Chapter 2

From the Beginning
-CHAPTER 2-
 
 
 
 
 
“Nama?” dia bertanya lagi dengan santainya masih sambil memutar kabel headsetnya.

“Kyungsoo.”

“Aku Kim Jongin.”

“Apa aku bertanya?” kulihat bola matanya yang membesar setalah mendengar pernyataanku. Lalu dia terkikik sebentar dan kembali memasang headsetnya.

“Hanya ingin kau tau, Soo”

Aku terkesiap, apa aku tidak salah dengar? Tadi dia memanggilku dengan sebutan apa? Soo katanya? Sungguh, aku berani bersumpah dia adalah orang ketiga yang berani memanggilku dengan sebutan itu setelah Appa, Mom dan Dad.

“Kau panggil apa aku tadi?” aku berbicara sepelan mungkin sambil menahan emosiku agar tidak terlihat didepannya.

“Soo…”

.

.

.

.

#

Bel pulang telah berbunyi dengan keras. Aku bergegas pulang tanpa mengucap kata sepatahpun, bahkan dengan guru yang masih berdiri di depan kelasku. Anak itu benar-benar menghancurkan moodku hari ini. Selama pelajaran berlangsung aku ataupun dia tidak berbicara satu patah kata pun. Untung saja hari ini hari terakhir sekolah, jadi aku tidak akan bertemu dengannya selama satu bulan ke depan. 

Begitu sampai di kamar aku langsung menghempaskan badan ke atas kasur. Aku mencoba menutup mataku agar tertidur. Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul dan menyeruak di pikiranku. Appa…. Wajah appa muncul tiba-tiba dan membuatku mengingatnya lagi. Ku rogoh sesuatu di dalam saku celana ku dan setelah ku sentuh beberapa bagian layarnya munculah sebuah suara.

“Yoboseyo?”

Terdengar suara rendah khas disebrang sana. Suara yang sangat aku rindukan, suara yang sudah 8 tahun tak pernah aku dengar. Itu suara appa.

“Yoboseyo?”

Ulang nya dengan nada yang sama. Lidahku kelu tiba-tiba, aku tidak tau harus menjawab apa. Aku tidak tau sama sekali, sungguh, aku tidak tau. Pikiran ku melayang kemana-mana. satu butir air mata menetes di pipiku ketika aku mengatakan sesuatu, membalas sapaan orang di ujung telfon sana.

“Appa, ini aku Soo.”

“Soo, bogosipho.” Aku mendengar suara apa yang agak meninggi ketika mendengar suaraku.

“Nado. Appa oediga?” aku terkesiap. Apakah barusan aku menanyakan keberadaan appa?

“Appa dirumah halmoeni. Soo oediga? Appa sudah mendengar kalau kau sudah pulang ke korea dan melanjutkan sekolah mu disini.”

“Eo, appa…..” aku berhenti berbicara. Aku tidak yakin apakah aku patut melanjutkan percakapan ini. Tetapi sungguh aku sangat ingin mengatakan ini padanya.

“Soo, wae?”

“Appa, bolehkah aku main kerumah halmoeni?”

Demi langit dan bumi aku tak tau apa maksud perkataanku barusan. Kata-kata itu meluncur dengan mulus nya dari bibir ini. Aku tak yakin dengan jawaban apa yang akan appa berikan setelah mendengar pertanyaanku yang sungguh aneh itu. Aku tersadar dan kembali pada telfon.

“Kenapa tidak? Kau sedang libur musim panas kan? Minta izinlah dengan mom dan dad mu. Lalu beritahu appa. Appa akan jemput besok pagi. Bagaimana, Soo?”

“Baiklah appa. Sampai besok.”

Terdengar bunyi tut yang panjang tanda sambungan telfon telah terputus. Aku berteriak dibawah bantal dengan kerasnya. Aku tak tau perasaan apa yang tiba-tiba menyeruak masuk di dalam dada ku ini. Aku sangat senang bisa membangun hubungan kembali dengan appa.

#

“Soo, appa mu sudah menunggu.”

Kudengar suara Mom yang dari arah bawah. Segera ku ambil tas ku dan bergegas keluar dari kamar. Begitu aku turun dari tangga, mataku terpaku pada sebuah punggung yang sangat aku kenal. Punggung yang dulu sering menggendongku, punggung yang dulu selalu ada pada saat aku butuhkan.

“Appa..”

Satu penggalan kata keluar dari bibirku. Kulihat lelaki itu berbalik mengahadapku. Mataku bertemu dengan matanya. Mata nya yang selalu memandangku dengan teduh. Mata itu….. mata yang sangat aku rindukan.

“Soo!” aku terdorong sedikit kebelakang. Appa beranjak dari kursinya dengan tiba-tiba dan langsung memelukku.

