First Sight

Description

Fanfic pertama yang kupost disini. Dan juga fanfic yang baru kuselesaikan kemarin. Belum pernah dipost dimanapun ^^

Foreword

***

Lee Haejin pertama kali bertemu dengan lelaki itu di depan Kyunghee University. Saat ia tengah mencoba berlari menerobos jutaan rintik hujan yang sejak pagi turun membasahi Seoul. Hari pertama musim gugur yang sangat buruk menurutnya. Memulai pagi saja harus ditemani dengan rintik-rintik hujan yang membuat hawa dingin menerobos masuk melalui pori-pori kulit putih susunya.

Haejin sedikit berlari di siang itu untuk segera mencapai halte bus yang berjarak tidak jauh dari kampusnya. Ia harus mencapai halte itu secepat mungkin, kalau tidak ia bisa sampai rumah dalam keadaan basah kuyup lalu keesokan harinya ia akan terserang flu dan tidak bisa mengikuti mata kuliah sastra yang sangat ia sukai. Kenyataan tidak memihak kepada Haejin saat gadis itu menyadari gantungan kunci angry bird yang sangat ia sukai tanpa sengaja jatuh ke dalam lubang got yang berada tepat di depan gerbang Kyunghee University.

Haejin menjambak rambutnya frustasi. Sungguh tidak ada dibayangan gadis itu sebelumnya kesialan akan menimpa dirinya di tengah-tengah hujan yang mengguyur semakin deras. Ini lebih terlihat seperti bencana di matanya. Lebih menjengkelkan lagi ketika ia tau lubang got itu tidak sedangkal yang ada di dalam fikirannya.

Tidak tau tepat letak gantungan itu, hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, lubang got yang sangat gelap dan terlalu dalam. Oh, lengkaplah kesialan gadis itu hari ini. Haejin mendengus kasar, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa jengkel yang sudah menguap di dasar hatinya. Dalam hati, Haejin berdoa agar Tuhan menurunkan seorang malaikat penolong untuknya. Siapapun itu, seorang ahjumma, ahjussi atau halmeoni pun tak apa. Asal seseorang itu dengan sukarela menolongnya mengambil gantungan kunci kesayangan sekaligus pembawa masalah itu.

Haejin merasa Tuhan mengabulkan doanya ketika ia menyadari seorang lelaki yang tak ia kenal tiba-tiba jongkok tepat di hadapannya. Menyingkirkan tangan gadis itu dari lubang got kemudian menggantikannya dengan tangan lelaki itu sendiri. Haejin hanya diam sembari mengamati lelaki itu. Gadis itu bahkan belum memberitahu si lelaki apa yang hendak ia ambil dari dalam lubang itu.

Apa lelaki itu bisa membaca situasi?

Atau, apa lelaki itu bisa membaca pikiran?

Hingga tanpa bertanya pun ia bisa tahu apa yang hendak Haejin ambil dari dalam sana. Entahlah, Haejin tidak tau dan tidak mau tau. Yang jelas, lelaki berambut hitam dengan sedikit warna keabuan itu dengan baik hati menolong dirinya.

Walau derasnya rintik hujan sedikit mengaburkan penglihatan Haejin, tetapi gadis itu masih bisa melihat dengan jelas paras si lelaki ketika lelaki itu menyodorkan gantungan kunci kesayangannya. Ketika lelaki itu mendongak, Haejin baru tau bahwa wajah lelaki itu secepat kilat menerobos memori otaknya dan mungkin akan diam dengan sedikit lama di dalam sana. Tidak hanya tampan, lelaki itu mempunyai kulit yang sama persis seperti dirinya. Putih susu dan bersih. Piercing di kedua telinga lelaki itu tidak membuat Haejin ilfeel seperti sebelum-sebelumnya saat ia melihat lelaki di luar sana yang bahkan memiliki piercing hanya di salah satu telinga saja.

Haejin menerima dalam diam gantungan kunci kesayangannya itu. Satu kata pun tidak berniat keluar dari bibir Haejin ketika si lelaki membalikkan tubuhnya hendak berlalu dari tempat itu. Tunggu dulu, apa Haejin terpesona? Hingga pandangan matanya tidak sedikitpun rela untuk lepas dari lelaki itu.

“Sebentar,” untunglah Haejin sadar ia masih berpijak di tanah saat mengucapkan kalimat untuk menahan lelaki itu. Berhasil membuat lelaki itu berbalik kemudian menatap Haejin walau sedikit bingung.

“Gomawo.”

Setidaknya Haejin harus tau cara berterimakasih kan? Setelah bantuan dari lelaki itu, terlalu tidak layak menurutnya jika ia tidak mengucapkan terimakasih walaupun dirinya kini tengah terpesona kepada lelaki itu.

Lelaki itu hanya tersenyum simpul. Membuat dirinya tampak semakin indah di mata Haejin. Pertama kalinya di hidup Haejin, ia merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang orang asing yang baru ia temui.

Terlihat konyol.

Haejin jatuh cinta kepada lelaki asing berpiercing ketika tubuhnya benar-benar sudah basah kuyup.

***

Lee Haejin merasa semakin jatuh ke dalam pesona lelaki asing yang baru ia temui beberapa hari lalu ketika ia mengetahui sedikit tentang lelaki itu. Sebuah lengkungan manis terhias di kedua bibir Haejin saat ia mengetahui lelaki asing itu bernama Choi Junhong. Mahasiswa semester dua yang sama seperti dirinya. Bedanya, lelaki itu mahasiswa seni dan dirinya mahasiswi sastra. Choi Junhong mahasiswa bertalenta dan juga cerdas. Nilai ujian yang lelaki itu dapat selalu memuaskan. Membuat beberapa dosen mengakui keberadaan Choi Junhong walaupun penampilan lelaki itu benar-benar jauh dari kata mahasiswa cerdas.

Beberapa hari setelah pertemuan Haejin dengan lelaki itu, Haejin memutuskan untuk sedikit memperhatikan Junhong dengan lebih intens. Ia baru menyadari, rambut hitam keabu-abuan milik Junhong tampak lebih bersinar ketika lelaki itu berdiri dengan bermandikan cahaya matahari. Sosok Junhong terlihat semakin spesial di mata Haejin ketika lelaki itu dengan gagahnya mengendarai motor besar berwarna hitam miliknya yang sehari-hari dipakai lelaki itu untuk ke kampus.

Namun senyuman yang sama tak lagi diperlihatkan Haejin ketika gadis itu menyadari bahwa kepribadian Choi Junhong tak secemerlang penampilan maupun otaknya. Senyuman gadis itu lenyap seketika saat menyadari bahwa Junhong dikelilingi banyak sekali gadis-gadis cantik yang mempunyai selera fashion yang sangat tinggi. Sebenarnya tak masalah bagi Haejin jika Junhong tidak menggubris sama sekali gadis-gadis itu. Namun kenyataan berbicara lain. Choi Junhong berganti-ganti perempuan bagai berganti pakaian dalam.

Awalnya terasa ngilu di hati Haejin. Namun rasa ngilu itu berkembang dengan sangat cepat menjadi rasa sakit akibat luka yang tiba-tiba muncul kemudian bernanah.

Musim gugur.

Musim dingin.

Musim panas.

Musim semi.

Musim berganti, tahun berganti. Namun hati Haejin tak juga berganti. Hatinya masih bertahan di Choi Junhong. Walau sudah puluhan kali ia melihat Junhong berganti perempuan, namun entah mengapa hatinya justru semakin kebal. Bukannya berangsur-angsur melupakan lelaki itu, ia malah merasa perasaannya semakin dalam.

