second half.

Revivere;

note: italics + centered are dreams. italics + align left are flashbacks. italics in '...' are thoughts.

 

 


 

“Kau kabur dari rumah?”

Di sebuah halte, seorang gadis muda bertanya sembari ia duduk di samping remaja lelaki yang menunggu bus.

Pria muda yang berambut berantakan itu hanya menelengkan kepalanya dengan ogah-ogahan dan menghembuskan nafasnya keras-keras, “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku hanya tahu begitu saja.”

Sang pemuda menatapnya sangsi, “Tapi kau buta.”

“Memang.” jawab Sang Gadis Buta sambil tersenyum, ia mengulurkan tangannya dan Sang Pemuda tak sedikitpun ragu untuk meraihnya.

Gadis ini terlihat sangat rapuh, dengan kedua bola mata yang terlihat tumpul, dan hampir tidak pernah berkedip. Rambutnya yang hitam panjang dikepang di satu sisi, dan jemari-jemarinya terasa sangat kurus. Ia memegang sebuah tongkat pemandu untuk membantunya berjalan.

Sang Pemuda sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Gadis Buta ini, tetapi gadis itu jelas tahu sesuatu tentang dirinya. “Bagaimana kau tahu aku kabur?”

Senyum di wajah gadis itu tak pernah luntur, “Pokoknya aku tahu.”

“Jangan jawab aku dengan jawaban itu terus.” sambar Sang Pemuda dengan kesal.

Ia bisa merasakan tangannya digenggam dengan satu sentuhan lembut.

“Apa kau mau menceritakannya padaku?” tanya Si Gadis Buta dengan senyum kecilnya.

Dan Sang Pemuda, di depan gadis asing yang ia tidak tahu asalnya, melepaskan semua perasaan yang selama ini ia pendam. Semua masalahnya, semua ganjalan hati, segala yang terasa salah. Ia tidak tahu kenapa tapi ada sesuatu dari dalam dirinya yang menyuruhnya untuk begitu lepas terhadap gadis itu.

Dan setelah ia bercerita panjang lebar, Sang Gadis Buta hanya mengucapkan sebuah kalimat pendek.

“Pulanglah.”

Pemuda itu menatapnya tidak percaya.

“Kau akan baik-baik saja,” lanjut Si Gadis Buta, “Mereka akan mengerti kalau kau menceritakan semuanya.”

“Bagaimana kau bisa bertingkah seolah-olah kau tahu semuanya??!” teriak Sang Pemuda frustasi. Tapi sebelum Si Gadis Buta itu menjawab, ia sudah memotong dengan “Kau hanya tahu begitu saja??”

“Ya.” Dan sebelum Sang Pemuda bisa memprotes lebih lanjut, gadis itu berkata “Mereka mungkin tidak mendengarkanmu, tapi apa kau yakin kau juga telah mendengarkan mereka selama ini?”

Dan sebuah bus berhenti di halte mereka. Sang Gadis Buta berdiri, itu adalah bus yang akan membawanya pergi.

Sementara Sang Pemuda sama sekali tidak berkutik di tempatnya. Ia terlalu terhenyak dengan apa yang barusan disampaikan oleh seorang gadis asing yang bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk melihat.

Sang Gadis Buta membalikkan badannya sedikit, cukup bagi Sang Pemuda untuk bisa melihat wajah gadis itu. “Aku harap kau bisa bahagia.” ucapnya dengan sebuah senyum tulus.

Gadis itu semakin tersenyum lebar saat ia bisa merasakan Sang Pemuda rupanya menuntunnya untuk naik ke dalam Bus. Sekali lagi Sang Gadis Buta berbalik dan menyampaikan salam perpisahannya.

“Sampai jumpa di kehidupan berikutnya.”

 

:::

 

Pagi itu, Naeun mengerjap-ngerjapkan matanya terbuka untuk beberapa saat. Ia terbaring di tempat tidur tanpa ada niatan untuk segera bangkit. Setelah mimpi yang tadi, muncullah sekilas tentang potongan mimpi yang lain. Yang tentang masa depan.

Seorang gadis dengan rambut cokelat terang sedang menangis.

‘Bukankah itu Suzy? Kau melihat wajahnya, Naeun, itu tadi benar-benar Suzy. Dia akan menangis.’

Dari tempatnya berbaring, Naeun melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur. Ia ingin menelepon Myungsoo sekarang juga, tapi ada sesuatu yang menahannya. Kali ini ia berharap Myungsoo yang akan meneleponnya duluan. Si fotografer itu tidak pernah tidak meneleponnya saat dia mengacaukan sesuatu, Myungsoo pasti akan bercerita kepadanya. Karena ia yakin Suzy tidak akan seperti itu kalau bukan karena kesalahan Myungsoo. Si idiot itu pasti telah melakukan sesuatu yang salah.

Saat itulah ketika ponselnya berbunyi, dan Naeun bahkan sudah menyambarnya sebelum benda itu bisa berbunyi lagi untuk kedua kali. “Myungsoo?!” serunya, bahkan ketika ia tidak punya waktu untuk melihat layar ponsel dan mengecek nomor ID yang sedang meneleponnya.

Dan tidak ada jawaban.

Hanya keheningan.

Sampai satu suara menyebut namanya, “Naeun…?” Dan itu bukan suara Myungsoo.

Naeun menelan keterkejutannya, buru-buru menutup mulutnya dengan tangannya sendiri sebelum suara apapun keluar dari tenggorokannya. Ia kenal baik dengan suara lembut itu. Yang saat ini terdengar sangat putus asa.

“Suzy?” akhirnya Naeun menyebut nama gadis itu dengan hati-hati.

Terdengar satu isakan dari seberang telepon, dan Naeun langsung memijat pelipisnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Tentu dia kenal baik dengan Suzy, tapi dia tidak tahu bagaimana menghadapi Suzy saat gadis ini sedang dalam keadaan terburuknya. Pegangannya di ponsel semakin kuat terutama setelah Suzy terdengar sangat kacau, campuran antara tangisan, isakan, dan kata-kata putus yang gadis itu coba untuk rangkai.

“Ma-maafkan aku, ak-aku tahu seharusnya aku menele-- pon… Jinri, atau-- Jiyoung, atau-- Soojung. Tt-ttapi aku ki-kira akan lebih baik u-untuk… meneleponmu… kk-ka-- rena aku pikir hanya kau y-yang akan mengerti… Mmma--afkan aku.”

Naeun mengerutkan keningnya, dan ia menggeleng meskipun Suzy sama sekali tidak melihatnya. “Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Di mana kau sekarang? Apa kau ingin bertemu denganku?” Naeun tidak sedingin yang orang-orang kira, dia benar-benar peduli dengan orang yang ada di sekitarnya. Dan Suzy telah menjadi teman yang baik baginya terutama setelah gadis itu mulai pergi bersama Myungsoo.

Jadi mimpinya… Benar. Tentang ini. Naeun tidak mengira ini akan terjadi begitu cepat, terutama tidak ketika ia yang harus ‘menyaksikan’nya.

“Ti-tidak… Aku tidak ingin kau melihatku yang terlihat ka-kacau ini…” gadis di seberang telepon itu kemudian tertawa gugup dan tertahan. “Aku hanya ingin bercerita… Agar semuanya lega.”

“Tentu, aku akan mendengarkannya.” dan tawaran itu ia sodorkan dengan tulus.

“Tapi… tokomu…”

“Itu biar Myungsoo yang akan mengurusnya. Biar dia yang akan kuhadapi nanti.”

Begitu gadis itu mendengar namanya disebut, Suzy pun lepas kendali. Dan Naeun hanya diam mendengarkan. ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia tidak bisa melihatnya datang?’

“Naeun-ah… Aku… Aku membatalkannya semalam.”

