Lonely Again

Lonely Again

Hujan rintik-rintiknya belum selesai juga.

Tapi kalau sudah selesai pun mau apa? Masih betah di sini juga. Lebih nyaman di sini, setidaknya saat ini.

Yoochun menyesap rokoknya lagi, baru saja menyalakan setelah yang tadi habis. Dia terlanjur terlalu menikmati pemandangan kepulan asap dilatarbelakangi tetesan air hujan. Aroma rokok bercampur tanah basah diiringi alunan gemericik tetesan hujan itu memang yang terbaik.

Apalagi dilakukan di tempat seperti ini.

Sudut terpencil yang sepi di tengah keramaian.

Duduk di lantai dengan bebasnya.

Tidak ada yang tahu.

Lamunan Yoochun buyar mendengar suara langkah kaki berkecipak membelah hujan, mendekat ke arahnya. Siapa? Orang berteduh mungkin.

Namun tubuhnya menegang waspada ketika dirasa suara langkah itu memasuki ruangan tempatnya berada. Ini tidak baik.

Lalu sebuah sneaker memasuki ruang pandangnya danYoochun mendongak menatap orang itu yang sudah berdiri menjulang di depannya.

"Kamu ke sini berteduh karena kehujanan?" Yoochun tahu itu pertanyaan bodoh.

"Aku bawa payung ini hyung."

Suara itu rasa-rasanya menggema di ruangan tak seberapa luas ini. Warna suaranya masih sama, seperti nadanya juga yang tak berubah dari dulu. Bahkan ekspresinya juga masih seperti yang dihafalnya.

"Sengaja ke sini?"

Changmin mengendikkan bahunya. "Sebenarnya tidak. Anggap saja takdir."

Yoochun menatap tajam menganalisa mimik muka Changmin yang agak gelap karena tersembunyi oleh bayangan backlight dari balik punggungnya. "Tahu dari mana?"

Tempat ini memang masih di kawasan ramai tepi sungai Han tapi tidak mudah menemukannya. Sebuah gudang tak terpakai namun cukup bersih. Yoochun sebenarnya heran sendiri tidak merasa takut menyendiri di tempat ini, tak memikirkan kemungkinan bertemu geng preman. Memang benar-benar bodoh sepertinya.

Changmin mengendikkan bahunya lagi. "Apa itu penting?"

"Tidak juga," jawab Yoochun tersenyum setelah menghisap rokoknya lagi. "Mau duduk?" Yoochun menggeser dirinya menyisakan ruang yang pasti tak akan muat dihuni tubuh raksasa Changmin.

Changmin menggeleng ketika menjawab itu dengan senyum geli. “Suka di sini?” tanya pria yang lebih muda itu tetap sambil berdiri.

 Yoochun mengangguk tanpa bicara tapi menatap Changmin intens.

"Leherku capek jadi tolonglah duduk," Yoochun membuat ekspresi memohon yang untungnya dituruti Changmin meski pakai tersenyum geli lagi. "Haish...kamu masih terus tambah tinggi?"

"Kamu orang kesekian yang komplain hyung."

Yoochun melihat buliran air jatuh dari rambut coklat blonde itu ketika Changmin berjongkok di depannya, memandangi ujung sepatunya. Titik-titik air membentuk pola abstrak di bahu Changmin yang memakai jersey abu-abu terang. Seharusnya kan hoodie-nya dipakai.

Masih saja jadi anak yang aneh.

"Mau?" Yoochun menyodorkan rokoknya.

Changmin menggeleng. "Aku sudah berhenti."

"Baguslah," Yoochun menjawab samar-samar, seperti untuk dirinya sendiri. "Dulu kamu banyak merokok. Saat kami pergi."

"Berhentilah merokok hyung. Tidak baik untuk kesehatan," ucap Changmin seolah-olah, atau mungkin memang benar-benar tidak dengar yang barusan. Lagipula buat apa peduli kan, batin Yoochun ingin memukulkan kepalanya ke jendela di sebelahnya.

"Kupikir kamu sudah tidak peduli padaku."

Changmin memutar bola matanya jengah dan mengetukkan kakinya ke depan. "Kalau tidak mana mungkin aku masih pakai sneaker ini."

Yoochun tertawa lepas melihat sneaker buluk itu. Pemberiannya entah berapa tahun lalu tapi dia ingat beli di Jepang, butik yang mahal. "Jago menggombal kau sekarang?"

"Kamu itu bukan orang yang melankolis. Kamu memakai barang terus-terusan karena nyaman dipakai, bukan karena pemberian siapa. I knew it."

Seharusnya Changmin membalasnya dengan senyuman usil. Seharusnya. Tapi ia malah menoleh memandangi hujan di luar jendela dengan ekspresi tak terbaca oleh Yoochun. Sedihkah dia?

"Semua orang kan punya perasaan."

Yoochun merasa ada yang menggores kulitnya hingga berdarah kemudian menetesinya dengan jeruk.

"Sorry."

Bahkan abu rokok jatuh di kulitnya pun tak ia gubris. Hanya panas sesaat, tak mengapa.

"Tidak perlu."

Keheningan lalu menyergap keduanya, sibuk melamun memandangi hujan hingga Yoochun tersadar rokoknya sudah habis terbakar. Apakah berarti mantranya juga hilang dan Changmin pergi meninggalkannya?

"Say something."

"Huh?"

"Say something Changmin-ah, anything," Yoochun sadar saat ini suaranya pasti terdengar gugup. Pikirannya mendadak kalut memikirkan kemungkinan Changmin akan lenyap jika tidak diajaknya bicara. Sosoknya semacam tidak nyata karena toh dari tadi belum bersentuhan. Tidak tahu ini halusinasinya atau bukan meski ia yakin tidak sedang menghisap rokok ganja.

"Hmm..."

"Bahkan suaramu bagus sekali hanya dengan bergumam begitu."

"Please hyung...aku ini penyanyi," jawab Changmin usil yang entah kenapa membuat Yoochun sedikit sedih. "Ya, ya, ya...aku ini juga penyanyi."

Changmin mendesah keras dan mengkerut-kerutkan alisnya dengan sorot mata komikal. "You are good hyung. Really good."

Yoochun inginnya sih terkesan dengan pujian itu tapi rasa-rasanya kok kosong. Hanya pemanis bibir. Bibir yang manis.

"Aktingmu sangat bagus. Aku tak pernah meyangka akan bisa sebagus itu."

Yoochun akhirnya tersenyum samar, tulus, setulus sorot mata Changmin saat mengatakannya.

"Haish...kenapa pembicaraannya jadi seperti ini setelah berapa tahun tak bertemu. Mungkin diganti yang standar saja? Seperti ‘apa kabarmu?’ atau ‘sudah makan belum?’ atau ‘kenapa lama tak menghubungiku?’."

Changmin terkekeh, entah maksudnya apa, tapi yang jelas Yoochun terpukau melihatnya. Really miss that gum smile, belum ada tandingannya dan semoga tak ada.

"Kamu semakin tampan dan cute," Yoochun kaget sendiri mengatakan hal itu nyaris otomatis. "Suaramu juga semakin bagus."

"Kamsahamnida hyung."

.........

......

"Tidakkah kamu membenciku?”

"Tidak."

"Kenapa?"

"Aku tidak butuh kebencian lagi."

"Thank you."

"So don't hate yourself hyung. You have everything now."

"Almost everything."

Yoochun mengucapkannya tegas dan Changmin menyadari ditatap tajam dan air mukanya sedikit berubah. Seperti meraba-raba arahnya kemana agar bisa memikirkan cara melarikan diri yang tepat.

Suara tetesan air hujan cukup lama mendominasi ruang suara.

"Kita memang tidak bisa dapat memiliki semuanya kan. Harus memilih."

Changmin tiba-tiba berdiri dan mendekat ke jendela, menyaksikan pemandangan serba basah di luar. Seperti anak kecil menunggu hujan reda untuk bermain di luar. Tapi sekrang hujan sudah reda dan sekarang tinggal gerimis ringan yang nyaris terang.

"Baiklah. Aku pergi dulu," ucap Changmin menghadap Yoochun.

Yoochun mengira Changmin akan mengulurkan tangan membantunya berdiri, namun ternyata tidak. Dia pergi begitu saja ke arah pintu kedatangannya. Yoochun panik dan serta merta berdiri. "Chakkeman! Wait!"

Changmin tak berhenti maupun menoleh, seperti tak mendengarnya. Akhirnya Yoochun menarik pergelangan tangan itu dan menyentaknya, membuat Changmin menjatuhkan payung yang siap dibentangkannya dan terpaksa berhadapan wajah. Cukup jauh sebenarnya.

"Apa kita akan bertemu lagi?"

"Mungkin. Jika takdir inginnya begitu."

Yoochun memperpendek jarak dan dibiarkan oleh Changmin. Tak apa, masih cukup jauh. Tapi kalau begini dia jadi teringat sebuah lagu yang didengarnya di kafe kemarin. Racun sekali memang di saat seperti ini.

Jebal neomji marayo (Please don’t cross it)

Du ipsul sai georin ajikkkajin 50cm (The distance between our lips is still 50cm)

Namun Changmin tetap tegar membuka matanya menatap setiap inci Yoochun di depannya. Dia tampak begitu jelas sekarang, wajahnya jauh berubah, lebih matang meski pipinya tetap chubby. Jauh lebih dewasa dan serius. Seperti sudah menempuh perjalanan panjang.

"Why you so gorgeous Min-ah?"

Dalkomhan mallo ppeonhan mallo, Chakhan nareul yuhokharyeo hajin marajuseyo

(Stop trying to tempt the innocent me with sweet and obvious words)

"You’ve called me y before."

Yoochun tersenyum lega. "y and gorgeous. Amazing creature."

Sudah dapat ditebak seperti yang lalu-lalu. Jarak itu akhirnya lenyap. Aroma nafas itu saling bercampur aroma tanah basah dan lembab. Bibir Yoochun itu akhirnya menempel pada milik maknae kesayangannya itu. Seperti yang sudah-sudah.

Changmin mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan tanpa sadar menghembuskan nafas berat. Jengah. Apa perlu melankolis seperti ini? Toh belum tentu bertemu lagi kan.

Don't say about love. That's pathetic.

Changmin menarik tubuh Yoochun menempel padanya ketika dirasakannya ciuman itu akan terlepas. Tak ada innocent kiss di cerita yang sudah-sudah, jadi seharusnya sekarang pun tidak kan. Yoochun jelas lebih dari bersedia untuk mengulang ciuman di masa lalu itu. Menautkan lidah sambil menghirup aroma maskulin yang dulu begitu dikenalnya.

Rasanya berbeda, tapi juga ada kesamaannya.

Masih terasa familiar.

Sesuatu yang hilang dari Yoochun belakangan ini dan menghempaskannya ke sudut sepi setiap kali hujan turun. Ya, yang itu.

Memang semua orang punya perasaan dan tak mungkin itu disalahkan.

"Kamu sengaja mencariku kan?"

"Tidak," jawab Changmin tegas diantara sengalan nafasnya mencari oksigen. "Aku menemukanmu."

"Aku selalu bisa menemukanmu, Yoochun."

Lalu hujan kembali turun, kali ini agak deras.

Diantara suara hujan yang deras itu Yoochun mendengar jelas suara kecipak air di tanah karena seseorang berlari melaluinya. Changmin.

Yoochun memandangi payung Changmin yang tergeletak di kakinya.

 

*** THE END***

 

Credit: quote from “Beetwen the Lips (50 cm) by  IU

 

Oh iya…nulis ini pake stress, bukan pake tangan :p

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sanprista
#1
Chapter 1: mungkin terakhir kali aku baca ff yoomin bagus itu waktu jaman SMA dan sekarang (di saat lagi pusing-pusingnya mikirin skripsi) akhirnya aku bisa baca ff yoomin yang bagus lagi T____T
It feels like someone just lighted up the fire in my life xD
Kangen banget sama cerita yang kayak gini, apalagi the melancholy pairing yoomin. Simple writing, casual conversations between the two, and bittersweet ending was the best combination to make this fic's perfect! I love your wiriting, honey, jut don't get bored to write these beauties, okay? *wink*

ps. Yoochun's sweet talk, "Kamu semakin tampan dan cute" just drove me insane lol
clavanilla #2
Chapter 1: kenapa endingnya begitu~
*nangis showeran*
gantung author-sshi.
u,u
tapi aku tetep suka kok.
hehehe...
ChangNeen
#3
Chapter 1: wktu d kasih tau kakak ini angsty, pikiran aku udah yg jelek aja kak, hahaahaha, mikirny angsty yg gimana gtu, klo yg gni aku k mslah kak, hehehe, tpi gtu baa smpe end yg kelintas d otakku lngsung 'endny kyk drma korea, menggntung' hehe,
ah, aku mau protes kak, yg mslh tubuh raksasa changmin itu, hehe gk stju, hehe, *peace*
tpi tpi aku ska bget sm kata2 yg ttg perasaan itu loh yg d ucapin min k chun, trus trus yg wktu bagian agak k ending itu, dan ini ending yg menggantung yg mnrut aku bagus, krna aku gk ngerasa sebel gtu d akhiri gtu aja, mnrut aku pas nge-end ny gtu, jd kena bget feel ny, hehe,
tuh kan kyk yg aku blg, gk jelasny ff kk itu ttep aja bagus dan enak bwt d baca XD
pimprime #4
Chapter 1: sini..sini ak ksh komen. kecian... :p

krn pada dasarnya smua org itu saling menemukan, yg jd mslah adalah apakah mau atau tdk. mau menemukan atau tdk, mau dtemukan atau tidak. #eaaa