Pernah suatu hari, tangan Haejin bergetar dengan sangat hebat. Sepasang mata indah gadis itu tidak ingin berhenti untuk mengeluarkan rasa sakit yang ia rasakan. Gadis itu menangis hingga sesenggukan ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Choi Junhong tengah mencium seorang gadis di depan ruang kelasnya. Haejin tidak tau dan tidak mau tau apakah Junhong kehabisan tempat untuk melakukan hal seperti itu hingga tempat yang ia gunakan adalah di depan ruang kelas gadis itu. Yang jelas, kejadian itu adalah satu dari sekian banyak kejadian yang membekas di hati Haejin.

***

“Kau hanya cukup melupakannya.”

Kedua mata Haejin menatap Kang Jiyoung begitu kalimat pendek itu terucap dari sepasang bibir sahabatnya. Sudah ribuan kali Haejin berfikir untuk melakukan hal itu. Tanpa disuruh pun ia ingin. Ingin sekali malah. Namun hal itu ternyata tak sesederhana yang Haejin fikirkan. Bahkan lebih sulit daripada melupakan dua mantan kekasih gadis itu sebelumnya.

“Kau lihat dia,” Jiyoung mendelikkan dagunya. Membuat Haejin menatap apa yang ingin Jiyoung tunjukkan kepadanya. Gadis berbeda dengan dua hari lalu yang dilihat Haejin kini tengah bermanja-manja di lengan kiri Junhong. Rasa mual dan juga sakit bercampur menjadi satu naik ke ubun-ubun  gadis itu.

“Apa yang kauharapkan dari lelaki seperti itu?” Jiyoung menatap Haejin dalam. Ia hanya ingin tahu apa yang berada di dalam otak Lee Haejin hingga sangat mencintai lelaki seperti Junhong. Bahkan menurut Jiyoung, Choi Junhong lebih buruk dari dua mantan kekasih Haejin sebelumnya.

“Kau sudah pernah dikhianati Haejin. Dan tidak sampai satu bulan kau sudah berhasil melupakan lelaki itu. Tapi kenapa sekarang tidak?” kening Jiyoung berkerut ketika mengucapkan rentetan kalimat itu.

“Dia bahkan bisa bersama dua gadis sekaligus dalam satu waktu,” sambung Jiyoung. Membuat posisi Junhong menjadi semakin jelas di mata Haejin. Bibir Haejin bergetar. Ia menangis untuk kesekian kalinya. Haejin menutup kedua matanya. Berdoa di dalam hati, meminta agar ketika dirinya membuka mata, perasaannya kepada Junhong bisa hilang seketika. Ia berharap doa itu terkabul, seperti saat dulu ia berdoa agar sesosok malaikat datang membantunya mengambil gantungan kunci kesayangannya. Sekaligus menjadi pertemuan pertamanya dengan Junhong.

Mungkin Haejin kurang beruntung kali ini. Ia membuka mata, namun tak ada perubahan dengan perasaannya. Lelaki yang dicintainya masih bermesraan dengan gadis asing itu. Masih dengan air mata yang membasahi pipi gadis itu, Haejin menggeleng pelan.

Kenapa bisa sesulit ini?

Itu hanya pertemuan yang tidak sengaja di tengah hujan. Namun kenapa begitu melekat hingga detik ini?

“Aku tidak ingin melihat air matamu. Aku hanya ingin, ketika kau bangun di pagi hari, kau sudah berteriak dengan senang bahwa kau telah melupakannya,” ucap Jiyoung.

“Mudah-mudahan bisa Jiyoung,” Haejin memaksakan sebuah senyuman untuk sahabatnya itu. Membuat Jiyoung hanya mendengus pasrah.

***

Mianhae Haejin ah, tadi aku bermain di ruang musik dan tidak sengaja kutinggalkan di sana.

Haejin mendengus kesal setelah membaca pesan balasan dari Oh Sehun. Teman satu kelasnya yang ceroboh meninggalkan buku sastra miliknya di ruang musik. Hah, Haejin harus berbalik lagi untuk mengambil buku itu. Ia perlu buku itu untuk menyelesaikan tugas yang sudah menggunung di rumah.

Ruangan itu agak gelap ketika Haejin menginjakkan kakinya. Wajar saja, jendela ruangan itu tidak dibuka dan tidak ada udara yang bisa masuk ke dalam ruangan itu. Haejin melihat buku sastra miliknya tengah berada di salah satu meja ruangan itu. Membuat gadis itu dengan cepat mengambil buku miliknya dan ingin segera melangkahkan kaki keluar ruangan. Karena jujur saja, ruangan itu terasa sangat pengap bagi Haejin.

Haejin tersentak kaget ketika membalikkan badan dan melihat sosok yang sangat tidak asing baginya kini sedang berdiri tepat di hadapannya. Choi Junhong berdiri tepat di hadapan Haejin sembari menatap gadis itu dengan tatapan datar. Membuat buku yang baru saja Haejin ambil jatuh seketika. Debaran di dalam dada gadis itu jutaan kali meningkat dari sebelum-sebelumnya ketika ia hanya melihat lelaki itu dari kejauhan. Haejin mencoba bernafas normal, namun tatapan mata Junhong yang dicampur dengan pengapnya ruangan itu membuat paru-paru Haejin tidak berfungsi dengan normal.

“Sedang apa kau disini?”

Alunan suara lembut Junhong langsung menyentuh hati Haejin. Pertama kalinya Haejin mendengar suara lelaki itu sejak ia menghabiskan berbagai musim dengan hanya mencintai lelaki itu dalam diam. Suara halus Junhong dengan begitu saja masuk ke dalam memorinya, seperti saat dulu wajah lelaki itu juga langsung menerobos masuk ke dalam memori otaknya. Debaran di dalam dada gadis itu semakin liar. Benar-benar tidak bisa diajak bernegosiasi untuk memahami situasi yang tengah dialami gadis itu sekarang.

Junhong berjongkok untuk mengambil buku gadis itu. Kemudian memberikannya kepada Haejin yang kini masih diam seperti patung di posisinya.

“Maaf,” satu kata keluar dari sepasang bibir Haejin. Mewakili situasi bodoh yang tengah ia alami sekarang.

“Eoh?” kening lelaki itu berkerut. Sedikit tidak paham dengan ucapan Haejin.

“Maksudku, maaf karena begitu saja memasuki ruangan ini,” Haejin mulai mencari-cari alasan yang tepat untuk lelaki itu.

Junhong mengangguk sembari tersenyum kecil, “Tidak apa-apa. Lagipula tidak ada yang sedang memakai ruangan ini.”

“Kau sedang apa disini?” pertanyaan yang sangat bodoh tiba-tiba saja dengan lancang keluar dari kedua bibir Haejin. Membuat Junhong agak terkekeh.

“Aku mahasiswa seni. Wajar jika aku di sini.”

Benar kan? Pertanyaan bodoh yang diucapkan Haejin malah semakin membuat dirinya kecil di hadapan Junhong. Haejin menutup kedua matanya pelan, mencoba menyesali pertanyaan bodoh yang sudah sempat keluar dari sepasang bibirnya. Haejin baru menyadari, ternyata jika sedekat ini dengan Junhong bisa membuat dirinya bodoh seketika. Ya seperti saat ini contohnya.

“Aku harus pergi,” merasa tidak sanggup lagi berlama-lama dalam posisi seperti itu membuat Haejin bergegas ingin keluar dari tempat itu. Dengan kepala tertunduk, Haejin melangkah dengan cepat. Gadis itu luar biasa gugupnya hingga mendongakkan kepala saja ia tidak bisa. Akibatnya, gadis itu malah tidak tau jika pintu ruangan itu masih tertutup dan ia malah menabrakkan dirinya dengan konyol. Haejin mengelus kepalanya yang terasa sedikit sakit. Gadis itu memang tidak terlalu mempedulikan sakit yang ia rasa, namun kedua pipi gadis itu memerah seperti kepiting rebus menahan rasa malu.

Haejin masih berada di ruangan yang sama dengan Junhong, dan lelaki itu pasti melihatnya. Kejadian konyol, bodoh dan sangat memalukan bagi Haejin. Namun gadis itu langsung membatu saat menyadari sebuah tangan tengah mengelus bagian kepalanya yang sakit. Dan lidahnya semakin kelu saat ia membalikkan badan kemudian mendapati Junhong tengah mengelus kepalanya dengan sangat lembut.

“Lain kali hati-hati Lee Haejin.”

Haejin sedikit membelalakkan matanya ketika Junhong mengucapkan kalimat pendek itu. Lelaki itu..

Lelaki yang ia cintai, mengetahui namanya. Bahkan sangat jelas terdengar di kedua telinga Haejin. Junhong memanggil namanya. Tanpa kesalahan sedikitpun. Itu namanya. Ya, itu namanya. Haejin menghentikan gerakan tangan Junhong. Ia menatap lelaki itu dengan lebih intens.

“Dari mana kau tahu namaku?”

Junhong tersenyum simpul, “Apa sepenting itu bagimu?”

Ya, tentu saja. Choi Junhong adalah lelaki yang ia cintai. Wajar jika Haejin merasa hal itu sangat penting.

“Itu hanya nama. Aku bahkan mengetahui lebih banyak tentangmu.”

Haejin mengeraskan rahangnya. Jujur, ia benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraan Junhong sekarang. Lelaki itu bukannya menjawab, ia malah mengucapkan kalimat yang membuat Haejin semakin bingung.

Junhong tidak memberikan penjelasan lebih atas kalimatnya tadi. Ia malah semakin mendekatkan tubuhnya dan membuat gadis itu tersudut. Kedua mata lelaki itu tak lepas memandang sepasang mata indah Haejin. Gadis itu merasa jantungnya semakin berdebar hebat, ia merinding seketika. Ia nyaris tidak percaya ketika wajah Junhong hanya berjarak tidak lebih dari limabelas sentimeter dari wajahnya.

Namun Haejin semakin tidak percaya ketika Junhong membuat sepasang bibir mereka tak lagi berjarak. Tanpa ijin, lelaki itu sedikit melumat bibir merah Haejin. Lengan kiri Junhong berada di tengkuk gadis itu sekarang. Haejin tidak lagi susah bernafas, ia malah merasa benar-benar tidak bisa bernafas. Bagi gadis itu, udara telah habis. Kedua lengan Lee Haejin bahkan tidak bisa menghentikan lelaki itu. Haejin hanya mampu meremas kedua tangannya saat buku yang tadinya tengah ia pegang kini sudah kembali jatuh menghantam lantai. Baik Haejin maupun Junhong sama-sama menutup kedua mata mereka. Haejin mencoba menikmati, walau tanda tanya besar tengah berada di dalam kepalanya.

Sepasang mata Haejin tampak berkaca-kaca ketika Junhong melepas ciuman yang berlangsung cukup lama itu. Membuat Junhong sedikit bingung dengan gadis itu. Haejin menggigit bibir bawahnya, menahan agar air matanya tidak jatuh di hadapan lelaki itu.

“Apa maksudmu dengan semua ini?” kalimat pertama yang keluar dari sepasang bibir Haejin setelah Junhong mengakhiri ciumannya. Haejin menyeka air matanya yang keburu menetes dengan punggung tangan.

“Jangan jadikan aku gadis kesekian yang akan kau permainkan,” bibir Haejin kini tampak sedikit bergetar ketika mengucapkan kalimat itu.

Dengan terisak, Haejin segera berlari keluar dari ruangan itu. Ruangan pengap itu kini menjadi tempat yang tak terduga bagi Haejin. Tempatnya, juga kejadian di dalam itu sudah membuatnya benar-benar tidak bisa bernafas.

***

Haejin membereskan buku pelajarannya yang berserakan di atas meja. Kemudian dengan cepat memasukkan segala jenis buku itu ke dalam tas hitam miliknya. Sudah menunjukkan pukul satu siang ketika gadis itu akan melangkah keluar kelas. Bibir gadis itu membentuk sebuah lengkungan manis ketika melihat beberapa teman sekelasnya menyapa dirinya dengan ramah dan hangat. Haejin menyelipkan beberapa helai rambut hitamnya ke balik telinga sembari terus mempercepat langkah kakinya.

Diluar dugaan, langkah kaki yang tadinya ringan itu tiba-tiba terhenti ketika Haejin mendapati Choi Junhong sedang berjalan ke arahnya. Gadis itu sedikit ragu, ia edarkan pandangan matanya ke sisi kanan, kiri dan belakang. Mencari tau, takut-takut ia salah duga. Bisa saja lelaki itu tengah berjalan menuju seorang teman yang sedang berada tak jauh dari tempatnya sekarang.

Namun nihil. Tidak ada seorang pun yang berada di belakang maupun di sebelah Lee Haejin. Mau tak mau, Haejin harus menerima bahwa Choi Junhong benar-benar sedang berjalan menuju tempatnya.  Oh, bahkan sepasang mata lelaki itu tak lepas memandang Haejin walau gadis itu masih berada beberapa meter di depannya. Bukannya bersiap menyambut kedatangan Junhong, gadis itu malah membalikkan badan dan sedikit berlari dari tempat itu. Mencoba menghindari kedatangan Junhong walaupun ia tidak tahu usahanya akan berhasil atau tidak.

Tanpa basa-basi, Haejin langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam toilet wanita begitu melihat tempat itu di pandangan matanya. Gadis itu sebenarnya tidak mempunyai keperluan di tempat itu, namun apa boleh buat, lebih baik ia berlama-lama di toilet daripada harus bertatap muka kembali dengan Choi Junhong. Haejin tidak siap. Selain jantungnya akan memompa lebih cepat ketika berhadapan dengan lelaki itu, ia juga tidak ingin berurusan lagi dengan Junhong. Baginya, cukup sekali berurusan dengan lelaki itu. Kejadian seminggu lalu cukup menjadi yang pertama sekaligus terakhir untuk Haejin.

Haejin kini sedang berada dalam proses untuk membangun kembali hidupnya. Tanpa bayang-bayang Choi Junhong tentu saja. Ia ingin melenyapkan lelaki itu dari hatinya. Pertemuan pertama, wajah tampan lelaki itu, senyuman manis dan juga hangat yang selalu diperlihatkan Junhong. Haejin ingin semua itu hilang. Dan tak pernah muncul lagi di dalam hatinya.

Namun kenapa di saat seperti ini, lelaki itu malah naik ke permukaan?

Tiba-tiba menunjukkan diri di depan Haejin bahkan menimbulkan bekas yang sangat mendalam bagi gadis itu. Kenapa harus sekarang? Dan kenapa tiba-tiba seperti ini?

Haejin menggelengkan kepalanya. Mencoba kembali untuk mengingat predikat Choi Junhong di mata dan otaknya. Lelaki itu tidak lebih dari seorang player. Mempermainkan perempuan adalah kegiatan rutin seorang Choi Junhong. Tidak, Haejin tidak akan pernah mau menjadi salah satu di antara sekian banyak gadis yang hanya dipermainkan Junhong. Walau ia sadar, Junhong agak berbeda beberapa hari ini. Tepatnya setelah kejadian tak terduga antara dirinya dengan lelaki itu. Perubahan bukan terletak di penampilan ataupun wajah tampannya. Melainkan dari segi kebiasaan lelaki itu.

Cukup tujuh hari bagi Haejin untuk mengakui, beberapa hari ini tak ada lagi perempuan-perempuan seksi ataupun glamour yang berada di sisi Junhong. Entah kemana perginya semua gadis cantik itu. Yang jelas, Junhong hanya terlihat bersama dengan teman-teman lelakinya saja beberapa hari ini. Datang dan pulang dari kampus pun lelaki itu hanya sendiri. Tidak terlihat seorang perempuan pun duduk di atas motor bersama dengannya. Di mata Lee Haejin, Choi Junhong benar-benar terlihat berbeda.

“Haejin,” sebuah suara lembut dan terdengar hangat memanggil nama gadis itu saat ia tengah sibuk memikirkan ide untuk keluar dari tempat itu tanpa berpapasan dengan Junhong.

“Ne?” Haejin melihat Cho Naeun –teman sekelasnya- kini menatapnya dengan tatapan bingung.

“Kau sakit?” Naeun menyentuh pundak Haejin. Sedikit khawatir dengan keadaan gadis cantik itu.

“Tidak,” jawab Haejin cepat.

“Aku hanya sedang bingung dengan tugas dari Yunho seonsaengnim,” gadis itu mencoba berbohong.

“Oh, jangan terlalu difikirkan. Nanti kau sakit,” sepasang bibir Cho Naeun membentuk lengkungan manis ketika mengatakan kalimat itu.

“Gomawo Naeun ya. Aku akan pulang sekarang,” balas Haejin sembari memberikan senyuman yang sama kepada Naeun.

Tidak ada lagi senyuman dari sepasang bibir Lee Haejin ketika ia membuka pintu toilet. Gadis itu mengelus dada lega saat menyadari tidak ada tanda-tanda sosok Choi Junhong di sekitar tempat itu. Haejin mencoba berjalan normal dan penuh rasa hati-hati. Sayangnya, walau berjalan dengan penuh kehati-hatian, gadis itu tetap tidak bisa melakukan apapun begitu menyadari sepasang lengan lelaki dengan tiba-tiba membawanya menuju sebuah lorong sepi di kampus itu. Lengan kanan si lelaki menutup rapat mulut Haejin, dan lengan satunya lagi menyeret tubuh gadis itu.

Lee Haejin berencana akan berteriak sekencang mungkin saat lengan kanan si lelaki sudah tidak membekap mulutnya. Namun tenggorokan gadis itu tiba-tiba tercekat. Lidahnya kelu ketika menyadari Choi Junhong adalah lelaki yang sejak tadi menyeretnya. Bahkan bukan tenggorokannya saja yang tiba-tiba tercekat dan tidak bisa mengeluarkan suara, paru-parunya juga bagai berhenti bekerja. Haejin terasa sesak, ia kembali bagai tidak bisa bernafas saat wajah lelaki itu berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Persis seperti satu minggu yang lalu.

Ah, kenapa seperti ini?

Apa wajah Choi Junhong punya kekuatan supranatural yang jika ditatap dalam jarak yang dekat bisa menghentikan kerja organ tubuh Lee Haejin?

Ini terlalu berlebihan bagi Haejin. Gadis itu bisa mati kapan saja jika seperti ini.

“Kenapa kau menghindariku?” Junhong buka suara. Membuat Haejin menelan paksa saliva yang terasa lebih hambar dari hari-hari sebelumnya.

“Ya! Kau menculikku!” bukannya menjawab, Haejin malah meninggikan nada suaranya. Sebenarnya gadis itu tengah mencoba menyembunyikan kegugupannya. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak boleh tau tentang perasaan Haejin yang sebenarnya.

Junhong tersenyum sinis, “Apa ada penculik setampan aku?”

Sungguh, baru kali ini Haejin berhadapan dengan seorang lelaki yang sedikit gila dengan tingkat kepercayaan diri yang melebihi batas. Walau memang ia akui, ada benarnya juga ucapan Junhong. Jika ada penculik setampan Junhong, mungkin si korban tidak akan pernah rela dikembalikan ke tempat asalnya.

“Jawab aku Lee Haejin,” Junhong kembali tersenyum. Tapi kini bukan senyuman sinis, melainkan senyuman yang begitu menunjukkan kehangatan.

“Siapa yang menghindarimu? Aku tidak pernah menghindarimu,” Haejin berusaha agar nada bicaranya sebiasa mungkin.

“Kau tidak mahir berbohong Haejin ah.”

Haejin menggerutu dalam hati. Kenapa lelaki yang sedang berada di hadapannya ini seolah-olah sudah mengenalnya lama? Mencoba kebohongan kecil saja langsung diketahui oleh lelaki itu.

“Bisakah wajahmu tidak terlalu dekat denganku?” setelah tadi usaha kebohongan kecilnya tidak berhasil, gadis itu kini mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Kenapa? Kau tidak suka dengan wajah tampanku ini?”

Oh Tuhan, manusia seperti apa sebenarnya Choi Junhong ini? Tadi ia seakan-akan telah mengenal Haejin lama, kini rasa percaya dirinya benar-benar di atas normal. Choi Junhong yang benar-benar berbeda dengan Choi Junhong yang menolong dirinya setahun lalu.

“Ah, sudahlah. Aku tidak suka berbasa-basi,” ucap Junhong. Haejin mendengus, sebenarnya yang daritadi berbasa-basi dan terlalu percaya diri siapa?

“Lee Haejin, besok sore aku akan menjemputmu. Persiapkan dirimu dengan baik ya,” sambung lelaki itu lantang.

“Eoh? Jemput? Mau kemana?” kening Haejin bertautan. Kenapa lelaki yang sejak setahun lalu dicintainya itu tiba-tiba membuatnya bingung.

“Hmm,” Junhong bergumam.

“Tujuannya kemana, itu urusanku.”

“Persiapkan saja dirimu dengan baik dan cantik,” Junhong menyelesaikan kalimatnya dengan usapan kecil di puncak kepala Haejin.

Lelaki tampan itu berlalu dari hadapan Haejin dengan meninggalkan tanda tanya besar di fikiran gadis itu. Haejin masih juga tidak paham dengan ucapan Junhong. Setelah beberapa detik hanya diam di tempatnya berdiri, air muka Haejin pun berubah.

Itu tadi, apa Junhong mengajaknya berkencan?

***

Lee Haejin bisa merasakan sosok Choi Junhong dengan lebih dekat. Lelaki itu benar-benar bisa ia sentuh. Beberapa hal lucu dan sekaligus manis yang dilakukan Junhong kepadanya semakin membuat Haejin jatuh ke dalam pesona seorang Choi Junhong. Satu hari yang ia lewatkan bersama lelaki itu tidak membuat debaran di dada Haejin menjadi liar. Debaran itu memang masih terasa nyata namun menjadi tampak malu-malu ketika wajah Junhong menyunggingkan sebuah senyuman berasa manis dan hangat. Tak pernah terbayangkan oleh Lee Haejin sebelumnya bahwa ia akan sedekat ini dengan Junhong. Senyum yang saling berbalas, tertawa, bercerita hal kecil adalah beberapa hal sederhana yang Haejin lakukan bersama Junhong di hari itu.

Awalnya Haejin menyangka Junhong tidak seserius ucapannya kemarin. Namun Haejin sadar ia keliru ketika mendapati Choi Junhong tiba di depan rumahnya dengan motor hitam yang biasa ia pakai. Hingga membuat Haejin harus terburu-buru mempersiapkan dirinya agar tidak membuat lelaki yang ia cintai itu menunggu terlalu lama. Junhong sukses membuat Haejin merasa sangat senang di hari itu. Gadis itu sama sekali tak henti-hentinya tertawa atau tersenyum. Bahkan hal sederhana dari Junhong, seperti sebuket lily putih, dan tawaran menghabiskan ice cream bersama di pinggir jalan diterima dengan tangan terbuka oleh Haejin.

Kebahagiaan Haejin tetap tidak luntur di hari itu walau rintik-rintik hujan dengan derasnya tiba-tiba mengguyur Seoul. Haejin malah semakin tertawa lebar ketika Choi Junhong semakin memacu motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi. Terlihat sedikit sia-sia, karena secepat apapun lelaki itu memacu motornya, mereka berdua tidak akan lepas dari guyuran hujan yang turun semakin deras.

Jam dinding di rumah Lee Haejin sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika gadis itu dengan tubuh basah kuyup membuka kenop pintu rumahnya. Junhong mengikuti gadis itu di belakang. Mereka berdua sama-sama menggigil kedinginan. Haejin langsung memberikan sebuah handuk dan kaus berlengan pendek milik kakak laki-lakinya kepada Junhong. Dengan cepat menyuruh Junhong untuk mengeringkan tubuh kemudian mengganti bajunya yang tampak basah seluruhnya.

Setelah yakin tubuhnya benar-benar sudah kering, Haejin melangkah menuju dapur untuk membuat dua gelas cokelat hangat. Diluar masih hujan deras, angin yang berhembus pun semakin kencang. Membuat Haejin semakin kedinginan. Namun sebelum kedua tangan gadis itu mengambil dua gelas kecil, kening gadis itu keburu bertautan. Ia melihat sebuah note kecil di depan pintu kulkas. Ia yakini note itu berasal dari kakak laki-lakinya yang kini entah pergi kemana.

Aku pergi bersama Hyoyeon. Mungkin akan pulang larut malam. Tutup pintu dengan rapat jika kau akan tidur.

Haejin mendengus begitu selesai membaca note yang berasal dari Lee Hyukjae, kakak laki-lakinya. Haejin sedikit jengkel juga dengan kakaknya itu. Entah apa yang ia lakukan di luar sana dengan kekasih barunya. Sementara Haejin hanya di rumah dengan ditemani hujan yang semakin lebat. Tidak sampai lima menit, senyuman kecil kembali terhias di wajah Haejin ketika Choi Junhong tampak di kedua matanya. Lelaki itu tersenyum sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang Haejin berikan.

“Apa tidak masalah aku memakai baju ini?” Junhong bertanya setelah ia meneguk sedikit cokelat hangat yang dibuat oleh Haejin.

“Tidak apa-apa. Kau cocok memakai baju itu. Hyukjae oppa juga sudah jarang memakainya,” jawab Haejin masih dengan senyuman yang sama dari sepasang bibirnya.

Junhong mengangguk kecil, “Cokelat buatanmu enak,” puji lelaki itu dengan tersenyum.

Haejin hanya terkekeh kecil mendengar pujian singkat yang diucapkan lelaki itu untuknya. Gadis itu kemudian membawa gelas cokelatnya menuju sofa yang berada tepat di depan televisi. Haejin mengayunkan kecil lengan kirinya untuk memerintahkan Junhong agar menyusulnya duduk bersama di sofa itu. Setelah melihat Junhong sudah berada di sisi kanannya, Haejin segera menyalakan televisi dan mencoba mencari acara yang bagus untuk ditonton berdua dengan lelaki itu.

“Ah, aku lupa bertanya,” Haejin tiba-tiba teringat akan sesuatu.

“Darimana kau tahu rumahku? Aku kan tidak pernah memberikan alamat rumahku kepadamu,” Haejin menatap Junhong dengan sorot mata kebingungan.

Pertanyaan sederhana Haejin membuat Junhong tersenyum kecil, “Aku kan sudah bilang, aku mengetahui lebih banyak tentangmu.”

Tidak ada ekspresi wajah berarti yang ditunjukkan Haejin. Gadis itu masih saja menatap Junhong dengan bingung. Entah apa yang ada di dalam fikiran lelaki tampan yang berada di dalam pandangan matanya itu, tapi beberapa ucapan Junhong terlalu sulit untuk dimengerti Haejin.

“Jangan terlalu difikirkan. Nanti kau pasti akan mengerti dengan ucapanku.”

Nah, apa lagi ini? Apa lagi maksud dari ucapan Junhong yang satu ini?

Bukannya menemukan penjelasan, lelaki itu malah membawa Haejin berputar-putar tidak menentu dengan kalimat-kalimat yang keluar dari sepasang bibir merah mudanya.

“Berhentilah membuatku bingung Choi Junhong,” tidak ada lagi air muka kebingungan dari Haejin ketika ia mengatakan kalimat pendek itu. Sekarang, tatapan intens tengah mengalir dari kedua mata Haejin kepada lelaki itu.

“Hei, ternyata kau tau namaku,” bukannya menjawab, Choi Junhong malah mengalihkan pembicaraan. Tentu saja Haejin tau nama lelaki itu. Lelaki itu sudah menghiasi hati Haejin sejak pertemuan pertama setahun yang lalu.

“Kufikir kau tak tau namaku. Aku tak pernah mendengarmu memanggil namaku satu hari ini,” sambung Junhong.

“Siapa yang tidak tau nama lelaki playboy sepertimu. Kau bahkan lebih terkenal daripada Jungsoo seonsaengnim,” kini Haejin malah membanding-bandingkan Choi Junhong dengan salah satu dosen di KyungheeUniversity. Membuat lelaki itu tertawa.

“Ya, jangan bandingkan aku dengan dosen berkepala empat itu.”

“Ada apa denganmu Choi Junhong?” pertanyaan kecil yang keluar dengan tiba-tiba dari sepasang bibir Haejin membuat Junhong mengerutkan kening.

“Maksudmu? Memangnya ada apa denganku?” Junhong balik bertanya kepada gadis itu.

“Dulu, saat kita pertama kali bertemu di tengah hujan, kau tidak mengatakan apapun kepadaku. Sampai aku berfikir bahwa kau adalah lelaki bisu. Tapi kenapa sekarang kau tiba-tiba muncul di hadapanku dan menjadi lelaki yang berisik?” ujar Haejin panjang lebar. Namun Junhong tidak menunjukkan tanda-tanda akan membalas deretan kalimat Haejin. Lelaki itu hanya diam, kemudian meneguk pelan cokelat yang sudah agak mendingin itu.

“Aku muncul di hadapanmu hanya karena satu alasan,” Junhong mulai buka suara. Haejin menatap lelaki itu lebih dalam. Debaran di dada gadis itu tiba-tiba bekerja.

“Karena aku jatuh cinta.”

“Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kyunghee University,” Junhong menyelesaikan kalimatnya dengan satu desahan nafas.

Lengan kanan Junhong bergerak menyentuh dengan lembut pipi kiri Haejin. Kedua sudut bibir lelaki itu membentuk sebuah lengkungan manis sebelum akhirnya ia mendaratkan sebuah kecupan lembut di sepasang bibir Haejin. Junhong melumat bibir gadis itu sembari lengan kanannya yang turun menyentuh tengkuk Lee Haejin. Sungguh, Haejin lebih menikmati kecupan yang diberikan Junhong kali ini daripada kecupan tiba-tiba seperti tempo hari. Gadis itu menyambut dengan terbuka sepasang bibir Junhong, dan kini berusaha membalas lumatan yang terasa hangat itu.

Beberapa saat, kecupan itu berakhir dengan sebuah senyuman yang terlukis di wajah Haejin. Gadis itu tampak lebih bahagia.

“Aku mencoreng imageku sendiri di depan gadis itu,” kalimat pertama keluar dari sepasang bibir Choi Junhong.

“Menjadi seorang player hanya untuk menarik perhatiannya.”

Haejin menatap kedua bola mata Junhong lebih lekat, “Lalu, siapa gadis itu?”

“Kenapa kau berpura-pura tidak tau?” Junhong balik bertanya kepada gadis itu.

“Apa gadis itu adalah—“

Belum sempat Haejin menyelesaikan kalimatnya, ponsel berwarna merah muda miliknya tiba-tiba saja berdering. Membuat Haejin mengutuk dengan kesal ponsel kesayangannya itu. Benar-benar mengganggu suasana. Namun Haejin lebih jengkel lagi ketika mengetahui nama yang tertera jelas di layar ponselnya.

Nama sang kakak, Lee Hyukjae.

“Yoboseyo,” Haejin tersenyum simpul kepada Junhong. Memberi lelaki itu aba-aba agar menunggu sebentar.

“Haejin ah, apa kau sudah di rumah?”

“Sudah oppa.”

“Aku akan pulang sangat terlambat sepertinya. Sungmin mengajakku ke rumahnya. Kunci semua pintu jika kau akan tidur.”

“Ne oppa. Arraseo. Kau tidak usah memberitahuku lagi tentang hal itu,” Haejin mendengus kesal, hampir kehilangan kesabaran. Haejin mengerti. Lee Hyukjae memang sangat menyayanginya, hingga hal sekecil itu pun berulang kali harus dikatakannya. Namun gadis itu benar-benar jengkel kali ini. Kakak laki-lakinya itu sudah mengganggu momennya bersama Junhong.

“Jaga dirimu ya.”

Haejin sama sekali tidak menjawab ucapan Hyukjae. Gadis itu dengan begitu saja mematikan ponselnya. Tidak mempedulikan sang kakak yang mungkin terlihat bingung dengan penutupan sepihak dari Lee Haejin.

Choi Junhong hanya diam dan terkekeh geli melihat ekspresi jengkel Haejin. Lelaki itu sangat menikmati wajah jengkel yang sedang berada di pandangan matanya itu.

“Hujan sudah berhenti. Aku harus pulang,” Junhong tiba-tiba berdiri dari duduknya sembari melihat jam dinding yang berada di ruangan itu.

Junhong mengecup sekilas puncak kepala Haejin, “Tidur yang lelap ya.”

“Sampai jumpa di kampus besok,” kalimat sederhana Choi Junhong sebelum akhirnya lelaki itu melangkah keluar dari rumah Lee Haejin.

Hei, tunggu dulu. Haejin bahkan belum menanyakan hal yang tadi sempat tertunda.

***

Lengan kanan Haejin terangkat ke udara. Hendak menekan bel kecil di sebelah pintu sebuah rumah mewah namun terkesan minimalis. Untuk kedua kalinya, Haejin megurungkan niatnya. Ia meremas pelan jari-jari lengan kanannya, mencoba berfikir lagi tentang sesuatu yang akan ia lakukan. Wajarnya, tidak ada yang aneh dengan yang akan gadis itu lakukan kali ini. Ia hanya datang ke rumah seorang teman yang sudah dua hari tidak menunjukkan batang hidungnya di kampus.

Hah, seorang teman? Layakkah disebut teman jika seseorang itu adalah Choi Junhong?

Setelah di kampus tadi Haejin mempunyai keraguan yang sangat besar ketika menemui Kim Jongin  –teman terdekat Junhong- untuk meminta alamat lelaki itu, kini Haejin juga mempunyai keraguan yang sama hanya untuk sekedar memencet bel rumah lelaki itu. Jelas saja, punya posisi apa ia di kehidupan Junhong? Seingatnya, mempunyai ikatan pertemanan secara resmi saja tidak, namun lelaki itu bersikap seolah-olah hubungan mereka sudah melebihi batas pertemanan.

Jadi, pantaskah jika Haejin berkunjung ke rumah lelaki itu?

Mungkin Haejin akan menemukan jawabannya jika kali ini ia tanpa ragu memencet bel kecil yang akan mengantarkannya masuk ke dalam rumah lelaki itu.

Pintu rumah itu terbuka setelah Haejin beberapa kali memencet bel dengan perasaan yang sedikit ragu. Seorang wanita cantik berambut hitam panjang menyambut Lee Haejin dengan sebuah senyuman. Wanita yang terlihat masih begitu muda, walaupun Haejin yakin wanita itu pasti lebih tua beberapa tahun dari dirinya. Haejin bisa menebak, pasti banyak sekali lelaki di luar sana yang berebut untuk mendapatkan wanita yang tengah berada di pandangan matanya ini. Bagi Haejin, kecantikan wanita asing itu hampir mendekati sempurna. Kulit wanita itu memang tidak seputih Haejin, namun wanita itu begitu bersinar dengan seulas senyuman kecil di sepasang bibirnya.

“Anda mencari siapa?” Haejin buru-buru membalas senyuman singkat wanita itu saat wanita cantik itu mengeluarkan suaranya.

“Namaku Lee Haejin. Dan aku mencari Choi Junhong.”

“Aah, jadi kau gadis yang bernama Lee Haejin? Kau bahkan jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan,” wanita cantik itu kembali tersenyum. Haejin tidak membalas senyuman itu, air muka gadis itu malah terlihat kebingungan.

“Masuklah.”

Haejin membungkukkan badannya sesaat sebelum ia melangkahkan kaki memasuki rumah Junhong. Haejin berjalan mengikuti wanita itu, walaupun ia tidak tau akan dibawa kemana dirinya oleh wanita asing itu. Langkah kaki Haejin berhenti seketika saat ia melihat sebuah foto yang berukuran cukup besar terpajang di dinding sebuah ruangan yang dilewatinya. Kening Haejin sedikit terlipat saat melihat foto itu dengan jelas. Ada tiga orang di dalam foto itu. Haejin sangat mengenal seseorang yang berada di tengah. Itu Choi Junhong, lelaki yang ia cintai. Seorang wanita di sisi kiri Junhong tampak tak asing di sepasang mata Haejin. Namun Haejin langsung tersenyum simpul saat menyadari sosok wanitu itu adalah wanita cantik yang tadi menyambutnya di depan pintu. Dan ada seorang lagi di sisi kanan Junhong. Seorang laki-laki, yang bahkan dilihat dari foto saja sudah terlihat tampan. Setampan Choi Junhong.

“Kami tiga bersaudara,” sebuah suara langsung membuat sepasang mata Haejin menoleh ke sisi kanan. Wanita cantik yang sejak tadi dikaguminya itu kini juga tengah menatap foto itu.

“Junhong yang paling bungsu. Dan aku adalah kakak perempuannya. Namaku Choi Sooyoung. Sedangkan yang berada di sebelah kanan Junhong itu adalah Choi Siwon. Tertua di antara kami bertiga,” wanita yang bernama Choi Sooyoung itu tersenyum saat mengakhiri ucapannya.

“Kalian bertiga memiliki gen yang luar biasa,” ucap Haejin.

“Yang sulung dan bungsu sama-sama tampan, dan kau sangat cantik—“ Haejin menggantung sejenak kalimatnya di udara.

“Panggil saja aku Sooyoung eonnie. Tidak usah sungkan,” ucap Sooyoung cepat.

“Ne, Sooyoung eonnie,” Haejin tersenyum kepada wanita cantik itu.

“Apa kau ingin mendengar cerita yang lebih banyak lagi tentang keluarga kami?” tawar Sooyoung. Membuat Haejin bingung seketika. Lucu sekali, ia baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah Junhong dan baru pertama kalinya juga kenal dengan kakak perempuan lelaki itu, tapi sudah ditawari untuk mendengar yang lebih banyak lagi tentang keluarga mereka. Walaupun bingung, Haejin tetap menganggukkan pelan kepalanya. Biarlah, ia juga ingin mendengar yang lebih tentang Junhong, apalagi cerita itu berasal dari mulut kakak Junhong sendiri.

“Kedua orangtua kami berada di Berlin. Mereka memimpin induk utama Choi Corp disana. Sedangkan aku dan Siwon oppa memimpin cabang Choi Corp dan beberapa hotel yang berada di Seoul, sekaligus menemani Junhong yang belum menyelesaikan pendidikannya. Sebentar lagi Siwon oppa akan menikah dengan tunangannya yang bernama Tiffany Hwang. Dan mungkin akan pindah ke London. Sedangkan aku akan benar-benar sendiri memimpin perusahaan disini sampai Junhong menyelesaikan pendidikannya dan siap untuk bergabung di perusahaan,” Choi Sooyoung tersenyum sesaat setelah menyelesaikan ceritanya yang terdengar tidak begitu panjang di telinga Haejin.

“Siwon oppa akan segera menikah, bagaimana denganmu eonnie?”

Sooyoung tersenyum saat mendengar pertanyaan Haejin yang terdengar memasuki daerah pribadi, “Aku belum bertunangan, namun aku mempunyai seorang kekasih. Namanya Lee Donghae.”

 “Lalu Junhong?”

Sooyoung terlihat tertawa saat mendengar pertanyaan keingintahuan yang terucap dari bibir Haejin, “Apa kau benar-benar penasaran tentang adikku?”

“Sebaiknya kau tanyakan sendiri kepadanya. Kajja,” Sooyoung menarik lengan kanan Haejin untuk kembali berjalan mengikutinya.

“Junhong ada di dalam. Mungkin dia sedang tidur,” ucap Sooyoung begitu mereka sampai di depan sebuah kamar yang diyakini Haejin adalah kamar Choi Junhong.

Haejin tersenyum kecil kepada wanita itu, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar lelaki yang ia cintai. Sooyoung benar, Junhong kini tengah tertidur lelap di atas kasur sembari memendam hampir seluruh tubuhnya di balik selimut. Haejin duduk di pinggir tempat tidur lelaki itu. Ia amati wajah tampan Junhong yang tampak sedikit pucat. Gadis itu kemudian mengelus dengan sayang puncak kepala Junhong. Haejin sepertinya tau alasan Junhong tidak terlihat sama sekali di kampus dalam dua hari ini. Gadis itu tau setelah ia dengan tidak sengaja menyentuh kening Junhong. Sedikit panas. Mungkin lelaki itu demam selama dua hari ini. Obat-obatan juga tampak di atas meja sisi kanan kasur Junhong. Semakin meyakinkan gadis itu bahwa Junhong tengah jatuh sakit.

Lee Haejin berdiri dari duduknya. Melangkah menuju meja yang terlihat berukuran lebih besar daripada meja yang berada di sisi kanan kasur Junhong. Haejin melihat beberapa buku dan alat-alat tulis yang berserakan di atas meja itu, kemudian merasa tertarik untuk sekedar membereskan benda-benda milik Junhong tersebut. Gadis itu meletakkan semua benda-benda yang berserakan ke dalam tempatnya masing-masing. Namun belum selesai Haejin melakukan pekerjaannya, sepasang mata gadis itu bagai terdorong untuk membuka sebuah buku gambar bersampul biru tua yang paling mencolok di antara barang-barang Junhong yang lainnya. Di sudut kanan paling bawah buku itu tertulis tiga huruf.

LHJ.

Haejin membuka lembar pertama buku itu. Tak tertulis apapun. Kosong. Ia membuka lembar kedua. Dan bukan kekosongan lagi yang didapatinya. Melainkan sketsa seorang gadis berambut panjang.

Indah.

Entah bagaimana cara Choi Junhong menggambar sketsa itu. Namun sang gadis yang berada di sketsa tampak begitu indah di mata Haejin. Sama seperti sampul buku itu, tiga huruf yang sama tertulis di sudut kanan bawah. Haejin membuka kembali lembar selanjutnya. Ada sketsa berbeda lagi. Tapi terlihat seorang gadis yang sama di dalam sketsa itu. Haejin menggigit pelan bibir merahnya. Gadis itu benar-benar tidak tau tentang gadis yang ada di dalam sketsa beserta dengan tiga huruf yang tertulis. Haejin mengusap tiga huruf yang semakin membuatnya sangat penasaran itu. Mencoba memutar otak, namun tak kunjung ditemukannya arti dari tiga huruf itu.

Haejin tersentak begitu menyadari sepasang lengan tengah melingkar sempurna di perutnya. Sedikit merinding juga ia, namun sepertinya ia tau aroma menyegarkan yang berasal dari seseorang yang berada di balik punggungnya itu. Seseorang itu meletakkan kepalanya di bahu kanan Haejin. Membuat Haejin langsung mengenali sosok itu. Organ yang berada di dalam dada Haejin berdebar-debar tidak karuan begitu menyadari Junhong tengah memeluk tubuhnya dengan sangat erat dari belakang.

 “Bukannya kau sakit?” Haejin berpura-pura fokus membolak-balik buku gambar itu.

“Aku langsung sembuh begitu melihatmu disini” jawab Junhong singkat. Lelaki itu menghirup dengan cepat aroma buah-buahan dari shampoo yang melekat di rambut Haejin.

“Lee Haejin.”

“Apa?”

“Aku tidak memanggilmu,” ucap Junhong.

“Hei, jelas-jelas aku mendengar suaramu memanggil namaku,” balas Haejin.

“Aku tidak memanggilmu, tapi aku menjawab rasa penasaranmu,” ujar Junhong.

“Eoh?”

“Inisial yang sejak tadi kau sentuh itu adalah namamu, Lee Haejin.”

Haejin hampir menganga sempurna saat mendengar jelas ucapan Junhong di telinganya. Dan semakin masuk akal memang ketika ia membaca ulang tiga huruf itu.

LHJ.

Lee Haejin.

Hampir membuat gadis itu mati di tempat ketika ia juga menyadari sketsa yang sejak tadi dipandanginya adalah dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin Choi Junhong bisa menggambar Lee Haejin yang tampak biasa saja menjadi sangat indah jika dilihat di sketsa itu?

Cara menggambar Junhong yang memang luar biasa hingga bisa menghasilkan sketsa seindah itu atau Haejin saja yang tidak menyadari bahwa dirinya terlihat indah di mata Junhong?

“Gambarmu bagus,” sebuah pujian singkat keluar dari sepasang bibir Haejin.

“Itu belum seberapa. Aku punya yang lebih bagus di lembar-lembar belakang,” balas Junhong.

“Aku tidak tau kalau kau bisa menggambar sebagus ini.”

“Benarkah? Kau benar-benar tidak tahu, bahkan setelah satu tahun kau memandangiku dari jauh?”

Pertanyaan telak Junhong membuat tubuh Haejin menegang seketika. Sepasang mata gadis itu membulat sempurna. Ia menelan paksa saliva yang bagai tersangkut di tenggorokan. Oh tidak, darimana Junhong tau tentang hal itu? Matilah gadis itu. Sekarang ia tidak tau harus dimana lagi ia menempatkan wajahnya yang kini sudah terlihat memerah seperti kepiting rebus.

“Wajahmu cantik jika memerah seperti itu,” ucap Junhong sembari terkekeh kecil.

“Apa kau sedang mencoba untuk merayuku?” balas Haejin.

“Tidak. Aku memang mahir merayu gadis manapun, namun aku tidak mahir merayumu,” Junhong tersenyum saat mengakhiri ucapannya.

Jika diteliti baik-baik, sebenarnya ucapan Junhong tidak mempunyai makna apapun. Hanya kalimat biasa, tapi efek kalimat itu bagi seorang Lee Haejin benar-benar luar biasa. Gadis itu tersenyum malu-malu, mencoba sedikit meredam rasa senangnya. Entah kenapa, kalimat yang barusan keluar dari sepasang bibir Junhong membuat Haejin merasa sangat bahagia.

“Aku mencintaimu Lee Haejin. Sebelum kau mulai memperhatikanku setahun yang lalu.”

“Satu-satunya alasanku menolongmu di saat hujan tahun lalu hanya untuk membuatmu melihatku. Menyadari keberadaanku. Dan seperti yang kukatakan dua hari lalu, aku terlihat seperti seorang player juga hanya untuk menarik perhatianmu. Membuatmu agar mendekat kepadaku. Dan berpura-pura tidak tau tentang pandanganmu. Namun sebaliknya yang kudapat, kau malah semakin menjauh.”

“Kemudian aku memilih cara terakhir. Muncul di hadapanmu dengan tiba-tiba,” Junhong menyelesaikan kalimatnya dengan sebuah senyuman kecil.

Haejin tak bergeming. Gadis itu hanya diam sembari merasakan pelukan hangat Junhong yang semakin erat di tubuhnya. Haejin tak mampu mengeluarkan satu katapun dari sepasang bibirnya. Entah gadis itu terharu atau merasa terkejut dengan pengakuan tiba-tiba Junhong. Haejin memang sempat merasa bahwa gadis yang diceritakan Junhong dua hari lalu adalah dirinya, namun gadis itu terlalu takut untuk berharap lebih. Ia lebih memilih diam daripada harus bertanya lagi kepada Junhong. Haejin sangat takut, takut kalau Junhong hanya akan mempermainkannya.

“Apa kau sedang menyatakan cinta kepadaku Choi Junhong?” sebuah pertanyaan akhirnya keluar dari bibir Haejin.

“Tidak. Aku hanya mengatakan hal yang selama ini terpendam.”

Junhong membalikkan tubuh Haejin hingga wajah gadis itu berada tepat di sepasang matanya, “Maaf jika selama ini kau terluka karenaku.”

Haejin langsung menenggelamkan tubuhnya di dada hangat Junhong. Gadis itu tersenyum senang. Ia semakin mengeratkan pelukannya, begitu juga dengan Junhong. Sepasang manusia itu tak henti-hentinya tersenyum sembari menghirup dalam-dalam aroma tubuh satu sama lain. Terlebih lagi Haejin, ia tidak pernah menyangka jika Junhong mempunyai rasa yang sama dengannya yang tersembunyi dengan sangat rapat di dalam lubuk hati lelaki itu. Perasaan yang benar-benar rahasia. Terlihat siluetnya saja oleh Haejin tidak pernah. Lelaki itu benar-benar cerdas dalam hal menyembunyikan perasaan. Membuat Haejin berdecak kagum.

“Aku mencintaimu Choi Junhong.”

“Jangan pernah pergi bersama gadis yang tidak jelas lagi di kampus. Jangan pernah menggenggam tangan gadis lain lagi di hadapanku. Jangan pernah memeluk gadis lain lagi di depan teman-temanmu. Dan jangan pernah mencium gadis lain lagi di depan ruang kelasku,” ucap Haejin sembari melepas pelukannya.

Junhong sedikit tertawa mendengar beberapa kalimat yang keluar dari sepasang bibir merah gadis itu, “Mulai sekarang, aku hanya akan pergi ke kampus bersamamu. Hanya akan menggenggam tanganmu. Hanya akan memeluk tubuhmu. Dan hanya akan mencium bibirmu.”

Tepat ketika Junhong mengakhiri kalimatnya, lelaki itu mengecup sekilas bibir Haejin. Kedua pipi gadis itu kembali memerah. Sedikit merasa malu dengan perlakuan tiba-tiba lelaki yang ia cintai itu. Hingga moment romantis mereka pecah seketika saat seseorang dengan tiba-tiba memasuki kamar Choi Junhong tanpa mengetuk pintu ataupun kalimat permisi.

“Haejin ah, eonnie buatkan—“ kalimat kakak perempuan Junhong terhenti seketika saat melihat jari-jemari adik laki-lakinya sedang bertautan erat dengan jemari Lee Haejin.

Mianhae. Noona tidak tau kalau kau sudah bangun Junhong ah,” Choi Sooyoung tersenyum kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Junhong mendengus kesal, “Keluarlah noona. Kau mengganggu.”

Ne? Kau mengusir kakakmu sendiri?” Sooyoung berjalan mendekat menghampiri adik laki-lakinya itu.

“Ne. Aku mengusirmu untuk keluar dari kamarku,” wajah Junhong kini terlihat menantang kakak perempuannya sendiri.

“Ya! Kau tidak tau terimakasih. Siapa yang merawatmu dari kemarin? Siapa yang sampai harus meninggalkan pekerjaannya di kantor dan membiarkan Siwon oppa berkerja sendiri selama dua hari ini hanya karena ingin menjaga adik laki-laki satu-satunya?” Sooyoung meninggikan nada suaranya. Menantang kembali adik semata wayangnya itu.

“Ne. Arraseo noona. Aku sangat berterimakasih untuk hal itu. Tapi sekarang, pergilah berkencan dengan Donghae hyung dan biarkan kami berdua ne?” Junhong tersenyum paksa sembari menyeret pelan tubuh kakaknya untuk keluar dari kerajaannya di rumah itu.

“Aish, kalau ada maunya kau pasti begini,” jitakan pelan namun terasa perih singgah di puncak kepala Junhong. Membuat kedua sudut bibir lelaki itu tertekuk ke bawah.

Tepat setelah Choi Sooyoung keluar dari kerajaan Junhong, lelaki itu langsung menuju kembali ke tempat Haejin ditemani dengan sebuah senyuman terhias di kedua sudut bibirnya, “Ayo temani aku satu hari ini.”

“Kemana?”

“Tidak kemana-mana. Hanya di kamar ini,” Junhong menarik lengan kanan Haejin menuju seperangkat TV lengkap dengan DVD player miliknya.

“Ah, menonton film?” tanya gadis itu.

“Tidak. Tapi bermain,” Junhong mengeluarkan dua stick Playstation dari dalam lemari kaca yang berada tepat di bawah TV miliknya. Lelaki itu memberikan satu kepada Haejin dan satunya lagi berada di dalam genggamannya.

“Aku tidak bisa bermain ini Choi Junhong,” ucap Haejin pelan.

“Aku tidak mau tau, kau harus menemaniku,” Junhong tetap bersikeras dengan ucapannya. Air muka lelaki itu jelas sekali tidak ingin dibantah oleh Haejin.

Haejin menghela nafas pasrah, “Baiklah.”

Junhong tersenyum licik, “Kalau kau kalah, aku akan menciummu dengan brutal.”

“Ne?!”

.END.

 

10Mei13

Comments

You must be logged in to comment
diandrandns
#1
Yoohoo! My very first Indonesian fanfic that I read and yet a beautiful story omg. I was so pissed about Zelo being all playboy and stuff but I understand after he told Haejin the reason:3
diandrandns
#2
Yoohoo! My very first Indonesian fanfic that I read and yet a beautiful story omg. I was so pissed about Zelo being all playboy and stuff but I understand after he told Haejin the reason:3
diandrandns
#3
Yoohoo! My very first Indonesian fanfic that I read and yet a beautiful story omg. I was so pissed about Zelo being all playboy and stuff but I understand after he told Haejin the reason:3
B-locket #4
This seems nice, I'll be waiting for you to update it ^^
continha_troll #5
I like this idea, update soon, neh? ^^