Book 1 - Chorong's Part - Life in your Love

The Untold Story of Fairies

The Untold Story of Fairies - Book 1 - Chorong Part

Life in your Love

 

Cast :

Park Chorong

Kim Joonmyun (Suho)

Son Naeun (Slice)

 

=o=o=

Teaser

 

Dinginnya sore hari pada hari minggu di kota Seoul cukup membuat beberapa manusia takluk menyembunyikan diri dirumah, atau lebih parah mengurung diri didalam kamar dibalut dengan selimut dan secangkir minuman hangat.

 

Hujan baru saja berhenti sekitar lima menit yang lalu. Menyisakan titik-titik air basah di dedaunan hijau dan kelopak-kelopak bunga yang mulai mengucup. Lalu lintas mulai ramai oleh beberapa kendaraan beroda. Hanya terlihat sedikit sekali pejalan kaki yang tempak di jalan-jalan itu.

 

Hanya satu manusia, seorang pria, yang membiarkan pakaian yang ia kenakan basah total. Berjongkok di depan sebuah kardus kecil berpayung putih transparan. Titik-titik air mulai ramai meluncur dari rambutnya yang terlihat lepek oleh hujan yang turun sekitar satu setengah jam lalu. Mantel hujan yang ia kenakan terlihat lusuh dan terlihat beberapa bercak darah di pinggirannya. Sekilas terlihat ia seperti tuna wisma lusuh yang dipandang sebagai sampai masyarakat di kota itu.

 

‘Meow~’

 

Pria itu berseru kegirangan. Ia menjulurkan tangannya ke dalam kardus tersebut dan bunyi grusuk dari kardus coklat itu terdengar setelahnya.

 

“Selamat atas kelahirannya, ibu kucing~,” celotehnya.

 

“Wah… kucing-kucing yang lucu!”

 

Pria itu terkesiap mendengar suara wanita di belakangnya. Lebih terkesiap lagi saat sesuatu yang hangat menyelimutinya. Ia berdiri mengahadap wanita dibelakangnya seraya meraba-raba apa yang melekat diluar mantelnya yang lusuh.

 

“Apa… mantel bulu ini punya anda, nona?” tanya pria itu sambil melepas mantel bulu tersebut dengan perasaan tidak nyaman. Bukan tidak nyaman karena mantel bulu tersebut. Akan tetapi bagaimana bisa ia menerima mantel bulu dari seorang wanita yang tidak ia kenal, dan ini juga mantel bulu gaya wanita, dimana harga dirinya sebagai pria!

 

Wanita itu mengangguk. “Pakai saja, anda lebih membutuhkannya,” jawab wanita itu. Ia mendongak ke arah belakang si pria dan beringsut menuju kardus yang sempat terabaikan tadi.

 

“Mereka baru lahir?” tanya wanita itu antusias dengan mimik yang sama dengan apa yang pria itu lukis di wajahnya beberapa menit yang lalu.

 

“Iya,” jawab si pria. Ia mengecek waktu di jam tangan berwarna perak di tangan kanannya. “Sekitar lima belas menit yang lalu.”

 

Wanita itu menoleh. Pandangannya menelusuri penampilan pria itu dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Apa anda menunggui proses kelahirannya selama hujan berlangsung?” tanya wanita itu penasaran.

 

“Hmmm..” pria itu berpikir sebentar. Kemudian mengangguk sambil mengusap belakang lehernya.

 

Wanita itu tertawa kecil membuat si pria malu. “Ada apa? Terlihat bodoh, ya?” tanya si pria.

 

“Tidak,” ucap wanita itu. “Anda adalah manusia yang paling baik saya rasa,” lanjutnya sambil menatap dalam pria itu. Keadaan hening seketika.

 

“Lalu… kenapa anda tidak membawanya kerumah anda?” tanya wanita itu setelah berbalik sambil memberi elusan kecil di leher salah satu dari tiga anak kucing yang ada di kotak itu.

 

“Saya tidak mampu mengurusnya,” ucapnya yang diberi jeda. Wanita itu masih setia member elusan pada anak kucing lainnya. “Mengurus diri sendiri saja tidak becus,” lanjutnya yang terdengar seperti menggumam. Entah wanita itu mendengarnya atau tidak.

 

“Terima kasih telah memberikan perlindungan pada kucing-kucing ini,” ucap wanita itu. Ia berdiri sambil mengangkat kardus itu dengan hati-hati agar mahluk di dalamnya tidak berguncang, “Saya yang akan merawatnya,” lanjutnya sambil mengembangkan senyum terbaik yang ia punya.

 

“Benarkah? Ah syukurlah,” ucap pria itu penuh kelegaan sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya sebagai bentuk syukur. “Akhirnya kalian bisa hidup nyaman~ maafkan aku, ne~” ucap pria itu lagi tak kalah girangnya sembari mengelus gemas kedua rahang si induk kucing.

 

“Nama saya Park Chorong, semoga kita bertemu lagi nanti, terima kasih,” ucap wanita itu setengah menunduk dan pergi melewati si pria itu ke belakang.

 

Pria itu berbalik, “Aku Su… Ho.”

 

Kedua alisnya hampir bertaut penuh kebingungan. “Hilang secepat itu?” ucapmya tidak percaya. Ia berputar-putar di tempat. Kepalanya menengok kesana-kemari mencari sosok 'Park Chorong' tersebut. Namun nihil. Hanya ia sendiri disitu. Dibawah salah satu pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan trotoar yang biasanya ramai saat jam pulang kantor.

 

Satu hal yang pasti, mereka akan bertemu lagi.

 

Hari ini bukanlah hari yang biasa baginya. Dengan riang ia menyebrangi jalan setelah memastikan telah sepi dari kendaraan menuju sebuah mobil sport merah yang sedari tadi terparkir manis disana. Ia membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi dengan semangat. Tak lupa ia letakkan dengan hati-hati mantel putih yang ia gengam selama berbicara dengan wanita itu.

 

Sudut bibirnya tertarik sedikit saat mengamati mantel tersebut. Dalam hitungan kurang dari setengah menit mobil itu pun membaur dengan beberapa kendaraan roda empat lainnya yang mulai ramai kembali.

 

=o=o=

 

Salah satu lorong di rumah sakit begitu riuh saat sebuah bed dorong yang diambil alih beberapa perawat berpakaian putih melaju dengan kecepatan sedang. Seorang wanita di atasnya tampak berpeluhan menahan sakit atas perutnya yang mengembung cukup besar. Ia menggenggam tangan seorang pria yang terus menerus memberikan semangat pada wanita dihadapanya sambil berlari menyamai kecepatan bed dorong tersebut.

 

Kerumunan orang-orang itu melewati begitu saja seorang wanita bergaun putih musim semi yang menepi dari tadi. Pandangan wanita itu mengikuti kerumunan tersebut hingga menghilang dibalik pintu bertuliskan Emergency Room. Entah mengapa ia tersenyum haru melihat kejadian tadi. Langkahnya yang sempat terhenti tadi ia teruskan menelusuri satu persatu ruangan yang ada di ruangan rumah sakit itu hingga ia berhenti di depan sebuah ruang bayi.

 

Tangannya menempel pada permukaan kaca dimana kita bisa melihat apa yang terjadi disana dari luar. Bola matanya lincah bergerak dari ujung kanan hingga kiri mengamati satu persatu bayi yang baru lahir di dalam box terbuka berjeruji besi. Jarinya meliuk di permukaan kaca tersebut seakan menggambarkan apa yang ia lihat di dalam.

 

“Nona Chorong?”

 

Wanita itu berhenti sebentar. Ia tidak langsung menoleh dan melihat fokus pada kaca yang membiaskan figur dirinya dan seorang pria dibelakangnya.

 

Senyumnya melebar. “Tuan Suho!” ucapnya kemudian berbalik ke belakang.

 

“Apa ini sebuah kebetulan kita bertemu disini?” tanya Suho ramah.

 

“Apakah anda percaya pada yang namanya ‘kebetulan’?” tanya Chorong balik.

 

Mereka berdua tertawa bersama tanpa alasan yang jelas.

 

“Sedang apa anda disini?” tanya Suho. Ia menjajarkan dirinya disamping Chorong dan melihat box-box bayi yang tersusun rapi di dalam sana.

 

“Melihat bayi,” jawab Chorong singkat. Ia kembali menekuni kegiatannya tadi.

 

“Bayi siapa?” tanya Suho.

 

“Entahlah.” Suho makin bingung pada wanita disampingnya ini. Chorong menyadari itu dan ia menjelaskan lagi. “Aku terlihat seperti orang yang kurang kerjaan. Tapi melihat bayi-bayi yang baru lahir ini sangat menyenangkan. Aku selalu berdoa atas nama mereka agar mempunyai kehidupan baik jika ia besar nanti.”

 

“Wah, anda yang terlalu baik saya rasa,” sahut Suho. Chorong tertawa kecil menanggapinya.

 

“Nona, anda tahu, box-box itu mengingatkan saya pada keluarga kucing sebulan yang lalu. Bagaimana kabar mereka?”

 

“Anak-anak kucing itu sudah agak besar sekarang. Mereka lincah sekali berlarian kesana kemari. Dua ekor anak kucing aku berikan pada salah satu saudaraku. Ia sangat antusias ingin merawatnya. Jadi aku hanya tinggal merawat si induk dan satu anak kucing yang tersisa,”jelas Chorong panjang lebar. Suho mengangguk-anguk lega setelah mendengarnya.

 

“Emm, Nona, apa anda mau makan siang bersamaku?” tawar Suho.

 

“Makan… siang?” ulang Chorong tidak yakin.

 

Suho mengangguk. “Iya, Nona. Emmm, apa kita seharusnya membuang panggilan Nona-Tuan ini? Semua ini terdengar lucu.”

 

“Iya, Suho-ssi,” jawab Chorong.

 

“Nah, lebih baik. Jadi, Chorong-ssi? Bagaimana tawaranku tadi?” tanya Suho lagi.

 

Chorong mengangguk semangat. “Ayo kita pergi.”

 

Entah mengapa Suho tersenyum puas saat itu hingga ia tak sengaja menabrak seorang perawat yang lewat. Tabrakan itu memang tidak begitu keras namun itu semua cukup membuat isi dari amplop putih yang sedari tadi berada ditangan Suho berhamburan. Buru-buru ia meminta maaf pada perawat tersebut dan membereskan beberapa kertas yang berjatuhan, kemudian memasukkannya kembali sebelum Chorong ikut berjongkok berniat membantunya.

 

Sekilas ia melihat sebaris kalimat dari salah satu kertas tersebut yang cukup membuatnya muram hingga acara makan siangnya dengan Suho selesai.

 

Jadwal kemoterapi atas nama Tuan Joonmyun Kim…

 

=o=o=

 

“Chorong-ah.”

 

“Ne, Joonmyun-ah~”

 

Pria itu, Joonmyun mengacak-acak gemas  rambuat wanita di sampingnya itu. “Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu, chagiya?” ucapnya dengan manja.

 

“Chagiya?” protes Chorong melotot pada pria di depannya, Suho, sambil merapikan kembali poni rambutnya.

 

“Kenapa sih, kamu tak mau menjalin hubungan spesial denganku?” tanya Suho lemas.

 

Chorong menghela nafas berat. “Sudah kubilang berapa kali aku lebih nyaman kita yang seperti ini,” ucapnya tak kalah lemas. Pandangannya meneliti seluruh wajah Suho hingga bola matanya berhenti dan berpaku pada rambut Suho yang kian menipis. Tanpa ia menyadari Suho memajukan wajahnya hingga tiada lagi jarak yang tersisa.

 

Jangan bertanya apa yang sedang mereka lakukan di taman sore itu. Dan jangan pula bertanya apa yang terjadi pada mereka hingga menjadi sedekat ini.

 

Kadang kita menggambarkan ‘waktu’ adalah sesuatu yang sangat kejam. Apalagi jika menyangkut ruang kehidupan manusia. Mereka tidak bisa berada di berbagai ruang dalam satu waktu. Apa yang terjadi pada dua insan itu biarlah mereka simpan sendiri yang merupakan sebagian dari permainan takdir.

 

Banyak yang berubah dalam hidup Suho setelah Chorong memasuki tiap-tiap part dalam hidupnya. Ia lebih bersemangat dari biasanya. Chorong lah yang membuatnya lebih menghargai hidupnya sendiri. Mengesampingkan penyakit yang di deritanya dan ia sembunyikan dari wanita berwajah cantik itu, memilih mengukir takdir yang ia yakini bersama wanita itu ketimbang menjalani skenario-skenario yang pihak rumah sakit buat untuknya.

 

Lain halnya tentang Chorong. Pria itu tidak tahu apapun tentang wanita yang sudah menyelusupi hatinya. Chorong tidak pernah menceritakan detail hidupnya. Suho bisa jadi penasaran pada suatu hari namun ia akan lupa seketika saat memulai berbagai aktivitas menarik bersama wanita yang kerap kali mengenakan dress putih selutut tersebut.

 

Apakah tak ada yang menyadari sebaris air mata meluncur menuruni pipi mulus wanita itu?

 

=o=o=

 

Sosok wanita bergaun malam hitam berjalan membelah kegelapan di saat manusia-manusia sedang terlelap menikmati jalan cerita mimpi masing-masing. Rambut panjangnya bergoyang seiring langkahnya yang rapi. Ia bagai tak mengenal hawa dingin malam itu yang terlihat dari wajah stoic mungilnya. Langkahnya berhenti di depan sebuah mansion bernuansa putih yang paling besar di daerah itu. Pandangan kakunya menatap lurus kedepan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

 

“Naeunnie…”

 

Wanita itu menoleh kebelakang dengan segera karena ia yakin akan suara yang memanggil namanya. “Chorong eonni.” Panggilnya tanpa ada perubahan dari raut wajahnya yang datar.

 

“Bisakah aku ikut melihatmu mengerjakan tugasmu nanti?” tanya Chorong. Kedua tangannya bertaut erat diatas dadanya mengharap jawaban yang ia inginkan dari wanita yang lebih muda dihadapannya.

 

“Apa eonni tidak akan menyesal?” tanya Naeun.

 

Chorong mengeleng kuat dengan sangat yakin.

 

Naeun menoleh sebentar kebelakang, melihat figure raksasa mansion tersebut kemudia berbalik lagi menghadap Chorong. “Yang jelas aku akan kembali lagi. Lakukanlah apa yang eonni mau. Tapi jangan lupakan tugas utama kita, dan eonni jangan berlaku gegabah karena kau lah pemimpin kami,” ucap Naeun. Chorong mengangguk yakin.

 

Naeun pun pergi melewati jalan yang tadi ia lalui. Sesuatu dibelakangnya mengembang indah. Warnanya menyatu dalam kegelapan malam. Saat benda itu mulai mengepak sekali, sosok Naeun pun hilang.

 

Chorong mengamati sekali lagi mansion putih yang membentang dihadapannya dengan pandangan haru. Tak lama kemudian ia pergi dengan cara yang sama, juga dengan benda yang sama seperti Naeun tadi. Hanya saja warnanya sangat kontras dengan suasana malam saat itu.

 

=o=o=

 

Miris rasanya melihat figur seorang pria tampan terbaring lemah di atas tempat tidur ukuran king size di kamar itu. Kamar yang lebih besar dari kamar-kamar lainnya. Di mansion putih raksasa itu.

 

Tidak ada yang tahu bahwa pria berwajah pucat itu, Suho, adalah seorang eksekutif muda sukses se-Korea. Dengan bekal wajah tampan dan kekayaan luar biasa, ia bisa saja tinggal menunjuk siapa wanita yang ia inginkan dan membuangnya begitu saja jika ia mau.

 

Tapi ia takkan mungkin melakukan itu. Apalagi jika umurmu hanya tinggal hitungan hari dan parahnya jika kamu benar-benar dalam perasaan jatuh cinta pada seseorang.

 

Namun Suho benar-benar aneh. Ia tahu bahwa jiwanya takkan lagi ada diraganya yang sempurna itu. Seharusnya ia menghabiskan hidupnya sendirian jauh dari penglihatan orang banyak dan tak pernah sekalipun membiarkan seorang perempuan manapun memasuki hatinya.

 

Tapi ini pengecualian untuk si wanita misterius yang ia kenal dengan nama Park Chorong. Jika diibaratkan, wanita itu sudah berada di hatinya sebelum Suho menjadi sukses seperti ini dan ia tidak tahu bahwa telah ada yang menempati hatinya.

 

Wanita itu kini tinggal dirumah besar Suho. Hanya berdua. Ya, Suho hanyalah manusia sebatang kara sebelum Chorong datang dan menambah gula manis di hidupnya. Kadang ia menyesal kenapa harus bertemu dengan wanita itu, atau ia menyesal kenapa harus diberi takdir hidup seperti ini.

 

“Mengapa tak kau ikuti jadwal pengobatanmu?” ucap Chorong sembari mengelus helaian rambut Suho. Elusan itu tak berlangsung lama saat beberapa helai rambut pria itu rontok dan tersangkut ditangannya.

 

“Jangan berhenti,” pinta Suho. Ia membenarkan letak kepalanya di paha Chorong. Wanita itu pun kembali mengelus rambut pria rapuh itu dengan sangat pelan.

 

“Harusnya kau ikuti perintah dokter…” lirih Chorong.

 

Suho tersenyum meremehkan. “Untuk apa? Setiap manusia pasti akan menemui ajal, chagiya. Aku tak keberatan jika akhir hidupku seperti ini.”

 

“Tapi kan’ dokter…”

 

“Dokter bukan Tuhan. Jika hidupku akan berakhir seperti ini aku terima. Namun aku bersyukur telah dipertemukan olehmu di akhir hidupku. Semoga kita dipertemukan disurga, chagiya,” ucap Suho menatap lemah wajah Chorong di atanya. Wajah pria itu semakin pucat dan matanya tampak kehilangan cahaya.

 

Perlahan Chorong memajukan wajahnya pada Suho hingga tak ada lagi jarak satu sentimeter sekalipun. Bibir mereka menempel cukup lama hingaa Chorong merasa bibir pria itu mendingin.

 

Pada saat yang sama, sosok wanita berwajah stoic itu muncul kembali dengan gaun hitam panjang dan sayap senada dengan gaunnya yang terkembang lebar. Tangan nya meraih lengan kanan Suho dan menarik sesuatu berbentuk asap namun dipenuhi sinar dari tubuhnya. Asap itu semakin jelas saat dalam posisi berdiri dan mulai membentuk figur seorang manusia transparan yang mengenakan tuxedo berwarna putih.

 

Sosok transparan yang kasat mata oleh manusia itu berwajah sama seperti Suho. Suho yang tanpa ekspresi di wajahnya. Ia menoleh pada figure wanita yang sedang mengatur tubuh seorang pria agar terlihat seperti manusia yang tidur dengan damai di atas bed king size berwarna biru.

 

Setelah selesai menyelimuti tubuh pria itu, Chorong, wanita itu, berdiri tegap dan memandang sosok transparan yang sedari tadi tak pernah berkedip menatapnya.

 

Perlahan tubuh Chorong diselimuti cahaya kelap kelip berwarna putih. Dress pendek yang ia kenakan terlihat memanjang hingga menutupi kaki telanjangnya. Beberapa cahaya berwarna merah muda bergerombol di atas kepalanya hingga membentuk lingkaran berupa mahkota bunga. Dan tak lama setelah itu sayap putihnya mengembang tak kalah lebarnya dengan wanita stoic bergaun hitam itu.

 

“Ayo, pergi ke Secret Garden,” wanita stoic itu berbalik menghadap sebuah jendela besar. Saat sayapnya mengepak sekali, ia pun hilang dalam hitungan kurang dari sedetik.

 

Chorong menghampiri sosok transparan itu. “Aku yang akan menemanimu selama empat puluh hari di Secret Garden,” ucapnya.

 

Sosok mirip Suho itu pun melukiskan senyum di wajahnya seiring langkah Chorong yang semakin mendekat. Chorong menangkup wajah Suho dengan kedua tangannya. Membawanya kembali dalam sebuah kecupan kecil. Tubuh mereka kemudian di selemuti oleh sayap putih Chorong yang lebar.

 

Sekelompok cahaya mengerumuni mereka hingga kamar itu terlihat terang sekali jika dilihat dari luar. Tak lama setelah itu, mereka berdua lenyap, menyisakan raga seorang Kim Joonmyun yang tersnyum damai dan tak bernyawa di ruangan itu.

 

-END-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
BaekYeolJi
#1
no updateee? ;_;
rappbom19 #2
Chapter 2: kenapa harus sama kim yejin aaaaaaaa /?
part selanjutnya eunji kan? ;;;;;
fighting author ssi!! ^0^)9
rappbom19 #3
Chapter 1: aaaaaaa sweet banget cerita chorong suho nya ;3;
BaekYeolJi
#4
Chapter 2: So next part is Eunji right? ;;;
BaekYeolJi
#5
Chapter 1: i don't really understand. but yeah seem nice. update soon. can't wait for Eunji ;;;;;;
KimNeulAH
#6
Chapter 1: kereeen :') 40 hari? berarti ada sequel nya dong? #lupakan xd. ini part nya chorong kan? aku tunggu yang eunji :))) exopink ya thorrrrr. hwaiting^^
puppyyeol
#7
Chapter 1: keren banget;; ah kalo bisa semuanya exopink aja thor(?) ahahah xD keren banget. lanjut!!