Say Hello to Summer

Say Hello to Summer

Luhan belum pernah jatuh cinta.

…atau pernah?

 

Dia sudah lupa kapan terakhir kali jatuh cinta.

Tidak ada satupun gadis yang menarik perhatiannya. Tidak di kampus, di jalan, di tempat umum maupun di lingkungan sekitar rumahnya.

Oh, dan jangan pernah berpikir kalau Luhan tidak normal. Luhan bukan gay. Dia seratus persen, bahkan sejuta persen pria normal.

Hanya saja dia tidak—ah bukan—dia hanya belum menemukan gadis yang bisa mengambil hatinya. Seorang gadis yang tidak akan bosan untuk dilihatnya setiap hari. Seorang gadis yang akan selalu mendapatkan senyum manis darinya. Seorang gadis yang bisa membuatnya rela mengorbankan apapun di hidupnya.

Dan apakah dia berusaha untuk mencarinya? Tidak!

Luhan tidak mengerti kenapa dia harus mencari gadis yang cocok untuknya. Gadis-gadis yang mencarinya, dan bukan kebalikannya.

 

 

Luhan hanya menatap Chanyeol seolah-olah ada tanduk tumbuh di kepalanya saat Chanyeol tersenyum seperti orang gila dengan ponsel menempel di telinganya, “Aku juga mencintaimu sayang.” Dan Luhan berpikir apakah dia harus membawa Chanyeol ke rumah sakit jiwa.

Luhan mengernyitkan dahinya saat melihat Minseok bergandengan tangan dengan seorang gadis saat berjalan masuk ke dalam kelas, Luhan lupa siapa namanya, Rae? Ran? Rin? Atau Rose? “Semalam aku memintanya untuk menjadi kekasihku dan dia menerimanya,” katanya saat dia duduk di samping Luhan. “Apa kau percaya itu Luhan? Hah? Aku punya kekasih sekarang!” Luhan hanya pasrah saat Minseok mengguncang-guncang bahunya dengan senyum idiot menempel di wajahnya.

Luhan hanya memutar bola matanya saat Jongdae berlari ke arahnya sambil berteriak, “Astaga hyung! Sepertinya aku mau mati! Kenapa jantungku berdetak sekeras ini!” saat Gaeul—teman masa kecil Jongdae—datang dengan memakai dress selutut warna peach dan menyapa Jongdae dengan senyum manisnya. “Aku tidak mau mati muda!!” teriak Jongdae histeris, Luhan menyimpulkan kalau Jongdae juga gila—atau bodoh.

Luhan melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk saat seorang gadis China yang Luhan kenali sebagai salah satu teman sekelasnya tiba-tiba datang dan menghentikan rapat mereka hanya untuk memberi bekal makan siang pada Joonmyun. Dan demi Tuhan! Luhan bersumpah melihat wajah Joonmyun bersemu merah karena itu.

Luhan mengangkat satu alisnya saat Kris datang dengan wajah murung dan berkata, “Xue tidak mau bicara denganku. Apa yang harus kulakukan?” Dan Luhan harus pulang dengan dahi merah karena buku catatan Kris secara ‘tidak sengaja’ mendarat di dahinya setelah Luhan melontarkan pertanyaan, “Siapa itu Xue?”

Setelah selama seminggu Luhan hanya melihat teman-teman—yang menurutnya seperti orang bodoh? atau gila?—setiap hari datang dengan senyum ‘secerah matahari’ yang membutakan mata dan membuat dirinya sendiri seperti orang bodoh karena tidak tahu apa yang menyerang teman-temannya di akhir musim semi ini. Luhan hanya tidak ingin pulang pergi ke rumah sakit jiwa hanya untuk menjenguk teman-temannya.

“Mungkin hyung hanya butuh merasakan jatuh cinta agar bisa mengerti mereka,” kata Kyungsoo suatu hari saat Luhan menyuarakan isi kepalanya.

“Jatuh cinta?”

Dan Luhan masih belum ingat bagaimana rasanya jatuh cinta.

 

 

…atau tidak.

 

Saat pertama kali melihatnya,

Luhan sedikitpun tidak tertarik dengan gadis pendek kutu buku yang selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan. Luhan pasti akan berpikir, “Memangnya ada gadis seperti itu di kampus?” kalau ada yang membicakan gadis itu.

 

 

Saat Luhan melihatnya untuk yang kedua kali, dia sedang berlari menuju kelas pertamanya hari itu sambil mengeluarkan sumpah serapah dari mulutnya, “Demi Tuhan! Kenapa kelas pertama harus mulai jam 08.00 pagi?! Bahkan ayam pun belum bangun! Aku bersumpah—”

Isi ransel Luhan—yang ternyata masih terbuka—bertebaran di jalan koridor setelah dia bertabrakan dengan seorang gadis berkacamata dengan bingkai hitam besar dan masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Luhan masih sibuk memunguti isi tasnya—dompet, seragam kesebelasannya, handuk kecil, sepatu bola, sebatang pulpen, sebatang lagi pensil, seonggok buku tipis—dan dia baru sadar dia tidak membawa tugas essay-nya yang harus dikumpulkan siang ini.

“Maafkan-uhuk!-aku, aku tidak melihatmu-uhuk!” suara serak gadis itu (“Ah jadi dia  pakai masker karena sedang sakit?” pikir Luhan) memecah lamunan Luhan yang sedang menyusun rencana kabur-dari-kelas-siang-tanpa-ketahuan-karena-dia-tidak-mau-dihukum-karena-lupa-membawa-tugas-dan-dia-malas-pulang-ke-rumah-untuk-mengambil-kertas-kertas-essay di kepalanya.

“Kau-uhuk! Uhuk!-tidak apa-apa ‘kan?” tanya gadis itu sambil menyerahkan sebotol parfum ke tangan Luhan—dia malas mandi setelah latihan sepak bola.

“Tidak,” jawab Luhan singkat.

“Syukurlah kalau begitu-uhuk!” Luhan hanya mengernyit saat suara serak gadis itu kembali terdengar, “Kau tidak seharusnya lari di koridor, kau bisa dihuk—hey!” gadis itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Luhan tiba-tiba kembali teringat kalau dia sudah terlambat dan segera lari menuju kelasnya yang masih jauh. Luhan sempat melambaikan tangannya—sebagai ucapan maaf karena sudah menabraknya dan terima kasih karena sudah memungut parfumnya (benda terpenting untuk Luhan, bahkan lebih penting dari kertas essay-nya yang tertinggal)—sebelum menghilang di tikungan.

 

 

Saat Luhan melihatnya untuk yang ketiga kalinya, Luhan sedang mengganggu menemani Joonmyun yang sedang belajar di perpustakaan sambil mengetuk-ngetukkan pensilnya di meja.

“Berisik!” kata Joonmyun setengah berbisik, “Ini perpustakaan, kau bisa menganggu yang lain.”

Luhan hanya menjulurkan lidahnya ke arah Joonmyun, “Aku bosan…kapan kau selesai??” tanyanya sambil merengek. Joonmyun memilih untuk tidak menghiraukannya dan kembali sibuk dengan buku-buku di hadapannya.

Luhan menghela napas pelan. Percuma menghentikan Joonmyun belajar. Luhan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru perpustakaan.

Sekelompok mahasiswa baru sedang mengerjakan tugas di sudut ruangan. Tiga orang gadis duduk di lantai di antara rak-rak fiksi dengan masing-masing satu novel di tangannya. Seorang pemuda pendek sedang berusaha menjangkau buku di rak yang sepertinya terlalu tinggi untuknya (Luhan nyaris tertawa melihatnya). Sepasang kekasih sedang bermesraan di pojok belakang rak sains (Luhan mengernyit tidak suka). Penjaga perpustakaan yang sedang memarahi beberapa mahasiswa yang melanggar peraturan. Kris yang sedang mengobrol dengan gadis pendek berwajah dingin—tunggu, Luhan tidak ingat siapa gadis itu.

Luhan berdiri dari tempat duduknya—mengabaikan pertanyaan Joonmyun—lalu berjalan ke arah Kris dan gadis itu, tapi dia segera berhenti saat melihat Kris menutup mulut gadis itu dengan telapak tangannya.

“Oke oke, aku janji akan membelikanmu es krim nanti,” kata Kris.

Gadis itu menyingkirkan tangan Kris dari mulutnya, “Rasa semangka.” (“Memangnya ada es krim rasa semangka?”)

“Aku tahu. Tapi kau harus membantuku. Deal?” Kris menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.

Gadis itu mengangguk dan menerima uluran tangan Kris, “Deal.”

Kris menghela napas lega, “Aku tidak tahu harus meminta tolong siapa lagi, untung ada kau. Terima kasih ya,” kata Kris sambil mencubit pipi gadis itu.

“Iya iya,” katanya sambil menepis tangan Kris, “Jangan memperlakukanku seperti anak kecil! Dan jangan lupa belikan aku es krim semangka!”

“Oke gadis kecil,” kata Kris lagi sambil menepuk-nepuk kepalanya.

“APA?!”

“Sssttttt~” terdengar suara koor dari seluruh penjuru perpustakaan.

Kris terlihat sedang berusaha menahan tawanya lalu berlari keluar perpustakaan meninggalkan gadis itu yang masih sibuk meminta maaf. Siapa gadis itu?

 

 

Semingu kemudian, keempat kalinya Luhan melihat gadis itu, Luhan sedang duduk di dalam bus dengan dagu yang nyaris menyentuh dadanya—dan Luhan bersumpah tidak akan pernah meng-iyakan permintaan Minseok untuk bermain game sampai larut malam lagi kalau akhirnya dia harus dihukum karena ketiduran di kelas.

Luhan sedang menepuk-nepuk pipinya agar rasa kantuknya hilang saat bus berhenti dan seorang wanita paruh baya dengan balita di tangan kanannya dan sekantung penuh belanjaan di tangan kirinya masuk ke dalam bus. Luhan mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada kursi kosong karena sang ibu masih berdiri sambil berusaha untuk menjaga keseimbangannya di dalam bus yang sedang berjalan.

Sebagai seorang laki-laki—yang manly (menurut Luhan)—dia memutuskan untuk mengabaikan rasa kantuknya dan berdiri dari kursi, namun sebuah suara menghentikannya, “Ahjumma bisa duduk di sini.” Luhan menoleh ke sumber suara dan melihat seorang gadis (“Wajahnya tidak asing,” pikir Luhan)—yang sekarang sedang membawa kantung belajaan milik wanita tadi dan membantunya untuk duduk.

“Terima kasih,” wanita itu tersenyum pada si gadis sambil membenarkan posisi duduk balita di pangkuannya.

“Iya.”

Sebuah anggukan dan senyum kecil dari gadis itu berhasil menghentikan waktu-dunia-bagian-Luhan (kalau memang ada) dan membuat jantungnya berdegup kencang. Rasa kantuk Luhan langsung hilang begitu saja dan dia juga yakin dia tidak akan bisa tidur pulas malam ini.

 

 

Untuk yang kelima kalinya Luhan melihat gadis itu, dia sedang duduk di kantin sambil mengaduk-aduk sisa telur dadar di piringnya.

“Ada apa denganmu?” tanya Kris, tidak biasanya Luhan menyisakan makanan di piringnya, “Dari tadi kau tidak bicara apa-apa, kau sakit?”

Luhan batuk beberapa kali sambil menunjuk tenggorokannya lalu membuka mulutnya tanpa bersuara, “Sakit.”

Kris mengangguk mengerti, “Itu yang akan terjadi kalau kau marah-marah dan berteriak seharian.”

Alis Luhan menyatu, dengan segera dia mengambil notes kecil dan pensil dari tasnya lalu mulai menulis. Itu karena anak-anak bodoh itu tidak bisa diatur! Tulisnya.

“Mereka masih baru Luhan, mereka hanya belum tahu keseluruhan aturan di klub kita,” sahut Joonmyun yang duduk di sebelah Kris.

Luhan mulai menulis lagi. Tapi ‘kan aku sudah memberi tahu mereka berkali-kali!

“Kau bisa memberi tahu mereka dengan halus, bagaimana kalau mereka keluar dari klub kita? Kita tidak akan bisa mengikuti pertandingan akhir tahun kalau tidak punya cukup pemain,” kata Joomyun lagi.

Luhan menghela napas dan mengangguk lemah. Saat dia akan menulis lagi, matanya menangkap sosok gadis yang hampir 2 minggu ini selalu mengganggu tidurnya. Gadis itu sedang mengobrol dan tertawa dengan Yixing di depan pintu kantin. Astaga! Bahkan tawanya merdu di telinga Luhan. Luhan segera berdiri—yang membuat Kris dan Joonmyun terlonjak kaget—dan membuka mulutnya untuk memanggil Yixing—siapa tahu Yixing bisa mengenalkan mereka. Namun tidak ada yang keluar dari mulutnya, dia lupa kalau suaranya sudah menghilang sejak bangun tidur pagi tadi.

Luhan hampir saja menghampiri Yixing dan gadis itu, tapi lagi-lagi dia teringat soal kasus suaranya yang menghilang entah kemana. Percuma kalau dia menghampiri mereka tapi dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Saat dia menoleh lagi ke arah pintu, gadis itu sudah menghilang.

Luhan kembali menenggelamkan tubuhnya ke kursi dan mulai menyumpahi dirinya sediri—tanpa suara, tentu saja. Kalau kemarin dia tidak berteriak sepanjang hari, dia pasti tidak akan kehilangan suaranya hari ini. Kalau suaranya tidak hilang, dia pasti bisa memanggil Yixing—atau menghampiri mereka. Kalau dia bisa memanggil Yixing dia pasti sudah bisa berkenalan dengan gadis itu—atau paling tidak mengetahui namanya. Kalau Luhan mengetahui namanya—

Sial! Umpatnya dalam hati sambil menendang kaki meja—mengabaikan tatapan aneh dari Kris dan Joonmyun.

 

 

Luhan menemukan dirinya selalu mencari sosok gadis itu di keramaian—di kantin, di koridor, di mana saja. Bahkan Luhan selalu mengedarkan pandangannya ke bangku penonton—dimana gadis-gadis selalu berkumpul untuk melihatnya—saat Luhan sedang latihan sepak bola, gadis itu mengenal Yixing, jadi siapa tahu gadis itu datang untuk melihatnya. Perut Luhan tiba-tiba sakit saat membayangkan gadis itu menyorakkan nama Yixing.

Kalau Luhan beruntung dan melihat gadis itu, dia pasti sedang bersama teman-temannya dan dia…malu untuk menghampiri gadis itu dan menanyakan namanya. Sebenarnya bisa saja Luhan bertanya kepada Yixing mengenai gadis itu, tapi harga dirinya terlalu tinggi. Yixing pasti akan mengejeknya.

Saat Luhan secara ‘tidak sengaja’ berdiri di belakang gadis itu saat mengantri di kantin, dia hanya menatap bagian belakang kepala atau punggung gadis itu, lalu menghela nafas panjang. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya bergetar jika dia berada di radius 5 meter di sekitar gadis itu.

Hyung, kau tidak apa-apa?” tanya Kyungsoo yang berdiri di belakang Luhan saat melihat Luhan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

Luhan menggeleng, “Tidak.”

Kyungsoo berjinjit dan melihat seorang gadis dari balik pundak Luhan. Kyungsoo menangkap pandangan mata Luhan yang seperti sedang membuat lubang di punggung gadis itu. Tapi Kyungsoo hanya mengedikkan bahunya.

 

Tapi Kyungsoo kembali curiga saat melihat Luhan melakukan hal yang sama selama seminggu.

 

 

Beberapa hari kemudian, Luhan sedang duduk dengan terpaksa di bangku penonton untuk melihat pertandingan basket. Kalau saja Kris bukan kapten di tim basket, dia pasti akan lebih memilih untuk tidur di rumah. Dengan Baekhyun dan Chanyeol yang duduk di samping kanan dan kirinya yang sedang asyik mengobrol tanpa memperdulikan Luhan, menambah rasa kesal Luhan di awal musim panas ini.

Luhan nyaris melepas sepatunya dan menyumpalkannya ke mulut Baekhyun dan Chanyeol yang sudah mulai berteriak tepat di telinganya saat mereka memanggil Kyungsoo untuk duduk dengan mereka. Tapi niat buruknya itu menguap ketika dia melihat Kris—yang akan memasuki lapangan—memutar arah jalannya ke pinggir lapangan di seberang tempat duduk Luhan dan menyapa dua orang gadis, gadis yang pertama lebih tinggi dan terlihat lebih dewasa dengan senyum yang selalu menempel di wajahnya, kontras dengan gadis di sebelahnya yang berwajah dingin. Jantung Luhan kembali berdetak kencang melihat gadis itu.

“…iya kan hyung?” Chanyeol menyenggol bahu Luhan, “Hyung? Luhan hyung?”

Helloooo~ panggilan kepada kapten Luhan. Panggilan kepada kapten Luhan,” Baekhyun menirukan suara walky-talky sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Luhan, “Kapten! Bumi membutuhkanmu!”

“Hah? Apa?” Luhan yang akhirnya ‘kembali ke bumi’ menoleh ke arah Baekhyun, “Kau tadi bilang apa??”

“Kami hanya bertanya—lupakan, apa yang membuatmu melamun sampai-sampai hyung tidak mendengar pertanyaan kami?” Chanyeol melipat kedua lengannya di depan dada dengan kesal. Tidak ada yang bisa mengabaikan Chanyeol, kecuali Kyungsoo.

“Tidak ada,” jawab Luhan singkat. Mereka tidak mempercayai Luhan karena pandangannya kembali tertuju ke seberang lapangan dan Luhan kembali menghembuskan nafasnya. Kyungsoo mengikuti pandangannya dan menangkap seorang gadis yang sedang duduk dengan wajah kesal karena sepertinya dia hanya dianggap kursi kosong oleh Kris dan ‘gadisnya’. Kyungsoo teringat dengan gadis di kantin tempo hari. Seolah kabel-kabel di otaknya mulai menyambung, Kyungsoo menatap Luhan dan gadis itu secara bergantian.

Hyung, kau menyukai gadis itu ya?” tanya Kyungsoo tiba-tiba, membuat, tidak hanya Baekhyun dan Chanyeol, tapi Joonmyun, Yixing dan Jongdae yang duduk di belakang mereka menoleh ke arah Kyungsoo yang sedang tersenyum dan Luhan yang membelalakkan matanya sebesar Kyungsoo.

“A-apa? A-aku ti-dak..ta-pi..a-ku,” Luhan tidak tahu harus menjawab apa. Luhan? Menyukai seorang gadis? Luhan?

“Tidak usah menyangkal, jelas-jelas kau sedang jatuh cinta pada gadis itu,” kata Kyungsoo lagi.

“Gadis yang mana?” tanya Joonmyun ingin tahu.

“Yang itu,” Kyungsoo menunjuk ke arah Kris dan dua gadis di sampingnya.

“Xue jie? Tapi kan Xue jie sudah bertunangan dengan Kris ge,” Jongdae mengernyitkan dahinya.

“Bukan Xue noona, dasar bodoh,” Kyungsoo melemparkan daun kering di tangannya ke arah Jongdae, “tapi yang satunya.”

“Maksudmu Song—Luhan!” belum sempat Yixing menyelesaikan kalimatnya, Luhan berlari sekencang mungkin meninggalkan teman-temannya.

 

 

Luhan menutupi tubuhnya dengan selimut dan menekuk tubuhnya seperti bola di atas tempat tidur. Dia tidak peduli kalau hari ini sangat panas, Luhan tetap merapatkan selimut di tubuhnya.

“Jatuh cinta??” tanyanya tidak percaya—entah kepada siapa. “Aku? Tidak, tidak…aku tidak jatuh cinta dengan gadis itu,” Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Luhan kembali teringat saat melihat senyum gadis itu di dalam bus, yang membuatnya mengingat gadis bersuara serak dengan masker yang bertabrakan dengannya (“Astaga! Mata mereka mirip!”), gadis di perpustakaan yang mengobrol dengan Kris (“Astaga! Pantas saja aku seperti pernah melihatnya!”), gadis yang mengobrol dan tertawa dengan Yixing di depan pintu kantin (“Astaga! Astaga! Astaga!”). gadis yang bersama Kris dan tunangannya—siapa namanya tadi? Yue? Xue? Gadis yang beberapa kali secara tidak sengaja ditemui Luhan, gadis pendek berwajah dingin yang senyumnya selalu ingin dilihat oleh Luhan, gadis yang Luhan ingin ketahui namanya, gadis yang selalu membuat jantungnya berdegub kencang, adalah gadis yang sama.

Tidak. Luhan tidak jatuh cinta. Luhan hanya ingin berkenalan dengannya. Luhan hanya ingin mengetahui namanya. Luhan hanya ingin melihat senyumnya. Luhan hanya—jatuh cinta.

Luhan bertepuk tangan dengan miris setelah menemukan jawaban untuk pertanyaannya sendiri, “Setidaknya aku tidak perlu pulang pergi ke rumah sakit jiwa, karena aku juga akan tinggal bersama mereka di sana.”

 

 

Setelah 3 hari ‘bermeditasi’ di dalam kamar dan menemukan jawaban teka-tekinya sendiri, Luhan akhirnya keluar dan kembali bergabung dengan teman-temannya.

Luhan menghempaskan tubuhnya di kursi sebelah Jongdae, melipat tangannya di meja dan menenggelamkan wajahnya di lengan.

“Kau masih hidup!” teriak Chanyeol saat melihatnya.

Yay,” gumam Luhan tanpa semangat.

Joonmyun menepuk kepala Luhan dengan halus, “Kau tidak apa-apa?”

“Menurutmu??”

Mereka hanya saling pandang—tidak tahu harus berbuat apa—saat mendengar jawaban Luhan. Mereka tahu Luhan hanya sedang…uhm…syok—atau semacamnya.

Luhan mendongak karena merasakan pandangan mata teman-temannya tertuju kepadanya, “Apa?” tanyanya ketus.

 

“Oke Luhan, dengarkan aku—”

Luhan menutup kedua telinganya saat Kris mulai bicara, “Aku tidak mau dengar.” Luhan tahu Kris mengenal gadis itu, jadi Kris pasti mau membicarakannya.

Joonmyun menghela nafas, “Luhan—”

“Jangan katakan apapun.”

Ge, aku tahu—”

“Diam Yixing. Kalau aku tidak mau mendengar apapun dari mereka, apa lagi dari kau.” (Yixing mengernyit, “Memang apa salahku?”) Luhan kembali teringat tawa gadis itu untuk Yixing. Dan tidak. Luhan tidak cemburu.

“Tapi Luhan, kau benar-benar harus—”

“Jangan kau juga Minseok, kau yang paling kupercaya di antara mereka, jadi bisakah kau juga diam?”

Kris mulai kehilangan kesabarannya, “Berhenti bersikap seperti anak kecil Luhan, dan—”

“Aaaaaaaaa~~~” Luhan kembali menutupi telinganya.

“Luhan—”

“La la la la la~” Luhan berdiri dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan teman-temannya—dengan kedua telapak tangan masih menempel di telinganya dan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya.

“Lu Han! Kembali ke sini!” suara Kris menggema di seluruh penjuru kantin, membuat semua mata menatapnya. Kris menghela nafas, “Kami hanya ingin membantumu bodoh,” lanjutnya lebih pelan—walaupun dia tahu Luhan tidak bisa mendengarnya.

Hyung, aku punya ide,” kata Baekhyun.

 

 

Luhan bukannya membenci musim panas. Dia hanya tidak suka rasa sakit di kulitnya saat matahari sedang bersinar sangat terang di tengah hari tepat di atas kepalanya. Luhan mendongak dan melempar tatapan sengit kepada matahari—yang tentu saja gagal karena mau tidak mau dia harus menutupi matanya karena tertalu silau.

Luhan menggumam dengan kesal, menyumpahi Joonmyun karena tidak mau meminjamkan buku catatannya, dan terpaksa harus berjalan ke apartemen Kris.

 

(“Pinjam Kris saja, aku sedang butuh catatan ini,” kata Joonmyun saat Luhan ingin meminjam catatannya.

“Tapi tulisanmu lebih rapi dan mudah dibaca dibanding milik Kris.”

“Tapi ‘kan masih bisa dibaca.”

“Tapi aku lebih suka catatanmu, Joonmyun,” Luhan berusaha mengeluarkan aegyo-nya—dengan cara manly tentu saja—karena dia tahu Jonmyun tidak bisa menolaknya.

“Uh…ma-maaf Luhan, tapi aku butuh catatan ini,” kata Joonmyun, terlihat tidak nyaman.)

 

Karena itu, sekarang Luhan berdiri di depan pintu apartemen Kris dan memencet bel dengan tidak sabar. Luhan tahu Kris tinggal sendirian karena orangtuanya ada di Kanada, jadi dia tidak peduli kalau Kris marah dengan cara Luhan memencet bel yang primitif. Luhan mulai membayangkan wajah Kris yang terlihat kesal dan alis tebalnya menyatu dan siap melempar benda apapun ditangannya ke wajah Luhan—Luhan bisa bersiap-siap sebelum dahinya memerah—dan mulai mengomeli Lu—

Mata Luhan membesar saat pintu terbuka dan bukannya wajah kesal Kris yang terlihat melainkan wajah gadis yang selalu mampir di mimpinya (cheesy Luhan), dengan es krim berwarna merah terang di tangan kanannya dan tangan kirinya memegang knop pintu, oh, dan jangan lupa wajahnya yang dingin terlihat kesal dan sepuluh kali lebih mengerikan dari Kris.

Gadis itu juga terlihat sedikit terkejut saat melihat Luhan, namun dalam sekejab kembali seperti semula, “Kau mau merusak belnya?” tanyanya dingin.

“Ti-tidak, a-aku ha-hanya…ma-maaf, a-aku…”

“Ada perlu apa?” tanya gadis itu lagi sebelum Luhan menyelesaikan kalimatnya.

Luhan mundur satu langkah untuk mengecek nomor apartemen. 22. Luhan tidak salah apartemen, kecuali kalau Kris sudah pindah.

“Ah~” gadis itu mengangguk, “Kau pasti mencari Yifan.”

“Yifan?” setahu Luhan, jarang ada orang yang memanggil Kris dengan nama aslinya.

Gadis itu menggeser tubuhnya ke kiri, “Masuk.”

Luhan sedikit ragu, tapi tetap masuk ke dalam.

“Yifan sedang pergi dengan Xue jie,” katanya lagi.

“Oh,” jawab Luhan singkat.

 

Gadis itu mengambil gelas di dapur dan menaruh es krimnya ke dalam gelas, “Duduk di situ,” katanya sambil menunjuk sofa, “Aku akan menelponnya.” Dia merogoh kantungnya dan mengeluarkan ponsel.

“Halo?”

“Yifan, temanmu—”

“Gege,” potong Kris, “Aku lebih tua darimu.”

“Iya iya, Yifan ge,” dia memutar bola matanya.

“Ada apa?”

“Temanmu datang mencarimu.”

“Teman yang mana?”

“Uh…” gadis itu mengamati Luhan yang sedang duduk dengan canggung di sofa, “yang cantik, dengan mata mirip rusa, ehem!” dia mengalihkan pandangannya dari Luhan, “dan dia pemain sepak bola, kurasa? Aku pernah melihatnya di lapangan dengan Yixing,” tambahnya saat merasakan tatapan aneh dari Luhan.

Luhan tidak tahu kenapa badannya terasa panas, walaupun dia berada di dalam ruangan.

Kris tertawa di seberang telpon dengan keras dan membuat gadis itu menjauhkan telponnya dari telinga, “Aku serius ge.”

“Maksudmu Luhan?”

Dia kembali menatap Luhan, “Ah~ jadi namanya Luhan,” Kris tertawa lagi, “Ma-maksudku, apa namamu Luhan?”

Luhan mengangguk.

“Iya, dia Luhan—astaga! Berhenti tertawa ge!”

Kris tertawa semakin keras, “Oke oke maafkan aku,” setelah tawanya berhenti, dia berkata lagi, “Luhan hanya ingin meminjam catatanku, jadi tolong ambilkan buku dengan sampul warna biru di kamarku dan berikan kepadanya.”

“Oke.”

“Dan, oh, Xiao Lian.”

“Hm?”

“Aku tahu kau selalu mengamatinya saat dia sedang bermain bola dan bergumam betapa kerennya dia.” Wajah Lian memerah seketika, “Dan jangan gunakan Yixing sebagai alasan kalau kau ingin melihat Luhan bermain bola di lapangan.” Kris tertawa lagi saat tahu Lian hanya diam, “Bye Summer!” kata Kris sebelum menutup telponnya.

Dalam hati, Lian bersumpah akan mencekik Kris kalau dia sudah sampai rumah—tanpa sepengetahuan Xue, tentu saja, bisa-bisa Xue yang akan mencekiknya kalau dia tahu.

“Kau tidak apa-apa?” pertanyaan Luhan membuyarkan rencana-balas-dendam-kepada-Kris yang sedang dia susun di kepalanya.

“Oh? Iya a-aku tidak apa-apa,” jawabnya sambil tergagap, “Uh…tadi Yifan ge bilang kau ingin meminjam catatannya.”

“Iya.”

“Aku ambilkan dulu di kamarnya.”

 

Saat Lian mulai berjalan ke kamar Kris, Luhan bertanya-tanya sebenarnnya siapa gadis itu? Apa hubungan mereka?

Lian kembali setelah beberapa menit dan menyerahkan buku itu pada Luhan, “Lihat dulu, apa buku itu yang mau kau pinjam.”

Luhan mengangguk dan mulai membuka buku di tangannya. Lian yang sekarang duduk di sampingnya membuat tangannya menjadi gemetar dan membuatnya sulit untuk menjaga agar buku itu tidak jatuh. Saat akhirnya dia berhasil membuka buku itu, selembar kertas terjatuh dan Luhan segera memungutnya. Tulisan cakar ayam milik Kris tertulis si atasnya. To : Luhan

Luhan mengernyit, Kris tidak sedang menulis surat cinta untuknya ‘kan?

Aku tahu apa yang ada di pikiranmu Luhan. Dan ini bukan surat cinta untukmu!

Luhan menghembuskan nafas lega saat membacanya.

 

Oke, aku hanya akan memberitahumu sesuatu yang beberapa hari lalu ingin kukatakan padamu di kantin, tapi kau malah lari meninggalkan kami.

Aku tahu kau pasti bingung kenapa ada gadis di apartemenku.

Jangan salah paham, karena aku sudah bertunangan, dan gadis yang sekarang duduk di sampingmu (dia sedang duduk di sampingmu ‘kan?)

 

Luhan curiga Kris punya six-senses atau apapun itu namanya.

 

Adalah sepupuku.

 

“Sepupu?”

 

Ya, dia sepupuku. Dan aku tahu kau menyukai Summer.

 

“Summer?”

 

Dan ya lagi Luhan, namanya Summer, gadis yang selalu menarik perhatianmu di keramaian (aku mendengarnya dari Kyungsoo kalau kau pernah melototi sepupuku di kantin dan di lapangan basket).

 

Melototi adalah kata yang tidak tepat menurut Luhan. Mengamati mungkin lebih enak didengar.

 

Nama aslinya Song Lian, tapi aku biasa memanggilnya Xiao Lian (Seperti aku memanggilmu Xiao Lu, kau bisa menulis Xiao Lu ♥ Xiao Lian di buku harianmu nanti)

 

Luhan mendengus kesal dengan wajah semerah tomat.

 

Dia juga pernah tinggal di Kanada, dan Summer adalah nama Inggrisnya.

Dia sudah tinggal denganku sejak 4 bulan lalu.

 

“Empat bulan lalu? Kenapa aku tidak tahu?”

 

Tentu saja kau tidak tahu, karena kau sudah lama tidak mau ke apartemenku karena menurutmu apartemenku bau. (jangan menyangkalnya Luhan, aku tahu apa yang kau pikirkan.)

 

Luhan mengerutkan dahinya, “Tapi aku tidak sedang memikirkan apa-apa.”

 

Dia seangkatan dengan Yixing, karena itu mereka berteman.

Dan uhm…sisanya kau bisa tanyakan sendiri padanya.

Seperti berapa nomor telponnya, apa warna kesukaannya, apa makanan favoritnya, dan yang paling penting apakah dia mau berkencan denganmu.

 

Luhan merasa ada yang salah dengan cara duduknya, karena tiba-tiba dia menjadi tidak nyaman.

 

Oh dan satu lagi, seharusnya aku tidak mengatakan padamu tentang hal ini, tapi Summer selalu datang ke lapangan bola untuk melihatmu sejak…I don’t know…2 minggu lalu mungkin.

Bantuanku cukup sampai di sini, sisanya aku  serahkan pada kalian berdua.

Good luck Xiao Lu!

 

Ps. Tolong segera ajak dia pergi berkencan, kemanapun, yang penting bawa dia keluar dari apartemen, karena dia pasti akan mencekikku kalau aku pulang nanti.

 

Hah?

Pss. Kumohon Luhan, aku serius.

Psss. Luhan, sekarang!

 

“Luhan?”

Luhan menelan ludahnya dengan gugup dan menoleh ke arah Lian atau Xiao Lian atau Summer—Luhan tidak tahu harus memanggilnya siapa.

“Uh…Xiao Lian, ah maksudku Lian, ah bukan, maksudku Summer,” Luhan menghindari pandangan mata Summer, “Maaf, aku tidak tahu harus memanggilmu siapa.”

“Uh…Summer saja.”

Luhan mengangguk, “Uh Summer, jadi Kris memberitahuku soal kau yang selalu melihatku latihan,” Luhan menggaruk lehernya karena gugup.

“Astaga!” matanya membesar, “Jangan percaya apapun yang dikatakannya…a-aku ha-hanya…aku benar-benar akan mencekiknya nanti—”

Luhan tertawa, “Kalau begitu aku harus benar-benar mengajakmu pergi berkencan sekarang.”

“—kalau sampai rumah—apa??”

“Kau suka es krim semangka kan? Aku tahu tempat es krim yang enak di sekitar sini. Dan sepertinya es krimmu sudah meleleh.”

Summer menatap es krim semangkanya yang sudah menjadi air di dalam gelas.

“Uhm…itu kalau kau mau, kalau tidak juga tidak apa—”

“Aku mau!” sahut Summer cepat, “Ehem! maksudku, oke.”

 

 

Well, Luhan tidak hanya mengetahui namanya. Tapi juga bisa mengajaknya berkencan.

Oh, dan juga menyelamatkan nyawa Kris. (“Thanks God!”)

 

Fin

 

(a/n)

i don't know wth is this...

sebenernya ini hanya sebagai bentuk protesku karena semarang yg semakin panaaaasss >.<

Comments are appreciated ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet