Don't Go

Areumdaun Nabi [Don't Go]

“Luhan?”

Seseorang menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Luhan, membuat lamunannya berserakan seketika, “Ya?”

Orang itu segera mengambil tempat persis di sebelah Luhan, yang saat itu sedang duduk di sebuah bangku panjang taman.

“Kau siapa?” tanya Luhan agak ragu.

Alih-alih menjawab, yang ditanya justru tertawa kecil, “Ya ampun, haruskah aku memperkenalkan diri juga?”

Luhan masih bingung. Namun gadis itu sudah menyodorkan tangannya, “Ri-Rin,” eja gadis yang memperkenalkan diri sebagai Ririn itu. Sekarang, haruskah ia menyambut uluran tangan tersebut?

Bahkan tanpa susah payah berpikir, tangan gadis itu sudah menjabat tangannya terlebih dahulu.

Dan, Luhan merasa … terlalu banyak hal aneh di dunia ini. Tetapi baru kali inilah ia menemukan seseorang—bergender perempuan pula—yang memperkenalkan diri tiba-tiba dengan cara seperti ini.

Gadis itu memandang hamparan rumput tanpa makna, “Kau pasti bingung melihat tingkahku,” ucap Ririn seperti dapat membaca pikiran, lalu memandang Luhan, “Ah, tapi … tak perlu kuberitahu kau juga akan tahu,” katanya ramah sambil meletakkan tangan di bahu Luhan akrab, seakan mereka sudah menjadi teman sejak beribu-ribu tahun lamanya.

Luhan sendiri masih sibuk dengan pikiran-pikiran yang berseliweran di kepalanya, dan sibuk memikirkan apa yang ada di kepala gadis itu. Sampai akhirnya Ririn berdiri, matanya pun masih mengikuti gerak-gerik gadis itu. Ketika ditelisik baik-baik, sepertinya ia mengenal wajah itu. Entah di mana.

Kali ini Ririn bergerak mengitarinya. Masih, Luhan masih bersikeras memandangnya. Sibuk memperhatikan tingkah gadis yang mungkin terpaut beberapa tahun di bawahnya, dengan wajah yang terlalu polos menurut Luhan. Membuat siapapun yang melihat merasa ingin melindunginya.

Tanpa sadar, seluruh dunianya di menit-menit itu pun hanya terpusat pada gadis itu. Parahnya, tak ada penjelasan logis mengapa itu terjadi. Biarpun ia harus membongkar pikiran sampai ke inti sel otaknya. Maksudnya, ia bahkan tak pernah mengenal Ririn. Atau pernah, tapi lupa.

“Ayo,” ajak Ririn, sama tiba-tibanya dengan sebelumnya. Perlahan, ia menggenggam tangan Luhan.

Listrik dari sentuhan tersebut berhasil membuat Luhan menurut. Hangat, namun menyejukkan. Dan sengatannya mampu mengalir hingga ke jantung.

Entah mengapa, saat itu juga Luhan merasa sangat senang, hatinya benar-benar senang. Seakan-akan, ia telah menemukan sesuatu yang berharga.

Seberkas senyum kecil terukir di bibir Luhan. Ia mengeratkan genggamannya sambil mengucap syukur diam-diam. Biarlah ia tak mengenal gadis ini. Bagaimanapun, Luhan percaya sudah melakukan hal yang benar saat ini. Menggenggam dan memandang Ririn yang terus mengajaknya berjalan sepanjang jalan taman, dan membiasakan diri dengan ketiba-tibaan gadis itu.

Hingga gadis itu—masih dengan tiba-tiba—berujar, “Kurasa, sudah cukup.”

Luhan tak mengerti, “Maksudmu?”

Kemudian Ririn melepaskan tangannya dari Luhan yang setengah merasa enggan, “Dah, Luhan …,” Ririn melambai padanya, “Kita pasti bertemu lagi,” senyumnya, “Chayo,” gadis itu mengepalkan tangan menyemangati.

Belum sempat Luhan berkata-kata, Ririn sudah menghilang bersama angin yang berhembus. Diikuti seekor kupu-kupu kuning yang terbang melewati Luhan.

“Ririn …,” lirihnya. Ia terus memanggil nama itu.

Sampai akhirnya ia tersadar, dari tidurnya. Dia … hanya bermimpi.

Dengan kepala setengah pening, refleks ia memandangi tangan kirinya. Sentuhan itu … juga mimpikah? Terlalu nyata dan terlalu kejam untuk dijadikan sebuah mimpi. Ia masih bisa menggambarkan sengatan listriknya. Kehangatannya pun, masih memberkas.

Ia meringis. Dadanya mendadak terasa sesak karena sesuatu, entah karena apa. Segera saja ia menyentuh jantungnya tepat. Detik berikutnya, ia mulai menyadari. Jantungnya tak bisa merasa. Hatinya juga sudah kosong. Gadis itu … telah mengambil separuh hidupnya. Membuat Luhan merasa, ia tak akan pernah bisa menyukai gadis selain gadis itu. Tapi bagaimana mungkin? Mereka hanya bertemu sekali dalam mimpi.

Luhan memandang jendela kamarnya yang terbuka. Seekor kupu-kupu kuning memasuki kamarnya dan terbang berputar-putar di atas kepala Luhan. Lalu terbang keluar lagi.

Tepat setelah itu, dibingkai oleh jendelanya, ia dapat melihat siluet seseorang, “Kita … pasti bertemu lagi,” siluet tersebut tersenyum, “Luhan …,” lambainya pada Luhan, lalu menghilang perlahan.

Rasanya Luhan ingin menahannya pergi detik itu juga. Tapi suaranya tercekat. Ia buru-buru menghampiri jendela kamar dan memperhatikan sekelilingnya, sangat berharap menemukan gadis itu kembali.

Sia-sia. Tak ada satu pun orang di sana.

Ia lantas memukul bingkai jendela kesal. Matanya mulai berkaca-kaca. Dipunggunginya jendela itu sambil memejamkan mata meredam perasaan yang bercampur.

“Kita baru saja bertemu, tapi aku sudah merindukanmu,” ucapnya, “Kita hanya bertemu di mimpi, tapi kau bahkan sudah menyita perhatianku. Terlalu aneh rasanya mencintai orang yang belum pernah kita kenal, bahkan kita lihat.”

“Tapi tidakkah kau sadar, segalanya terjadi karena suatu alasan?” tanyanya sendiri, “Mengapa aku harus memimpikanmu, sementara masih ada berjuta mimpi indah lainnya? Tuhan pasti tahu jawabannya. Dan kau pun mengerti betul alasannya,” Luhan menghisap hidungnya, “Aku sudah benar-benar mempercayaimu. Maka aku juga percaya kata-katamu, kita … memang akan bertemu lagi,” Luhan mengusap air matanya, “Amin.”

Di sela tangis yang tersisa, ia menguatkan diri untuk berbalik memandang jendela kembali.

Kupu-kupu kuning yang sejak tadi hanya terbang di sekitar jendela kini hinggap di bahu Luhan.

Luhan memandang kupu-kupu itu penuh arti sambil memaksakan tersenyum, kemudian berbisik dengan serak, “Hey, jangan pergi lagi, ya.”

 ***

 

Jangan jadi silent reader yaa~ Tinggalkan satu komentar ^^

Gamsahamnida.

Blanco.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sunghyehee #1
Chapter 1: Jia you~ hahahaha
Xane94 #2
awawawa ><
Blanco-ssi! pemilihan diksinya bagus. hehe. saya kagum sekali sama forewordnya <3