Sang pelukis muda semakin terdiam. Ternyata bukan salah Myungsoo. Suzy yang memutuskan untuk membatalkan pertunangan mereka? Kenapa begitu tiba-tiba?

“A-aku t-t-tahu begitu saja… Kalau ini terasa salah. K-ket--tika dia melamarku, aku begitu bahagia… tapi lalu-- Aku… Dia... T-tidak… Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan!!”

“Suzy, apa ada yang salah?” Naeun mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kekhawatirannya semakin memuncak setelah ia gagal memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh Suzy.

“Aku tidak tahu apa yang salah…” Suzy terisak kembali, dan Naeun melihat kilasan wajah gadis itu sedang menangis -- sama seperti yang ia lihat di mimpi. “D-dia… bertanya kepadaku… Apakah aku bahagia. D-d-ddan aku tidak merasakan apa-- apapun. Lalu kami membuang segalanya-- Segalanya yang pernah kami coba bangun setelah sejauh ini, betapa sia-sianya!”

Ketika isakannya semakin menderu, Naeun mencoba bertanya “Apa yang Myungsoo katakan?”

“Di-- Dia bilang… Hal yang sama… Bahwa kami telah melalui banyak hal…”

Lalu keheningan menyelimuti mereka kembali.

Dan suara Suzy yang keluar berikutnya terdengar begitu gemetar, gadis itu mengatakan sesuatu yang selama ini Naeun takutkan. “Dddan aku ti-tidak tahu… A-ak-ku tt-tidak tahu… Tapi… Aku pikir… Kini semuanya terasa benar. Kami membuat keputusan yang tepat.”

 

:::

 

Naeun datang terlambat, dan ketika ia sampai di tokonya, Myungsoo sudah duduk di balik counter sambil memainkan sebuah benda perak kecil di jemarinya.

Cincin pertunangannya.

“Ketiduran?” tanya pria muda itu. Naeun menggeleng keras.

Gadis itu memutuskan untuk menjawab dengan jujur, “Aku berbicara dengan Suzy.”

Lalu Myungsoo jatuh ke dalam keheningan.

“Sudah sejak kapan kalian berdua berpura-pura bahwa hubungan kalian sempurna?” tandas Naeun yang kini sudah berdiri di samping pemuda itu. Namun tak sekalipun ia berani menatap Myungsoo, karena ia takut ia akan lepas kendali dan menamparnya. Karena pemuda itu sudah berani tidak menceritakan semua keraguan tentang hubungannya sendiri kepada Naeun, yang Naeun sendiri coba dengan sangat keras untuk membantu temannya itu.

“Sejak kami memulainya.” Myungsoo menjawab dengan jujur. Cincinnya ia letakkan begitu saja di atas counter. “Aku rasa kami hanya menemukan alasan-alasan di saat dan waktu yang tepat, dan kami mempertahankan itu,” Pemuda itu memutar tubuhnya hingga punggungnya menghadap ke arah Naeun. “Salah kami karena membiarkannya terlalu lama.”

Tenggorokan Naeun terasa tercekat, ia tak tahu apa yang harus ia katakan lagi. “Bagaimana… perasaanmu?”

“Bagaimana keadaannya?” Adalah balasan yang Myungsoo berikan.

“Dia menangis.” Suara Naeun hampir terdengar seperti berbisik. “Dia tidak habis pikir kenapa dia bisa merelakan orang yang begitu spesial dari hidupnya, dan merasa benar karena telah melakukan itu.”

Saat Myungsoo sama sekali tidak membalas, Naeun menatap ke arah punggungnya. “Bagaimana denganmu?”

Pundak Myungsoo terlihat jatuh sedikit, dan suaranya terdengar bergetar. “Aku merasa sangat bodoh.”

 

:::

 

“Bunga untuk orang terkasih Anda, Tuan?” sang gadis bertanya. Meskipun mereka seumuran, tapi ia menyebut pemuda yang kelas sosialnya lebih tinggi itu dengan penuh penghormatan.

Pemuda Bangsawan itu menatapnya lurus-lurus, “Ya, tolong yang seperti biasanya.”

Sang gadis penjual bunga pun memberinya sebuket bunga lili segar seperti yang ia minta,”Perempuan ini sepertinya benar-benar beruntung.”

Ia memiringkan kepalanya sedikit, menahan senyum. “Kenapa kau bisa bilang begitu?”

“Anda sepertinya benar-benar mencintainya, bukan begitu?”

Sang bangsawan muda itu hanya tersenyum lembut, “Ya. Dia adalah wanita tercantik yang pernah kulihat seumur hidupku.”

Gadis di depannya pun balas mengulum senyum, ia tidak berani mengatakan kepada Sang Bangsawan bahwa terkadang pria itu muncul di dalam mimpinya. Selalu gambar yang sama, Bangsawan muda yang duduk di mejanya menatap kepada sebuket bunga lili yang tak pernah ia berikan kepada perempuan misterius yang pemuda itu kagumi. Gadis penjual bunga itu diam-diam tahu, bahwa Sang Bangsawan itu --meskipun hampir setiap hari datang ke tokonya untuk membeli bunga-- tak sekalipun berhasil memberikan buket bunga yang ia beli.

“Semoga beruntung, Tuan.” ia mengatakannya dengan sepenuh hati. Sang gadis pun berharap agar suatu saat nanti buket bunga lili itu akan sampai kepada sang perempuan misterius -- siapapun dia.

“Terima kasih.” kemudian, mengamati keranjang-keranjang bunga yang ada di dalam toko, Sang Bangsawan muda bertanya “Berapa harga yang harus kubayar untuk setangkai mawar?”

Gadis penjual bunga langsung menjawab dengan senang hati, dan Bangsawan muda itu pun meminta untuk memberikannya sebuah tangkai mawar merah. Maka diberikanlah setangkai bunga dengan kelopaknya yang merona.

Nafas Sang Gadis tertahan  begitu Bangsawan muda itu menyampirkan mawar itu ke telinganya. Tangan Sang Bangsawan menyeka sedikit helaian rambut yang sempat menutupi wajah Si Gadis Penjual Bunga, lalu kemudian meraih tangan gadis itu dan megecupnya cepat.

“Sampai kita bertemu lagi.” ucapnya, kemudian pergi dengan buket bunga lili masih di tangan.

Ia selalu merenungkan di mana ia harus menaruh buket bunga ini sekarang, karena ia tidak pernah benar-benar punya seseorang untuk diberikan.

Tapi setidaknya, akhirnya, pemuda itu berhasil memberikan setangkai bunga mawar penghormatan kepada gadis tercantik yang pernah ia lihat seumur hidupnya.

 

:::

 

Naeun terjaga tanpa ada keinginan untuk memejamkan matanya semalaman. Ia terus menatap langit-langit kamarnya dari tempat tidur dengan pikiran yang masih terasa kusut. Akhirnya ia pun mengeluarkan liontin yang telah diberikan Myungsoo kepadanya. Benda berbentuk kupu-kupu dengan ukiran berwarna perak itu bercahaya meskipun hanya memantulkan sinar lampu kamarnya yang redup.

Sungguh Naeun ingin perhatiannya dialihkan lebih dari apapun. Ia menahan keinginannya untuk menelepon Myungsoo, dan juga Suzy, untuk berbicara dengan mereka saat ini. Padahal ia tahu bahwa saat ini dirinya hanya terlalu khawatir, dan tahu seharusnya ia tidak ikut campur lebih dalam dengan urusan mereka.

Naeun kemudian memutar liontinnya untuk melihat sisi belakang benda itu, dan alisnya langsung bertaut begitu ia menyadari sesuatu. Di sisi belakang liontin terukir sebuah kalimat dengan huruf sambung yang ditulis rapi dan kecil.

‘Semper Fidelis’ begitu ukirannya jika dibaca.

“Apa artinya?” gumam Naeun yang langsung bangkit dari tempat tidur. Ia menghampiri laptopnya yang masih terbuka dan langsung membuka website yang ia tahu dapat menolongnya saat ini, pembantu sejuta umat di dunia, Google Translate.

Begitu ia mengetikkan kalimatnya dan menemukan artinya dalam bahasa inggris, Naeun nyaris tertawa.

‘Always faithful.’

Myungsoo dan sisi dirinya yang melodramatis.

Kini Naeun mulai merasa khawatir. Oh ya dia telah melakukannya setiap kali dengan identitas, persona, dan nama yang berbeda. Ia selalu memikirkan ‘Myungsoo’ di kehidupan yang manapun. Dan kini apa yang bisa menahannya untuk tidak melakukan itu sekarang?

Sore ini Namjoo datang kembali kepadanya, memintanya untuk memberikan mereka berdua, Myungsoo dan dirinya, sebuah kesempatan. Naeun jelas merasa gusar dengan apa yang dikatakan oleh remaja tanggung itu, mengatakan kepadanya bahwa Namjoo benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ia katakan.

Dan gadis remaja itu pun membuatnya terkesiap dengan kata-kata yang ia keluarkan. “Kakakku ingat. Kakakku ingat telah bertanya kepadamu apakah ia bisa mencintaimu, dan tidak mempedulikan apapun yang kau lihat di masa lalu, dia rela membuang semua benang merah itu.”

Karena sejujurnya, Naeun juga bisa mengingat itu semua.

 

:::

 

Mereka benar-benar mabuk berat, merayakan diterimanya Sehun di sebuah Universitas ternama di Seoul. Hanya sedikit yang datang, Sehun, Myungsoo, Naeun, dan beberapa teman mereka yang lain seperti Yookyung, Bomi, dan Jongdae. Hayoung sama sekali tidak ikut karena masih belum cukup umur untuk alkoholnya.

Malam itu mereka terlalu muda untuk bahkan berpikir menolak apa yang disodorkan. Semuanya diteguk habis, dan tentunya tidak lama bagi mereka untuk benar-benar teler di bawah pengaruh alkohol. Pada akhirnya, Naeun pun susah payah menyeret Myungsoo untuk membawa pria itu ke flatnya sendiri. Naeun yang merasa kepalanya berputar karena alkohol yang ia telan pun akhirnya menyerah, tidak merasa ingin pulang untuk malam itu.

“Hei… Myungsoo…” gumam Naeun dengan nada setengah sadar. Ia mendudukkan dirinya di ambang pintu flat milik Myungsoo.

Pria yang tingkat kesadarannya tidak lebih baik dari Naeun tersebut hanya menyandarkan punggungnya ke tubuh Naeun yang terduduk meringkuk. “Ya….h?” jawab Myungsoo susah payah dengan mata hampir terkatup semuanya.

“Kurasa aku harus menginap… Aku… tidak mungkin berjalan lebih lama lagi…”

“Hmm…” Myungsoo belum-belum sudah mengangguk, “Baiklah, aku bisa… tidur di sofa…”

“Uh huh…”

Mereka berdua hanya diam sesaat, berusaha mengendalikan kepala mereka yang terasa berputar dan sepertinya jelas sedang tidak dalam akal sehatnya.

“Hei, Naeun-ah??”

Naeun mendengus sedikit, “Hmm?”

“Malam ini kau terlihat sangat sangat sangat--“

“Katakan saja, idiot.”

“--sangat sangat sangat sangat sangat”

“UGH SIALAN MYUNGSOO CEPAT KATAKAN” Naeun tidak bisa menahan untuk tidak terdengar keras, sungguh itu sebenarnya bukanlah karakternya. Salahkan kepada alkohol. Sial, kenapa Bomi dan Jongdae benar-benar bisa mencekokinya sampai begini?

“-sangat cantik.”

“Hmph, benar.” jawab Naeun tetap dengan gumamannya. Gadis itu sempat memukul Myungsoo dengan tasnya pelan, “Aku berani bersumpah kita bisa saja mati saat ini juga.”

“…Yeah, sebaiknya kita tidur sekarang…” Myungsoo menggumamkannya dengan lamat-lamat. Seperti berusaha untuk menjaga kesadarannya dengan hasil yang sia-sia.

Mereka saling menyokong satu sama lain selagi mencoba berdiri, dan siapa yang bilang soal sofa? Pada akhirnya keduanya tetap roboh di dalam kamar Myungsoo. Sang fotografer duluanlah yang pertama kali menjatuhkan dirinya di tempat tidur, nyaris tak berdaya. Sementara itu Naeun hanya terduduk di pinggir tempat tidur Myungsoo sambil memegangi kepalanya. Sakit kepala yang ia rasakan lama-lama bisa membunuhnya juga, ia bersumpah tidak akan pernah minum-minum lagi bersama Bomi dan Jongdae.

Tetapi tubuh Naeun kemudian ditarik hingga tubuhnya terhempas di tempat tidur. Naeun mengerang cukup keras, apakah sakit kepalanya tidak bisa lebih buruk lagi? “YAH!! MYUNGSOO! APA YANG KAU LAKUKAN??!”

Wajah mereka berhadapan, dan Naeun bisa melihat Myungsoo saat ini sedang tersenyum bodoh kepadanya. “Akuuuu mencintaaaaaimuuu” dan pria itu kemudian tertawa.

“Aku bukan Suzy, Myungsoo. SEKARANG LEPASKAN AKU.”

“Ttaaapi aku benar-benar mencintaimu dan kau tidak pernah mengijinkanku.”

Naeun terdiam. Mereka saling bertatapan, meskipun senyum bodoh di wajah Myungsoo tak sekalipun luntur. “Kau tidak sedang berpikir lurus.” gumam Naeun sambil menelengkan jari telunjuknya ke dahi Myungsoo.

“Kkau ttahu? Aku tidak pernah benar-benar bisa mencintai Suzy setulusnya karena aku tidak bisa melupakanmu. IIINI SSSEMUA SSSALAHMUUU.”

Myungsoo hanya mabuk, Naeun berusaha mengingatkan dirinya sendiri. “Myungsoo, lepaskan aku dan biarkan aku tidur. Aku tidak peduli kau mau tidur di mana pokoknya AKU BUTUH TIDUR SIALAN. DAN LEPASKAN AKU.”

“Tta--ppi--“

“Myungsoo, kita berdua sedang mabuk, dan benar-benar teler.”

“Apa Naeun juga mencintaikuuuuu??” Sungguh, Naeun ingin menghajar Myungsoo yang mabuk berat.

Naeun mengambil salah satu bantal yang ada di tempat tidur dan memukulkannya cukup keras ke wajah Myungsoo, “Yah! Idiot! Sudah cukup!!”

Myungsoo memeluk bantal yang dilemparkan kepadanya dan mengerang kesakitan. Dia juga membenci alkohol, jadi mungkin seharusnya Naeun bersikap lebih ringan kepadanya?

“Kkkau akan selamanya sendirian, tidak akan pernah menemukan ppppaaacaaarrrmu.” gumam Myungsoo lagi, membuat Naeun menaikkan kedua alisnya. “Karena Naeun adalah orang tidak berperasaan dan berhati baaaaajaaa.”

“TUTUP MULUTMU.” Gerang Naeun kesal. Menjitak kepala Myungsoo pelan meskipun ia ingin menempeleng wajah itu sekuat hati.

“Selamanya akan singleeeeee~”

“YAH!!” dan gadis itu pun menendang Myungsoo sampai pria itu terjatuh dari atas tempat tidur. Naeun sama sekali tidak berniat membantu Myungsoo yang kesusahan untuk mengangkat tubuhnya kembali ke atas tempat tidur.

Pada akhirnya Myungsoo menyenderkan dagunya di pinggir tempat tidur, menatap Naeun dengan setengah sadar. “Kenapa… kau tidak pernah mengijinkanku… untuk mencintaimu?”

Kedua mata Naeun terbelalak, “Apa??”

“Sialan, AKU BENAR-BENAR MABUK!!”

Naeun menyipitkan matanya, “Memang.”

“Dan kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?!” rengek Myungsoo lagi, “Lupakan saja semua mimpi bodohmu dan JADILAAAHHH MILIKKKUUUUU”

“Karena tidak seharusnya kau bersamaku.Di kehidupan ini kau harusnya bersama dengan Suzy--“

Myungsoo memotongnya dengan dengusan keras, berusaha menatap Naeun dengan dua bola mata yang seharusnya menatap marah tapi gagal karena ia terlalu mabuk untuk itu. “Apa sebutan untuk orang-orang sepertimu? OH YA. Dicekik dan terlilit oleh benang merah. Dicekik. Dicekik. Terlilit.”

“Uuugh, BIARKAN AKU TIDUR, MYUNGSOO.”

“Tidak berperasaan.”

“TERSERAAAH!” Naeun akhirnya berteriak, meraih salah satu bantal yang ada dan membenamkan wajahnya sendiri di sana.

“Aku berani bertaruh kau bahkan tidak tahu bagaimana mencium orang.”

Myungsoo adalah orang mabuk yang gila. Dan Naeun semakin lama merasa semakin membenci alkohol.

“Siapa bilang aku tidak tahu hah??!” Naeun menusuknya dengan tatapan menuduh.

Dan Naeun adalah pemabuk yang temperamental, dia tahu itu.

“Aku!” Myungsoo balas berteriak, “KARENA KAU TERUS TERUSAN MENGHANCURRRKAN HATIKUUU”

“SUDAHLAH DIAAAAM!”

“AKU BERANI BERTARUH KAU ADALAH PENCIUM YANG PAYYYAHH--“

“AKU BISA MEMBUNUHMU KALAU KAU TIDAK SEGERA DIAM--“

“KARENA KAU BELUM PERNAH PUNYA PACAR KAN?? SSSAAMAAA SEKALIII TIDAK PERNAH!”

“Myungsoo, kalau kau TIDAK MEMBUAT DIRIMU PINGSAN SEBENTAR LAGI MAKA AKU YANG AKAN MELAKUKANNYA--“

Entah bagaimana, pada akhirnya Myungsoo maju menciumnya.

Dan Naeun memukul kepala Myungsoo, dengan keras.

“APA YANG KAU LAKUKAN??”

“Sudah kuduga, kau mencium dengan payah--“

Entah bagaimana pula, kali ini giliran Naeun yang menarik Myungsoo dan mencium pria itu.

Dan mereka merebahkan diri mereka berdua di tempat tidur, tanpa sama sekali melepaskan ciumannya.

Semuanya terasa kekanak-kanakan, keduanya sama-sama mabuk, berada di luar akal sehatnya. Mereka hanyalah dua orang muda yang ceroboh.

Malam itu yang lainnya terasa tidak begitu penting, tidak kepada pintu yang sama sekali tidak dikunci, bau alkohol yang menguar, atau bahkan tas-tas yang teronggok begitu saja di ambang pintu.

Pagi akhirnya datang, dan Naeun terbangun dengan kepala yang terasa ditusuk dengan pasak.

Rasanya butuh usaha yang sangat keras baginya untuk membuka kedua kelopak matanya dengan seluruh denyutan menyiksa di kepala. Ia menengok ke samping hanya untuk menemukan Myungsoo yang juga sedang mengernyitkan mata, berusaha membiasakan dirinya dengan cahaya pagi.

“Kenapa aku bisa ada di sini?” gerutu Naeun seraya memijat-mijat pelipisnya, berharap itu bisa mengurangi sakit kepalanya sedikit.

Myungsoo mengerang, “Aku tidak ingat apa-apa dan sakit kepala ini INGIN MEMBUNUHKU ATAU APA.”

Saat Naeun berusaha bangkit terduduklah ketika mereka menyadari sesuatu. Naeun terpaku begitu mengetahui kancing kemeja yang ia kenakan sudah terbuka setengah, dan kaos yang dipakai Myungsoo semalam teronggok begitu saja di lantai. Ia hanya sedikit lega begitu mengetahui ia masih mengenakan celana jeans yang ia pakai kemarin malam.

Naeun hanya seperti mematung di tempatnya. Dan keadaan Myungsoo tidak lebih baik dari itu.

Baiklah, mereka mungkin memang tidak melakukan sampai ‘itu’, tapi tetap saja keadaan kemeja Naeun yang kancingnya bahkan terbuka (dan terlepas) hingga mengekspos tubuhnya membuat keadaannya tidak sepenuhnya baik. Dan jangan lupakan kaos Myungsoo yang secara ‘ajaib’ bisa teronggok di lantai meskipun pria itu yakin ia masih memakainya semalam.

Mereka berdua tidak tahu harus berbuat apa. Bersyukur karena mereka tidak benar-benar sepenuhnya lepas kendali atau… justru menyesali karena sepertinya mereka telah melewati zona aman pertemanan mereka.

“Anggap saja tidak ada yang terjadi” keduanya cepat-cepat menyahut bersamaan.

Tapi bahkan belum sempat mereka mengeluarkan kata-kata lagi, sebuah suara terdengar mendekat dari luar kamar Myungsoo. “Myungsoo Oppa? Pintu depan tidak dikunci, jadi aku masuk saja ya? Aku membawakan titipan sarapan dari Ibu.”

Lalu hening. Naeun dan Myungsoo begitu mematung sampai mereka tidak berani menggerakkan pita suara mereka. Dan kemudian terdengar seruan lagi dari adik Myungsoo itu, “Oppa…? Kenapa ada tas milik Naeun unnie di sini…?”

Keduanya mengumpat dengan nafas tertahan.

“Sialan.”

 

:::

 

Kejadian itu telah berlalu. Dan keduanya sepakat bahwa itu hanyalah sebuah kecelakaan, tidak sengaja. Alasannya? Mereka berdua mabuk dan sama sekali tidak bisa berpikir panjang. Baik Naeun maupun Myungsoo memutuskan bahwa mereka ingin melupakan itu semua, melanjutkan kehidupan mereka seolah itu tidak pernah benar-benar terjadi. Jika ada yang menanyakan pun mereka siap untuk menjelaskannya dengan baik-baik, mereka akan bilang itu semua salah alkohol. Siapapun bisa saja hilang kendali jika berada di bawah pengaruh alkohol.

Bagaimanapun, keduanya lebih-lebih bersyukur karena mereka tidak sampai kelewat batas.

Jadi tentunya mereka tetap berteman baik.

Tidak ada lagi yang mau membicarakannya. Namjoo, meskipun telah menemukan mereka dalam keadaan seperti itu di pagi hari, tetap menjaga rahasianya. Gadis remaja itu mendengarkan baik-baik semua penjelasan yang diberikan baik oleh Myungsoo maupun Naeun, dan berjanji akan menutup mulutnya rapat-rapat setelah itu.

Malam ini Naeun memutuskan untuk tidak akan memikirkan masalah Myungsoo dan Suzy. Ia akan membiarkan keduanya menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Toh dia juga tidak ada hubungannya dengan masalah ini, bukan dia yang menyebabkan masalahnya muncul.

Kadang-kadang kau memang harus merelakannya --terutama ketika itu tidak pernah menjadi milikmu sejak dari awal. Mengawasinya pun sudah cukup, Naeun tahu itu karena ia telah melihat ‘dirinya’ sendiri melakukan itu berulang kali di dalam mimpi.

Meskipun jika ia terus melakukan hal itu, dia harus mengiyakan apa yang dikatakan oleh Myungsoo. Bahwa ia selama ini memang telah terlilit oleh benang merah, benang yang ia yakini menuliskan takdir mereka. Seolah-olah benang merah itulah yang membuatnya tidak berani maju dan mengubah apapun.

Naeun tidak pernah merasa keberatan. Ia cukup bahagia dengan lilitan benangnya. Baginya itu bukanlah suatu hal yang buruk, meski mau berapa kalipun Myungsoo menganggapnya bodoh.

Malam ini Naeun akan mencoba untuk memimpikan masa depan lagi, ia berharap… mungkin dia bisa melihat mereka bahagia kali ini.

 

:::

 

“Itu tadi pertunjukan yang bagus.” Pria itu memujinya setelah Sang Penari turun dari panggung.

“Terima kasih.” adalah balasan pendek dari gadis yang mengambil duduk di sebelah pria tadi. Menyeka setiap keringat setelah menyelesaikan tariannya malam ini.

Sang Penari kenal baik dengan pria muda di sebelahnya. DIa selalu ada, selalu datang untuk melihatnya menari setiap malam. Tidak sulit bagi mereka berdua untuk berteman gara-gara itu.

Tetapi malam itu Sang Penari menarik nafasnya dalam-dalam sebelum mengeluarkannya dengan berat, ia berbisik pelan “Aku akan segera pergi meninggalkan kota ini.”

Pria itu hanya bisa menatapnya.

“Tempat ini sama sekali tidak buruk, tapi aku juga ingin menari untuk orang lain di luar sana.”

Dan sang penari muda pun berpikir di dalam hatinya, ‘Karena semalam aku melihat bahwa akhirnya seseorang akan datang untukmu. Aku ingin kalian bahagia. Dan jika kau terus datang kepadaku setiap hari dan setiap malamnya, kamu tidak akan bisa menyadari keberadaan orang itu.’

Pemuda berambut gelap itu termenung dan mengerutkan wajahnya, “Lalu apa yang harus kulakukan setelah itu? Aku harus pergi menonton siapa? Kau adalah penari terbaik yang dimiliki kota ini.”

“Tidak usah khawatir, sebentar lagi akan ada penari lain yang datang, dan kau akan lebih terpana lagi karenanya.”

“Apa itu semua gara-gara kemampuan ‘meramal’mu kumat lagi?”

“Ya, dan tolong jangan berwajah susah seperti itu, Tuan.” Sang Penari kali ini memanggilnya dengan sebutan formal. “Mungkin aku akan kembali dan menari satu dua kali untuk kota ini suatu nanti. Tapi untuk saat ini aku ingin pergi berkeliling, itu adalah impianku sejak lama.”

Ia tidak punya pilihan. Jika itu memang adalah impian Sang Gadis Penari, Sang Pemuda akan melakukan apapun untuk membuat itu menjadi nyata.

Meskipun, bagi Sang Pemuda, itu berarti sama dengan membuang impiannya sendiri.

Impiannya adalah untuk tetap terus bersama dengan gadis yang saat ini duduk di sebelahnya, dan hal itu tetaplah menjadi sebuah impian. Sebuah angan-angan.

 

:::

 

Naeun mulai heran kenapa ia tidak pernah memimpikan hal-hal yang akan datang lagi beberapa hari ini. Semuanya hanyalah mimpi tentang masa lalunya, bersama Myungsoo, dan mimpinya kali ini bahkan lebih menggambarkan detail yang jelas. Hal itu sempat membuatnya ngeri sedikit, melihat semua kehidupan lampaunya dengan sangat terperinci.

Pagi kali ini, Naeun menghabiskan waktunya di tempat tidurnya sendiri, dengan telepon yang terpasang di telinga. Ia sedang berbicara dengan Suzy, setelah gadis yang pernah menjadi kekasih teman baiknya itu tiba-tiba menghubunginya lagi beberapa menit yang lalu. Naeun membiarkan gadis itu mengeluarkan semuanya, menceritakan kepadanya apa yang sebenarnya telah benar-benar terjadi. Kali ini Suzy sudah jauh lebih tenang, bahkan nyaris terdengar bahagia.

Dan ketika sudah sampai penghujung pembicaraan, suara lembut Suzy pun mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Naeun.

“Aku tahu… Kau pasti akan mengerti.”

“Sungguh, itu bukan apa-apa.” dalih Naeun, ia benar-benar takjub, tidak satupun dari kekasih Myungsoo dulu pernah sedekat ini dengannya.

“Tolong jaga dia ya?” ujar Suzy untuk terakhir kalinya, dan sebelum ia menutup teleponnya dia pun berkata “Kau adalah orang yang selama ini dia tunggu, tolong dengarkan dia untuk sekali ini saja.”

Naeun tidak mengerti apa yang sebenarnya dimaksud oleh Suzy.

Ia selalu mengira selama ini dirinyalah yang selalu mendengarkan. Selalu mengawasinya.

Dan apakah dia akan terus melakukannya? Naeun tidak sepenuhnya tahu.

Di tempat kerja, lagi-lagi Myungsoo sudah datang lebih pagi mendahuluinya. Kali ini dia menyapa dengan suara yang terdengar antusias, “Telat gara-gara berbicara dengan Suzy pagi ini?”

Naeun menggelengkan kepalanya, “Aku ketiduran.”

Myungsoo menghela nafas ringan, “Kapan aku bisa mendapatkan jawaban benar untuk semua tebakanku?”

Setelah meletakkan tasnya, Naeun menghadap ke arah temannya itu “Hampir setengahnya benar. Aku ketiduran, kemudian Suzy meneleponku.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Lebih baik dari yang bisa kau bayangkan.”

Myungsoo mengangguk-angguk pelan, “Kami berdua pergi bersama semalam.” -- tentunya, Suzy sudah menceritakan soal itu kepada Naeun. Jadi Naeun hanya menatapnya gamang untuk sementara, sebelum ia berjalan ke arah rak yang berisi kanvas, menatanya untuk siap dijual.

Ketika Naeun sama sekali tidak menjawab, Myungsoo memanggil nama temannya itu dengan ragu. “Naeun…?”

“Apa kau cerita tentang mimpi-mimpiku pada Suzy?”

Sang fotografer muda hanya menggelengkan kepalanya, “Tidak pernah. Satu-satunya yang tahu selain kita berdua hanya Namjoo, kan?” Dia benar-benar jujur, tak sekalipun Myungsoo menceritakan tentang mimpi-mimpi Naeun kepada orang lain selain adiknya sendiri.

“Lalu apa yang Suzy maksud dengan… Tentang aku yang selalu kau tunggu selama ini?”

Myungsoo sudah membuka mulutnya, tapi ia tidak bisa mengeluarkan satu suara pun. Ia menghela nafas pelan, lalu melanjutkan kembali. “Sepertinya kelihatan dengan jelas ya?”

Naeun pun memutar tubuhnya dengan cepat, menghadap ke arah Myungsoo lagi. “Apa maksud dari itu semua??” untuk satu waktu yang langka di kehidupan yang ini, ia mulai tidak bisa mengerti Myungsoo.

“Kau hanya percaya dengan apa yang kau lihat, dengan yang ada di dalam mimpi.” sahut Myungsoo dengan segala nada pahit yang bisa ia keluarkan.

Dan Naeun selalu mendengarkan, selalu mengawasi. Seperti apa yang ia selalu lakukan selama ini.

“Dan kamu selalu yang memutuskan siapa yang terbaik untukku.”

“Karena aku melihatnya--“

“Bagaimana kalau aku telah menemukannya lama sebelum kau memutuskan?!”

Naeun menatapnya lama, “Apa yang kau coba katakan, Myungsoo? Apa kau mau bilang aku selama ini telah membawamu ke orang-orang yang salah?”

“Ya.”

“Aku hanya membawamu ke orang-orang yang akan membuatmu bahagia. Itu semua yang aku inginkan--”

“Lalu bagaimana dengan keinginanku?”

Myungsoo menatapnya lurus-lurus. Dan Naeun memandangnya balik ke dalam kedua matanya. Mata itu terlihat tercabik-cabik, dan ini adalah untuk pertama kalinya setelah masalah Suzy selesai, Naeun melihatnya sesedih ini.

Dan Naeun sama sekali tidak menyukainya. Ia telah berusaha sekeras yang ia bisa di setiap kehidupan untuk membuatnya bersinar dengan bahagia dan--

“Bukannya kau membawaku ke orang-orang yang salah. Kau hanya membawaku menjauh darimu.”

Kali ini tatapan Myungsoo melembut. Myungsoo memang selalu membiarkannya memberitahu apa yang benar. Dia tidak pernah tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh Naeun. Dan Naeun memang selalu benar.

Tetapi, di dunia ini terlalu banyak hal yang bisa disebut dengan benar. Dan beberapa di antaranya, meskipun bisa membuatmu bahagia, hanyalah sebuah pilihan kedua terbaik.

“Bagaimana seandainya kalau kau mulai mengabaikan semua benang merah takdir itu, lupakan semua kehidupan masa lalumu, singkirkan semua mimpi-mimpi yang kau lihat, dan mulailah percaya dengan apa yang kau lihat di depan?”

Naeun tidak tahu bagaimana merespon itu, maka ia melakukan apa yang paling bisa ia lakukan saat ini, terdiam. Pikirannya terlalu campur aduk dengan segala usaha untuk mengerti apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Myungsoo. Pria itu mencoba memberitahunya untuk melepaskan semua. Melupakan semua yang ia perjuangkan di setiap kehidupannya selama ini.

Myungsoo menolehkan wajahnya sedikit dengan sebuah senyuman pahit, “Kau selalu ada kan? Menuntunku di setiap kehidupan kita yang ada. Bagaimana kalau untuk sekali ini saja Naeun, untuk sekali ini saja di kehidupan yang ini, biarkan aku yang menuntun kita berdua.”

Gadis itu hanya meneguk ludah ke tenggorokan yang mulai terasa kering, “Apa yang sebenarnya kau coba katakan, Myungsoo?”

“Berikan aku kesempatan.” lugas Sang Fotografer, menatap lurus-lurus dengan dua bola mata yang berwarna segelap biji kopi. Mata itu berbicara dengan jelas, dia tidak akan menerima kata ‘tidak’. “Sudah saatnya kau berhenti untuk membawaku menjauh darimu.”

Karena bagi Myungsoo, apapun selain gadis yang ada di hadapannya sekarang ini hanyalah kedua yang terbaik.

 

:::

 

 

Hari-hari tetap berlanjut seperti biasanya. Kehidupan di toko membuat mereka sangat sibuk beberapa hari terakhir ini. Myungsoo mulai sibuk dengan klien yang terus berdatangan serta proyek baru untuk sebuah tawaran pameran yang datang kepadanya. Sementara itu Naeun mulai kedatangan beberapa kolektor yang tertarik dengan karyanya.

Yang jelas, Naeun bersikap seolah-olah pembicaraan di antara mereka berdua tidak pernah benar-benar terjadi. Dia hanya belum siap untuk menjawab secara pasti apa yang Myungsoo minta. Maka ‘akan kupukirkan kembali’ adalah apa yang keluar dari tenggorokan Naeun pada saat itu. Meskipun sesungguhnya ia ingin mengatakan ‘ya’ kepada semuanya. Karena ia ingin mencoba mengubah benang merah yang selama ini ia pikir ada.

Naeun hanya takut.

Ia terbiasa dengan mengetahui semua hal yang akan terjadi, dan mengetahui bahwa ada hal-hal yang akan terjadi yang tidak ia ketahui kini justru membuatnya takut. Kemampuannya memiliki batas: dia tidak bisa melihat masa depannya sendiri. Dan jika melibatkan ‘dirinya’, maka Naeun tidak akan tahu bagaimana mereka, Naeun dan Myungsoo, akan berakhir. Hal itu membuatnya ketakutkan.

Maka ia pun berpura-pura. Dan Myungsoo mengikuti permainannya.

Lagipula, mereka berdua memang pandai berpura-pura. Seperti apa yang telah merela lakukan selama ini, bukan?

 

:::

 

Namjoo datang ke toko untuk menemani Naeun sore itu. Myungsoo harus pergi ke pusat kota untuk menemui kurator dan penyelenggara pameran yang akan ia sumbangkan karyanya beberapa minggu lagi. Jadi di sinilah adiknya untuk menggantikan fotografer muda itu untuk menjaga toko.

Naeun tahu Namjoo telah mengetahui tentang segala pembicaraan yang terjadi antara dirinya dengan kakak gadis itu beberapa waktu lalu. Tapi rupanya remaja itu tidak terlalu menekannya untuk membahas tentang topik itu hari ini. Meskipun pada akhirnya ia menanyakan kepada Naeun tentang keputusannya.

“Apa unnie akan menolak usulan kakakku?”

Naeun mengedikkan bahunya enteng, “Aku masih pikir-pikir.”

“Apanya yang masih perlu dipikirkan?” tanya Namjoo polos.

Dirinya hanya menjawab pertanyaan Namjoo dengan sungguh-sungguh, ia yakin Namjoo bisa mengerti. “Aku masih memikirkan tentang kemungkinan melepaskan segala hal yang selama ini terus aku perjuangkan dan pertahankan di setiap kehidupanku, Namjoo. Hanya untuk hidup dengan tanpa pikiran apapun seperti itu.”

“Hidup tanpa memikirkan apa-apa juga menyenangkan, kok.” sahut Namjoo enteng. Gadis muda itu menatap lembut kepada sang pelukis, “Tentang mimpimu yang terakhir, yang unnie ceritakan kepadaku waktu itu…”

“Ada apa soal itu?”

“Bagaimana seandainya sang pemuda patah hati ketika sang penari itu meninggalkannya? Bagaimana seandainya kalo dia sebenarnya ingin sang penari untuk terus tinggal bersamanya dan tidak pergi berkeliling dengan caravan?”

“Aku tidak punya kemungkinan untuk tahu tentang hal itu. Lagipula itu sudah lama berakhir. Sang pemuda akhirnya menikah dengan penari lain dan bahagia, memiliki beberapa anak--“

“Lalu cerita yang lain lagi--“ Namjoo memotong rentetan kalimat Naeun dengan tajam.

Naeun mendongakkan kepalanya ke arah gadis bungsu Keluarga Kim itu. “Yang mana lagi kali ini?”

“Bagaimana kalau… pemuda bangsawan itu justru jatuh cinta kepada gadis penjual bunga? Dia memberikannya bunga mawar-“

“Itu karena sang bangsawan hanya ingin berterima kasih kepadanya.”

“-Bagaimana kalau memang benar bangsawan itu mencintai sang gadis penjual bunga dan hanya gadis itu yang yakin bahwa ada gadis lain yang dicintai si Bangsawan? Bahwa kalau dia yakin mereka tidak ditakdirkan bersama hanya karena status sosial mereka yang berbeda?”

“Kau terlalu berandai-andai dengan ‘bagaimana’, Namjoo.” sambar Naeun keras.

“Semua orang berandai-andai dengan segala kemungkinan yang keluar dari ‘bagaimana’.” jawab Namjoo tanpa sekalipun takut. “Kakak bilang, hanya saja ada beberapa orang yang takut melewati batas dari kemungkinan itu.”

Naeun jatuh terdiam, lalu menunduk kembali ke buku inventaris yang sedang ia kerjakan. “Kau terlalu banyak mendengarkan dari kedua sisi.”

Namjoo juga tidak membalas apa-apa untuk beberapa lama, hanya mengamati apa yang dilakukan oleh perempuan yang lebih tua di sebelahnya itu sebelum tatapannya tertumbuk ke liontin yang dikenakan Naeun. “Liontinmu bagus, aku tidak pernah melihat unnie memakainya sebelum ini.”

“Ah, ini dari kakakmu.” Naeun mengangkat liontin kupu-kupu itu dengan kedua jarinya.

Mata Namjoo yang tajam menangkap ada sesuatu dari liontin indah berwarna keperakan itu. “Hei, ada sesuatu ukiran di belakangnya? Apa katanya?”

Naeun tersenyum kecil, “Semper fidelis.”

“Yang artinya?”

“Ini dari Bahasa Latin. Yang berarti ‘always faithful’ dalam Bahasa Inggris. Kurasa dalam bahasa kita itu berarti ‘selalu percaya’.”

Namjoo kemudian menunjukkan cengirannya yang semakin lebar, “Jadi, unnie selalu percaya kepadanya?”

Perempuan yang ada di sampingnya itu mengangkat kedua bahunya, “Mungkin.”

“Bagaimana kalau kakakku juga selalu mempercayaimu?”

Naeun cuma bisa menatap Namjoo dengan tatapannya.

“Dia juga selalu ada kan? Di setiap kehidupanmu, dia selalu ada.”

 

:::

 

Semper fidelis. Always faithful.

Kata-kata Namjoo susah untuk keluar dari pikiran Naeun kali ini. Dia memang selalu ada bersamanya. Dan apa yang selama ini mereka berdua lakukan di setiap kehidupan? Sebuah kesalahan? Sebuah keputusan yang benar? Atau justru keduanya?

Bukan hanya karena selama ini selalu dirinyalah yang memiliki kemampuan untuk tahu yang seharusnya benar. Tapi ‘dia’ selalu mempercayainya, maka dirinya terus melakukan apa yang ia percayai benar. Membawanya ke orang-orang yang ia percayai akan membuat ‘dia’ bahagia.

“Tapi dia selalu bahagia bersamamu.” Naeun ingat apa yang pernah dikatakan Namjoo kepadanya.

Dan selama ini ia selalu mengira, ‘dia’ bisa lebih bahagia dari itu.

Tetapi, apakah salah kalau ia mulai berpikir bahwa ‘dia’ paling bahagia ketika sedang bersamanya?

‘Ya, itu harusnya salah.’ Pikirannya mulai berbisik.

‘Tapi mungkin saja itu benar.’ jawabnya kepada dirinya sendiri.

Cukup benar untuk mempercayai apa yang selama ini ia takutkan?

Akan selalu ada kehidupan-kehidupan yang lain. Akan selalu ada kesempatan untuk mengubahnya. Jika mereka tidak bisa mengubahnya sekarang, maka mereka akan dipertemukan lagi di kehidupan selanjutnya untuk mencobanya lagi.

Lagipula, siapa yang selalu ada di sana?

Hanya ‘dia’ dan dirinya sendiri.

Dirinya adalah seorang pemimpi, dan ‘dia’ selalu mendengarkan, selalu percaya.

Myungsoo selalu mempercayainya.

Mungkin takdir ini seharusnya cukup untuk membuat Naeun percaya, bahwa di setiap kehidupan yang pernah ia lalui, ia selalu mencintai Myungsoo dan akan terus melakukannya di kehidupan yang berikut.

 

:::

 

Hari itu masih cukup pagi bagi orang-orang untuk beraktivitas di hari minggu, tetapi Naeun sudah mendengar bel pintu apartemennya dibunyikan. Gadis itu bergegas membuka pintu dan menemukan teman baik di setiap kehidupannya sedang berdiri di depan. Dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jeansnya, dan mantel hitamnya yang biasa membungkus tubuh pria itu untuk menghangatkannya dari udara pagi musim gugur yang dingin.

Naeun terkesiap untuk sesaat, “Myungsoo?”

“Hei.” Myungsoo membalas pelan sambil tersenyum kecil. “Aku ingin memperlihatkanmu sesuatu, kau tidak keberatan ikut denganku sebentar?”

Maka gadis itu membalasnya dengan sebuah anggukan pelan. Naeun mengambil mantelnya sendiri dan mengikuti ke manapun Myungsoo akan membawanya. Hanya untuk melangkah ke gedung toko mereka sendiri. Myungsoo langsung menuju ke dalam studionya tempat selama ini ia bekerja, dan Naeun diam-diam tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk merasa kecewa sedikit. Jika ini hanyalah soal pekerjaan maka…

“Kau tahu kan, aku ditawari untuk ikut pameran fotografi beberapa minggu lagi?” tanya Myungsoo pelan.

Naeun mengangguk kembali, hanya menatap ke arah ujung-ujung sepatunya. “Ya. Bersama dengan beberapa fotografer muda lainnya kan?”

“Mereka mengijinkan kami untuk berkreasi dengan display karya yang akan kami gunakan. Maka aku memutuskan untuk melakukan ini…” tangan Myungsoo terulur untuk membuka pintu yang Naeun yakini sebagai ruang kerjanya di dalam studio.

Naeun tidak tahu seberapa lebar matanya saat ini ketika ia melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

Seperti hujan merah yang berada di dalam satu ruangan.

Bukan hanya hujan merah, tapi juga berlembar-lembar foto Polaroid yang ditempelkan ke setiap benang merah yang digantungkan di langit-langit ruangan ini.

Ah, benang merah.

Naeun merasa suaranya benar-benar hilang. Laringnya terasa menyempit hingga membuatnya seakan sulit bernafas kali ini. Terutama begitu ia mulai mendekat dan melihat dengan matanya sendiri setiap lembar Polaroid yang ditempelkan ke benang-benang merah yang menggantung dari langit-langit hingga jatuh ke lantai.

Ada banyak sekali lembar foto Polaroid yang ada, mungkin puluhan bahkan mencapai ratusan. Dan kesemuanya adalah foto Polaroid dirinya yang pernah Myungsoo tangkap. Semuanya, tanpa terkecuali. Di setiap lembar foto Polaroid ini selalu ada Naeun di dalamnya. Dengan berbagai pose dan berbagai angle, bahkan yang Naeun tidak tahu kapan Myungsoo pernah mengambilnya.

Naeun ingat, salah satu barang yang hampir tidak lepas dari tangan Myungsoo adalah kamera Polaroid pemuda itu. Dan jelas temannya itu tidak pernah tanggung-tanggung dalam menekan tombolnya, bahkan ketika Naeun belum siap untuk difoto. Hal itu selalu dilakukannya bahkan sejak pertama kali Naeun bertemu dengannya di universitas yang berarti sekitar enam tahun lalu.

Naeun hanya tidak tahu bahwa Myungsoo selalu menyimpan semua foto polaroidnya selama ini.

Sebulir air mata mulai meninggalkan jejaknya di pipi Naeun.

“Aku memutuskan untuk mengeluarkan semuanya dari kotak penyimpanan rahasiaku.” dari belakang Naeun, terdengar suara Myungsoo yang terdengar ringan bergema di dalam ruangan. “Dan ide ‘hujan’ benang merah ini muncul begitu aku menyadari sesuatu.”

Naeun menoleh ke arah pria muda itu, dan kedua tatapan mereka bertumbuk. Myungsoo tersenyum kecil dengan sedih begitu menyadari pipi Naeun yang sudah basah. “’Benang merah’ adalah yang selalu mengaitkan kita, mempertemukan kita di setiap kehidupan kan? Tidak seharusnya aku memintamu untuk memutuskan benang merahnya. Maafkan aku.”

“Myungsoo…” bisik Naeun pelan setelah ia berhasil mengendalikan air matanya.

“…Ada yang salah?”

