Blood Love

Blood Love

 

Warna gelap tanpa bintang menjadi warna latar langit hari ini, warna kelam sesuai dengan perasaan seseorang yang tercabik menjadi beberapa bagian. Dengan langkah tak terarah, gadis berambut panjang yang hanya mengenakan cardigans tipis berwarna merah, menghapus kasar airmata yang mulai membasahi pipinya.Tanpa ia sadari, ia telah berlari kearah kawasan terlarang yang jarang terjamah manusia. Langkah kakinya terhenti saat sesak menghimpit paru-parunya karena berlari tanpa henti hampir setengah jam.

Ia menaruh tangannya diatas lutut, mencoba mengatur nafas. Beberapa detik kemudian, pupil matanya melebar saat melihat hamparan didepannya gelap gulita hanya terdapat cahaya remang-remang yang terpantul dari lampu jalanan yang cukup tua, beberapa meter didepannya.

Auchlopohia—ketakutan akan kegelapan, yang dimilikinya mulai membuat gadis bermata bulat ini merasakan paranoid – ketakutan yang luar biasa. Dengan sisa-sisa keberanian ia mencoba berteriak meminta pertolongan tetapi suaranya hanya tertahan ditenggorokan. Suara gemerisik muncul dari salah satu bangunan tua tak berpenghuni di kawasan tersebut, membuat gadis cantik itu mengelilingkan pandangan, waspada.

Degup jantung berdetak tidak wajar, sangat cepat. Keringat dingin dengan cepatnya mulai membasahi pelipis. Meskipun gadis cantik ini memiliki kemampuan bela diri tetapi disaat seperti ini, kemampuannya itu tidak terpakai. Tubuh kurusnya gemetaran saat si pembuat suara gemerisik itu perlahan berjalan kearahnya.

Iris mata berwarna hazel milik gadis itu melebar ketika menangkap sosok tinggi dengan paras layaknya manusia tetapi sangat tampan, menyeringai kearahnya. Tatapan mata yang tak dimiliki manusia pada umumnya membuat gadis muda ini membeku ditempat.

“Baumu sangat manis, benar-benar menggiurkan.” Suara indah bak lantunan melodi itu terdengar tepat di gendang telinga gadis itu. Ya, suara merdu itu milik lelaki yang sekarang sudah berdiri tepat dibawah lampu temaram itu. Tersenyum namun pancaran mata yang haus akan darah membuat gadis yang sekarang gemetar hebat itu semakin tak berkutik. Layaknya buruan yang sudah siap diterkam oleh pemangsanya.

Namun entah mengapa rasa takut yang menghinggapi gadis berwajah dingin itu lenyap, ketika matanya bertabrakan dengan mata merah terang lelaki yang sekarang hanya beberapa langkah darinya. Seung Rin, gadis yang menjadi target sasaran, memejamkan matanya. Seakan sudah siap menyerahkan hidupnya. Dan lelaki berparas tampan itu tersenyum menyeringai sebelum memperlihatkan taringnya.

“Silakan kau bunuh aku.” Lirih Seung Rin ketika jemari pemuda itu menyentuh tengkuknya, hendak menancapkan taringnya.

##

Yeoboseyo.” Ucap Ba Rom, pemuda bermata indah itu, segera mengangkat panggilan masuk di ponselnya.

“Rome, kau ada dimana? Apa kau bersama Rin?” Terdengar jelas ditelinga Ba Rom kecemasan dari pemilik suara disebrang teleponnya.

“Aku.. aku di flat, hyung. Aku.. tidak bersama Rin. Memang kenapa hyung?” Ba Rom menjauhkan dirinya dari gadis manis yang duduk disisi kanannya, menatap heran Ba Rom.

“Rin belum pulang. Aku sudah menelpon ke seluruh teman-temannya tapi tidak ada yang tahu keberadaannya sekarang. Aku kira ia bersamamu. Apa kau sempat menghubungi Rin? Ponselnya tidak aktif. Ini sudah larut malam, aku dan Byungie sedang mencarinya. Kau mau ikut? Kami jemput kau sekarang.” Ba Rom ingin menjawab deretan ucapan Junho, kakak laki-laki Seung Rin, kekasihnya itu.

Namun sayang sebelum ia menolak permintaan Junho, pemuda bermarga Lee itu sudah menutup panggilan teleponnya. “Ah sial.” Desis Ba Rom. “Ada apa?” Gadis bertubuh mungil yang sedaritadi menemani Ba Rom terlihat cemas.

“Aku harus pulang sekarang. Junho hyung dan Byung Hun akan ke flatku. Rin, dia hilang. Dia belum pulang.” Ba Rom mengacak rambutnya frustasi, sedangkan gadis bertubuh mungil itu menggigit bibir bawahnya. Perasaan bersalah tidak dapat disembunyikan dari ekspresi gadis itu.

Ba Rom yang menangkap keganjilan dari gadis yang ternyata pacar gelapnya itu, mengerutkan dahi. “Yeo Ra, kau kenapa? Kenapa kau gelisah sekali?” Gadis itu terkejut saat tiba-tiba Ba Rom bertanya kepadanya, lalu tersenyum. “Anniya, aku tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu kau langsung pulang saja.”

Tanpa berlama-lama, Ba Rom segera pergi meninggalkan gadis yang tanpa ia ketahui menjadi penyebab hilangnya Seung Rin.

##

Seonggok mayat perempuan dengan wajah sudah tidak lagi dapat dikenali, akibat luka yang sengaja dibuat disana serta darah yang berceceran mewarnai pakaian yang dikenakan, mulai menghitam. Membuat seluruh keluarga Lee meringis terutama sang ibu, menangis histeris ketika melihat jasad putri kesayangannya itu sudah tak bernyawa. Junho, sang kakak, berusaha menenangkan ibunda tercinta. Ia pun merasa terpukul atas penemuan jasad adik perempuan satu-satunya itu di kawasan terlarang, dengan kondisi mengenaskan.

Ba Rom menatap nanar jasad gadis yang sudah hampir setahun menjalin hubungan dengannya itu. Terbesit rasa bersalah didalam dirinya, seandainya saja hari itu ia tidak membatalkan janji dengan gadis manis yang sekarang wajahnya pun sudah tidak dapat dikenali lagi. Hanya pakaian serta identitas yang terdapat didalam tas ransel hitam kesayangannya saja yang dijadikan dasar identitas jasad tersebut.

“Byungie,” si pemilik nama menoleh kearah Ba Rom saat namanya dipanggil. Tatapan kosong terpancar nyata dari mata sipit pemuda berusia 20 tahun itu. “Noona, Rin noona.” Ucap Byung Hun, adik kesayangan Seung Rin, saat melihat jasad sang kakak tercinta terbujur kaku. Ia tidak sanggup menahan kehilangan yang menyelimuti jiwanya sekarang.

“Byungie, sudahlah. Ikhlaskan kepergian Seung Rin.” Lirih Ba Rom sambil merengkuh pundak pemuda manis itu, mencoba menenangkan Byung Hun. “Mengapa hal ini terjadi kepada noona? Noona orang baik, hyung. Kenapa?” Ba Rom tidak dapat menjawab. Rasa kehilangan mulai menyelimuti perasaannya. Jujur, meskipun ia telah menduakan gadis yang sekarang hanya tinggal nama tersebut namun rasa sayang masih ada untuk gadis itu.

##

Mata bulat itu terbuka perlahan, meski rasa pening masih hinggap di kepalanya. Dengan menggunakan energi yang tersisa didalam dirinya, ia berusaha mendudukkan tubuhnya, bersandar di tembok. Retina mata miliknya mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, sekejap tubuhnya bergetar saat mendapati ruangan tempatnya berada gelap gulita.

Nafasnya tercekat, udara tidak lagi mampu masuk kedalam paru-parunya. Bukan karena ketakutan tapi penyakit phobianya, anfal. Jemari mungil itu mengepal, menekan dadanya, mencoba membuat paru-parunya bekerja normal. Deru nafas sesak terdengar didalam ruangan gelap gulita tersebut, membuat si pemilik ruangan berjalan kearah sumber suara.

Saat pemilik ruangan itu tepat berdiri di depan calon korbannya, jemari lentik sang korban menggenggam pergelangan kakinya, gemetar. Mata merah menyala milik sang pemangsa pun terbelalak dengan apa yang terjadi. “Cahaya… tolong.. aku.. cahaya..” Lirih sang korban, mengharapkan belas kasihan sang pemangsa.

Entah apa yang membuat pemangsa itu berubah pikiran, ia pun segera menarik jemari buruannya dari pergelangan kaki. Mendekapnya. Membawanya kesalah satu ruangan dengan sistem cahaya yang masih berfungsi, menghidupkannya. Lalu meletakkan sosok kurus buruannya tepat diatas lantai marmer kediamannya.

Ia merasakan kelegaan terpancar dari deru nafas buruannya yang perlahan mulai stabil. Mata merah milik pemangsa menatap lekat calon korbannya, yang berhasil ia dapati 2 hari yang lalu. Sang korban, gadis berwajah dingin namun cantik itu, melihat sosok yang akan menghabisi nyawanya melalui ekor matanya. “Gamsahamnida.” Lirih Seung Rin, sang korban, saat deru nafas serta degup jantungnya berangsur-angsur pulih dengan posisi duduk sambil memeluk kedua lutut.

Pemuda bertubuh tegap itu, pemangsa Seung Rin, tidak menjawab hanya menatapnya. Gadis berusia 21 tahun itu perlahan mulai tenang, sebenarnya ia tidak ingin melihat wajah pemburu yang bersiap menghabisi nyawanya akan tetapi rasa ingin tahunya mengalahkan semua. Mata bulat milik Seung Rin melirik pemuda yang tengah duduk disalah satu sofa didalam ruang tersebut, menyilangkan kakinya.

Seung Rin terbelalak saat matanya bertabrakan dengan mata beriris merah milik pemuda yang ternyata sangat tampan itu. Dengan mata sipit khas Asia, kulit bersih seputih susu, bibir tipis yang terkatup rapat, berpostur tinggi dan proporsional. Tatapan penuh penasaran, serta haus darah yang sangat kental didalamnya membuat bulu roma Seung Rin berdiri sempurna. Pemuda tampan itu beranjak dari duduknya, dengan balutan kemeja serta celana jins. Meskipun biasa saja, pakaian tersebut terlihat sempurna saat dikenakan oleh pemuda ini.

Pemuda itu berjalan tepat kearah Seung Rin dan berhenti didepannya tanpa sekalipun mengalihkan pandangan dari buruan kecilnya itu. Seung Rin segera menenggelamkan kepalanya di lipatan lutut, ia tidak sanggup melihat iris mata milik pemuda itu.

“Kenapa kau belum membunuhku?” Lirih Seung Rin tanpa mengangkat kepalanya. Pemuda itu tersenyum, sambil memasukkan jemarinya kedalam saku jins.

“Kau ingin sekali mati ternyata.” Suara merdu itu terdengar kembali di telinga Seung Rin, suara yang sama ia temui beberapa hari lalu. Ya, suara pemangsanya.

“…”

“Aku juga tidak tahu mengapa aku tidak membunuhmu kemarin. Kau tiba-tiba pingsan sesaat sebelum aku berhasil menghisap darahmu, bukannya aku membunuhmu malah membawamu kerumahku.”

Seung Rin tercengang dengan pernyataan pemuda tampan sekaligus beringas itu. Segera ia mengangkat kepalanya, menatap wajah rupawan pemuda yang sekarang memandang Seung Rin, mengerutkan dahi.

“Tubuhmu selalu gemetaran saat gelap. Apa kau menderita Auchlophobia?” Seung Rin melihat ada rasa penasaran yang amat besar terpancar dari tatapan pemuda tampan itu. Ia pun mengangguk. “Pantas saja.” Pemuda itu menyeringai sebelum akhirnya berjongkok tepat dihadapan Seung Rin.

 Seung Rin menelan saliva sekuat tenaga, sebelum akhirnya memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan yang sudah menari-nari di kepalanya. “Apa kau ini vampire? Seperti yang diberitakan banyak orang?” Pemuda itu terkekeh namun tatapan penuh waspada bercampur penasaran masih melekat kepada Seung Rin.

“Kalau iya, kenapa? Apa kau takut sekarang dan tidak ingin mati?” Seung Rin segera menggelengkan kepalanya. Bukan itu maksudnya, ia hanya penasaran dengan kabar burung yang beredar. Walaupun seharusnya ia takut akan menjadi korban kesekian kalinya pemburu haus darah ini tetapi ada hal lain yang menggelitik rasa penasarannya.

“Aku tidak takut mati. Aku hanya ingin memastikan rumor itu.” Seung Rin mencoba menyunggingkan senyuman tetapi malah terlihat aneh di bibir tipisnya. Pemuda tampan itu masih tidak percaya dengan jalan pikir mangsanya itu. “Mengapa kau ingin sekali aku mengakhiri nyawamu, eoh?”

##

“Rome, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu akan berakhir seperti ini. Aku hanya.. hanya tidak ingin menutupi hubungan kita. Aku hanya ingin Seung Rin tahu saja. Hanya itu.” Aku wanita bertubuh langsing itu kepada pemuda tampan yang sekarang sedang menahan amarahnya.

“Kau terlambat. Semuanya terlambat. Rin sudah meninggal dan kau.. kau pembunuhnya, Yeo Ra.” Pemuda tampan itu mengucapkan kata-kata itu dengan penuh penekanan. Wanita itu terkejut dengan ucapan yang terkesan mengintimidasi dirinya itu. Ia merasa tidak terima.

“Bukan hanya aku, tapi juga kau, Rome.”

Ba Rom mengepalkan tangan hingga buku-buku jemarinya memutih. Terlihat sekali ia sedang berusaha untuk tidak melukai gadis dihadapannya ini. “Iya, aku juga bersalah akan hal ini. Tapi ini semua ulahmu! Andai saja kau tidak menelpon Rin, menyuruhnya ke tempat kita berada. Tidak mungkin akan seperti ini! Rin tidak akan mati mengenaskan!” Suara Ba Rom meninggi, ia sudah tidak mampu mengendalikan amarahnya. Ia pun bangkit dari duduknya sembari mengangkat meja didepannya hingga benda yang berada diatasnya jatuh berantakan. Ia sudah kalut akan perasaannya yang campur aduk.

Sedangkan sang wanita, hanya menangis dengan menutup wajahnya. Pengunjung café, tempat mereka berada, segera menjadikan kejadian itu menjadi bahan tontonan serta omongan dengan sesama pengunjung.

Ba Rom segera berlari menuju Audy hitam miliknya yang terparkir di seberang jalan. Saat tangannya hendak membuka pintu mobil, pupil mata Ba Rom melebar ketika menangkap sosok gadis yang sangat ia hapal betul, berjalan melewatinya.

Ia pun kembali langsung menutup pintu mobilnya, lalu menekan tombol safety lock dari kunci mobilnya. Segera berlari kecil mengejar gadis yang jasadnya seminggu lalu telah dimakamkan.

Pemuda yang bersama gadis yang dikejar Ba Rom pun menoleh kearah gadis tersebut. Tanpa menghentikan langkah kaki mereka. “Kau mengenal pemuda itu?” Ucap pemuda itu tanpa bersuara. Hanya gerakan bibir saja, namun dapat dimengerti oleh gadis berambut ikal itu. Gadis tersebut hanya mengangguk.

“Baiklah. Kau siap?” Gadis cantik itu tampak heran saat pemuda disebelahnya menarik tubuhnya mendekat. “Kajja!” Lirih pemuda tersebut sebelum akhirnya Ba Rom mencapai ke tempat mereka.

Ba Rom mengatur nafasnya, matanya tidak percaya. Sosok gadis itu tiba-tiba menghilang seperti dilahap bumi, beberapa detik sebelum Ba Rom berhasil mengejarnya. “Seung Rin? Tidak salah lagi. Aku yakin pasti itu Rin. Tapi kemana ia sekarang? Apa aku berhalusinasi?” Mata bulat Ba Rom melihat sekeliling berharap bertemu dengan gadis itu kembali.

##

“Apa kau pernah merasakan hidupmu hancur seketika dan ingin segera mengakhiri hidupmu?” Nada penuh dengan keputus asaan itu terluncur begitu saja dari bibir tipis gadis yang sekarang terpekur menatap lantai marmer didepannya. Lawan bicara gadis itu menggeleng perlahan, “Manusia itu mengenaskan ya. Sangat mengenaskan.” Suara merdu itu terdengar sangat melecehkan.

“Iya, kau benar. Manusia itu mengenaskan. Tapi kau lebih mengenaskan, karena kau saja tidak punya hati.” Sontak ucapan gadis yang sekarang menatap lawan bicaranya itu membuat pemuda tampan itu marah. Sepersekian detik jemari pucatnya segera menjerat leher gadis manis itu, hingga membuat tubuh gadis itu terangkat dari lantai marmer, tempat mereka berada. Iris merah milik pemuda itu yang sarat akan dengan kebencian perlahan melembut ketika bertemu dengan iris coklat muda milik gadis yang berusaha menahan cairan bening dipelupuk matanya.

Gadis dengan wajah pilu itu merasakan paru-parunya kembali menampung udara, jeratan di lehernya mengendur. Tersungkur cukup keras diatas marmer yang menghiasi ruangan tersebut. Sedangkan pemuda berparas tampan itu memejamkan matanya, dan berjalan mundur, menjauh dari gadis itu. Entah mengapa ia begitu lemah seperti sekarang ini. Tak berdaya berhadapan dengan seorang gadis yang menjadi mangsanya.

“Kenapa kau tidak membunuhku, eoh! Katamu aku ini mangsamu! Kau ingin darahku kan! Cepat bunuh aku!” Gadis itu berjalan menghampiri pemuda yang sekarang terdiam dengan wajah menoleh kearah jendela rumah yang tepat menghadap Sungai Han. Saat berada didepan pemuda itu, gadis itu menjatuhkan diri, mengiba. “Tolong.”

Pemuda itu memalingkan wajahnya, melihat gadis yang sekarang menangis dibawah kakinya. Biasanya, pemuda ini tidak pernah tidak tega menghabisi buruannya, kali ini berbeda. Ia malah membungkukkan tubuhnya sambil menarik tangan gadis manis itu, membantunya berdiri.

“Aku akan membunuhmu dengan satu syarat. Kau setuju?” Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap pemuda tampan itu dengan mata sembab. Ia pun mengangguk.

##

 

 

To Be Continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet