The Wishes

The Wishes

Hari ini seharusnya menjadi hari menyenangkan. Tapi nyatanya, sama saja dengan hari-hari biasa. Ia lantas memandang kakak laki-lakinya. Pria itu sedang sibuk dengan tugas-tugas kantornya. Bahkan di saat ini? Benar-benar tak habis pikir.

“Fan ge, kau tidak mau berhenti sejenak? Aku letih melihatmu mengerjakan itu,” gerutu Ririn sambil mengusap-usap mata.

Kris mendelik melihatnya, “Letih katamu? Aku bahkan tak memintamu menemaniku. Lagipula sekarang sudah larut malam. Tidur sana!” perintahnya, lalu kembali menyibukkan diri.

Ririn mencibir. Masih baik ditunggu seperti ini. Eh, malah diusir. Tanpa ba-bi-bu Ririn segera berlalu ke kamarnya.

“Halo. Luhan, aku tidak berhasil,” katanya di telepon sambil menggigit bibir. Sementara orang di seberang telepon menjawabnya.

“Kau yakin ini berhasil, kan?”

Hening. Ia mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya.

“Oh, itu ide Chanyeol? …. Ne? Aku? Aku setuju saja …. Ya, ya! Tapi kalian jangan ada yang tidur!” bentaknya, “Terutama si Jongin! Siram saja wajahnya dengan air es kalau ia nekat tidur…. Oke. Dah.”

Ririn menghela napas. Ia kembali bergegas keluar dan menghampiri Kris.

Ge, aku benar-benar tak bisa tidur. Bagaimana kalau … kita main game saja? Kau pasti juga suntuk mengerjakan itu, kan?” Kris hanya melirik sekilas namun tetap bungkam.

Dalam hati, Ririn mengumpat-umpat dengan kesal. Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu kurang. Baiklah, ia tidak punya banyak waktu.

“Kris!” ia mendaratkan tangannya dengan kasar di atas kertas yang sedang ditulis Kris, “Tidak bisakah kau sesekali menjadi abang yang baik dan menuruti permintaan adikmu? Atau jangan-jangan, kau memang bukan abangku? Berarti, selama ini aku benar bahwa aku adik angkatmu? Karena fisik kita berbeda jauh? Memang itu, kan, yang sebenarnya, Kris?”

Kris segera memandang tajam pada Ririn, “Sudah berapa kali kubilang jangan mengatakan hal itu, hah?”

“Kau menyuruhku tidak mengungkit hal itu tapi sikapmu seperti menunjukkan bahwa aku memang adik angkatmu!”

Kris diam namun tetap menatap sinis pada Ririn. Sudah lama sekali sejak Ririn curiga bahwa ia adalah adik angkat. Padahal, perbedaan mereka berdua hanya sebatas tinggi badan. Selebihnya fisik mereka sama. Tapi, tidak dipungkiri terkadang Kris juga agak heran mengapa adiknya tidak bertambah tinggi.

“Aku bahkan hanya memintamu bermain denganku. Apa itu pun beban bagimu?” tanya Ririn setengah putus asa.

Kris menghembuskan napas, “Baiklah, baiklah. Kau mau main apa, hah?”

Wajah Ririn berubah sumringah, “Angry Bird! Kita main sampai pukul setengah satu tepat. Kalau level dan skormu lebih tinggi, aku akan mentraktirmu. Tapi kalau tidak,” ia menyeringai licik, “Kau harus menuruti kata-kataku.”

“Hanya itu?” ejek Kris, “Kau bahkan tak pernah menyelesaikan permainan itu hingga akhir. Dan kau tahu betul skorku selalu jauh lebih tinggi darimu. Apa kau yakin?”

“Tentu saja,” jawab Ririn mantap sambil tersenyum. Ia bukannya tidak tahu kalau kakaknya maniak burung-burung aneh itu. Angry Bird sudah menjadi makanan Kris sehari-hari.

Mereka kemudian mulai bermain. Keduanya sama-sama memulai dari level 1 dengan laptop masing-masing.

Ririn melemparkan angry bird-nya dan mengenai satu babi. Sementara Kris, hanya dengan satu lemparan, ia bisa mengenai dua sampai tiga babi sekaligus. Dan itu terus berlanjut hingga sepuluh menit.

Tak heran lagi, melihat dari cara bermainnya, tentu saja Kris yang menang. Dalam sepuluh menit, ia sudah mencapai level 8. Sementara Ririn hanya berhasil hingga level 4. Otomatis skor Kris juga lebih tinggi.

“Lihat, kan? Aku selalu menang,” ujar Kris, “Jadi, kau sudah puas?”

Ririn menggeleng, “Belum. Tadi aku sudah janji akan mentraktirmu. Jadi, ayo kita keluar!” ia menarik tangan Kris semangat. Ia sudah menyangka akhirnya akan kalah. Memang ini yang diinginkannya.

“Sudahlah,” kata Kris yang sama sekali tidak dalam mood, “Lebih baik uangnya kau simpan untuk jajan. Besok kau harus sekolah dan bangun pagi. Jangan bilang kau terlambat lagi.”

“Tidak apa-apa. Ada Yixing yang membangunkanku.”

“Sampai kapan hidupmu selalu bergantung pada orang lain? Dasar,” Kris bergumam sendiri.

“Kris?”

Kris segera tersadar, “Ya, ya, ya. Aku mau.”

***

Malam itu langit benar-benar pekat. Nyaris tak berbintang. Udara pun terasa agak dingin, menggigiti kulit mereka dan menusuk ke pori-pori. Membuat Ririn yang tidak tahan dingin sesekali bergidik.

“Nah, sekarang mau ke mana? Tidak ada restoran yang buka di sekitar sini,” ujar Kris malas.

“Yang mau ke restoran siapa? Kita ke taman.”

“Katanya kau mau mentraktirku?”

“Sst. Berisik.”

Kris segera mendesis sebal. Namun tetap mengikuti adiknya.

Sesampainya di taman, Ririn segera menghampiri sebuah bangku panjang taman dengan pohon rindang di atasnya. Meski agak aneh, Kris tetap mengekor di belakang dan ikut duduk.

“Hah, dinginnya,” ujar Ririn sambil mengusap-usap telapak tangan.

“Kan sudah kubilang.”

“Iya, Pangeran. Kau memang yang paling benar,” lama-lama Ririn muak sendiri dengan tingkah Kris.

Hening sesaat, sebelum akhirnya Kris bersuara, “Lalu, buat apa kita ada di sini?”

“Eh?” Ririn buru-buru berdeham, “Begini. Er … aduh. Hari ini tanggal berapa, sih?”

Kris segera menatapnya datar. Menurutnya, cara Ririn mengalihkan pembicaraan benar-benar buruk, “Tanggal tujuh.”

“Bulan?”

“November,” jeda sebentar,  “Kau ini anak sekolah atau bukan, sih, sampai tanggal saja tidak ingat?” semprot Kris.

“Justru aku ingat sekali tanggal hari ini!” serunya tak kalah seram, “Aku …. Aku hanya ingin memastikan,” ia melanjutkan dengan nada bicara yang rendah, “Memastikan bahwa hari ini memang hari ulang tahunmu.”

Mata Kris membesar mendengarnya.

“Selamat ulang tahun, Wu Yifan Ge,” senyum Ririn, lalu melingkarkan lengan di leher Kris dan memeluknya erat.

“Yeee! Woohooo! Saengil Chukkahamnida!” Entah dari mana, tiba-tiba saja suara-suara bising, tak beraturan, serta tak jelas diikuti siul-siulan sudah memenuhi gendang telinga mereka berdua. Sejenak Kris merasa sedang berada di hutan.

Ririn hanya tergelak melihat tingkah teman-temannya yang gila. Siapa lagi kalau bukan sebelas laki-laki aneh bin random yang ada di depannya?

Beberapa di antara mereka memakai topi ulang tahun. Sebagian lagi membawa confetti dan terompet. Sementara kue ulang tahun yang dipenuhi coklat itu berada di tangan Luhan. Ramai sekali bukan? Rasanya tahun depan Ririn ingin mengikutkan mereka ke klub sepak bola.

“Kris, selamat ulang tahun, ya,” ucap Chanyeol sambil menjabat tangannya bersahabat. Yang lainnya mengikuti jejak Chanyeol. Suho, Chen, dan Tao bahkan sempat merangkulnya.

“Ahahah, kau yang mempersiapkan ini semua?” tanya Kris pada Ririn, setengah tidak percaya.

“Tidak. Kami semua yang merencanakannya,” Ririn menggerakkan tangan mengarah ke kesebelas makhluk di hadapannya. Yang lain serempak mengangguk.

Ya! Jongin! Saat seperti ini pun kau masih sempat tidur?! Sehun! Pukul kepalanya!” seru Ririn.

Sehun yang memang senang melakukannya segera memukul kepala Kai sepenuh hati. Ia lalu menahan tawa saat Kai terkejut karenanya.

“Sehun! Kau!” Kai memukulnya balik.

Semua tertawa melihat mereka berdua. Suho dan Chen yang paling peka langsung memisahkan mereka berdua sebelum perang dunia ketiga terwujud.

Saat orang sibuk tertawa, Luhan menyenggol bahu Ririn pelan.

“Apa?”

Luhan mengedikkan dagu pada Kris, “Berikan ini padanya.” Ririn mengambil alih kue ulang tahun itu dari tangan Luhan.

