Chapter 1.

Another;world

_____________

 

 

 

“Aigoo!”  Seorang wanita paruh baya berteriak histeris mengikuti iringan dokter-suster yang sedang sibuk membawa seorang pasien ke ruang gawat darurat. Disetiap lorong pasien—pria itu berusaha menarik udara agar ia bisa bernafas. Yang ia harapkan hanya udara, seberapa susah sih untuk menghirup benda tak kasat mata itu? Kau lahir dan tidak ada yang mengajarimu untuk bernafas—kau bernafas dengan sendirinya kan?

 

Tapi, pria itu ternyata tidak tahu bagaimana menarik udara agar ruang likup paru-parunya terisi. Ia tersentak-sentak dikasur beroda itu, seakan meminta siapapun agar memberinya udara sedikit apapun. Dia bukan hanya ingin dan meminta—he’s need those ing air!

 

Wanita paruh baya disampingnya terhenti karena seorang suster menyuruhnya agar tidak masuk ke dalam ruang UGD. Pipinya mulai dibasahi dengan air mata. Takut-takut orang kesayangannya itu bisa diambil kapan saja.

                        

_____________

 

 

Tanpa ragu-ragu dokter mengambil gunting lalu memotong baju sang pasien. Dibantu oleh beberapa suster, ia mulai melakukan praktek atau pengobatan cara cepat. Tentu saja, ini benar-benar darurat!

 

Dokter sudah memberikan selang oksigen—tetap saja si pasien susah untuk bernafas. Mungkin masih harus beradaptasi dengan udara. Dan hal seperti ini tidak berhenti sampai dua jam kemudian pria itu sudah bisa bernafas dengan baik.

 

Menurut pendaftaran yang dilakukan sebelumnya, tertera sebuah nama dipapan kecil, tepatnya di gagang kasur pasien tadi.

 

Nama: Luhan
T.T.L: Beijing, 1990-04-20
Pheunomia critis

 

Ah—namanya Luhan.

 

Bersama suara mesin detak jantung, kedua mata Luhan terbuka dan mulai berkedip menyesuaikan cahaya. Ia cukup terkejut dengan seorang pria sedang memeriksa dadanya menggunakan stetoskop—terlihat semakin bodoh karena ia mengiyakan saja untuk membuka setengah baju rumah sakitnya.

 

“Jantungnya sudah kembali normal.” Kata sang dokter sembari berbalik ke belakang. Bertatapan dengan ibunya Luhan—yang tadi panik. “Begitu kah? Ah, terima kasih banyak.” Ia tersenyum lalu membungkuk. “Kalau begitu, saya permisi.” Dokter itu pun membalas bungkuk-an kemudian pergi dari ruang rawat.

 

“Aigoo, aigoo,”  Ibunya luhan (Misalnya saja, Xiao) menggelengkan kepalanya lalu duduk dikursi. Memukul lengan anaknya pelan, “Aku hampir berpikir kau itu akan meninggal. Ibu tadi ketakutan hebat.” Ungkapnya dengan wajah dramatis. Luhan tertawa kecil menanggapinya.

 

Xiao menghela nafas lalu bibirnya berubah menjadi senyuman kecil—Luhan tidak melihatnya sedang tersenyum—tetapi sedang menangis. “Ibu bersungguh-sungguh bisa sekarat karena kau tidak bisa bernafas. Kenapa bukan ibu yang seharusnya seperti itu?”

 

Ani—ibu tidak boleh bicara yang tidak-tidak. Aku baik baik saja. Lihat!” Luhan mengambil udara agar ibunya itu percaya bahwa iya tidak sakit. “Aku bisa bernafas! Ibu tidak usah khawatir.” Xiao hanya bisa tersenyum. “Ibu ke bawah dulu, ya? kalau tidak salah ada perwakilan kelas begitu—ibu tidak tahu jelas,”

 

Luhan mengangguk mengerti.

 

Ara, ibu pergi dulu.”

 

Luhan menghela nafas saat ibunya pergi ke luar. Ia merasa bersalah, sekarang. Luhan hanyalah satu-satunya pria dikeluarga Xiao. Harusnya Luhan yang menjaga keluarga—bukan ibunya saja. Awalnya, Luhan tidak berpikir ia akan mendapatkan penyakit menyebalkan seperti ini. Karena memang sewaktu ia kecil, ia sangat menyukai permainan sepakbola. Dengan begitu berarti Luhan aktif kan? Sekumpulan berbagai macam virus kuman dan bakteri menyerangnya secara tiba-tiba ketika Luhan sedang dalam kondisi yang lemah.

 

Luhan baik k—“Luhan?” Luhan berhenti bermimpi dan menoleh ke pintu ruang rawat. “Y-ya?” Katanya gugup. “Luhan kan? Yang baru ditransfer ke Seoul High School?” Ucap pria berkacamata. Sekitar ada tiga orang yang masuk ke dalam ruang tersebut. Terdiri dari dua orang wanita dan satu pria berseragam. Luhan memincingkan matanya pada seragam yang digunakan—Berlambang serigala dan bertuliskan—Seoul High School.

 

“I-i-iya. Kenapa?”

 

“Oh—aku lupa. Perkenalkan, namaku Baekhyun. yang berambut coklat Kim dan—“

 

“Hyeri.” Luhan, Baekhyun dan Kim terkejut ketika salah satu dari mereka memotong pembicaraan. Terdengar ketus dan galak memang—namun Hyeri tetap tersenyum sambil memandangi Luhan yang sudah duduk dikasur. “Maaf!” Kata Baekhyun, membungkuk 90derajat.

 

“Hye—“

 

“Luhan!” Hyeri tiba tiba berteriak. “I-iya?” Sahut Luhan. “Se—selamat datang diSeoul High School. Ini—“ Hyeri menoleh ke Baekhyun lalu merebut secarik kertas dari tangannya. “Ini jadwal sekolah. Oh, iya. Kami membawa bunga. Semoga kau cepat sembuh! Bye-bye!”

 

Luhan mengernyit. “Perwakilan sekolah? mereka dari kelas mana? Aku—tidak yakin mereka itu yang diperwakilkan dari sekolah.”

 

____________

 

 

Luhan berjalan dilorong rumah sakit dengan santai. Sudah sehat bukan? Tidak perlu ada infus berjalan yang harus menemaninya. Alhasil, ia sudah boleh pulang dan ibunya sudah menunggu diparkiran. Kakinya berjalan menuju lift—cukup seram dan Luhan sedikit takut naik lift sendirian—ya, kau tahu—takut jatuh.

 

 

Udara tiba-tiba dingin. Luhan bergumam, apakah karena baju rumah sakit yang tipis? Sepatu rumah sakitnya juga hangat kok. Bulu kuduknya berdiri tanpa sebab dan ia dapat merasakan kehadiran seseorang dibelakangnya. Dengan perlahan ia berbalik dan—

 

 

 

 

 

 

 

Kosong.

 

Rasa ini jarang ia rasakan. Lagi-lagi ia berpikir, seseram inikah rumah sakit diSeoul? Ketika ia tinggal di Beijing—Luhan biasa saja masuk ke rumah sakit maupun liftnya.

 

 

“Ternyata.” Luhan mengelus dadanya pelan. Lega. Ia ingat, ia lupa menekan tombol lift dan segera ia berbalik—

 

“Kkamjakiya!”  Luhan setengah berteriak. Seorang pria bertubuh tinggi ada disampingnya sekarang. Membawa boneka yang berwujud pangeran. Luhan……..tidak salah lihat kan? “K-kau membuatku kaget.” Kat Luhan tertawa canggung.

 

Pria itu diam, tidak merespon. Luhan menyadari akan suatu hal. Mata kiri orang disebelahnya ternyata ditutupi perban. Polosnya, Luhan mencerna bahwa dia adalah seorang pasien tapi menggunakan seragam. Tunggu? Seoul—High school?

 

Luhan tersenyum, “Ah, kau murid dari Seoul High School ya?” Tidak ada respon.

 

Lift semakin turun dan terus turun hingga lantai terbawah dari rumah sakit. Ketika suara bell lift berbunyi, pria itu berjalan keluar lift. “Tu-tunggu!” Teriak Luhan, berlari kecil mengejar pria tadi. Ia sempat terdiam ketika melihat papan petunjuk ruangan bertuliskan –Ruang Mayat—“Mau kemana kau?” Dia berhenti melangkah tapi kembali tidak merespon. “Namamu? Kau pasti punya nam—“

 

“Sehun.”

 

“Se?—“

 

“Sehun.” Sehun menoleh ke Luhan. Memberikan tatapan mata yang sayu, “Oh Sehun.” Setelahnya Sehun kembali melangkah menuju lorong yang ditunjung sebagai Ruang Mayat tadi. Lorong yang gelap. Lampunya pun mati-nyala-mati-nyala.

 

“Hng—“ Luhan meraih dadanya. Sakitnya kambuh lagi. Tapi, bukan diparu-parunya—jantungnya berdetak terlalu kencang dan sakitnya begitu sakit. Luhan sadar ia akan pingsan karena—

 

 

BRAK!

 

__________

 

 

Luhan membuka keduanya. Seperti baru lahir. Ia hanya bisa terdiam wajah pr—Sehun kembali muncul dipikirannya. Untuk apa seorang pelajar yang matanya diperban pergi ke kamar mayat? Maksudnya—kamar mayat yang sudah dibilang sudah lama. Tidak dipakai lagi.

 

“Rupanya sudah bangun.”

 

Luhan tersenyum lalu mengangguk. “Aku terkejut kau bisa berpura-pura sehat.” Luhan mengernyit lalu bangkit dari kasur. Memandangi betapa indahnya pemandangan kota Seoul.

 

Indra pendengaran Luhan menangkap tawa seorang wanita, “Tidak mengerti?” Katanya. “Sepertinya.”

 

“Ibu masih bisa dibodohi olehmu, ya. ibu percaya kau sudah sehat dan dibiarkan berkeliling rumah sakit tanpa infus—oh, iya. Aku lebih terkejut saat melihat adikku pingsan didekat ruang bawah.”

 

Luhan kembali terdiam dan kini membalikan tubuhnya. Memperhatikan seorang wanita berambut panjang, lurus—sedang merapihkan kasurnya. “Aku?” Tanya Luhan masih bingung.

 

Sebut saja nama wanita itu Yuan, kakaknya Luhan. “Iya. Aku lebih lebih lebih terkejut kalau kau tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam.” Yuan tertawa kecil. “Hm.” Luhan berdehem pelan. Masih mengingat yang terjadi kemarin tapi yang muncul hanyalah Sehun—wajah pucatnya itu membuat ia merinding.

 

“Hanya saja kemarin—aku—“ Luhan menggantung kalimatnya. “Aku?” Yuan menunggu. Luhan menggelengkan kepalanya lalu tersenyum, “Aku lupa yang kemarin terjadi. Ngomong-ngomong, ibu ada dimana?”

 

“Ibu sedang mengurus passport kakek.”

 

“Kakek ikut ke beijing?”

 

Yuan mengangguk. “Tentu. Nenek sudah tidak ada, siapa yang mau menjaga kakek disini?”

 

“Kakek—dimana?”

 

“Kulihat kakek ada ditaman.” Luhan tersenyum lalu berjalan keluar kamar. Ia masih—ngeri dengan kejadian kemarin. Setiap ia melewati lorong rumahnya—Sehun selalu muncul dilayar matanya. Seakan Luhan memang dihantui. Begitupula dengan rumah Luhan. Banyak lorong dan banyak unsur kayu. Memang sejuk—“Kakek?” Luhan menggeser sebuah pintu kayu didekat taman. Ada ruangan dimana kakeknya selalu diam disitu.

 

“Luhan?”

 

“Ah, iya. Selamat pagi.”

 

“Selamat pagi.” Katanya dengan suara serak. Luhan selalu tersenyum menanggapi sesuatu, “Kakek ikut ibu ke Beijing?” Tanyanya, tidak masuk ke dalam ruangan. Kakek mengangguk sebagai jawaban. “Kakek rindu dengan Yuan.”

 

“Yuan nanti tinggal disini. Lalu, untuk apa kakek ke Beijing?”

 

“K—“

 

“Luhan!” Yuan berteriak kencang. Ia berlari sembari terengah-engah menghampiri Luhan. Seperti jackpot—“Ada telfon dari ayah.” Yuan menyodorkan ponselnya.

 

“Halo?”

 

“Aiyaaaa! Luhan-ya!” Luhan tertawa canggung mendengar celotehan ayahnya itu. “Bagaimana kabarmu? Oya, oya—operasimu bagaimana? Sudah sehat?”

 

“Ba—baik. Operasi berjalan lancar.”

 

Aigoo. Maafkan ayah tidak bisa menemanimu. Ku dengar, kau ada komplikasi antara paru-paru dan jantung ya?”

 

“Jantung?” Batin Luhan. “Se, sepertinya memang komplikasi. Aku juga tidak ingat rasanya.” Bohong.

 

Dari sana Ayah tertawa, “Benarkah?” Luhan dapat mendengar ayahnya menghela nafas. “Semoga kau cepat sembuh! Ayah ingin melihat kemampuan sepak bolamu sekarang!”

 

Aku tidak ingat kapan aku bermain bola lagi. Itu sudah menjadi masa lalu yang kelam.

 

 

“Bagaimana kabarmu? Ada pekerjaan yang baru?” Luhan berlari kecil ke taman. Kemudian duduk dibawah pohon. Terkadang matanya ikut tersenyum memandangi kupu-kupu yang asyik bermain. “Disini banyak ilmuan yang harus bersaing dengan ketat, Luhan-ya. Kepala ayah mulai botak.” Ujarnya membuat Luhan tertawa. Sedetik kemudian Luhan diam, ayahnya pun diam.

 

 

Mungkin, Luhan canggung. ia sudah tidak bertemu dengan ayahnya selama lima tahun lamanya. Ia pindah ke busan karena ibunya ada pekerjaan tapi sekarang karena kakaknya bekerja sebagai seorang guru diseoul—ia pindah ke sini. Intinya, Luhan sudah mahir bicara bahasa korea dan menjadi orang asing bagi Ayahnya.

 

Ja, ayah harus kerja lagi.”

 

“Hm.”

 

Bye! Hati-hati disana.”

 

“Iya.” Luhan menjauhkan handphone dari telinganya ketika sudah mendengar dengungan bahwa telefon sudah dimatikan. Luhan terus tersenyum menanggapinya. Sampai-sampai ia tidak bisa menghitung berapa kali ia tersenyum.

 

“Kakek!” Luhan mengalihkan pandangannya pada ruangan dimana tadi ia menengok sang kakek. “Yuan! Yuan!” Mata luhan membulat saat melihat kakeknya memberontak sambil menangis. Sementara Yuan sedang menenangkan kakeknya. “Yuan cepat kembali!”

 

“Kakek. Aku disini!”

 

“Surga bukan tempat yang cocok untukmu!”

 

“Kakek! Yuan ada disini! Disampingmu!” Pada akhirnya Luhan mendengar bentakan dari kakaknya. Bentakan yang sudah diakhir batasnya. Hening. Itulah yang ia sadari selanjutnya.

 

“Luhan!” Yuan berteriak.

 

Luhan menggigit bibirnya kasar.

 

“Luhan! Luhan!”

 

Pandangannya mulai kabur.

 

“LUHAN!”

 

 

 

 

BRAK!

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Cungils #1
Chapter 1: Ada lanjutannya kah???