KELUARGA

PULANG

 

Kehidupan yang sempurna....

 

Barangkali kategori itu yang cocok untuk mendeskripsikan hidupku. Karena, memang seperti itulah kehidupanku terlihat di mata dunia. Orang tuaku adalah pebisnis sukses mancanegara, ayahku di bidang manufaktur dan ibuku di bidang fashion. Belum lagi warisan mendiang kakekku yang mantan politikus ternama. Jelas secara materi, kekayaan keluargaku membuatku terbiasa tak pernah berpikir dua kali mengenai barang yang akan kubeli.

 

Secara fisik.... mereka bilang aku bisa jadi model atau artis terkenal dengan mudah karena tampangku dan postur tubuhku yang tinggi. Setiap valentine tiba, atau perayaan lainnya, lokerku selalu penuh berisi hadiah dari para yeoja. Bahkan tak sedikit yang mengirim langsung ke rumahku. Surat cinta? Aku tak pernah menghitungnya lagi sejak kertas-kertas itu hanya kujejalkan dalam kantung besar yang tak pernah kubuka – terlalu sayang untuk kubuang tapi aku tak berniat membacanya. Mereka bilang, aku bisa dengan mudah memilih yeoja manapun untuk menemaniku tiap malamnya – yang tidak kulakukan karena aku tak berminat.

 

Kasih sayang keluarga? Karena aku anak tunggal, tak ada yang merebut kasih sayang kedua orangtuaku  yang sangat memanjakanku. Mereka memperlakukanku layaknya seorang raja, layaknya barang antik pecah belah yang benar-benar harus dijaga agar tak tergores sedikitpun. Meski sibuk, kedua orang tuaku selalu menempatkanku dalam prioritas pertama mereka, apapun yang terjadi.

 

Dari segi pelajaran, well, memang aku bukan peraih siswa berprestasi. Namun, aku tak pernah mendapat masalah dengan guru terkait nilai. Meski bukan posisi puncak, tapi peringkatku tergolong tinggi di kelas.

 

Aku menyukai musik dan orang tuaku sangat mendukungku. Mereka tidak menentangku, tidak memaksaku menjadi pebisnis seperti mereka. Mereka memfasilitasi segala instrumen musik yang kuperlukan. Mereka memfasilitasi pengetahuan yang kubutuhkan dalam bidang musik, baik informal maupun formal. Hingga berbagai penghargaan musik memenuhi rak di kamarku.

 

Kehidupan sosial? Aku bukan seorang antisosial, aku tak memiliki kesulitan dalam menjalin pertemanan. Orang-orang bahkan menyebutku “Happy Virus” gara-gara sikap ramahku pada mereka.

 

 

Sempurna....

 

Kau mungkin ingin menyebut kata itu untuk mendeskripsikan kehidupanku?

 

 

Namun, aku tak sebodoh itu untuk akhirnya mengetahui bahwa.... keluarga tempatku berada saat ini bukanlah keluargaku. Aku tak sebodoh itu untuk memahami bahwa kedua orang tuaku yang berdarah O tak mungkin memiliki aku yang bergolongan A sebagai anak mereka. Meski aku baru tingkat SMP saat itu, aku paham bahwa.... ini bukan keluargaku.

 

Aku memilih diam, sejak appa dan eomma juga berkeputusan tak memberitahuku. Meski aku begitu penasaran, aku berusaha tak mempedulikan hal itu. Karena toh, pada akhirnya fakta itu sama sekali tak mengurangi kesempurnaan hidup yang kujalani ini....

 

.....

 

Selain perubahan dalam hatiku sejak aku tak bisa lagi memahami arti kata ‘keluarga’.

 

Mungkin kau bisa mengkategorikan kehidupanku dalam kata “sempurna”, tapi aku tak merasakan apapun. Kau tahu? Hampa. Aku tak paham arti kehidupan. Aku tak tahu tujuan dari kehidupan. Aku menjalani hidupku dengan segala ‘kesempurnaan’ dalam kacamata dunia, tapi aku tak merasakan apapun.

 

.....

 

Hingga aku menemukanmu.

 

.

 

.

 

.

 

Aku baru saja pulang dari latihan bersama teman satu band-ku hingga larut malam di tengah hujan deras itu saat sosokmu kulihat menghalangi jalur mobilku menuju garasi apartemen. Saat itu, sangat mungkin bagiku untuk melewatimu dan masuk begitu saja ke balik pagar. Melindasmu pun bisa saja kulakukan. Namun, tentu saja aku tak sejahat itu. Meski aku tak paham arti kehidupan, aku tak berniat sedikitpun mengambil kehidupan orang lain.

 

Sejujurnya aku sendiri tak tahu apa yang menggerakkanku hingga tungkai panjangku melangkah dari dalam mobil yang kering ke jalanan yang basah. Kuhampiri sosokmu yang meringkuk tak bergerak di tengah aliran air yang deras di atas aspal. Bisa kulihat kau sudah cukup lama berada dalam hujan menggigit ini. Aku sendiri tak paham, tapi saat irisku memantulkan sosokmu, aku tak bisa melepas pandang. Kau seperti kucing yang terbuang. Dan detik itu juga aku paham bahwa kita serupa.

 

Tak mengerti arti kehidupan....

 

Akankah kau percaya jika kuberitahu bahwa aku mengangkatmu ke dalam mobil dan membawamu ke kamarku sementara aku sendiri tak bisa menjelaskan alasan dari tindakanku itu?

 

.

 

.

 

.

 

Tentu, ketakutan adalah ekspresi pertama yang kau tunjukkan saat tersadar di atas kasurku. Kupikir itu adalah reaksi yang wajar, sejak kau tak mengenalku. Hingga aku menyadari bukan diriku yang kau takuti. Tapi sesuatu – seseorang – yang ada dalam lembar masa lalu kehidupanmu.

 

Kau tahu? Aku tak pernah peduli dengan kehidupan orang lain. Terutama apa yang ada di lembar belakang – masa lalu. Aku mengizinkan siapapun memasuki kehidupanku, aku juga tak berkeberatan kehidupanku beririsan dengan kehidupan orang lain. Tapi aku tak tertarik untuk mengetahui bagian dalam kehidupan orang lain. Karena masa lalu selalu rumit, dan aku benci memikirkan hal yang rumit.

 

Dan hal itu berlaku juga padamu.

 

Saat menemukanmu, aku hanya menginginkanmu ada di dekatku. Tanpa aku peduli apa yang terjadi padamu hingga tergeletak di jalan di depan apartemenku tengah malam dalam hujan yang deras. Aku tak bertanya, dan aku tak berniat untuk bertanya. Kau tampak tak ingin memberitahuku, dan aku pun tak berniat mengorek bagian dalam kehidupanmu.

 

Hingga aku melihatmu meringkuk dalam lemari bajuku. Dengan tubuh gemetar dan ketakutan yang tergambar nyata di sepasang kristalmu. Tanpa bisa kupungkiri, aku ingin tahu apa yang terjadi padamu. Apa yang kau takuti? Apa yang kau alami? Apa yang kau lihat saat aku menyentuhmu? Apa yang membuatmu begitu hilang kendali? Apa yang membuatmu begitu.... rapuh?

 

Aku tak mengerti. Aku ingin tahu. Sangat ingin tahu. Tapi aku tak mengerti. Dan aku tak akan memaksamu. Aku hanya paham bahwa kau telah terluka dalam kehidupanmu. Dan aku hanya paham bahwa aku ingin menenangkanmu... bahwa aku.. ingin melindungimu. Aku ingin bersamamu... Karena itu...

 

“Kau mau tinggal di sini, kan?”

 

Tahukah kau, seberapa besar kebahagiaan menghantamku saat kau mengangguk atas tawaranku itu?

 

Entah dari mana, aku mendengar bisikan, “Aku memliki keluarga sekarang...”

 

Apakah itu suaramu?

 

Ataukah.... suara hatiku?

 

.

 

.

 

.

 

Sejujurnya aku tak bisa menjelaskan kenapa. Akan tetapi, kehadiranmu membawa warna yang hangat dalam apartemenku yang dingin. Sosok mungilmu membawa inspirasi bagiku. Hingga tanpa sadar aku ingin membuat lagu tentangmu. Hingga tanpa sadar aku begadang mengaransemen lagu untukmu. Dan tanpa sadar aku malah jadi tertidur di ruang tengah dengan lembaran kertas berserakan dan laptop yang menyala.

 

.

 

.

 

.

 

“Chanyeol-ah, oper sini!”

 

Aku melempar bola di tanganku tepat sasaran sementara tungkai panjangku kubawa menapaki lapangan yang basah ke dekat ring. Tak kupedulikan tetesan hujan yang turun deras membasahi kausku. Tak ada yang lebih menyenangkan selain bermain basket di tengah hujan dengan sorak sorai dari pinggir lapangan – meski kuyakin banyak dari teriakan itu adalah omelan karena kami nekat bermain di hujan yang deras ini.

 

“Chanyeol-ah!”

 

Aku menoleh tepat waktu untuk menangkap operan dari timku dan tubuhku bersiap melakukan shoot pada ring yang tak seberapa jauh. Angle yang kuambil telah pas dan jemariku telah siap melepaskan sentuhan dengan bola karet itu. Saat aku melompat dan melemparkan bola, petir yang amat keras terdengar menggelegar dari langit. Mengikuti kilatan cahaya yang tepat membelah langit di atasku. Menghalangi pandanganku dan menyebabkan gumpalan karet itu melenceng dari lingkaran besi dan alih-alih membentur papan di baliknya. Sialnya, efek tumbukan itu memantul sempurna dan menghantam sisi kepalaku yang masih sedikit terbutakan oleh kilat petir di latar belakang langit gelap di sana. Benturan yang cukup keras mengenai pelipisku yang mulai berdenyut akibat migrain. Ditambah faktor udara dingin dan kurang tidur, tubuhku melepaskan kesadaranku hingga aku ambruk di atas tanah beton. Hal terakhir yang kudengar sebelum kegelapan total menghantamku adalah jeritan panik di sekeliling lapangan.

 

.

 

.

 

.

 

Aku tahu Kris yang membopongku dari ruang kesehatan kampus ke pelataran parkir mobil. Aku tahu sepupuku itu berniat melarikanku ke rumah sakit menuruti kecemasannya yang berlebihan. Dan aku tersadar tepat waktu untuk mencegahnya melebih-lebihkan masalah dan memaksanya mengarahkan mobil menuju apartemen. Aku hanya sedikit pusig, hanya ingin istirahat... dan melihatmu.....

 

Sialnya efek hujan itu baru terasa sekarang. Kepalaku pusing dan batuk menderaku. Dan Kris yang overprotektif bersikeras membopongku ke kamar hingga aku hanya bisa melambaikan tanganku ke arahmu. Bisa kurasakan kekhawatiranmu saat melihat kami masuk. Aku berniat menenangkanmu dan menghapuskan kecemasanmu dengan lambaian tanganku, tapi Kris menarikmu menjauh.

 

Entah dari mana pemikiran ini, tapi aku mencurigai Kris mengatakan hal yang tidak-tidak padamu. Hal-hal buruk yang entah kenapa membuatku tak nyaman dan cemas. Karenanya aku berteriak memanggilnya agar berhenti mengganggumu. Tapi, ibuku datang dan perhatianku teralihkan padanya.

 

 

Tahukah kau, aku menghajar Kris saat ia mengatakan kau pergi setelah diusir olehnya? Kuharap kau tak bertanya kenapa kulakukan itu, karena aku sendiri tak bisa menjelaskan. Entah darimana aku yakin Kris telah mengatakan hal buruk padamu dan aku merasa amarahku bergolak mengetahui hal itu. Aku tak mengerti kenapa, tapi aku menyadari aku tak ingin kehilanganmu.

 

Karena itu, detik berikutnya, aku mendapati tubuhku bangkit dari balik selimut dan bergegas meninggalkan apartemen hangat ini menuju guyuran hujan yang deras untuk mengejarmu.

 

Tentu, kedua orangtuaku dan Kris berusaha mencegah.

 

Aku menepis tangan Kris yang menguncang tubuhku dan menatapnya tajam. Sebelum irisku kularikan pada sepasang kristal milik orang tuaku.

 

“Eomma, appa... Baekhyun tak memiliki keluarga... sama sepertiku,” ujarku perlahan. Rangkaian kata yang tentu saja mengundang seruan tertahan dari mulut eomma-ku yang langsung memandangku tegang.

 

“Apa maksudmu, Channie? Kau memiliki keluarga. Eomma, appa, Kris, dan yang lain adalah keluargamu, chagi-ya,” tukasnya dengan sedikit getaran yang tak luput dari telingaku.

 

“Jangan mengatakan hal tidak masuk akal, Park Chanyeol!” Itu teguran datar dari appa.

 

Senyum tipis adalah yang kutampilkan pada bibirku yang terbiasa mengukir cengir lebar. “Aku sudah tahu eomma, appa.... Aku sudah tahu bahwa aku bukan bagian dari keluarga ini. Aku tidak bodoh, eomma, appa. Aku tahu aku bukan anak kandung kalian. Pada dasarnya, aku sama dengan Baekhyun. Tak memiliki siapapun,” tukasku perlahan.

 

Bisa kulihat air mata mulai tergenang di manik kembar milik eomma. “Kau masih memiliki kami, Chan –“ ujarnya terputus isakan.

 

Lagi, aku tersenyum tipis. “Aku beruntung memilikimu eomma. Aku beruntung memiliki kalian semua. Jika tak ada kalian, aku akan seperti Baekhyun, bukan? Tak memiliki siapapun... tak memiliki tempat di manapun.... Tidak bolehkah aku berbagi keberuntunganku dengannya?” Aku terdiam dan menunggu mereka membantahku. Tapi, ruangan hening dan suara gemericik hujan di luar sana semakin keras. Membuatku semakin berdebar membayangkan tetes besar itu menghantam tubuh kecilmu.

 

“Bukankah eomma pernah bilang, pada dasarnya keluarga terbentuk dari orang-orang yang tidak saling mengenal yang saling menyayangi? Aku ingin menjadikannya keluargaku...” Setelah mengatakan hal itu, aku membawa tubuh jangkungku melewati pintu dan menuruni lift menuju tempat parkir mobil.

 

Sedikit rasa takut bahwa keputusanku ini akan membuatku kehilangan ‘keluarga’ku yang sekarang sempat mendera. Membuat hatiku berdebar. Namun, keinginan untuk menemuimu membuatku terus melangkah.

 

Sekali lagi, kuharap kau tak bertanya kenapa.

 

Karena aku sendiri tak tahu jawabannya.

 

Aku hanya tidak ingin mendapatimu kembali tergeletak di tengah hujan....

 

.

 

.

 

.

 

Tak pernah kusangka jemari besar Kris akan merebut kunci mobil dari tanganku. Ototku telah menegang dan bersiap beradu mulut dengannya, namun aku hanya termangu saat mendapati pemuda itu melewatiku untuk membuka pintu mobil. Aku masih berdiri terdiam di luar, memperhatikannya duduk di bangku kemudi hingga ia mendecak kesal dan menggerutu dari balik jendela.

 

“Kau pikir aku akan membiarkanmu menyetir dengan kondisi seperti itu, hah?!” sentaknya tanpa memandangku.

 

Rasa hangat mendadak menjalar di hatiku menyadari tindakannya yang secara tak langsung merupakan persetujuan atas niatanku mengejarmu. Sungguh, kalian berdua adalah orang yang sangat kusayangi, dan aku sangat berharap kalian memiliki hubungan yang baik.

 

Dengan seulas senyum tipis, aku berputar dan naik dari sisi lain mobil. Dalam sekejap Kris menyalakan mesin dan kami membelah malam di tengah tumpahan hujan untuk mencari sosokmu.

 

.

 

.

 

.

 

Sejujurnya aku tak tahu ke mana harus mencarimu. Kira-kira ke mana kau akan membawa tubuhmu tanpa tujuan? Seiring malam semakin larut sementara hujan masih enggan berhenti membasahi bumi, kecemasanku semakin memuncak. Bagaimana jika kau telah tergeletak di jalanan buntu entah di mana? Apakah aku takkan pernah menemukanmu lagi? Apakah aku akan kehilanganmu....?

 

Entah kenapa, pemikiran itu membuatku takut.

 

Aku mulai putus asa dan berniat menuruti saran Kris untuk mencarimu kembali esok hari saat sepasang kristalku menangkap postur yang begitu kukenal. Postur mungilmu dengan sweater biru yang samar terlihat di bawah lampu jalan di sana.. di dekat sungai – ah ani. Di atas pagar pembatas sungai....?

 

Refleks aku membuka jendela mobilku dan memanggilmu. “Baekhyun-ah!!” teriakku. Berusaha mengalahkan suara percikan hujan di tanah. Tapi, sepertinya kau tak mendengarku. Aku tak menyadari kondisimu yang aneh – terpaku di atas pagar pembatas sungai itu. Aku hanya senang berhasil menemukanmu. Dan begitu Kris menghentikan laju mobil, aku langsung berlari keluar dan kembali memanggilmu.

 

Hal selanjutnya yang terjadi benar-benar membuatku terkejut. Karena kau lagi-lagi tak mendengarku dan tubuhmu tiba-tiba saja menghilang di balik pagar. Meluncur mulus ke dalam kegelapan sungai di bawahmu.

 

Manik besarku membulat sempurna seiring jantungku memompa begitu kencang. “BAEKHYUN-AH!!!” Aku berteriak sambil berlari ke arahmu. Namun saat aku tiba di tempat kau berdiri tadi, sosokmu telah menghilang di balik riak arus sungai.

 

Apa yang terjadi? Kenapa kau melompat?

 

Pikiran nekat untuk ikut melompat ke sungai dan mencari tubuhmu di balik limpasan air itu sempat melintas di benakku. Akan tetapi, sebelum tindakan berbahaya itu kulakukan, seorang pemuda melakukannya terlebih dahulu. Tentu saja itu bukan Kris. Dan detik itu aku baru sadar ada dua orang lain di sana selain kami – satu yang memegang payung dan tengah menatapku lekat, sementara satu lagi adalah yang melompat barusan.

 

Tak mempedulikan pemuda berpayung di sana, aku mengikuti pergerakan pemuda lain di bawah sungai yang berenang menghampiri daratan. Kulihat sebelah tangannya menarik sesuatu dari bawah air dan dadaku bergemuruh cepat saat kusadari bahwa itu tubuhmu.

 

Kris dan aku membantu pemuda itu kembali naik ke atas aspal melewati pagar pembatas yang lebih rendah. Akan tetapi, saat jemariku hendak menyentuh lenganmu dan berniat membawamu ke mobilku, pemuda itu menjauhkanmu dariku.

 

“Kita harus membawanya ke tempat hangat. Atau ke rumah sakit,” ujarku sedikit menyentak karena bingung dengan sikap pemuda bersurai hitam itu yang seolah tak ingin menyerahkanmu padaku.

 

“Kau mengenal Baekhyun?” Sebuah suara di balik punggung membuatku menoleh dan mendapati pemuda yang memakai payung tadi kini mendekat dan menyeringai aneh. “Kau sengaja mencarinya di tengah hujan ini?” Tanpa menunggu jawabanku, ia kembali bertanya.

 

Dalam hitungan detik, aku bisa merasakan gelombang hitam memancar dari tatapan tajamnya. Dalam sekejap, aku langsung mengerti bahwa aku tak menyukainya.

 

“Tapi ia milik kami, Tuan,” ujarnya kemudian dengan seulas seringai yang entah kenapa membuatku muak. “Ayo, Tao.”

 

 

 

“Dia memiliki keluarga...” Perkataan Kris yang diucapkan secara perlahan itu mencapai telingaku seiring kristalku menatap diam kepergian orang itu.

 

Begitukah? Benarkah mereka keluargamu?

 

Aku menundukkan kepala dan menatap tetes hujan di atas aspal. Bisa kurasakan Kris meraih lenganku, mulai membujukku untuk pulang....

 

....dan melepaskanmu?

 

Kau memiliki keluarga....?

 

Entah dari mana, mendadak saja bayangan dirimu yang begitu ketakutan hingga bersembunyi di lemari melintas di benakku.

 

Melepaskan jemari Kris dari lenganku, aku membawa tubuh jangkungku menghadang dua orang yang tengah menyeretmu pergi. “Kalian.. keluarganya?” tanyaku.

 

Kekeh pelan pemuda berkulit gelap itu terpantul di lensa mataku. “Dia milikku,” sahutnya dengan senyum culas.

 

“Kalian yang tinggal bersamanya?” tanyaku lagi.

 

“Hmhmm.”

 

“Kalau begitu, kalian adalah orang yang ia hindari karena ia kabur dari tempat kalian, benar?”

 

Pemuda itu mendengus mendengar pernyataanku. “Ya. Anak ini memang sering membuat masalah. Aku akan menghukumnya begitu sampai rumah –“

 

“Berikan dia padaku,” ujarku memotongnya.

 

Mendengar ucapanku, pemuda itu malah tertawa. “Kau menginginkannya, Tuan? Berapa yang kau tawarkan, hem?” ujarnya dengan raut meremehkan.

 

Alisku berkerut saat sadar bahwa ia berniat menjualmu.

 

Mereka bukan keluargamu, kan?

 

Karena...sebuah keluarga...tidak seharusnya menjual anggota keluarganya....

 

Kristalku melirik sosokmu yang tak bergerak di pundak pemuda dengan sorot mata mengerikan itu. Sesungguhnya aku tak ingin mendapatkanmu dengan cara seperti ini. Kau bukan barang.... Tapi kau harus segera mendapat perawatan rumah sakit yang layak. Kau sudah terlalu lama terpapar angin dan hujan....

 

Aku mendesah pelan dan memejamkan mata. “Berapapun,” ujarku “Yang bisa membuat Baekhyun tak perlu bertemu dan berhubungan dengan kalian lagi selamanya.”

 

Di tengah gemericik air yang membentur aspal, kudengar sebuah tawa terbahak yang membuatku muak.

 

.

 

.

 

.

 

Bunyi konstan dari detak alat kardiograf dan tetes infus perlahan membuatku tenang. Syukurlah kami membawamu kemari tepat waktu.

 

Menatap wajah manismu yang terpejam, tanpa sadar fokus penglihatanku tak mau beralih. Jemari kecilmu yang kasar dan penuh luka kugenggam lembut. Tak bisa kupungkiri ada rasa bersalah di hatiku karena telah menukarmu dengan uang. Dengan uang yang...tak seberapa berharganya.... Aku bahkan hanya perlu menggunakan uang hasil kerjaku sendiri untuk mendapatkanmu. Aku bahkan tak perlu meminta pada appa.... Hatiku sakit mengingat betapa mereka hanya membandingkanmu dengan uang sebesar itu.

 

Sebegitu tidak berharganyakah kau di mata mereka?

 

Aku menundukkan kepala dan menyandarkan kening di punggung tanganmu. Kenapa hatiku sakit mencoba membayangkan kehidupanmu?

 

Aku tak mengerti....

 

“Kenapa kau begitu menginginkannya, Chan?” Tanpa mengangkat kepala, aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Kris.

 

“Molla,” gumamku.

 

Ia mendengus kesal atas jawabanku.

 

“Aku hanya ingin bersamanya, Kris...” tambahku perlahan.

 

.

 

.

 

.

 

“W-wa...e...?”

 

Sudah kuduga kau juga akan mempertanyakannya. Tentu, aku tahu pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin kau lontarkan. Bahkan sepasang kristal indahmu menatapku lekat. Berusaha menyampaikan beragam tanda tanya yang kau miliki.

 

Haruskah kujawab pertanyaanmu, Baekhyun-ah?

 

Kuukir senyum terbaik yang bisa kuberikan di bibirku sambil menatapmu. “Kau ini mempertanyakan apa, Baekkie-ah?” tanyaku dengan kekeh pelan.

 

Tapi, aku sendiri pun tak bisa menjawabnya....

 

Haruskah semua ini kita pertanyakan?

 

Hatiku mencelos saat kulihat air matamu meleleh di wajah pucat itu. Dadaku bergemuruh seiring keinginan untuk menyingkirkan kristal itu menguasaiku. Tanpa menunggu izin dari otak, jemariku terulur dan menyentuh pipimu yang dingin. Mengusap lembut jejak air yang terus mengalir. “Uljima...” kudengar diriku berbisik padamu.

 

Tapi isakanmu malah semakin keras. Aku mendesah seiring rasa sakit di hatiku semakin kentara. kusandarkan keningku di keningmu sambil berucap perlahan, “Ssshhh... tidurlah, Baekkie. Besok kita pulang.”

 

Bagaimana jika... kita biarkan saja semuanya terjadi tanpa perlu dipertanyakan?

 

.

 

.

 

.

 

Aku pernah membaca di sebuah buku. Katanya, keluarga adalah orang yang mengkhawatirkanmu. Keluarga adalah orang yang menunggu kepulanganmu di rumah.

 

“Kau sudah pulang, Baekkie-ah. Selamat datang di rumah~” seruku keras sambil membentangkan tangan di hadapanmu. Berharap akan melihat ukiran senyum sedikit saja di paras manismu. Akan tetapi, yang menghiasi raut pucatmu lagi-lagi adalah aliran air mata.

 

Kurengkuh tubuh kecilmu dalam dekapan erat.

 

Kau tahu? Kau boleh menberi label “sempurna” dalam kehidupanku. Tapi, hanya kau yang boleh merekatkan tanda itu. Karena... sejak menemukanmu lah aku bisa merasakan kesempurnaan hidupku.

 

Karena sejak menemukanmu lah, aku mengerti tujuan hidupku....

 

... aku ingin melindungimu....

 

...aku ingin membuatmu tersenyum...

 

... aku ingin mengajarkanmu arti sebuah keluarga....

 

.

 

.

 

.

 

Maukah kau menjadikanku keluargamu, Baekhyun-ah?

 

.

 

.

 

.

 

END

 

.

 

A/N: gimana? Ada yang bingung?

Readers: bingung semuanya woi!

A: *kabur*

Yah... saya sangat paham ini emang aneh banget. Mianhe kalo imej Chanyeol jadi gimanaaa gitu setelah apa yang ada di kepalanya dikupas di sini u,u Isi pikirannya ga cocok sama karakter yeol ya? Huhuhuuuu..... yah sudahlah(?) #plak

 

Well, ditunggu sarannya untuk ff yang ini chingudeul~~~

 

Regards,

 

Allotropy

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ParkShilRa #1
Chapter 3: Abis baca Chanyeol' Slide nya jadi mikir; gak semua orang ceria aslinya memang begitu. Kayak karakter Chan yg 'happy virus' with those idiot smiles (in this fic) ternyata punya hati dan hidup yang mellow melancolis.

Great job author nim
dewyleaves #2
Chapter 3: wae????? cerita ini DAEBAK punyaa! KYAAAAA ;--; huhu nangis pelangi baca kisahnya baekyeol dan ikut ngerasa gimana perihnya hidup baek sebelumnya. hiks. cerita ini bner2 THE BEST author-nim. mulai dari baeknya, chanyeolnya, kris, kai, tao, semuanua hidup dan bikin aku meleleh sumpah. huhu.. finally happy ending baekki. kamu ga perlu menderita lagi. chan will guard you :')
trifandii #3
Chapter 1: selalu nunggu karyamu like the old time mi :) always, bikin orang sedih, bikin orang nangis, tapi selalu bisa bikin ending yang bikin orang tertawa bahagia :--)
DORKyungsoo #4
Chapter 3: *nangis mojrot darah*
pengen gampar kai dan tao banget gara2 ngejual baekkie (sama gampar kris juga yang posesif sama channie).
endingnya bagus banget chingu... sampe gemeteran bacanya. ngerasain banget gimana senengnya baekyeol :'''')

ditunggu loh ff berikutnya hihihihi
chyshinji
#5
Chapter 1: Aigooooooooooooo,, so sweet banget deh Author ^^ Tapi bener juga sih masih agak penasaran kenapa persediaan makanan di kulkas Chanyeol lengkap, padahal dia gak pernah masak? Nah buat apa coba? #gapenting Chanyeol baik sekali sama Baekki,, mukanya Baekki menipu ya Channie? Ternyata lebih tua kan? kekekeke
DORKyungsoo #6
Chapter 1: chinguuuuuu!!!! bikin twoshots! kalo perlu banyak chapter juga gapapa!
pelajaran hari ini: makanlah banyak ramyun biar tinggi seperti park chanyeol