Hangat.

Itu yang aku rasakan. Rasa hangat itu menjalari seluruh bagian tubuhku. Rasa rindu itu benar-benar menyeruak masuk ke dalam dadaku. Aku sungguh ingin menangis saat itu. Ku angkat tanganku pelan dan membalas pelukannya.

“Appa, bisa kita pergi sekarang?”

-

Selama diperjalanan tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirku maupun bibir appa. Suasana terasa begitu kaku dan dingin. Baru saja aku ingin memulai pembicaraan kudengar appa mengeluarkan suaranya.

“Soo, bagaimana kabarmu?” aku memandangnya sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.

“Baik. Appa sendiri?” hanya itu jawaban yang terlintas di pikiranku.

“Tidak pernah sebaik ini. Soo, apakah kau akan menginap di rumah halmoeni sampai liburan musim panas selesai?”

Aku mendegar sedikit permohonan di suara appa. Sebenarnya aku hanya ingin mengunjungi rumah halmoeni 2 atau 3 hari saja. Tetapi, mendengar appa bertanya seperti itu aku ciut.

“Tidak appa, mungkin seminggu sebelum libur usai aku akan kembali ke Seoul.”

“Oh, begitukah? Baiklah nanti akan Appa antar kau kembali.”

Sampai disitu. Obrolan kami benar-benar sampai disitu saja. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi sampai sebuah suara membangunkanku.

“Soo, kita sudah sampai.”

#

“Kyungie bogosipho!”  baru saja aku keluar dari dalam mobil, aku sudah disambut oleh pelukan halmoeni dan harabojiku. Aku membalas pelukan mereka bergantian sambil mengumbar senyum pertamaku sejak aku sampai di Seoul.

“Nado bogosipho”

Tak lama kemudian aku sudah masuk kedalam rumah halmoeni yang sudah lama tak pernah aku kunjungi. Tidak ada yang berubah. Foto-foto pernikahan appa dan mom masih terletak di tempatnya, begitu juga dengan beberapa foto ku bersama halmoeni dan haraboji. Aku berjalan di depan bingkai-bingkai foto itu dengan senyum getir.

“Soo, apakah baik-baik saja kalau malam ini kau tidur di kamarmu yang dulu?” aku menoleh ke arah appa sambil menganggukan kepala tanda setuju.

Pelan-pelan kubuka pintu bercat biru muda kesukaanku itu. Dulu waktu mom dan appa masih bersama setiap satu bulan sekali kami bertiga akan bermain ke rumah halmoeni dan haraboji. Rumah halmoeni berada di daerah Daegu dan berdepanan dengan pantai. Di belakang rumah mereka terdapat sebuah lahan yang ditanam berbagai buah-buahan sesuai dengan musim. Maka itu aku sangat senang jika sudah weekend, karena kami bertiga akan pergi ke Daegu dan menghabiskan waktu bersama di pantai.

Kubereskan barang-barangku dan mandi. Usai mandi, aku melihat appa sedang berbaring di kamarnya. ku ketukkan tanganku pelan di pintu kamarnya.

“Masuk”

“Appa, sedang apa?” aku melihat-lihat isi kamar appa dan terkesiap. Benar-benar tidak ada yang berubah. Dari suasana nya yang tenang karena langsung menghadap pantai, sampai bingkai-bingkai foto pernikahan dan fotoku saat bayi.

“Kenapa semua ini masih disini? Kenapa appa tidak membuangnya?” aku bertanya dengan perasaan yang campur aduk. Antara senang karena dengan itu berarti appa tidak pernah melupakanku dan mom. Atau pun marah, aku marah karena appa masih saja seperti itu. Tidak tau kah dia mom sudah melupakannya dan bahagia dengan orang lain?

“Tidak papa. Biarkan saja semuanya disitu, Soo” appa menjawab pertanyaanku tanpa melihatku. Tatapan nya berada lurus ke pantai.

“Appa tidak berniat menikah lagi?”

“Menikah lagi? Tidak, tidak akan pernah terjadi. Hah, entah kenapa setelah berpisah dengan mom-mu appa sudah tidak perduli lagi dengan kehidupan rumah tangga. Entah apa alasannya, tapi appa tidak bisa melihat orang lain selain mom-mu”

Aku bisa melihat senyum getir apa dibalik bibirnya. Aku benar-benar tidak tau jika appa seperti ini. Appa tidak pernah melupakanku dan mom. Bahkan apa tadi kata appa? Dia tidak pernah berniat menikah lagi. Bayangkan saja, lelaki mana yang betah sendiri. Jika aku jadi dia mungkin aku sudah menikah lagi dan hidup bahagia.

Suasana menjadi beku karena tidak ada satupun dari kami yang berbicara.

“Appa, aku ke pantai dulu”

“Ya, berhati-hatilah”

Aku pun beranjak dari tempat appa untuk keluar. Aku ingin pergi ke pantai untuk mencari udara segar. Sungguh rasanya dadaku sesak berlama-lama di kamar appa.

#

Aku berjalan di atas pasir pantai tanpa alas kaki. Aku memasang headsetku dan duduk di tepi pantai. Ku amati semua yang ada pada pantai yang telah aku tinggalkan selama 8 tahun ini.

Tuk~

“Ah, maaf”

Sebuah bola menggelinding tepat dikaki-ku. Sebuah suara terdengar meminta maaf padaku yang hanya kubalas dengan anggukan kepalaku.

“Soo…”

Kenapa appa menyusul pikirku. Dengan pelan ku angkat kepalaku menghadap ke atas.

“Kim Jongin?”

“Ya, kenapa kau ada disini?” ternyata kesialanku tidak berakhir sampai disini. Kenapa orang aneh ini bisa ada disini?

“Kau tinggal disini?” mulutku berbicara tanpa berkompromi dulu dengan otakku.

“Itu rumahku” aku menoleh ke rumah halmoeni dengan cepat.

“Bukan yang itu, disebelahnya. Yang berpagar kuning.” Jelasnya lagi. Aku meghembuskan nafas lega.

“Oh” aku tidak ingin memperpanjang obrolan antara aku maupun Jongin. Melihatnya berada disini saja sudah membuatku sakit perut. Aku memutuskan untuk kembali ke aktivitasku tadi. Mendengarkan lagu sambil bermain pasir. Jongin tidak pergi, dia ada disini dan duduk di sebelahku. Aku tidak perduli. Jongin dan aku melakukan aktivitas kami masing-masing tanpa menggangu satu sama lain.

Hari sudah semakin senja. Ku lihat matahari seperti sedang tertelan air laut. Ku lepaskan headsetku dan kudengar bunyi ombak yang meraung. Angin menerpa wajahku dengan lembutnya, samar-samar ku cium bau pantai yang semakin asin. Sekarang matahari sudah benar-benar tertelan oleh lautan.

Aku berdiri sambil membersihkan celanaku dari pasir pantai. Aku berbalik dan berjalan pulang, meninggalkan Jongin dibelakang.

.

Aku belum sepenuhnya terjaga, kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka jendela dengan perlahan. Wajahku disambut dengan angin dingin pantai Daegu. Ombak pantai menderu dibawah sinar rembulan.

Jongin masih disana, dan masih diposisi yang sama. Kepalanya masih tertunduk di kedua lututnya yang mengatup. Ku lihat punggung nya yang gemetar menahan dingin nya udara di pantai.

“Bodoh, apa yang dilakukan orang itu?” aku membatin. Satu jam berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan Jongin masih belum beranjak dari pantai. Tiba-tiba sebuah ide muncul di otakku. Ku buka ransel ku dan rogoh sesuatu disana.

Klik~ Tret~

Selembar foto tampak keluar pelahan dari sebuah kamera polaroid putih milik Kyungsoo. Kyungsoo mengabadikan sebuah punggung yang tengah gemetar di bawah sinar rembulan itu.

Aku tersenyum puas dengan hasil jepretanku. Kuletakkan kamera polaroid itu ke tempatnya semula, setelah itu aku kembali ke depan jendela. Shut~ angin menjatuhkan foto Jongin tadi ke bawah kakiku. Kudongakkan kepala ku condong kebawah dan foto Jongin sudah ada ditanganku sekarang. Kantuk sudah menyerang, kulirik lagi jam yang ada samping tempat tidurku. Hampir pukul 1 dini hari.

#

“Kyungsoo bangun” aku berbalik ke arah pintu dan melihat appa tengah berdiri dengan celemek dipinggangnya. Aku mengganguk pelan dan beranjak masuk ke kamar mandi.

Matahari sudah kembali terbenam. Ini sudah kali kedua aku melihat laut menelan matahari di Daegu. Dingin mulai terasa, suara ombak sudah mulai meraung dengan kerasnya sama seperti kemarin. Tapi, hari ini ada yang berbeda.

Tidak ada Jongin.

2 minggu telah berlalu dan aku tidak meninggalkan rutinitasku melihat laut menelan matahari setiap hari. Aku tetap duduk dipantai ini sampai bulan telah keluar dari persembunyiannya. Semua nya masih sama.

Sampai malam terakhir aku berada di Daegu-pun aku masih melakukan rutinitas itu. Hari ini aku memutuskan untuk duduk lebih lama. Memutuskan untuk melihat bulan yang semakin meninggi. Sampai pukul 10 aku duduk di pantai dan menunggu Jongin.

Tapi sampai keesokan harinya pun. Jongin benar-benar tidak ada.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet