Naeun Special; Hyouka & Hunger Games

Phantasmagoria ♕ AU Meme oneshots & drabbles collection ;

HAPPY BIRTHDAY SON NAEUN!!!

(well it's kinda late but whatever)

 


Characters: Son Naeun (A Pink) as Chitanda Eru, Kim Myungsoo (Infinite) as Oreki Houtarou

AU: Hyouka, based on my edit of exopinkfinite’s hyouka au

Introductions: Seorang pemuda hemat energi dipaksa untuk bergabung dengan Klub Literatur Klasik oleh kakak perempuannya agar klub tersebut tidak dibubarkan. Mengharapkan kehidupan klub yang tenang, nyatanya ia tidak bisa berkutik begitu mendapati seorang gadis yang penuh rasa penasaran justru ikut bergabung di dalam klubnya.

Words: 1,532

 

 

 { Little Birds Can Remember }

 

Setahun yang lalu, mungkin tidak akan ada yang percaya bahwa Kim Myungsoo akan jauh-jauh datang ke bagian selatan desa ini di hari libur pergantian tahun ajaran.

Myungsoo yang setahun lalu, masihlah seorang bocah remaja yang ‘super hemat energi’, meskipun itu hanyalah istilahnya sendiri untuk membuat kata ‘super malas’ menjadi terkesan sedikit lebih keren.

 Myungsoo yang dulu mungkin justru akan menertawakan ide tentang dirinya yang mau bangun dari kasur penghangat dan malah bersepeda berkilo-kilo meter jauhnya, hanya untuk kemudian menggantikan seseorang menjadi pembawa payung dalam sebuah parade yang menjadi prosesi adat di tempat tinggalnya.

Jika bukan karena gadis itu yang memintanya untuk melakukan ini semua, Myungsoo sekarang pasti masih bergulat dengan kasur penghangatnya.

Gadis yang sekarang sedang berjalan beriringan bersama dirinya sembari ia menuntun sepedanya pulang.

Ia mungkin tidak akan pernah bisa mengerti Son Naeun dan efek yang diberikan gadis itu kepadanya.

Kota mereka memang cukup besar, meskipun tidak padat dengan penduduk karena wilayahnya lebih banyak digunakan sebagai sawah dan lahan pertanian. Tetapi hampir tidak ada satu orangpun yang belum pernah mendengar kemahsyuran Keluarga Son sebagai pemilik tanah pertanian terbesar. Keluarga yang menjadi seperti bangsawan bagi orang-orang di desa mereka karena kekayaannya sebagai pemilik lahan dan industri tani.

Dan putri tunggalnya yang bernama Son Naeun dipertemukan oleh takdir dengan Kim Myungsoo, menyeret bocah pemalas itu untuk turut serta ke dalam arusnya.

Son Naeun selalu diliputi oleh rasa penasaran dan antusiasme yang terkadang berlebihan. Celakanya bagi Myungsoo, sejak ia kebetulan memecahkan suatu ‘misteri’ yang membuat gadis itu penasaran, Son Naeun tidak pernah berhenti mengganggunya. Atau, itu yang dulu seorang Kim Myungsoo pikirkan. Lucunya Myungsoo yang saat ini sedang menuntun sepedanya di samping Naeun, lama kelamaan telah terbiasa dengan keberadaan gadis itu dan rasa penasarannya yang meluap-luap. Ia tidak tahu kenapa ia tidak pernah bisa menolak permintaan Naeun.

Mungkin karena sesungguhnya, ia menyenangi keberadaan gadis itu di sampingnya?

Mungkin saja.

Langitnya sudah berubah warna menjadi campuran antara warna jingga dan merah muda setelah mereka berjalan beberapa lama. Sungai kecil di samping mereka mengalir dan mengeluarkan suara air yang berdesir lembut. Myungsoo dan Naeun tetap berjalan dalam ketenangan, sepedanya dituntun oleh Myungsoo di antara mereka.

“Myungsoo-ssi.” Naeun mendadak bersuara dengan suara lembutnya yang menenangkan seperti biasa. Myungsoo hanya meliriknya sedikit dan menunggu gadis itu untuk meneruskan. “Tadi persiapannya agak menimbulkan keributan sedikit ya?”

Pikiran Myungsoo memutar kembali ingatan ketika beberapa jam lalu orang-orang pengurus kuil keributan karena prosesi adat yang mereka jalani harus mengubah jadwal dan rute mereka karena suatu hal.

Myungsoo tidak pernah banyak berbicara ketika tidak benar-benar diperlukan, salah satu dari kebijakan ‘hemat energi’ yang ia pegang, jadi dia hanya mengangguk pelan dan menimpali sedikit. “Para pengurus kuil agak kebingungan ketika kita harus mengganti rute paradenya. Tapi semuanya diam begitu kau bilang yang akan mengurusnya.”

Naeun terus menunduk melihat ke arah jalan setapak yang mereka lewati, “Itu karena kita harus mengganti rutenya melewati Desa Selatan sedikit…” ucap Naeun lamat-lamat. Seolah, ia tidak begitu yakin mengapa topik ini keluar dari mulutnya. Walaupun begitu Naeun tetap melanjutkan kata-kata yang terlanjur ia ucapkan itu.

“Kota ini memang dibagi menjadi dua desa, utara dan selatan. Sebenarnya dulu kedua desa sering berebut wilayah dan air, meskipun itu tidak pernah lagi terjadi sekarang. Tetapi tetap saja memasuki teritori desa lain dalam sebuah prosesi agama, tanpa pemberitahuan lebih dulu, akan menyebabkan sedikit konflik yang muncul.”

“Ah… jadi begitu.” Sebelum ini, Myungsoo tidak pernah mau repot-repot membuang energinya untuk mengingat sejarah tentang daerah yang ia tinggali.

“Mereka harus memberitahu kepada Desa lainnya, tapi para pengurus kuil tidak punya seseorang yang bisa…”

“Dan karena itulah kau muncul dan mengambil alih urusannya.”

Naeun tetap memaku pandangannya ke bawah, “Kalau aku yang meminta ijin kepada Pendeta Kuil yang ada di Selatan, mereka tidak perlu khawatir.”

“Begitu, seperti yang dibilang Kyungsoo, Keluarga Son memang benar-benar punya kekuasaan sendiri.” timpal Myungsoo pendek. Suara sepeda yang dituntun mengisi keheningan yang terkadang muncul di antara jeda suara mereka.

“Aku selalu bertanya tentang itu.”

Myungsoo tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak melirik ketika ia menyadari ada nada sedih yang tersembunyi di suara Naeun.

Gadis itu mengambil nafas sedikit lalu melanjutkan, “Apa yang kulakukan hanyalah menyelesaikan masalah di antara dua sisi sebuah kota kecil, tidak lebih.”

Myungsoo dengan berat mengeluarkan suaranya, “Mungkin… kau ada benarnya.”

“Kalaupun aku pergi untuk melanjutkan sekolahku di universitas, pada akhirnya aku harus kembali ke tempat ini. Tidak peduli jalan apapun yang akan aku ambil, tujuan akhirnya adalah di sini.”

Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Naeun. Seorang putri tunggal dari sebuah kerajaan bisnis pertanian, akhirnya pasti dituntut untuk meneruskan usaha keluarganya. Myungsoo berpikir mungkin akhirnya ia bisa mengerti seorang Son Naeun sedikit. Gadis dengan rasa ingin tahu yang besar seperti Naeun, tidak bisa melihat dunia luar bahkan ketika ia menginginkannya. Pasti akan terasa seperti terkungkung dalam sebuah kandang.

“Myungsoo-ssi, untuk tahun ajaran depan, kau berencana mengambil jurusan sosial atau ilmu alam?” Myungsoo tidak benar-benar yakin mengapa Naeun tiba-tiba mengubah topiknya.

“Oh… aku rasa aku akan mengambil jurusan sosial.”

“Kalau aku memilih ilmu alam.” sahut Naeun dengan enteng.

“Begitu…”

Naeun kemudian mengalihkan pandangan ke bawah kembali, “Aku sama sekali tidak kecewa atau sedih kalau aku harus kembali ke tempat ini. Ada tugas yang harus kuselesaikan sebagai seorang putri Keluarga Son. Seumur hidupku, aku selalu memikirkan bagaimana caranya.”

Myungsoo tidak luput menangkap kata itu, “Ho… ‘Bagaimana’… ya?”

“Aku telah memikirkan dua cara. Yang pertama, untuk menemukan metode cangkok yang lebih baik sehingga orang-orang bisa menikmati hasil panen yang lebih banyak.  Sedangkan yang kedua adalah memperbaiki sisi bisnisnya agar produksi makin meningkat dan menghindari pengeluaran yang besar.”

Diam-diam, mendengar itu Myungsoo mulai kagum karena seorang gadis berumur 16 tahun telah memikirkan itu semua. Dan lagi, beban yang diletakkan di pundak Naeun terasa begitu berat tiap kali ia mendengar gadis itu berbicara.

“Pada akhirnya aku memilih untuk mengejar cara yang pertama.”

“Karena itu kamu memilih jurusan ilmu alam?” Myungsoo sudah tahu di dalam hatinya bahwa Naeun akan menjawab ‘ya’. “Aku harus setuju kalau pilihan yang kedua tidak terlalu cocok untukmu.”

Dan kemudian Naeun pun tersenyum lembut, “Sewaktu Festival Budaya kemarin aku terlalu mengacaukan banyak hal. Aku rasa aku memang tidak cocok untuk mengurus perusahaan.”

“Yah, aku juga berpikir begitu.”

Mereka sampai pada sebuah pohon sakura besar yang sudah mekar ketika Naeun tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika Myungsoo turut berhenti dan menoleh, Naeun berdiri dengan kepala ditundukkan dan raut wajah yang jatuh. Gadis itu menghadap ke arah Myungsoo, membelakangi pohon sakura, dan kemudian merentangkan kecil kedua tangannya.

“Coba lihat, Myungsoo-ssi. Ini adalah tempatku. Di sini hanya ada air yang mengalir dan tanah yang membentang. Orang-orangnya tumbuh semakin tua dan kelelahan. “ Kedua mata Naeun setengah menutup dengan kepedihan, “Aku tidak pernah berpikir tempat ini adalah yang paling indah, atau memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Tapi…”

Pundak Naeun kemudian jatuh dan wajahnya termenung kembali, menolak untuk menatap ke arah Myungsoo. “Aku ingin supaya Myungsoo-ssi bisa melihatnya.”

Dan Myungsoo hanya berdiam terpaku di tempatnya.

Sudah berapa lama Naeun selama ini merasa sendirian? Harus seberapa jauh Naeun menanggung semua beban itu sendiri di pundaknya? Hanya untuk membuat bisnis keluarganya tetap berjalan dan membantu desa ini agar jauh lebih baik? Kenapa, kenapa mereka membiarkan seorang gadis muda sepertinya duduk dan terkekang menerima apa yang mereka bilang harus ia lakukan?

Myungsoo ingin berbuat sesuatu. Ia ingin mengatakan pada Naeun, bahwa gadis itu tidak harus menyeret semua beban itu sendiri. Myungsoo ingin berteriak, bahwa Naeun bisa membagi sebagian beban yang gadis itu miliki, kepadanya. Karena Myungsoo tidak ingin Naeun sendirian lagi.

Ia ingin berteriak untuk seorang gadis yang terbungkam.

“Myungsoo-ssi?”

Lamunannya buyar dan suara Naeun membuat Myungsoo terhenyak. Pegangannya di kemudi sepeda secara refleks semakin menguat. “O-oh b-bukan apa-apa.”

Naeun menelengkan kepalanya sedikit, menatap Myungsoo dengan kedua matanya yang lebar dan terlihat jernih. Di bawah kedua bola mata itu, Myungsoo tidak pernah merasa tidak canggung. Pemuda itu mencoba untuk mengeluarkan suara, tetapi tidak ada satupun kata-kata yang terbentuk. Tenggorokannya mendadak terkunci.

Mungkin inikah yang Kyungsoo pernah rasakan dulu pada Namjoo? Ditekan sampai pada batas yang dirimu bisa bayangkan. Dihadapkan dengan pilihan untuk melewati batas itu atau mundur dan bertahan dengan dirimu yang sekarang.

Myungsoo bisa merasakan pipinya mulai menghangat. “I-ini sudah semakin dingin.”

Mendengar itu, Naeun menaikkan kedua alisnya, lalu ia tersenyum kecil. “Tidak juga, musim semi sudah mulai datang.”

Ketika Myungsoo menoleh ke arahnya, saat itulah ketika angin mulai bertiup. Helai-helai bunga sakura dari pohon besar yang ada di belakang mereka pun beterbangan hingga berbentuk seperti hujan kelopak bunga berwarna merah muda. Naeun sempat ditakjubkan dengan tiupan angin yang berdesir serta kelopak-kelopak bunga sakura yang menari-nari di sekelilingnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam itu pun turut tertiup dan menggelombang seperti deburan ombak legam. Wajah gadis itu kemudian berseri, pandangan mereka untuk sesaat bertumbuk dan Naeun tersenyum hangat kepada Myungsoo.

Bagi Myungsoo, itu adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat.

Pemuda itu tidak pernah menyangka pipinya akan memanas lagi, dan kali ini dadanya bahkan terasa sesak. Sungguh, makin lama ia makin tidak bisa mengendalikan kebijakan ‘hemat energi’nya. Myungsoo mengalihkan tatapannya dan memilih untuk memandang keranjang sepedanya. Semua perasaan ini sebetulnya terasa melelahkan.

Tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah perasaan yang menyenangkan, dan hangat. Jadi pada akhirnya ia tersenyum, sebuah senyuman tulus yang mungkin sahabat baiknya Kyungsoo pikir tidak akan pernah terbentuk di wajahnya.

Inilah efek Son Naeun yang bisa diberikan kepada seseorang seperti Kim Myungsoo.

 

 


 

Characters: Son Naeun (A Pink) as Madge Undersee*, Kim Jongin (EXO K) as Gale Hawthorne, Kang Seulgi (Red Velvet) as Katniss Everdeen

AU: The Hunger Games (Book)

Introduction: Dunia di mana anak-anak yang berumur 12 hingga 18 tahun dihantui oleh sebuah permainan keji dan mematikan bernama Hunger Games tiap tahunnya, di sebuah negara yang dikendalikan oleh diktator-diktator kejam dan tamak.

Words: 4,065

[*] Madge Undersee adalah karakter yang HANYA ada di dalam buku dan tidak ada di film. She was the only female friend Katniss ever had and the original owner of the Mockingjay Pin, and it was implied that there is something between her and Gale as suggested by Haymitch. Tapi cerita berikut ini 70% berdasarkan head-canon dan fan-canon, dan bukan dari buku aslinya karena buku asli sangatlah Katniss sentris, leaving out any things that don’t involve Katniss.

 

 

{ Sparks of Lullaby }

 

Jika ada yang menyebutkan nama mereka berdua dalam satu kalimat, bisa dipastikan nama keduanya hanya bisa disatukan (atau dipisahkan) oleh konjungsi dan bukannya tanda seperti koma. Itu karena mereka adalah dua orang dengan jenis berbeda, sangat bertolak belakang hingga nyaris mustahil menyebut mereka dalam daftar urutan atau kategori yang sama. Seolah-olah garis takdir dunia menempatkan dua orang ini sebagai ujung masing-masing kutub.

Atau mungkin itu semua hanya karena mereka terlahir di tempat dan kondisi yang menyebabkan mereka berdiri di posisi mereka saat ini? Bisa saja.

Negara Panem, Distrik 12.

Bukan tempat yang menyenangkan, tentunya. Distrik paling miskin di sebuah negara yang diperintah oleh kediktatoran kejam dengan ketimpangan sosial paling tajam yang pernah ada di sejarah muka bumi. Kebebasan bukanlah pilihan. Kesejahteraan bukan jaminan. Hanya mereka yang tinggal di Capitol, pusat dan Ibu Kota dari negara ini, yang bisa menikmati hasil jerih payah penduduk yang tinggal di Distrik yang keseluruhannya berjumlah dua belas.

Ini adalah negara di mana anak-anak, yang tinggal di Distrik, selalu menggantungkan harapan mereka setiap tahunnya sampai akhirnya mereka berumur 18 tahun. Karena ketika mereka menginjak umur 12 tahunlah nama mereka akan masuk ke dalam wadah undian, berharap nama mereka tidak akan dipanggil untuk mengikuti permainan kematian yang disebut dengan The Hunger Games.

Dengan kondisi yang seperti itu, tentunya, apa yang bisa diharapkan.

Dua orang anak manusia ini belajar bertahan hidup dalam perbedaan yang menggaris batasi tempat mereka berdiri.

Kim Jongin adalah pemuda yang tumbuh besar di bagian Distrik 12 yang disebut dengan “Seam”. Daerah kumuh tempat para penambang batu bara tinggal dengan udaranya yang kotor dan dipenuhi abu dari pertambangan. Rumah-rumahnya kebanyakan dibangun seadanya dengan kayu-kayu tipis, yang tentunya tidak terlalu membantu ketika musim dingin datang. Orang-orang Seam hampir selalu berkegiatan dengan perut kosong dan nyaris kelaparan. Rupanya dengan mempertaruhkan nyawa mereka di dalam gua bawah tanah pertambangan batu bara, yang bisa runtuh kapan saja, tidak membuat para lelaki dewasa Seam pulang dengan tangan penuh makanan dan minuman.

Di wilayah yang keadaannya lebih baik dan tertata, tempat para pedagang dan pegawai pemerintahan yang mengabdi pada Capitol tinggal, disebut dengan “Kota”. Bagian ini dihuni oleh orang-orang Distrik 12 yang berpenghasilan lebih tinggi dan terjauhkan dari kewajiban untuk bekerja di tambang. Takdirnya sebagai putri Walikota Distrik 12 membuat Son Naeun dibesarkan di rumah yang paling megah yang bisa dimiliki oleh distrik kecil ini. Tentunya dengan taraf hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang dari Seam. Naeun selalu berangkat tidur dengan perut terisi tanpa harus khawatir akan kelaparan. Sebuah kemewahan yang bahkan ketika orang-orang dari Seam mengais di balik abu batu bara pun tidak akan pernah mereka icipi.

Ini adalah tempat saat dunia Jongin dan Naeun dibatasi oleh garis batas yang nyata.

Meskipun begitu, ada kalanya dua dunia itu saling bersentuhan dan bertubrukan.

Naeun kecil baru benar-benar memperhatikannya ketika ia masih berumur 12 tahun. Saat itu bencana baru saja menimpa Distrik 12. Salah satu lubang tambangnya runtuh dan menyebabkan beberapa pekerja terperangkap dan tak tertolong lagi. Mendadak ada lebih dari selusin wanita Seam yang menjadi janda dan terpaksa harus menghidupi keluarga mereka sendirian.

Seluruh Distrik 12 pada hari itu berkumpul di Alun-Alun Kota untuk menyaksikan sang Walikota, Ayah Naeun, memberikan penghargaan dan belasungkawa terhadap para keluarga yang ditinggalkan. Naeun kecil yang duduk di barisan paling depan, tempat orang-orang berpangkat tinggi duduk, melihat dengan jelas ketika Ayahnya menyematkan medali penghargaan terhadap perwakilan keluarga yang berduka. Di antara para orang dewasa yang menunggu untuk bertemu dengan Ayahnya sang Walikota, berdiri dua anak kecil yang Naeun kenal, karena mereka pergi ke sekolah yang sama dengannya.

Yang pertama adalah Kang Seulgi, gadis yang selalu sekelas dengannya sejak ia masuk bangku SD. Tidak pernah berbicara banyak, selalu menyendiri, seolah-olah ia selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan kini sebagai seorang putri sulung dengan satu orang adik yang masih sangat kecil, serta ibu yang baru saja jatuh dalam depresi setelah kecelakaan ini terjadi, Seulgi kecil harus mencari penghidupan bagi keluarga mereka. Kemudian tidak jauh dari Seulgi, berdirilah Kim Jongin. Dengan perawakan yang tegap dan kulit yang lebih gelap dari orang kebanyakan tidak akan sulit menyadari keberadaannya. Di umur belia ini Jongin sudah harus menjadi seorang kepala keluarga bagi adik-adiknya dan ibunya yang sedang hamil besar.

Dua bola mata Naeun terpaku lebih lama ke arah Jongin. Gadis itu mengamati bagaimana Jongin selalu berusaha berdiri dengan kaku, dengan tatapannya yang tajam dan ekspresi wajah yang keras. Begitu Jongin maju untuk menerima penghargaan dari Walikota, bocah itu pun melayangkan pandangannya yang menusuk ke sepanjang baris terdepan. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu dalam diam dan Naeun bisa merasakan gemuruh dan kilat yang tercermin di dua bola mata Jongin. Naeun tahu, itu adalah bentuk kemarahannya terhadap kekejaman Capitol.

Tapi untuk sesaat Naeun kecil sadar bahwa dua bola mata yang marah itu juga ditujukan untuk orang-orang sepertinya. Orang-orang yang tiap malam bisa tidur di ranjang hangat mereka masing-masing dengan perut kenyang.

Kim Jongin di umurnya yang ke 12 tahun telah menyimpan amarahnya terhadap struktur yang membuatnya seperti ini.

Empat tahun kemudian, garis batas itu memutuskan untuk mengabur dan menubrukkan kehidupan mereka lagi, kali ini dengan lebih keras.

Hari ini adalah hari yang spesial. Tapi tidak terlalu disambut gembira oleh orang-orang yang ada di Distrik 12. Hari Pemungutan selalu membuat atmosfernya menjadi lebih kelam dari biasanya. Tapi di saat yang bersamaan, ini adalah hari Sabtu. Dan di pagi hari Sabtu, Naeun selalu bersiap di bagian belakang rumahnya dengan kantong kecil berisi uang dengan jumlah yang sama tiap minggunya. Gadis itu meluruskan gaun putihnya dari kerutan-kerutan agar terlihat lebih rapi, ia nyaris tidak pernah memakainya kecuali untuk waktu-waktu yang spesial. Seperti Hari Pemungutan.

Begitu ada ketukan berbunyi di pintu belakangnya di hari Sabtu ia tidak pernah terkejut, selalu membukanya dengan ekspresi yang tenang dan gerak-gerik tertata.

Seperti yang telah ia duga, dua orang laki-laki dan perempuan telah berdiri di balik pintu dengan pakaian berburu mereka yang lengkap. Naeun mengangguk ke arah mereka pelan, dua-duanya bukan orang asing bagi Naeun, tentunya karena mereka diharuskan untuk pergi ke sekolah yang sama di angkatan yang sama. Wajah-wajah yang menyambutnya di balkon belakang rumahnya adalah wajah-wajah yang hampir ia lihat tiap harinya di sekolah, khususnya wajah yang pernah menatap ke arahnya dengan dua bola mata seperti halilintar empat tahun yang lalu. Naeun tidak pernah lupa akan itu. Tapi untuk saat ini, ia menunjukkan sopan santun layaknya putri Walikota yang terdidik.

“Seulgi, Jongin,” Naeun menyapa mereka singkat dengan senyum kecil yang sopan.

Ini adalah hari yang spesial. Memang. Tapi Naeun tidak akan pernah menduga apa yang kemudian akan keluar dari mulut Jongin.

“Gaun yang cantik.”

Kalimat itu harusnya berfungsi sebagai pujian, tapi tidak apabila lidah Jongin yang mengatakannya.

Naeun mengernyit sebentar, jelas tahu bahwa itu adalah sarkasme dan bentuk sindiran kepadanya. Karena posisinya, karena status Ayahnya. Naeun telah memilih gaun paling sederhana, namun terlihat pantas, yang ia punya. Namun tampaknya gaun putih polos ini masih belum cukup ‘sederhana’ di mata Jongin.

Merespon akan hal itu, Naeun kemudian mengatupkan bibirnya keras-keras sebelum tersenyum. “Kalau aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku ingin kelihatan cantik bukan?” dengan nada yang terlihat sopan di permukaan namun sungguh, ia hanya tidak ingin kalah sinis dari pemuda penggerutu di depannya.

Jongin dibuatnya kebingungan sedikit. Sepertinya tidak pernah terbiasa mendapati Naeun yang berbicara balik kepadanya. “Kau tidak akan pergi ke Capitol.” sambar Jongin, “Kau memasukkan berapa namamu ke dalam undian? Lima? Aku memasukkan beberapa lebih banyak saat umurku 12 tahun.”

Berusaha menengahi, Seulgi yang lebih tenang dari teman baiknya yang berkepala panas itu lalu memotong Jongin. “Itu bukan salahnya, Jongin.”

“Memang bukan salah siapapun, karena sudah diatur begitu!” ketus Jongin lebih keras.

Setelah bertukar beberapa kata lain (yang ia berusaha dengan sangat keras untuk menahan emosinya agar tidak jatuh ke perangkap Jongin), Naeun akhirnya mempersilakan kedua pemburu itu untuk pamit setelah ia menyerahkan sejumlah uang atas jasa mereka yang bersedia mengirimkan sekantong penuh buah Stroberi liar pesanan khusus dari Ayah Naeun. Itulah alasan mengapa ia bisa menemukan kedua orang itu di halaman belakangnya hari ini. Setiap hari Sabtu ketika musim panen tiba, mereka selalu muncul. Fakta bahwa Ayahnya yang seorang Walikota pura-pura tidak tahu bahwa buah itu didapat dari hutan --tempat terlarang bagi warga Distrik 12-- tidak pernah sekalipun berhenti menggelitik pikirannya.

Mungkin, sama dengannya, Ayahnya hanya ingin mencoba mengaburkan garis tak kasat mata itu sebisa yang ia bisa.

Kata-kata Seulgi maupun Jongin pagi ini terpatri begitu dalam di benaknya. Semua orang menjadi sensitif begitu Hari Pemungutan tiba. Tidak terkecuali dan terutama orang-orang seperti Jongin yang membenci keadaan status sosial mereka yang begitu timpang. Hari ini pria itu mengungkit jumlah nama dalam undian miliknya dan naeun yang jauh berbeda. Gadis itu kembali terngiang-ngiang apa yang dikatakan oleh Seulgi dan Jongin.

“Itu bukan salahnya, Jongin.”

“Memang bukan, karena sudah diatur begitu!”

Hati kecil Naeun sesungguhnya menyetujui apa yang dikatakan Jongin. Benar. Sistem pemungutan tidak pernah berpihak pada mereka yang tidak mampu. Seolah-olah Capitol telah merencanakan semua ini dengan terperinci.

Adanya sistem ‘tesserae’ memungkinkan warga mendapat persediaan gandum dan minyak untuk satu tahun dalam hitungan per orangan. Namun pada gantinya, kau harus ‘membayar’nya dengan tambahan satu namamu untuk diundi di dalam Hari Pemungutan. Hal ini diperburuk dengan adanya sistem kumulatif nama tiap tahunnya. Untuk orang-orang seperti Naeun, yang tidak memerlukan tesserae untuk mendapatkan kebutuhannya, ia hanya memiliki total jumlah lima namanya selama lima tahun sejak ia cukup umur untuk diundi dalam Hunger Games. Tapi bagi mereka yang harus memeras keringat lebih banyak hanya untuk sesuap nasi seperti Seulgi, Jongin, dan keluarga mereka, itu bukanlah kemewahan yang bisa mereka dapatkan dengan mudah.

Untuk bertahan hidup mereka rela menukar sejumlah tesserae dengan nama mereka. Makin banyak tesserae yang mereka tukar, makin banyak pula nama mereka yang akan masuk tiap tahunnya. Naeun hampir yakin bahwa Seulgi sudah memiliki 20 lebih undian nama sampai saat ini, dan ia tidak begitu ingin memikirkan ada berapa banyak yang Jongin miliki di dalam undian mengingat pemuda itu harus memberi makan ketiga adiknya dan juga seorang Ibu.

Tidak perlu seorang jenius matematika untuk melihat siapa yang lebih berpeluang ditarik namanya menjadi peserta Hunger Games kan?

Ya, seharusnya begitu.

Tetapi terkadang kenyataan begitu senang mempermainkan takdir manusia.

Ketika upacara Hari Pemungutan tiba, dan semua orang telah berkumpul di Alun-Alun untuk mendengarkan nama yang disebutkan oleh orang utusan Capitol, Naeun berusaha menolak memahami apa yang barusan ia dengar.

Undiannya telah ditarik, perempuan terlebih dahulu, dan nama yang tertulis telah dibacakan begitu kencang.

Hanya saja begitu masuk ke dalam telinga Naeun, gadis itu tidak mau percaya dengan pendengarannya sendiri.

Bukan, itu bukan namanya. Juga bukan nama anak perempuan tukang jahit yang sering membuatkannya gaus pesta. Dan juga bukan nama anak gadis satu-satunya dari tukang kebun rumahnya. Nama itu bukan nama teman-teman perempuan di kelasnya.

Bukan Seulgi, yang memiliki 20 lebih undian nama di dalamnya.

Tapi Kang Saeron, adik Seulgi yang baru saja menginjak umur 12 tahun. Dan hanya memasukkan satu slip nama saja ke dalam undian.

Kenapa? Kenapa? Namanya hanya ada satu lembar, tapi kenapa harus dia yang terpilih?

Syarafnya yang sempat beku disadarkan kembali dengan lengkingan tajam yang ia kenal.

“Saeron!! Saeron!!” Seulgi memekik dan berusaha menerobos kerumunan anak-anak perempuan tempat mereka seharusnya berbaris dengan rapi. Yang lain langsung memberinya jalan dan membiarkannya berlari menuju panggung, menghampiri Saeron yang sudah maju duluan. Gadis itu lalu menarik Saeron ke belakang tubuhnya, seolah mencoba melindungi adiknya.

“Aku mengajukan diri!” ia memekik lagi, matanya yang tajam seperti kucing itu berkilat liar dan berapi-api. “Aku mengajukan diri sebagai peserta!”

Naeun mendapati tenggorokannya tercekat dan panas menyaksikan itu semua berlalu dalam waktu hanya beberapa detik. Dan di ujung matanya, ia bisa melihat seseorang berbadan tegap menerobos barisan anak laki-laki dan turut maju ke depan. Ia bisa langsung menebak siapa.

Jongin dengan sigap menarik dan menggendong Saeron yang sudah mencoba memprotes kakaknya. Pemuda itu lalu membawa Saeron ke belakang, tidak memedulikan pekikan dan tangisan gadis kecil itu.

Satu nama lagi dipanggil, dan lagi-lagi nama itu berhasil membuat isi dadanya berdenyut perih. Song Mino. Putra bungsu pemilik Toko Roti di Kota yang selalu ia datangi. Naeun tidak terlalu mengenal Mino dengan baik, tapi pemuda itu selalu ramah kepadanya setiap kali ia berkunjung untuk membeli beberapa roti yang dibuat oleh Ayah Mino.

Naeun merasa mulas mendadak dan sisa upacara hari itu terasa berjalan sangat lambat baginya.

Tetapi begitu selesai, Naeun bergegas membawa kaki kecilnya ke Gedung Pengadilan, tempat para peserta terpilih diperbolehkan untuk mengucapkan salam perpisahan kepada orang-orang yang mereka sayangi. Nafasnya nyaris habis begitu akhirnya ia sampai di dalam, di depan ruangan tempat mereka menempatkan Seulgi sebelum dibawa ke Capitol. Para polisi keamanan yang disebut dengan Penjaga Perdamaian meminta Naeun untuk berdiri mengantri di depan pintu, karena saat ini Seulgi sedang menemui keluarganya di dalam.

Tapi bulu kuduk Naeun langsung berdiri begitu ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Tubuhnya yang berdiri tepat di belakang Naeun mengeluarkan hawa panas yang gadis itu bisa rasakan melalui punggungnya. Aroma hutan dan kayu yang terbakar ini, ia merasa pernah mengingatnya di selubuk ingatannya. Naeun hanya sempat melirik sebentar ke belakang sebelum tebakannya menjadi nyata.

Jongin.

Meskipun hanya sekilas, ini adalah untuk pertama kalinya Naeun melihat wajah Jongin begitu kacau dan pias. Seolah semua pertahanannya telah runtuh.

Tapi hanya sebentar waktu bagi Naeun untuk memikirkan itu semua karena mendadak pintu yang ada di depannya terbuka dan para Penjaga Perdamaian memanggilnya untuk langsung masuk ke dalam. Dengan sigap Naeun langsung melepas pin berwarna emas yang ia sematkan di gaunnya selama ini dan buru-buru mengulurkan benda berbentuk bulat dan berukir burung yang sedang terbang itu ke tangan Seulgi. Gadis itu nampak terkejut ketika mendapati Naeun yang datang untuk mengunjunginya.

Naeun tahu apa yang harus ia lakukan dan suaranya terdengar tegas kali ini. “Mereka akan mengizinkanmu memakai satu barang dari distrikmu di arena pertarungan. Benda yang mengingatkanmu akan rumah. Maukah kau memakainya?”

Seulgi kehilangan kata-kata begitu Naeun tidak menunggu jawabannya sama sekali untuk menyematkan pin emas itu ke gaunnya. “Berjanjilah kepadaku kau akan memakainya.” Bisik Naeun tertahan.

Semuanya berlalu begitu cepat, setelah Seulgi terbata-bata mengiyakan permintaannya, Naeun merengkuh gadis itu ke dalam pelukan dan mengecup pipinya sebagai salam perpisahan. Dengan cepat putri Walikota itu lalu mempersilakan diri, berpapasan dengan Jongin untuk sekejap begitu ia membuka pintunya.

Pada saat itulah ketika ia bisa melihat ribuan emosi terpancar di wajah Jongin. Hanya sekilas sebelum pemuda itu menyerbu masuk ke ruangan. Tapi waktu sepersekian detik itu cukup bagi Naeun untuk bisa melihat semua isi hati Jongin yang tersirat di kerlip matanya. Matanya yang saat itu hanya bisa melihat ke arah Seulgi.

Dalam beberapa detik itu, keduanya sama-sama berpikir bahwa mungkin saja, mungkin saja ini adalah terakhir kali mereka bisa melihat Seulgi secara utuh dan bernafas. Dan keduanya sama-sama memohon seandainya waktu berjalan lebih lambat lagi walaupun hanya sedikit.

Tapi setelah itu tidak ada dari keduanya yang hadir untuk melihat keberengkatan kereta Capitol yang membawa teman mereka pergi.

Sore itu, Naeun tidak benar-benar mengerti apa yang membawa kakinya melangkah sendiri. Tanpa ia sadari, Naeun telah mendapati dirinya menuju padang rumput yang menjadi ujung distrik ini. Pagar-pagar yang ‘seharusnya’ dialiri listrik membatasi padang rumput dengan hutan yang terentang luas di hadapannya. Dari padang rumput ini, semua orang bisa melihat pemandangan bukit yang menjorok di bawahnya serta danau kecil di kejauhan. Hingga terlihat seperti sebuah lukisan abadi yang dibingkai hanya oleh jarak pandang, mengundangmu untuk melangkah keluar dan mengabaikan pagar-pagar listrik itu.

Di sanalah Naeun menemukannya. Duduk tanpa suara di tengah permadani rumput yang hijau ini, menatap ke lukisan alami yang terhampar di hadapannya. Jongin tidak bergeming sama sekali meskipun langkah Naeun menimbulkan suara ketika bersentuhan dengan rumput. Pemuda itu hanya menatap lurus ke depan dalam diam.

Dan Naeun mengikutinya. Mengambil jarak beberapa meter di kanan Jongin, Naeun tidak peduli apabila gaun putih favoritnya itu kini kotor ketika ia duduk di tengah-tengah rumput. Gadis itu menekuk kakinya dan menyandarkan dagunya di kedua lutut, turut menatap kosong ke arah hutan, bukit, dan danau di kejauhan.

Dua orang itu hanya duduk tanpa berusaha mengeluarkan suara dari tenggorokan mereka.

Jongin dan Naeun tetap diam seperti itu untuk waktu yang cukup lama.

Hanya karena mereka menemukan kenyamanan dalam diam yang bisa mengobati karamnya hati mereka saat ini. Setidaknya, mereka tidak harus saling mengerti apa yang dirasakan satu sama lain dengan menyuarakannya. Justru dengan duduk dalam sunyi seperti inilah, ketika mereka ‘berbicara’ lebih banyak dibanding ketika mereka bertukar cekcok seperti biasanya.

Hingga akhirnya langit di atas mereka menggelap dan kini berselimut bintang, keduanya tetap tidak bergeming ataupun mencoba mengeluarkan suara. Tapi semua itu rasanya sudah cukup.

Naeun akhirnya yang pertama untuk memutuskan keheningan mereka dengan mengangkat tubuhnya berdiri, menimbulkan suara-suara desir rumput pelan yang diakibatkan oleh gerik tubuhnya. Gadis itu menatap ke langit untuk beberapa saat, masih belum benar-benar mengeluarkan satu kata pun. Ketika gadis itu berbalik dan mengambil langkah-langkah kecil untuk kembali ke Kota, barulah Naeun bersuara dari tenggorokannya.

“Dia akan bertahan. Dia pasti pulang.”

Naeun tidak tahu apakah ia mengatakannya untuk dirinya sendiri, atau untuk Jongin.

“Aku tahu.”

Gadis itu tidak melihat wajahnya, tapi suara Jongin yang terdengar kokoh ketika menjawab berhasil meyakinkannya bahwa pemuda itu akan baik-baik saja. Bahwa dirinya juga akan baik-baik saja. Bahwa harapan itu masih ada untuk menunggu Seulgi pulang.

Dan untuk pertama kalinya di hari itu, Naeun tersenyum kecil.

Dan untuk pertama kalinya selama empat tahun semenjak Naeun menatap dua bola mata yang seperti halilintar itu, garis batas yang ada di antara keduanya mulai mengabur dan tersapu hilang.

Kehidupan keduanya baru saja mulai bersentuhan dan bertubrukan, melebur menjadi satu.

.

.

.

.

.

Ia berdiri di atas tanah yang dulu ia sebut sebagai ‘rumah’, meskipun panoramanya kini sudah berubah. Ini adalah untuk pertamakalinya ia menjejakkan kakinya di sini lagi semenjak lima tahun yang lalu. Ketika saat itu tempat ini masih penuh dengan puing-puing yang dulu dia kenal dengan nama Distrik 12, tempat kelahirannya. Terakhir kali, rasa sakitnya masih terlalu meluap-luap dan memenuhi isi dadanya.

Terlalu banyak kenangan pedih jugalah yang membuatnya menjauhi tempat ini untuk beberapa waktu.

Tapi saat ini, mereka mencoba membangunnya kembali. Mereka membuat dunia yang mencoba meninggalkan bekas luka di masa lalu. Dan dia juga mencoba untuk mengikuti arusnya, meskipun beberapa puing kenangannya masih tertinggal di sini.

Tidak ada lagi permainan mematikan dan keji yang mereka sebut dengan Hunger Games. Tidak ada lagi Capitol. Tidak ada lagi distrik-distrik yang dieksploitasi. Mereka terlahir kembali.

Namun tidak semua bisa hadir untuk menyaksikannya. Termasuk ‘dia’ yang sekarang sudah tertidur lelap.

Pria berseragam militer itu meletakkan serangkai bunga lily putih yang ia bawa di depan sebuah monumen besar berbentuk persegi panjang yang melengkung. Monumen itu berdiri kokoh di atas tanah yang dulu merupakan tempat berdirinya gedung yang mereka sebut dengan Gedung Pengadilan, meskipun bangunan asli gedung itu kini sudah habis tidak bersisa. Tetapi setidaknya kenangan itu masih ada di sini.

Nama-nama, beberapa ia kenal dan beberapa hanya pernah ia dengar sekilas, terukir abadi dan menghiasi penuh sepanjang monumen ini. Tapi hari ini ia khusus menancapkan pandangannya ke arah satu nama yang terukir tepat berada di tengah-tengah bersama nama-nama lainnya. Pria itu menarik kedua ujung bibirnya, setengah tersenyum sedih kepada nama itu.

“Aku pulang.” bisik pria itu pelan.

Jemarinya lalu terulur untuk menyentuh dan meraba ukirannya, membentuk nama yang ia rindukan untuk disebut di ujung lidahnya.

Son Naeun.

Jongin menatap nama itu lekat-lekat, dan masih segar di ingatannya seperti rol film yang berputar terus menerus, bagaimana kedua mata gadis itu menatapnya untuk terakhir kali sebelum ia berbalik dan ditelan api.

Dia seharusnya menangkapnya. Dia seharusnya menggenggam tangan gadis itu lebih erat lagi. Dia seharusnya tidak membiarkannya pergi.

Pikiran itu terus menghantui Jongin setiap malam di tiap tidurnya.

Setiap malam, adegan itu terus berputar seperti rol film. Sama persis seperti kenangannya. Malam ketika Distrik 12 mereka dihancurkan oleh lautan api dan ledakan yang memekakkan telinga kiriman dari Capitol.

Ketika ia bisa melihat dari layar Seulgi menembakkan panahnya ke langit arena dan membuatnya meledak, secara hampir bersamaan tayangannya mendadak diputus. Begitu juga dengan listriknya, mendadak seisi Distrik 12 dan Alun-Alun menjadi gelap gulita. Meskipun seharusnya terang benderang karena warga berkumpul untuk menyaksikan Hunger Games yang diwajibkan oleh Capitol.

Mereka berdua yang berdiri bersebelahan saat itu secara refleks menoleh ke arah satu sama lain, memiliki firasat yang sama bahwa sesuatu akan terjadi tidak lama lagi. Terutama setelah melihat tindakan Seulgi yang terang-terangan melawan kehendak Capitol dengan menghancurkan langit arena permainan mereka.

Warga dibuat kebingungan dengan kegelapan yang tiba-tiba tersebut. Namun mereka lebih dikacaukan lagi ketika dari arah Utara, terdengar suara dengungan mesin dari langit yang kelam tersebut, dan tidak lama kemudian ledakan pertama dijatuhkan di bagian ujung Kota. Suaranya begitu memekakkan telinga, dan warna merah yang menyala panas begitu terang hingga nyaris membutakan.

Ledakan kedua tidak lama pula lalu dijatuhkan, kali itu lebih dekat dengan tempat para warga berkumpul, hanya berjarak beberapa kilo dari Alun-Alun. Ledakan ini berhasil memicu kekacauan di antara warga, kerumunan orang-orang memekik panik dan berusaha lari menyelamatkan nyawa mereka.

Insting Jongin untuk bertahan hidup langsung menyala, ia menoleh ke arah keluarganya. Ibu dan adik-adiknya menatap bingung ke arah lautan api di kejauhan. Dengan sigap Jongin menarik bahu adik tertuanya dan menyuruhnya untuk memandu keluarga mereka ke arah hutan. Setelah itu baru Jongin mulai berteriak ke arah kerumunan, “Semuanya!! Ke padang rumput!!!! Jauhi Kota sebisa mungkin!!!”

Tepat saat itu juga ledakan ketiga memekakkan telinga mereka lagi. Kali ini arah timur laut dari Alun-Alun. Jongin berteriak lagi lebih keras, namun untungnya kali ini ia dibantu oleh beberapa temannya dari tambang yang mencoba menggiring kerumunan yang sudah kacau ini menuju ke arah Seam dan padang rumput. Tetapi mencoba untuk mengendalikan kekacauan ini bukan pekerjaan yang mudah.

Jongin kemudian menengok ke arah sampingnya, tempat gadis itu berdiri kaku di tengah-tengah orang-orang yang panik dan lalu lalang. Gadis itu membelalak menatap api yang berkobar. Tapi bukan hanya api, detik itu juga barulah Jongin menyadari bahwa ledakan terakhir dijatuhkan di daerah rumah Walikota. Rumah gadis itu.

Nafas Jongin mendadak menjadi lebih berat. Tangannya secara refleks terulur, menarik lengan yang masih tidak bergeming karena shock.

“Naeun!!” teriak Jongin, berusaha menyadarkan gadis itu. Gadis itu akhirnya menoleh. Namun Jongin tidak punya banyak waktu, tidak ada yang tahu kapan Capitol bisa menjatuhkan bom mereka di Alun-Alun ini. Dia menarik lengan Naeun dan nyaris menyeretnya, tapi gadis itu justru mencoba untuk melepaskan diri.

“Ayahku, Ibuku… Mereka masih di sana… Mereka masih di rumah…” gumam Naeun dengan suaranya yang kini bergetar.

“Kita tidak punya banyak waktu lagi!”

“Jongin!” pekikan terakhir itu berhasil membuat Jongin menengok ke arahnya. Tapi yang terjadi kemudian justru tubuhnya dibuat terpaku ketika gadis itu meraih wajah Jongin dengan kedua tangannya dan menarik pemuda itu. Bibir mereka bersentuhan untuk sekian detik, namun cukup untuk membuat kepala Jongin kosong beberapa saat.

Naeun melepaskan ciuman mereka, masih menangkup wajah Jongin dengan tangannya. Dua bola matanya itu kini berpendar seperti permukaan air dan memantulkan cahaya api di sekeliling mereka. Waktu seolah berhenti untuk sesaat ketika gadis itu kemudian tersenyum dengan bulir-bulir yang jatuh menelusuri pipinya.

“Aku harus pergi menemani orangtuaku. Mereka tidak boleh kesepian.” bisik gadis itu tanpa melepaskan pandangannya dari Jongin.

Suaranya membuat suara-suara lain tidak begitu berarti bagi Jongin. Rasanya seperti ia dibuat tuli.

“Kau harus tetap hidup, Jongin.”

Bisikannya yang terakhir. Tatapannya yang terakhir. Sentuhannya yang terakhir.

Jongin akan memberikan apapun demi membuat setiap menit, detik, mili second, nano second menjadi lebih lama saat itu. Hanya untuk merasakan sentuhan ujung jarinya lebih lama di pipinya. Hanya untuk menatap lebih dalam lagi ke bola mata gemerlapnya. Hanya untuk membuatnya bisa berhasil meraih lengan yang semakin menjauh begitu gadis itu berbalik.

Di kesempatan terakhir, ia hanya bisa merasakan hempasan rambut hitamnya yang berkibar di ujung jarinya yang terulur dengan putus asa.

Jongin meneriakkan nama gadis itu lagi, dan sudah maju untuk mengejarnya sebelum teman-temannya menghalangi dan menarik Jongin menjauh dari api yang semakin mendekat. Sia-sia, sosok gadis itu sudah berlari dan menghilang di tengah kobaran merah membara.

Bayangan punggungnya yang terus menuju ke arah api itulah yang selalu Jongin coba kejar di tiap tidurnya, hanya untuk membuatnya terbangun di tengah malam tanpa hasil yang berarti.

Kenangan itu memang menghantuinya di awal, tapi akhir-akhir ini Jongin melihat bayangan gadis itu berbalik dan tersenyum lagi kepadanya di mimpi.

Dan itu bukan senyum kesepian.

Jongin tahu bahwa gadis itu kini sudah selamanya terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.

 

 

Dia hanya perlu untuk merelakannya dan membiarkannya pergi dalam tidurnya.

 

 

“Mengunjungi seorang teman?”

Jongin menoleh ke arah suara itu dan mendapati Song Mino, peserta yang bertahan dari Hunger Games bersama Seulgi, menatap lekat ke arahnya dan ukiran nama yang saat ini berada di ujung jari Jongin. Pria itu mengangkat alisnya sedikit begitu menyadari siapa yang Jongin ‘kunjungi’.

Ia tidak langsung menjawab. Justru Jongin meraba ukiran itu dengan lembut sekali lagi dan kembali termenung dalam diam, sebelum berbalik dan setengah tersenyum datar.

“Aku hanya mengucapkan selamat tidur kepadanya.”

 


(A/N): well, this was longer than expected. this special chapter is dedicated to son naeun who's turning 22 a few days ago (banzai!!!!). and also rosedust who requested Hyouka, and kyungseok for her undying love for naeun, and soyeon_ai just because i kept thinking about her while (finally) deciding to pull a little seulgi and mino. seulgi was my first choice (eh, not really, i was thinking of using krystal too) of katniss, but choosing 'peeta' is another hard thing to do lol. yeap, at the end, song mino it is (eventho his personality is definitely not peeta-ish).

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
leenaeun
#1
Chapter 4: Gila, keren banget author-nim, aq bener2 speechless, serius sampe ga tw mesti ngomong apa selain INI GOKIL BANGETTTTT!!! #twothumbsupforauthornim ^^
yvnhyeong
#2
Chapter 4: MAMPUS AKU ARA MAMPUS PINGIN NANGIS TAPI GA TAU HARUS NANGIS BAHAGIA ATAU NANGIS TERHARU KARENA NAEUN SPECIALS. Girl, you inspire me sooooo much. I love you. Thank you, and thank you, and more thank you. Tbh i really liked hunger game!au more bc the feels! And Jongin/Seulgi (and not to mention, even Seulgi/Mino too) i kno mino isn't even close to peeta but YASSS.
You amaze me.
Thank you again, baby!!!!

Ps. Imma going to read this over n over again
nouhaloubna
#3
Chapter 4: please make an english version of this story
yeoshin1002 #4
Chapter 4: huwaaaaa!!! bagus banget aku suka banget bagian kai naeu nya ya ampunnn pertama nya sempet bingung alur ceritanya. terus terakhirnya sedih banget.. sampe nyesek ini bacanya T.T /sobs/
unexpected!! biasanya aku langsung bosen kalo cerita fantasi gini tapi ini bener2 bikin suka banget.. aku mau ada kaieun lagi di next story hihi~
SoYeon_AI #5
Chapter 4: KAK AARRAAAAAAAAA
SUMPAH IH PAS LIAT ADA PEMBERITAHUAN UPDATE KAGET TAUNYA KA ARA T.T
HUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHU
TRUS TRUS NAEUNXMYUNGSOO YA AMPUN T.T
JADI PENGEN LIAT HYOUKA
TRUS HUNGER GAMES AU!
AAAAA AKU BELUM BACA BUKUNYA JADI KAYAK BANYAK SHOCK GITU " EMANG IYA? "
JADI ADA 'KARAKTER' NAEUN
TERUS YA AMPUN SEULGIXMINO YA AMPUN T.T
BLESS YOU KA ARA HUHUHUHU
EMANG MINO ITU SANGAT TIDAK PEETA SEKALI TAPI ITS OKAY THATS LOVE
YANG PENTING SEULGIXMINO JAYA!!!
HUHUHU THANK YOU KAK ARA I KEPT THINKING ABOUT YOU TOO :*
rosedust
#6
Chapter 1: Hyouka dong kak ara ; u ;
audira12as
#7
Chapter 1: bikin hoya-eunji dong~ yang disney fairytales eheh
puppyyeol
#8
Chapter 3: keren!! sayang ini oneshoot kan?;; harusnya ada lanjutannya doh
SoYeon_AI #9
Chapter 3: .............
aku harus bilang apa????
INI PERFECT KAYAK BIASANYA T.T
U,U LUHAN YANG JADI MANUSIA SERIGALA TERUS TERIKAT KONTRAK SAMA CHORONG YANG SEORANG PENYIHIR
AAAAAAAA
INI KEREN BANGET
kalo lebih panjang kira" chorong minta apaya dari luhan?
eternalspring
#10
Chapter 3: WOW WOW WOW *standing applause*
akhirnya editannya kamu buat fanfics~~~
aaaaaarrrrggghhhh~ aku pengen cerita ini dibuat berseri kekekeke :D
suka suka suka~~~ *ga tau mau ngomong apa lagi* huhuhu