Autumn Leaves

Autumn Leaves

Kris's POV.

Pernikahan kita berlangsung bulan Maret di awal musim dingin. Di Kanada, bertempat di gereja kecil, dihadiri oleh keluarga dekat yang berpura-pura bahagia.

 

 

 

Sewaktu kita ke luar menuju altar, tanganmu bergetar dalam genggamanku. Kita memakai jas berwarna putih yang khusus disiapkan oleh ibumu. 

Satu persatu, aku menatap orang-orang yang hadir. Memohon tanpa kata, bahagialah bersama kita. Tersenyumlah karena ini adalah hari yang besar.

Terakhir, pandangan kita terkunci untuk beberapa saat. Kau menggigit bibir bawahmu karena gugup. Aku tersenyum. Menenangkan. Meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Awalnya, aku tak percaya keagungan pernikahan. Terlalu banyak pengkhianatan sebelum menemukanmu. Saat kita berdiri dipisahkan oleh pendeta, sewaktu janji itu terucap tanpa hambatan. Aku merasakannya.

Sewaktu, bibirmu menjadi milikku secara sah untuk pertama kalinya. Sensasinya berbeda dan aneh.

Hari itu, kehidupan kita benar-benar dimulai.

.

.

.

Kiita mempunyai rumah kecil yang hangat. Sepenuhnya milikmu.

Kau menyebutnya pagi yang sempurna ketika aku berada di sisimu. Sekali pun kau selalu bangun lebih awal dariku, entah dengan cara apa, secara ajaib kau selalu memenuhi pandanganku setiap pertama kali membuka mata.

"Ucapkan selamat pagi pada duniaaaaaaaaa!" teriakanmu menggema. Kau merentangkan kedua tanganmu lebar seraya tersenyum. Apron ungu pemberian ibuku masih setia dipakai. Samar-samar aku mencium aroma manis yang menguar dari tubuhmu.

Aroma rumah yang hangat dan ramah, cahaya hangat mentari yang masuk dari celah jendela, dan senyummu. Bagiku itulah pagi yang sempurna itu.

Walau pun setelah itu kau selalu kesulitan menyeretku ke kamar mandi.

.

.

.

Kau suka sekali menghabiskan waktu di luar rumah. Berbelanja di pasar lokal, saling bertukar sapa dengan siapa saja, dan bersepeda. Atau seharian menenteng gitar, menemukan tempat yang berbeda setiap harinya untuk bernyanyi. Menyampaikan melodi yang kau ciptakan. Berbagi pada dunia. Selama kau masih mampu melakukannya, kau terus saja merengek padaku untuk bisa kembali menghirup udara sepuasnya.

Kau bermain layangan, berlarian mengejar angin, bermain dengan anak tetangga hingga kelelahan dan tertidur dipangkuanku.

Kau suka sekali makan. Kau tak peduli lagi karena berat badanmu tak mungkin mengalami kenaikan. Jadi, makanan apa saja jadi terlihat enak saat kau menyantapnya.

"Makanlah! Gigit, nikmati, dan berbahagialah Kris! Bersyukur itu meringankan hidup!" katamu dengan bibir belepotan penuh mayones. Aku menoyor kepalamu karena seenaknya berfilosofi dan kau hanya nyengir kuda. Dasar. Aku yang paling tahu siapa orang yang pintar bersyukur itu.

Kita mempunyai balkon di lantai dua. Tidak besar, hanya cukup memuat dua kursi,satu meja dan satu gitar belahan jiwamu. Di tempat itu kita sering menghabiskan waktu. Menikmati secangkir teh hangat, cahaya matahari, dan suaramu.

Suatu hari, kau pernah bertanya, lima atau lima puluh tahun lagi dapatkah kita masih seperti ini? Menikmati waktu penuh dengan kelegaan?

Aku ingin menjawab iya tapi aku tahu aku akan membohongimu. Jadi yang kulakukan hanya menggenggam tanganmu erat. Itulah jawaban untukmu. Sementara matahari mulai tenggelam dan gelap perlahan menguasai langit.

Kau tersenyum tapi air matamu membasahi pipi.

Aku harus bagaimana?

.

.

Sewaktu musim panas tiba, kausuka menghabiskan waktu di padang rumput belakang gereja tempat kita menikah dulu. Sang pendeta selalu menyambutmu hangat. Memelukmu erat dan kau akan mencoba melepaskannya sekuat tenaga.

Bukit kecil itu sedikit menanjak dan kau mempercayakan hidupmu di balik punggungku. Energi yang kaumiliki tersalurkan baik untukku.

Kita biasa duduk di bawah satu pohon yang rindang.

Angin berhembus pelan, langit biru yang cerah, dan rumput hijau secara ajaib adalah kombinasi yang menenangkan.

Kau bernyanyi di pangkuanku. Sambil memejamkan mata, kau menggumamkan semua lagu cinta yang tak pernah kunyanyikan untukmu. Kemudian kau tertidur, suasana menjadi sangat tenang dan damai.

Lama.

Kau tak kunjung membuka mata.

Aku mulai panik. Kau tak bereaksi. Gelombang rasa takut mulai menyerangku bertubi-tubi.

"Tidak, jangan sekarang!"

Bergetar, jari-jariku menyentuh wajahmu. Ketika satu tetes air mata jatuh di pipimu, kau terbangun. Ada rasa lega yang luar biasa dan ada kau uang meraih bibirku untik kau cium.

"Berjanjilah untuk tidak menangis, Kris."

.

.

Kanker otak telah menggerogoti tubuhmu. Dokter memvonis hidupmu tak akan bertahan lama.

.

.

Lalu kaumulai marah akan hal-hal kecil. Pot bunga Anggrek ungu di pinggir jendela kaubilang mengganggu pemandangan. Aku memindahkannya tapi keesokan harinya kau berteriak histeris telah kehilangan tanaman kesayanganmu. Saat itu satu pelukan erat selalu berhasil menenangkan.

Tapi ada saat dimana aku membiarkanmu sendiri.

Aku tahu terkadang kau akan bangun di tengah malam setelah berpura-pura terlelap. Menuju kamar mandi, menguncinya , lalu mulai terisak.

Semua ketakutan seakan kau jadikan monster besar menjijikan dan saat itu kau melepasnya.

Bohong jika aku tidak ikut tersiksa. Setiap rintihan yang merambat masuk ke telingaku bagai jarum kasat mata tapi langsung menusuk hatiku. Tapi aku mengerti, kau juga membutuhkan waktu sendiri. Aku hanya bisa menemanimu di balik pintu kamar mandi. Kau juga pasti mengkhawatirkan perasaanku. Jadi, bukankah kita pasangan yang ideal?

.

.

.

Namun, aku juga pernah kalah.

Kita sama-sama pernah kalah.

Sore itu saat langit biru berubah warna, aku melihatmu dengan tenang duduk di depan grand piano hitam di ruangi tengah. Kau hanya diam. Aku menghampiri dan menepuk pundakmu.

Mendapatkan perhatianmu, aku terkejut pipimu telah basah oleh air mata.

"Aku tidak ingat," ucapmu. Kedua tangan dengan kasar menyapu jejak tangismu."Seharusnya aku masih ingat, tidak, aku tidak boleh melupakannya!" 

Aku masih tidak mengerti. Kau mulai kalap. Tuts piano kau tekan sembarangan. Tak ada nada indah seperti biasa. Kau marah.

"Aku tidak bisa mengingatnya, bagaimana ini, Kris?" Aku berusaha menghentikanmu namun kau menepis tanganku kasar. 

Kau memainkan nada yang memekakkan telinga. Melihatmu memaksakan diri membuatku merasa sakit.

"Lagu itu, lagu yang aku buat untuk merayakan pernikahan kita. Kris! Aku tidak boleh melupakannya. Semua boleh tidak kuingat. Tapi jangan kau dan lagu itu!" Aku menarikmu dalam satu pelukan erat. Kau menangis sepuasnya. 

"Aku masih bisa mengingatnya, Kris ....." Aku masih bisa mendengar gumamanmu yang membuatku semakin tidak tega melihat air mata itu.

Saat itu, hatimu hancur, begitu juga dengan hatiku.

.

.

.

Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu kenapa Tuhan menautkan hatiku hanya padamu. 

 Kau pernah bertanya kenapa aku tidak menyerah.

Rambutmu mulai menipis dan tubuhmu tak sesegar dulu.

Kau sering memintaku mencari pengganti berulang kali.

Di saat-saat terpuruk yang hanya bisa kupendam, ada sisi lain dari diriku yang juga mulai merasa khawatir.

Aku pernah mencobanya saat kau menginap di rumah orangtuaku.

Aku pergi ke bar, mabuk, dan bersenang-senang. Namun pada akhirnya namamu yang kusebut walau pun dalam tidak sadarku. Lihat, bahkan alkohol tidak mampu menghapus jejakmu dalam otak. 

Jadi, katakan, bagaimana caranya?

.

.

.

Kita bisa melewati hari saat kau masih bisa berdiri dengan kedua kakimu, apa lagi dengan yang lebih buruk.

Waktu dimana aku mulai mengais sisa-sia keceriaan dari kedua matamu.

Setiap pagi atau setiap kali aku terbangun dari tidur tidak lelapku, sisi egois dalam diriku selalu berharap bertemu kembali dengan senyummu.

Kita tidak pernah memohon pada waktu.

Tak akan pernah siap walau sekedar untuk menata hati.

Dan pada hari dimana akhirnya kau terlepas dari rasa sakit itu, aku menepati janjiku untuk tidak menangis.

Semua kenangan bersamamu seperti layar fim yang dimainkan dengan indah.  Ikatan ini tidak akan berakhir hanya sampai di sini.

Pelan-pelan, dengan tangan yang bergetar, untuk terakhir kali kurengkuh tubuhmu dalam sebuah pelukan hangat. Kedua matamu yang sudah tertutup rapat kucium satu-satu. Sewaktu kuperhatikan bibirmu yang melengkungkan senyum, tanpa alasan yang jelas kelegaan menghampiriku.

.

.

.

Malam ini hanya ada aku. Duduk terpaku di kursi goyang kesukaanmu. Autumn leaves mengalun merdu pengiring rindu. Di luar, langit terlihat bersih. Pohon-pohon tanpa daun seakan jari kurus menyeramkan yang putus asa menggapai langit. Bayangan jilatan api dari perapian menari-nari tapi sendu.

Kuyakin suatu saat nanti kembali ada kita. 

Kita akan minum teh bersama. Di balkon, seperti biasa, sembari menikmati sinar abadi yang menghangatkan.

Istirahat yang tenang Yixing, bintangku tersayang. Kau yang terbaik.

.

.

Fin.

Aneh enggak? Ini fic fanxing AU pertamaku. 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
MaiXingYeol1027 #1
Chapter 1: Bgus bgt. Angstnya ngena :""(((. Bahasanya enak bgt, jadi bacanya enjoy. Thanks yanidh bikin ff sebagus ini. Keep writing ya
HzLicious
#2
Chapter 1: ff ini asik banget.jarang ada cerita yang menggunakan sudut pandang persona kedua.singkat,pas dan mengena.good luck authornim
KikyKikuk #3
Chapter 1: Huuuwwwwaaaaaaaaaa Mommy... :'(
Papa Upan jd duda..
Sama aku aja sini pa XD
#modus
flychicken97 #4
Chapter 1: Tuhaaaaaaannnn, apa ini??? Nyeseknyaaa~ okay, kris, aku suka gayamu T.T
lay9095 #5
Chapter 1: nangis njir.....T.T berasa banget kehilangannya...Keren tapi nusuk..Keep writing!P
KrAyFanXing #6
Chapter 1: . hueeeeee ..... T_T

. nangis , mewek d akhir tahun ,,,

. Daebak .... (y)
kkeurao #7
Chapter 1: cried.....
xokrayxo
#8
Chapter 1: Demiapa ini ff sedih bgtttTT_TT
Suks bgtt penjabaran kris,ngena bgtt bikin ceess;__;
seideer #9
Chapter 1: pemaparan ceritanya aku suka banget...
sudut pandang kris...
tapi...
gw nangisss...
T___T