masalah disini.

Aku masih berperan sebagai murid yang baik, selalu berangkat paling awal dan duduk di kursi depan, mencoba tidak mengantuk dan mengobrol ketika ada dosen yang mengajar seperti mendongeng sebelum tidur. Aku berjanji untuk tidak melakukan itu.

Karena, aku ingin membuktikan kepada orang-orang yang kukenal bahwa aku adalah gadis yang kuat.

           

            “Ah, Selamat, Eun Jin- ah, kau sudah diterima di universitas”

 

Anggap aku orang buruk. Aku adalah seorang gadis yang memiliki banyak peran, peran-peran yang kuciptakan sendiri. Itu adalah caraku bertahan hidup.

Aku selalu berpikir bahwa, orang-orang selalu meremehkanku. Jadi, aku menjadi seperti ini. Belajar, belajar, dan belajar.

Pikiran dan ucapan dari mulutku tak pernah selaras. Mungkin aku terlihat lemah, murni dari luar, namun, tidak bukan itu, aku orang yang jahat.

Hitam dan putih, neraka dan surga.

Dan aku seperti itu.

 

Dua tahun berlalu dengan cepat. Satu atau dua tahun lagi aku akan lulus dari universitas ini. Kerja part-timeku sebagai pelayan toko buku selama satu tahun belakangan ini sangat menyenangkan. Aku tak lagi meminta uang tambahan dari orang tuaku. Nyaman.

Lagipula, aku sangat suka membaca, jadi ini seperti surga bagiku.

“Selamat datang”, kataku sambil membungkuk sedikit, ketika seseorang memasuki toko ini. Ketika aku mendongakkan kepalaku lagi, pelanggan tersebut sudah berjalan ke rak bagian novel.

“Aku seperti akrab dengan orang itu’, gumamku sambil menyipitkan mata.

“Eun Jin-ah, tolong ambil tambahan komik ini di gudang, sudah tak ada lagi yang terpajang”, perintah Na Young unnie padaku. Kuanggukkan kepalaku dan sedikit berlari ke arah gudang.

 

“Maaf, tuan, kami akan segera tutup, masihkah ada yang diperlukan?”, tanyaku ke seorang pelanggan laki-laki yang sedang membaca sebuah buku di dekat jendela. Toko ini memang menyediakan tempat untuk membaca bagi pelanggan yang datang, untuk membuat nyaman. Namun, jika begini, kami –pegawai- yang tak nyaman, harus menunggu pelanggan seperti ini selesai.

Laki-laki tersebut dengan kaget mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku. Kemudian dia mengerutkan keningnya, terlihat sedang berpikir. Kemudian..

“Eun Jin? Shim Eun Jin?”, tanyanya dengan penasaran.

Aku yang sekarang mengerutkan kening, bingung, bagaimana dia tahu namaku. Apakah aku mengenalnya? Namun karena terlalu penasaran aku menjawab dengan memberikan pertanyaan, “Siapa kamu? Apakah kita pernah bertemu?”

Namun yang kudapat hanya sebuah tawa yang keras dan membuat lesung pipi ke hadapanku.

“Kau sudah lupa padaku? Zhang Yixing? Orang china yang sangat ceria ketika ada pelajaran olah raga”, jelasnya ketika tawanya sudah selesai.

“Yang..? Yang siapa?”, tanyaku pelan, masih bingung.

“Yang. Yi. Xing”, katanya pelan dan menekan di setiap kata.

“Zhang Yixing? China? Olah raga?...... ah, Zhang Yixing”, akhirnya aku mengingatnya.

 

Ketika aku pulang  ke rumah orang tuaku untuk pertama kalinya, merasakan kerinduan yang sangat dalam. Sambil menggemgam gelang perak yang sudah kupakai sejak empat tahun lalu, melepaskannya dan menaruh di atas meja di kamarku. Tak banyak yang berubah dari rumah ini.

“Oh, sayang, ayo makan dulu. Ibu sudah menyiapkan sup ayam kesukaanmu. Ayah juga ada di meja makan”, ajak ibuku di depan pintu kamar ini.

“Iya, bu”, jawabku dan turun ke ruang makan, mengikuti ibuku.

“Bagaimana dengan kuliahmu, nak?”, tanya ayahku dengan lembut. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku senang, “Minggu depan akan diwisuda, dan sudah diminta untuk membantu perusahaan percetakan seniorku, yah”

Kedua orang tuaku tersenyum bangga padaku. Malam itu sangat membahagiakan.

 

Dua tahun aku dan Zhang Yixing berhubungan, dia adalah sahabat terbaikku. Atau mungkin, tidak? Tak bisa kupungkiri, aku sangat menyukai, ah, ralat, mencintainya. Tak ada alasan, hanya perasaan ini yang berbicara. Sejak mengenalnya, aku menjadi terbuka dengan orang lain, tersenyum dengan tulus, bukan berperan seolah-olah tersnyum. Namun, aku takut untuk mengungkapkannya, karena, hey, aku tak ingin merusak persahabatan kita.

Dia, Zhang Yixing, adalah namja chingu dari teman dekatku sendiri, jadi tak mungkin aku merebutnya.

Aku menikmati menjadi sahabatnya. Dan, kupikir itu sudah cukup.

 

Dan Zhang Yixing adalah orang pertama yang kuberi kabar gembira tentang kelulusanku. Dia kemudian mengajakku untuk merayakannya dengan menonton film di bioskop dan memberi sebuah novel yang selalu kuinginkan belakangan ini. Bahagia. Hanya perasaan itu yang melingkupiku saat ini.

 

Juga untuk pertama kalinya, aku pulang ke rumah dikotaku dulu. Dalam perjalan di dalam kereta hanya ada perasaan tak nyaman. Seingatku tak ada yang salah atau tertinggal. Tadi pagi Yi Xing mengantarku ke stasiun dan memesan oleh-oleh atau makanan ketika kembali lagi. Dan aku menyetujuinya.

Rasa tak nyaman tersebut tidak hilang ketika aku mengetuk pintu depan rumahku ini. Rasa itu semakin meningkat ketika lebih dari 10 menit, pintu ini tidak terbuka.

“Ah, Eun Jin, apakah kamu Shim Eun Jin?”, tanya seorang nenek yang melewati depan rumah ini.

Dengan kaget, aku memutar kepalaku dan mengangguk pada nenek tersebut.

“Ah, iya, benar, kau Shim Eun Jin. Kau tak mengingatku?, ketika nenek itu melihat wajah bingungku, dia melanjutkan, “Aku nenek Kim yang tinggal di samping taman di sana. Kau sedang menunggu apa, kenapa tidak masuk saja?”

“Ah, ya, aku ingat, nenek Kim. Aku sedang menunggu ibu atau ayahku membuka pintu, namun, sudah 10 menit lebih tak ada yang membukanya”, jelasnya panjang.

“Ah, mungkin, orang tuamu sedang di rumah sakit?”

“A-Apa? Rumah sakit?”, dengan kaget dan bingung aku berkata.

“Iya, kau tidak diberi tahu? Ibumu sering keluar masuk rumah sakit, kira-kira sejak setahun yang lalu”

 

Saat ini aku ada didepan sebuah pintu berwarna putih. Mencoba untuk bernafas dengan normal sambil memutar kenop pintu, membukanya. Dan yang kutemukan adalah seorang wanita paruh baya yang tidur dan seorang laki-laki yang sedang duduk di samping tempat tidur.

Laki-laki tersebut menoleh kaget ketika melihatku, aku hanya menatap nanar ke arah wanita yang sedang tidur itu.

Berjalan dengan perlahan dan mencoba menggenggam tangan kurusnya. Laki-laki tersebut hanya melihat dengan tatapan kosong kemudian tak lama pergi keluar dari kamar ini.

 

‘. Sebuah penyakit yang pelan-pelan membuatmu menutup mata selamanya. Sejak setahun yang lalu. Dan itu yang dirasakan oleh ibumu saat ini.’

 

Aku menatap kosong wajah tirus beliau, mengulang kembali penjelasan ayah ketika kami duduk di taman belakang rumah sakit ini. Dan sebuah alasan konyol, mengapa dia tak memberitahuku lebih awal.

‘Agar kau bisa fokus di studimu dan karena itu merupakan permintaan ibumu sendiri ketika dia masih bisa berbicara dan hanya bagaian kakinya yang tak bisa bergerak. Namun sekarang, ibumu lumpuh total. Tak ada harapan lagi.’

 

Sebuah kabar gembira yang kubawa dari Seoul dan aku mendapatkan kabar menyedihkan dari Daegu, kota ini. Tak sanggup lagi. Hanya menangis, menangis, dan menangis di kamar rumah sakit tersebut.

 

Dua hari dan aku tak member kabar Yi Xing apapun, tak bisa tidur dengan nyenyak, dan aku saat ini berakhir memakai baju berwarna hitam, berdiri dengan kaku di depan sebuah makam.

 

            We loved her, but God more loved her

            Rest In Peace

Mom and wife of us

 

Shim Ji Eun

 

………………………………..

 

Aku tetap mendatangi hari kelulusanku, namun tak ada semangat di jiwaku. Aku sudah memutuskan untuk pergi keluar dari negara ini. Ayahku sudah kuberitahu, dan dia menyetujuinya.

Zhang Yixing?

           

“Shim Eun Ji! Akhirnya kau menjawab teleponku”, ujar Yi Xing dengan lega ketika aku mengangkat telepon untuk pertama kalinya ketika aku kembali ke apartemen ini.

“Hm”, jawabku dengan lirih, masih banyak duka di tubuhku ini.

Ada hening yang cukup panjang, sebelum dia memecahkannya dengan sebuah pertanyaan khawatir, “Ada apa Eun Ji ah?”

“Bisakah kita bertemu?”, tanyaku, tak memedulikan pertanyaannya.

 

Dan disinilah kami, duduk diam di atap apartemenku, hening. Setelah kami saling diam, dia berkata, “Aku tak tahu, aku turut sedih dengan apa yang terjadi, Eun Ji ah”, ujarnya lirih.

Aku tetap diam, banyak pikiran yang berkecamuk di otakku ini. Dan satu pikiran yang tiba-tiba menonjol, apakah benar?

“Yi Xing ah,…”

 

“Yi Xing ah, aku ingin menyatakan sesuatu padamu, aku memendamnya cukup lama”, ujarku tiba-tiba. Dia hanya melihatku bingung sebelum aku berkata dengan pelan, “Wo Ai Ni”.

………………………………….

 

Malam itu sudah berlalu lima tahun dan aku tak mendapatkan sebuah jawaban sampai sekarang. Mungkin dia sudah tak menganggapku sebagai sahabatnya, mungkin dia marah dengan perasaanku. Aku tak tahu apapun.

Kita sudah tak berhubungan sejak aku menetap di Osaka untuk bekerja sebagai penulis. Dan sudah menerbitkan beberapa novel selama lima tahun ini.

Aku tak pernah menyesal dengan masa laluku. Karena masa lalu merupakan kenangan yang menajubkan bagiku, tak ingin menghapusnya, walaupun sebagian adalah kenangan gelap.

Novel yang terakhir terbit adalah yang berjudul “Seandainya”. Sebuah cerita, yang bisa disebut sebagai khayalanku dengan kehidupan nyataku. Aku senang dengan karyaku itu, mengingatkan kembali dengan kenangn-kenangn di masa lalu.

Tentang ibu, ayah, Daegu, gelang perak, Seoul, toko buku, atap apartemen, dan Zhang Yixing. Seorang laki-laki yang menyukai pelajaran olah raga berasal dari China.

Bicara tentang gelang perak yang kebeli seminggu sebelum berangkat ke Seoul dulu, hilang entah dimana. Aku sudah mencarinya ketika akan pindah ke Osaka ini, dan sampai sekarang belum ketemu.

Ting. Tong.

Aku membuka pintu dan menemukan seorang tukang pos dengan sebuah kotak di depan pintu apartemenku.

“Apakah ini apartemen..”, putusnya kemudian melihat kertas sebelum melanjutkan, “Nona Shim Eun Ji?”, tanyanya.

Aku mengerutkan kening dan mengangguk. “Iya, benar, saya sendiri”

“Baiklah, ini ada paket dari Seoul dan silahkan tanda tangan disini, Nona”, ujarnya.

 

Untuk, Shim Eun Ji, sahabatku

Masih ingatkah kau denganku, Eun Ji ah? HAHAHA~~~

Jika kau sudah lupa, akan kuingatkan kembali

Aku adalah Zhang Yixing, seorang laki-laki dari China yang dulu ketika masih satu sekolah denganmu duduk di belakang dan menjadi sangat ceria ketika pelajaran olah raga.

 

Aku membelalakkan mataku, Zhang Yixing? Aku lebih terkejut lagi ketika membaca lanjutan surat ini.

 

Namun, ada satu tambahan informasi lagi. Aku adalah yang mengirimimu sebuah pesan selamat ketika kau lulus dengan nilai terbaik. Aku takut untuk membalas pertanyaanmu tentang siapa aku waktu itu karena takut.

Aku sangat mencintaimu, Eun Ji ah, saat itu. Aku orang pengecut. Dan menjadi menyesal ketika aku baru akan menyatakan perasaanku, kau telah pergi ke Seoul.

Dan siapa sangka dua tahun kemudian kita bertemu lagi di toko buku tempat kau bekerja part time disana. Dan, tetap aku masih mencintaimu.

Namun, saat itu aku menjadi takut lagi, takut ketika aku menyatakan ini, hubungan kita menjadi rusak. Jadi kupustuskan untuk berhenti mengharapkanmu, Eun Ji ah. Aku orang yang benar-benar pengecut, bukan?

Aku menyukaimu karena aku tahu hal-hal tentangmu. Awalnya aku hanya tertarik padamu saat kau menangis sendirian di belakang pohon besar ditaman sekolah. Dan sejak saat itu, aku tak bisa mengelak untuk terus menatapmu. Aku tahu tentang keluargamu yang tak harmonis, tentang dirimu. Aku menjadi stalker untukmu. Dan itu membuatku jatuh cinta padamu. Namun, kukira ini tak bisa, tak bisa berlanjut.

 

Sampai, kau mengungkapkan bahwa kau menyintaiku di atap apartemen malam itu. Kaget. Hanya satu perasaan itu. Tak bisa berpikir, hanya terdiam. Dan aku sangat menyesal ketika tak member respon apapun padahal aku masih menyintaimu, hingga kau tiba-tiba menghilang keesokan harinya. Kau pergi. Osaka.

Tetapi, saat ini, setelah lima tahun berlalu, aku bisa menata kembali semuanya. Aku melanjutkan hidupku. Dan sampai sekarang. Dua minggu lagi aku akan menikah di Daegu, jadi pulanglah ke rumahmu, ke Daegu. Aku akan menunggumu, Eun Ji ah.

 

P.S. Aku memberikan gelang perakmu kembali setelah lima tahun ada padaku. Gelang yang kau jatuhkan saat kau berlari turun dari atap apartemenmu saat itu.

 

                                                                                                            Salam hangat, dari sahabatmu

                                                                                                            Zhang Yixing

 

Yang kulakukan hanya menangis sambil menggenggam gelang perak di tanganku itu. Benar, seorang penulis hanya bisa menulis Seandainya, untuk karya-karyanya.

 

-The End-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
XiaoHen #1
Chapter 1: ouh so sweet