“Aku sudah selesai berpikir.” ucap Naeun dengna nada yang lebih tenang. “Kau boleh menanyakannya lagi padaku.”

Myungsoo terpaku untuk beberapa saat, memandang ke dalam mata Naeun yang berbentuk seperti kacang hazel itu. Dia sudah siap untuk segala jawaban yang akan keluar dari gadis ini. “Boleh aku mengubah sedikit pertanyaannya?”

“Tentu.”

Dan dia menanyakan pertanyaan yang selama ini mati-matian ia simpan.

“Berapa banyak kehidupan lagi yang akan kau gunakan untuk mengabaikan semua kemungkinan ‘bahagia selama-lamanya’ di antara kita?”

Myungsoo tidak akan takut dengan jawaban yang keluar. Dia percaya, karena ia tahu akan ada kesempatan lagi, suatu saat nanti di kehidupan yang lain.

Dia akan jatuh cinta berulang kali lagi dan lagi kepada gadis ini di setiap kehidupan yang berbeda, hanya untuk didorong menjauh darinya. Tapi kali dia akan mengulang semuanya. Dia akan mulai berani untuk melawan apa yang gadis ini coba katakan dan berpegang teguh pada perasaannya sendiri.

Dan saat Naeun menarik nafasnya, serta membuka mulut untuk memberikan jawaban. Dia sudah siap.

“Aku tidak akan jatuh kepada tragedi lagi setelah ini.” jawab Naeun. “Aku ingin mencoba. Tidak akan adil untukmu jika aku tidak melakukannya. Karena aku tahu kau telah mencoba melakukannya sejak dari awal.”

Myungsoo membiarkan kedua sudut bibirnya tertarik dan membentuk sebuah senyuman tulus. Perlahan namun pasti, ia menghampiri tempat Naeun berdiri. Pria itu meraih tangan kiri Naeun dengan tangan kanannya. Jari-jari mereka bertaut, dan Myungsoo mengangkat telapak tangan mereka berdua.

Tangan kiri Myungsoo kini mengeluarkan kamera Polaroid yang ia selalu bawa.

“Aku masih butuh satu foto lagi untuk melengkapi semuanya.”

Sebuah Polaroid dengan gambar jari-jari mereka yang bertaut kini ikut menghiasi di antara foto-foto polaroidnya yang lain.

“ ‘Jangan pernah biarkan satu momen sedetik pun lewat di depan matamu’, ya kan?”

 

:::

 

Tidak ada satupun orang yang tidak siap untuk menerima kebahagiaan.

Gadis itu selalu menjadi seorang pemimpi.

Dan dia selalu ada bersamanya.

Cukup untuk membuat mereka berani menentukan akhir bahagia mereka sendiri.

 

:::

 

Di kehidupan yang ini, keadaan sang gadis sudah berubah.

Ia tidak lagi melihat semua melalui mimpinya. Kemampuannya masih ada, dengan segala kehebatan yang bisa menuntunnya atau justru mencelakakannya.

Tetapi ‘dia’ selalu ada di sana untuknya kan? Begitu pula dengan kehidupan ini.

Pemuda itu selalu ada. Entah dengan nasib yang berbeda yang menentukan jalan cerita mereka berdua.

Apa yang tidak diketahui oleh gadis itu, bahwa dia tidak bisa melihat masa depan pemuda itu lagi karena ‘dirinya’ berada di dalam masa depan pemuda itu sendiri.

Gadis itu berdiri dengan sedikit bersandar di pohon, menatap kepada pemuda berjaket kulit dengan guitar case tersampir di bahunya.

“Namaku Son Naeun, dan aku yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya.”

Memang, jika kau hanya menghitung di kehidupan yang ini.

Dan sang pemuda menjawab “Benarkah? Tapi entah kenapa rasanya wajahmu sangat familiar… di dalam ingatanku…”

Seandainya dia tahu. Dia hanya tidak mengerti kenapa.

Dia tidak mengerti kenapa dia begitu mempercayai gadis ini.

Dan di beberapa waktu yang berikutnya, ketika mereka dipertemukan kembali, mereka berdua hampir yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka.

“…setiap kali melihatmu aku selalu berpikir kau terlalu familiar untuk diabaikan. Aku yakin aku pernah bertemu denganmu, aku hanya tidak ingat kapan.”

Pemuda itu semakin mengeratkan genggamannya, “Aneh. Karena aku merasakan hal yang sama persis denganmu.”

“Aku ingat.” bisik gadis itu. “Aku melihatmu, di mimpi. Beberapa kali.”

Di kehidupan yang ini, sang gadis adalah putri bungsu dari lelaki yang memiliki nama besar di permukaan dan dunia bawah tanah Kota Seoul. Sang Pandora yang sangat berharga dan dipuja. Namun juga Pandora yang membuka kotak segala keburukan yang akan mencelakakannya.

Dan lelaki itu ada untuk melindunginya. Menyeimbangi keberadaan Sang Pandora sekaligus melengkapinya. Keberadaannya terus ada, karena ia terus percaya.

Ia terus percaya bahwa kali ini di kehidupan yang ini, dirinyalah yang akan menuntun gadis itu dan melindunginya.

 

 

 


p.s.: yap bagian yang terakhir itu adalah Son Naeun dan Kim Myungsoo dari cerita saya yang lain, The Merciless Truths. Mungkin kalau yang belum pernah baca agak membingungkan. Tapi basically, cerita saya yang ini ada untuk menjelaskan hubungan mereka berdua di TMT. And yeap, keduanya berhubungan. 'Kehidupan-kehidupan' yang lain kalau memakai bahasanya yang di sini. Thanks for keeping up with this tory! Comments? Thoughts? Do upvote and leave a comment if you think this deserves it :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Ydvvfjkch #1
Chapter 2: Beautiful story ❤️❤️❤️
L?son naeun ❤️❤️❤️
bubibuyu #2
Aku tuh dulu paling anti baca ff bahasa,tp cerita kamu dan gaya penulisan kamu tuh keren. Lagi dong thor myungeun nya
shadowshly #3
Chapter 2: Astaga. Udah berapa lama semenjak ini dipublish dan aku baru baca. Ini keren banget! I can relate because people always depends on dreams, but not every dreams will comes true tho. I will recommend this to other, for sure.
batubara #4
Chapter 2: Aa suka sekaliii
Rain_Yeon
#5
Chapter 2: oh my... baru nemu. love love <3
harakimmy #6
Chapter 2: YaTuhan gua kemana aja selama ini baru nemu fanfic myungeun sekeren ini >< gua tau gaada yg sempurna di dunia ini tapi... this fanfic rly makes me more fall in love with myungeun. Keep it up this great work. Suka bgt sama gaya penulisan kamu <3
candypark #7
Hi, author-nim. I'm fallin' in love with this story a lot xD
Jadi, aku udah masukin ff ini ke daftar must-to-read di Blog aku! :D Your Fiction is such a wonderful~~
ENTertainment_
#8
Chapter 2: No other words... I'm speechless.
This is too BEAUTIFUL to describe with mere words~~

Siapa juga yang butuh OTP list?
Screw my OTPs dammit
MyungEun FTW!! >w<
gotonyeo
#9
Chapter 2: this is so well written <3
jadi basically myungeun terus dikasih kesempatan lagi di 'kehidupan' lain sampai akhirnya mereka ended up together.

since you brought it up, can you please continue the TMT, im really curious about how myungsu's and naeun's relationship will turn out :")
kudos for you and you inspiration<3333
kantiws #10
Chapter 2: Astaga, saya bener bener jatuh cinta dengan myunguen dan ff ini membuat saya bena benar aaah sumpaah ini keren sekaliii duuuh kreatif banget authoor.. endingnyaaa kece bangettttt kata jata authoor kereen lagiii duuuhh ditunggu cerita lainnyaaaa thoor ;;>