Dilihatnya Kris sedang bercanda dengan yang lain.

“Kyungsoo-ya,” panggil Baekhyun, “Coba tunjukkan kekuatanmu. Tapi kau harus bertenaga! Lebarkan bahumu sedikit!” Semua orang sontak tergelak dengan lelucon Baekhyun, termasuk Dyo. Tapi lebih terlihat seperti tawa miris. Dyo lalu mengusap-usap bahu sempitnya.

“Dyo lucu sekali,” pingkal Lay―yang sejak tadi diam―sambil memukul-mukul Suho. Tao setengah tertawa setengah prihatin pada Dyo. Xiumin yang paling normal dan dewasa hanya tertawa kecil―tak habis pikir melihat teman-temannya.

Ge,” panggil Ririn pada Kris, menghentikan tawa Kris. Ia menyodorkan kue ulang tahun pada Kris. Luhan yang mengerti langsung menyalakan lilin tersebut.

“Sekarang, waktunya mengucapkan keinginanmu,” ujar Ririn.

Suasana jadi hening. Kris menatap Ririn sebentar. Lalu beralih pada lilin dan memejamkan mata. Semua orang yang menunggu, memandang Kris dengan tak sabar.  Tak sabar ingin teriak lagi.

Tepat saat Kris membuka mata dan meniup lilin, semuanya langsung bersorak, “Selamat ulang tahun, Kris-ssi!” hampir membentuk sebuah koor.

Luhan menepuk-nepuk bahu Kris, “Waa, aku tak menyangka kau sudah tua,” tunjuknya pada lilin yang berbentuk angka 23.

“Tapi tidak setua dirimu,” ucap Kris.

Luhan hanya tertawa kecil, “Hey, kita hanya selisih beberapa bulan.” Namun Kris tak berniat membalasnya lagi.

Tiba-tiba Ririn penasaran, “Ge, tadi harapanmu apa sebelum meniup lilin?”

Kris meliriknya, “Kau tak perlu tahu.”

“Seramnya dirimu,” ucap Ririn pura-pura ngeri. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari kantung celana kargonya, “Oh, ya. Ini untukmu.”

Kris memandang jam tangan digital warna hitam yang diberikan Ririn. Lalu menatap Ririn bingung.

“Aku suka melihat laki-laki memakai jam hitam seperti itu. Seakan-akan aura mudanya keluar,” kata Ririn.

Kris merasa aneh dengan pilihan kata-kata Ririn, “Maksudmu aku terlihat tua, begitu?”

“Aku tidak bermaksud begitu, kok! Menurutku orang yang memakainya terlihat keren, serius!”

Yang lain sudah menonton mereka berdua berperang.

“Kalau memang kau suka, lalu mengapa kau tidak memberikannya pada Luhan saja?” tanya Kris menyudutkan.

“Ah? Itu karena ….” Semua menunggu jawaban Ririn. Luhan sendiri bahkan berdebar menunggunya.

“Ehm. Itu karena … Luhan, kan, sudah punya Sehun. Minta saja sama Sehun. Lagipula kau bawel sekali, sih? Tinggal menerima saja susah,” omel Ririn.

Beberapa di antara mereka langsung ber-‘ey’* dan ber-‘ah’* ria.

“Ah~ Mama jealous, kan?” goda Sehun pada Ririn.

“Sehun-a! Sini kau! Kau mau kupecat dari anakku? Ke sini cepat!” Sehun yang berfirasat buruk tak mau menurut.

“Oh, jadi kau tak mau? Besok ada tugas PKN, lho. Kau mau tidak kuberi contekan lagi? Kalau kau dimarahi Jung Seongsaenim tersayangmu itu, aku tidak peduli!” ancam Ririn.

“Ah, ya, ya, ampun!” Sehun mendekat takut-takut.

Benar saja. Ririn segera menjewer Sehun sekeras mungkin, “Sekarang kau sudah berani melawanku, hah?”

Dalam hati Ririn bergumam, hitung-hitung ini pelampiasan rasa maluku tadi. He he.

Sementara Sehun, “Aduh, ampun, Ma! Sakit sekali,” rintihnya.

“Hahahaha. Rasakan kau!” seru Kai yang entah sejak kapan sudah berubah segar. Padahal beberapa menit lalu suaranya gaib alias tak terdengar.

“Siapa suruh kau cari masalah. Menyebutkan huruf s saja belum tamat sudah sok bilang jealous. Jealous, Sehun-a. Bukan jealouth,” seloroh Ririn. Lalu mengusap-usap telinga Sehun sedikit sebelum melepaskannya. Sehun menutup telinga kirinya yang panas, kontras sekali dengan cuaca saat itu. Lay yang tahu bagaimana rasanya, segera menghampiri dan menepuk-nepuk bahu Sehun.

Yang lain segera memeluk diri sendiri sambil merinding. Tidak semua dari mereka pernah dicubit Ririn. Tapi mendengar cerita beberapa korban―terutama Sehun yang paling sering, sepertinya mereka tidak berminat mencoba sama sekali.

“Itu pasti sakit sekali,” gumam Tao sambil meringis. Lay mengangguk setuju.

“Aku jadi lapar,” ucap Chen, sama sekali tidak nyambung dari topik. Semua langsung hening. Hanya ada suara jangkrik―yang mungkin sama laparnya dengan Chen.

Semakin lama, Xiumin merasa cuaca semakin dingin baginya. Ia melirik arlojinya, lalu berbisik pada Suho. Suho mengangguk.

“Baiklah, teman-teman. Sepertinya acara cukup sampai di sini saja. Beberapa dari kita besok harus sekolah dan berkegiatan lainnya, kan? Sebelumnya, biarkan Kris mengucapkan sesuatu dulu.”

“Er … oke, pertama-tama, aku benar-benar berterimakasih pada kalian. Aku … mencintai kalian.”

Semua langsung bersorak dan bertepuk tangan heboh. Sekilas mungkin terdengar seperti tawuran antarsekolah.

Kajja. Kita pulang,” ajak Suho pada yang lainnya.

Satu per satu dari mereka segera berpisah sesuai arah tempat tinggalnya. Ya, mereka memang tinggal di satu kompleks perumahan yang sama. Lay, Kris dan Ririn-lah yang rumahnya paling dekat dari taman. Rumah Lay bahkan bertetanggaan dengan Ririn.

Tak jauh di depan, Luhan tampak sedang menaiki sepedanya. Ia melambaikan tangan pada mereka bertiga, “Dah~ Dah, Rin~” ucapnya.

Ririn balas mengucapkan selamat tinggal pada Luhan. Kebalikan Lay, rumah Luhan justru yang terjauh.  Itulah mengapa ia naik sepeda.

Sementara itu, Kris, Lay, dan Ririn berjalan kaki dalam diam.

“Xing!” Dan Ririn pun menghancur-leburkan keheningan itu.

Ye?” Lay terkejut.

“Jangan lupa besok datang lebih cepat ke rumahku. Kalau kau menjemputku di jam biasa sedangkan aku masih tertidur, kita bisa terlambat ke sekolah.”

Kris segera memutar bola matanya mendengar ucapan Ririn.

***

Sampai di rumah, Ririn baru saja akan ke kamar. Tapi Kris memanggilnya.

“Ada apa?” tanya Ririn langsung.

“Ini,” Kris menatap jam pemberian Ririn sambil memain-mainkannya, “Terima kasih, oke?”

“Ck. Aku kira apa,” gerutu Ririn lalu melunakkan ekspresi, “Tak masalah.”

“Dan juga … jangan pernah menganggap dirimu anak angkat lagi, mengerti? Aku benar-benar tak suka.”

Gadis itu tertawa, “Itu idenya Chanyeol. Dulu waktu kecil mungkin aku pernah merasa seperti itu. Tapi ke sininya, kurasa kemiripan kita banyak. Bahkan beberapa di antaranya kupikir aku jauh melampaui dirimu. Salah satunya, aku jauh lebih keren dibanding dirimu lalu ….”

Kata-kata Ririn terhenti melihat tampang Kris berubah sangar, “Aduh, sudah jam berapa ini? Ah, aku harus tidur. Good night.”

“Tapi aku belum selesai bicara,” sanggah Kris.

“Apa lagi?”

“Itu …,” Kris menggaruk kepalanya kesal, “Hah, sudahlah. Lebih baik kau cepat tidur. Usahakan kau bangun sendiri. Kasihan Xing harus membangunkanmu setiap pagi.”

“Yixing tidak keberatan, kok. Kalau kau kasihan, kau saja yang membangunkanku. Tapi kau, kan, orangnya lebih sayang dengan pekerjaan. Aku sebagai adik berbakti tak mau mengganggu kesenanganmu. Jadi, ya ….”

“Ririn!”

“Iya, iya, aku tidak akan berkata seperti itu lagi. Sudah, kan? Aku tidur dulu,” lalu ia merendahkan suara, “Night, Ge,” Ririn berlalu dari hadapan Kris.

Kris menghela napas berat. Ia berharap bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama adiknya. Ia juga berdoa, Ririn bisa lebih mandiri dan dikelilingi teman-teman yang selalu menyayanginya.

Itulah harapan terbesar yang diucapkannya di taman tadi.

***

Don't forget to leave a comment ^^

Gamsahamnida~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet