RUMAH

PULANG

 

Bruaghh!!

 

Rintihan bahkan erangan sakit akibat benturan menyakitkan yang meneteskan darah itu tidak sempat terlontar karena gelegar bentakan membuat kerongkongannya tercekat seketika.

 

“DASAR TIDAK BERGUNA! HAL SEMUDAH ITU SAJA TIDAK BISA! DASAR SAMPAH!!”

 

Ia meringkuk dan merapatkan tubuh kecilnya pada tembok. Berharap bumi dapat membelah dan menelannya saat itu juga. Menghindarkannya dari beragam rasa sakit yang akan segera menderanya.

 

“Kau ini benar-benar bocah tak tau diuntung! Seharusnya kau berterimakasih kami masih mau menampungmu. Cih! Seharusnya kubuang saja kau ke sungai!”

 

“Jangan begitu. Dia masih bisa kita manfaatkan. Wajah cantiknya itu masih bisa menjual.”

 

“Apa gunanya jika dia selalu menggagalkannya? Membuat tamu berharga itu pulang dengan memarahiku karena bocah sialan ini tidak bisa melayani dengan benar! Membuat rugi saja!”

 

“Mungkin dia butuh latihan yang lebih intens...”

 

Pundak sempit yang mengkerut tegang itu tersentak dan gemetar semakin hebat mendengar pembicaraan mereka di dekatnya. Berbagai kemungkinan mengerikan terlintas di pikirannya dan membuatnya hanya semakin menundukkan pandangan. Tak berani menatap kilat kristal yang semakin mendekat itu.

 

“Tampaknya latihan kita masih kurang ya, Baekhyun. Kau akan kuajari semua teknik yang akan membuat pelanggan tak lagi komplain. Kemari, kau harus dilatih keras.”

 

“M-maaf.... a-aku tidak bisa.... maaf....”

 

“Makanya kau akan dilatih, bodoh! Jangan mengecewakan lagi! Kami tidak akan segan menghukummu kalau kau gagal lagi! Lakukan satu hal ini saja. Gampang, kan?!”

 

Di luar kemampuan tenaganya yang kekurangan pasokan nutrisi, tubuh kecil itu sudah telentang dan dikunci dengan lengan kuat. Isak tertahannya hanya mengundang seringaian pria di atasnya.

 

“Ekspresimu ini memang sangat tinggi nilainya, Baekhyunnie.... Karena itu kami masih mempertahankanmu di sini. Cobalah nikmati apa yang akan kuajarkan ini. Tunjukkan raut menggodamu itu dan panggil nama pelangganmu, kujamin kau akan mendapat bayaran tinggi dan aku akan berhenti mencambukmu. Kau paham kan, Baekhyun-ku yang manis?”

 

“...a-..an..dwae.... andwae....”

 

Segala berontakan tangan dan kaki kecilnya tak memberi efek apapun. Sosok itu hanya terus mendekat dengan deru napasnya yang berat. Membuat tubuh kecil itu hanya bisa memejamkan mata dan menggigit keras bibirnya menyambut rasa sakit lain yang begitu dibencinya....

 

.

 

.

 

.

 

Teriakan tertahan disertai napas memburu terlontar dari mulutku seiring kusadari tubuhku terduduk dengan aliran keringat membasahi punggung. Sepasang kristal kelamku menatap liar sekeliling, menanti sosoknya yang akan kembali memukulku atau lebih parahnya...

 

Bisa kurasakan tubuhku bergetar hebat hanya dengan memikirkannya. Dengan helaan napas yang masih terputus-putus, kusadari tak ada siapapun di ruangan yang besar itu. Besar, dan rapi. Dengan perabotan yang beragam dan dipenuhi nuansa musik rock. Kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Perlahan aku sadar ini bukan kamarku. Memejamkan mata, aku teringat di mana aku berada sekarang. Di mana aku berada sejak 3 hari kebelakang.

 

Menarik kedua lutut, kusandarkan kening di antara lipatan lengan. Rasa sakit itu masih terasa. Ketakutan itu masih mencekam. Bayangan mereka masih begitu jelas dan segar dalam ingatanku. Tanpa bisa kuhindari, setetes cairan bening lolos dari mataku.

 

Dengan masih gemetar, kuseret tubuhku menuruni ranjang dan keluar kamar. Marmer yang dingin perlahan menenangkan degup jantungku yang menggila. Irisku kusapukan ke sekeliling ruangan dan terhenti pada sosok meringkuk di atas meja di ruang tengah. Rasa bersalah menghantamku saat lagi-lagi kudapati ia tertidur di luar gara-gara kehadiranku.

 

Kembali ke kamar, kutarik selimutnya dan kusampirkan di punggung lebar itu. Aku berlutut di samping tubuh tingginya yang melengkung dengan posisi tidur tak nyaman di atas lembaran kertas penuh coretan. Di sampingnya, laptop masih menyala.

 

Selama beberapa saat kupandangi wajah indahnya yang terlihat begitu damai. Melihatnya menarik napas dan menghembuskan lagi dengan tenang perlahan membuat hatiku kembali hangat. Kusandarkan ujung kepalaku pada meja agar pandangan kami sejajar.

 

Kurasa pertemuanku dengannya adalah keajaiban yang sangat luar biasa dalam hidupku. Tak pernah sekalipun kubayangkan aku akan diterima dengan begitu hangat oleh seseorang yang baru saja kutemui. Saat meninggalkan rumah, kupikir tinggal di jalanan pun akan lebih baik daripada tetap tinggal di sana... Namun, aku tak tahu kenapa Tuhan memberiku kenikmatan yang begitu menyilaukan ini. Rasanya aku tak pantas... Rasanya ini semua seperti mimpi... Benarkah aku boleh berada di sini?

 

Pikiranku melayang pada apa yang dilakukan laki-laki di hadapanku ini kemarin....

 

*flashback*

 

“Baekkie-ah~ tolong bantu aku....”

 

Aku berlari dari dapur dan menghampiri tubuh tingginya yang tersangkut di pintu masuk akibat banyak barang yang berjejalan di lengannya. Kuulurkan lenganku untuk mengambil alih beberapa barang darinya. Kukerutkan alisku melihat barang-barang yang masih baru itu.

 

“Banyak sekali,” gumamku. Namun rupanya ia mendengar ucapanku dan begitu sosok menjulangnya memasuki rumah, ia terduduk di lantai dan membiarkan barang-barangnya berserakan begitu saja di atas marmer.

 

“Justru aku rasa ini masih kurang. Mungkin nanti kita harus berangkat bersama,” ucapnya dengan senyum lebar dan terlihat membuka beberapa kotak dan plastik.

 

Aku hanya mengerutkan alis dan mempertanyakan memang apa yang dibelinya ini dan kenapa aku harus ikut juga. Namun pertanyaanku tak terlontar karena selanjutnya ia mengangkat sebuah mug bermotif stroberi dan menatapku dengan mata berbinar.

 

“Lihat. Ini gelasmu. Lucu, kan? Aku beli yang sama untukku, tapi gambarnya berbeda.” Sambil berkata begitu, ia meraih satu mug lagi dengan motif pisang dan mengangkatnya ke arahku. Detik berikutnya ia kembali mengacak tumpukan barang di lantai dan menarik sebuah handuk dengan motif beruang. “Ini handukmu. Aku juga beli beberapa baju untukmu. Semoga ukurannya benar, ya.”

 

Sementara ia terus mengoceh mengungkapkan barang apa saja yang ada di antara kami, aku hanya bisa termangu menatapnya. “Kenapa.. kau membeli semua ini...?” Rasanya aku tak bisa mempercayai kalimatnya yang mengatakan bahwa barang-barang itu untukku. Benarkah itu milikku? Selama ini tak pernah sekalipun ada yang membelikan sesuatu untukku. Tak pernah ada barang yang menjadi milikku....

 

Kristal besarnya yang cerah menatapku dengan pandangan aneh. Seolah apa yang kutanyakan adalah hal paling konyol di dunia, seperti aku mempertanyakan kenapa air itu basah. “Tentu saja untukmu. Kau kan, tinggal di sini, tentu saja kau harus punya barang-barangmu sendiri,” ujarnya dengan kekehan pelan. “Tak mungkin kau terus meminjam milikku, kan?”

 

Kerlingan jahilnya hanya kutatap dengan diam. Aku menundukkan kepala untuk menyembunyikan mataku yang mulai digenangi cairan bening. Tempatku... Milikku... Untukku.... Benarkah ini semua bukan khayalanku?

 

*end of flashback*

 

 

Aku tak tahu apakah memang apa yang dilakukan Chanyeol ini merupakan hal yang sangat wajar. Mungkin yang ia lakukan hanya hal sederhana. Tapi, bagiku, itu adalah hal yang sangat berarti. Karena... tidakkah itu menunjukkan bahwa... bahwa ia telah menerimaku di sini sepenuhnya? Bahwa... aku benar-benar boleh tinggal di sini, karena aku bahkan telah memiliki barangku sendiri...di sini?

 

Merasakan hembusan napasnya yang hangat, hatiku terasa sesak. Dentuman keras membuat ujung jariku gemetar. Tuhan, mengapa Engkau mempertemukanku dengan malaikatMu yang begitu baik? Kenapa... ia begitu baik padaku?

 

Dengan desakan air mata yang berusaha keras kutahan, aku mengangkat wajah dan mengecup perlahan jemari panjangnya yang terjuntai di atas meja. “Gomawo,” bisikku tanpa suara.

 

Entah dengan cara apa aku bisa membayarmu....

 

.

 

.

 

.

 

Senyum tipis kuukir di bibir saat indera penciumanku menyesap dalam aroma sup yang lezat di udara. Sambil mengaduk cairan panas itu di atas kompor, aku tak bisa berhenti berdebar membayangkan bagaimana reaksi Chanyeol atas menu pagi ini. Semoga saja ia suka Jogae Sigumchi Gook (Spinach Clam Soup Recipe). Ini hanya resep sederhana, pembuatannya juga sebentar. Tapi, kandungannya sangat sehat dan kurasa akan sangat bagus untuk tubuh Chanyeol yang sudah terlalu banyak mengkonsumsi ramyun awetan.

 

Sebenarnya aku ingin membuatkannya Sam Gae Tang (Korean Stuffed Chicken Soup with Ginseng) untuk membantu tubuhnya melakukan detoksifikasi. Tapi, pembuatan sup itu cukup lama. Aku khawatir tidak sempat membuatnya sebelum ia berangkat kuliah. Mungkin akan kubuatkan sup itu untuk makan malamnya nanti.

 

Entah kenapa, pemikiran bahwa aku akan membuatkannya beragam makanan untuk waktu-waktu kedepan, membuat pipiku terasa panas. Mungkin aku terlalu senang karena bisa melakukan sesuatu untuknya sebagai balas budi? Atau mungkin... karena aku memiliki alasan untuk tetap... di sini?

 

Ah, tak peduli yang mana. Aku hanya perlu membuatkan masakan yang lezat untuknya, bukan? Sepertinya aku harus mencari beragam resep lagi agar tidak bosan –

 

Perenunganku terputus saat kudengar bunyi bel. Irisku melirik kamar mandi yang masih tertutup dan terdengar bunyi percikan air dari dalamnya. Chanyeol masih belum selesai mandi. Kristalku lalu kuarahkan pada pintu. Tanpa sadar, tubuhku mulai gemetar. Ingatan akan hari-hari yang lalu membayang di benakku. Saat orang yang harus kupersilakan masuk pastilah orang-orang yang hanya ingin.... memuaskan diri mereka sendiri.....

 

Bunyi bel kembali  terdengar. Aku menarik napas dan meyakinkan diri bahwa yang ada di balik pintu pasti tamunya Chanyeol. Bukan orang yang mencariku. Dan tentu mereka tak memiliki urusan denganku, bukan? Akan tidak sopan jika aku membiarkan tamu Chanyeol pergi sebelum bertemu dengannya.

 

Sambil mengeratkan rahang, aku mematikan kompor dan menghampiri pintu. Sesosok pria dengan surai pirang dan tubuh yang menjulang tinggi adalah yang menyambutku saat celah terbuka. Iris tajam pria itu menatapku dengan alis bertaut. Raut tak suka dapat kudeteksi dengan mudah seiring suaranya yang sedikit serak terdengar. “Siapa kau?” tanyanya.

 

Aku yang hanya bisa termangu menatap sosoknya, tiba-tiba saja tak bisa bersuara. Apalagi di bawah tatapan yang begitu mengintimidasi dari sepasang kristalnya yang kini memelototiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku menangkap kernyitan muak di paras yang terpahat sempurna itu.

 

“Sedang apa kau di sini?” Lagi, pertanyaan bernada menusuk diterima indera pendengarku.

 

Namun, sebelum kerongkonganku bergetar mengeluarkan bunyi, suara bass Chanyeol terdengar dari balik tubuhku.

 

“Kris? Tumben sekali kau datang pagi-pagi. Masuklah. Tunggu sebentar,” ujarnya sambil mengeringkan rambut gelapnya dengan handuk kering. Memberi gestur seadanya pada pria yang baru kutahu bernama Kris itu agar duduk di sofa di ruang tengah.

 

Pria bernama Kris itu mengangkat alisnya dengan tatapan meremehkan padaku, seolah menyuruhku menyingkir. Dengan patuh, aku bergeser agar tubuh tingginya bisa masuk ke dalam ruangan.

 

Chanyeol kembali ke kamarnya sementara tamu berparas layaknya pangeran itu menjatuhkan tubuh tingginya di atas sofa dengan nyaman. Gesturnya memberi kesan seolah ialah pemilik rumah ini. Sepertinya tamu rutin dan sudah sering berada di ruangan ini. Pemikiran itu membuatku berpikir, apa mungkin orang ini adalah yang biasa membelikan stok untuk kulkas Chanyeol?

 

Meski penasaran, aku tak mengucapkan apa-apa dan berniat kembali ke dapur. Namun, saat aku melewatinya, suara berat agak serak itu menghentikan langkahku.

 

“Kau pacar baru Chan?” tanyanya dengan nada dingin yang entah kenapa membuatku gemetar.

 

Aku menatapnya dengan raut bingung. “Maaf?” sahutku. Tak yakin apa kalimat yang kudengar tadi benar.

 

Ia memutar bola matanya kesal. “Aku tanya apa kau kekasih baru Chanyeol?” ulangnya dengan ekspresi tak sabar yang sangat kentara.

 

“Bukan,” sahutku langsung sambil menggeleng. Tentu saja bukan. Kenapa ia bisa bertanya seperti itu?

 

“Lalu kenapa kau ada di sini? One night stand?” tanyanya lagi dengan sebuah seringai sinis.

 

“Aku... tidak paham...,” sahutku pelan sambil menggeleng. Apa sebenarnya yang ditanyakan pria ini?

 

Pria bernama Kris itu mendengus kesal. “Jadi kau ini siapa? Kenapa ada di sini? Pembantu?” tanyanya kemudian sambil menatap remeh celemek yang sedang kukenakan.

 

“Nde.... bisa dibilang begitu...,” sahutku sambil sedikit memiringkan kepala. Memang benar, kan? Aku tidak keberatan menjadi pembantu di apartemen indah ini.

 

“Kalau begitu, ambilkan air untukku. Kenapa kau malah diam saja?” ucap suara dingin itu.

 

Aku tersadar akan keharusan itu dan hendak menyahut sambil bergerak mengambilkan air. Akan tetapi, sebelum suaraku terdengar, lagi-lagi suara bass Chanyeol menyelaku.

 

“Ambil sendiri sana!” ujar namja tinggi itu sambil menimpuk pria bernama Kris itu dengan bantalan sofa. “Seenaknya saja perintah-perintah.”

 

“Wae? Dia kan, pembantumu. Sudah kewajibannya melayaniku, kan?”

 

“Siapa yang pembantuku? Sembarangan saja kau bicara.” Lagi, timpukan bantal mengenai sisi kepala Kris dan membuat surai pirangnya sedikit berantakan.

 

“Dia sendiri yang menyetujui sebagai pembantumu. Kalau bukan, lalu dia siapa?” Kris kembali mengerlingku dengan tatapan menusuk.

 

“Aku memungutnya di jalan 4 hari yang lalu,” sahut Chanyeol cuek sambil menghampiri panci berisi sup. “Boleh kumakan?” Pertanyaan yang itu ditujukannya padaku.

 

Dengan segera aku mengangguk cepat dan sebelum aku sempat mengambilkannya mangkuk, pemuda itu sudah menyiduk cairan hangat beserta lembaran daun itu ke dalam mulutnya. “Huwaaa.. enak sekali!” serunya pada diri sendiri.

 

Kau memungutnya di jalan?” Suara berat Kris kembali terdengar menghampiri kami di meja makan.

 

Aku tidak tahu kenapa, padahal kata-kata yang diucapkan Kris persis sama dengan yang dikatakan Chanyeol, tapi efek yang terasa di hatiku begitu berbeda. Entah kenapa, nada suara Kris membuatku tak nyaman dan merasa begitu.... direndahkan.

 

“Kau memungutnya?” Kris mengulang kata itu dengan tak percaya. “Kau gila, Chan! Kenapa kau memungut orang tak dikenal dari jalanan?!”

 

“Soalnya dia lucu, jadi kupungut saja,” tukas Chanyeol masih dengan nada sangat cuek. Mendengar jawabannya, aku hanya terdiam. Apakah seharusnya aku tersinggung dengan alasannya? Tapi, aku justru merasa hangat mendengar untaian kata itu....

 

Deg.

 

Aaah... apa yang kupikirkan? Kenapa aku justru malah merasa... senang?

 

“Kau benar-benar gila, Chan! Ia bisa saja berbahaya dan mengincarmu!” Kris menaikkan suaranya menanggapi ketidakpedulian Chanyeol yang hanya memfokuskan perhatiannya pada panci sup di hadapannya.

 

“Dia tidak berbahaya. Sudahlah, Kris. Kau berisik. Ayo pergi,” ujar namja bersurai gelap itu kemudian sambil meraih lengan Kris dan menyeretnya ke arah pintu. “Baekkie-ah, aku pergi dulu. Pulang nanti akan kuhabiskan supnya. Enak sekali.” Kalimat-kalimat itu ditujukannya padaku dengan seulas cengiran lebarnya.

 

Aku membalas senyumnya dan mengangguk. “Hati-hati,” sahutku dan mengikuti kepergian mereka dengan sepasang irisku.

 

Setelah hilang di balik pintu, lagi-lagi Chanyeol membiarkan pintu itu tidak terkunci. Aku tak tahu apakah diriku ini memang berpikir terlalu banyak, tapi.... entah kenapa pintu yang tak pernah ia kunci saat pergi itu... bagiku... seperti pesan tak terucapkan darinya. Pesan yang menyatakan bahwa... ia tak mengekangku.... bahwa ia akan membiarkan jika aku memang memutuskan untuk pergi.....

 

Aaah.... tapi, tentu siapa yang akan melakukan itu?

 

Kau sudah memungutku, Chanyeol-ah... Dan layaknya anjing yang dipungut, aku akan memberikan pengabdianku.....sepenuhnya padamu....

 

 

 

Memutuskan untuk mulai mencuci peralatan yang terpakai untuk memasak, aku berbalik dari pintu yang masih kubiarkan tak terkunci. Tubuh kecilku sudah menghampiri meja dan mulai membereskan barang-barang di sana saat terdengar langkah masuk. Refleks, aku menoleh cepat. Menyangka Chanyeol melupakan barangnya atau –

 

Wajah tirus Kris tiba-tiba saja menghampiriku dengan cepat. Kristal kelamnya menatapku lurus seiring tubuh tingginya memojokkanku hingga tersudut di pinggir meja.

 

“Chan mungkin terlalu bodoh untuk bisa kau tipu dengan mengizinkanmu berada di sini. Tapi, aku tak akan membiarkanmu! Akan kupastikan kau meninggalkan tempat ini dalam waktu dekat. Jangan harap kau bisa mendapatkan Chanyeol. Ini bukan tempatmu, dasar sampah!” ujarnya dengan nada dingin yang begitu menusuk. Kristal kelamnya menatap tajam penuh kebencian sebelum sosok menjulang itu berbalik dan kembali menghilang di lorong.

 

Begitu sosok tingginya tak lagi tertangkap sepasang lensaku, aku membiarkan tubuhku terduduk di atas marmer dingin. Tanpa bisa dikendalikan, aku gemetar. Seiring rasa sesak yang begitu ngilu menembus jantungku. Tiap kata yang diucapkan Kris bergaung di gendang telingaku.

 

.

 

.

 

.

 

Langit begitu gelap di luar. Meski malam belum turun dan matahari masih dalam perjalanan pulang, awan kelabu menutupi semua warna biru yang tersisa. Membawa serta suara menggelegar akibat loncatan listrik di atas sana. Menemani tetes air yang mulai berlarian mencari pori-pori tanah di bawahnya.

 

Entah sudah berapa kali aku menengok ke arah jendela yang sesekali bergetar akibat suara petir. Berulang kali juga kutanyakan pada diriku sendiri apakah Chanyeol membawa payung atau jas hujan? Dan berulang kali pula terpaksa aku tak mendapatkan jawaban karena tak ada orang lain yang bisa kutanya. Berusaha menghilangkan rasa cemas yang entah kenapa menggangguku, aku bergerak menuju dapur dan menghangatkan Sam Gae Tang (Korean Stuffed Chicken Soup with Ginseng) yang telah selesai kubuat. Memastikan makanan itu selalu hangat dan siap dimakan begitu sang pemilik rumah pulang.

 

 Suara pintu yang dibuka dengan kasar tiba-tiba menyedot perhatianku dari kuah yang bergolak. Secepat kilat mematikan kompor, kubawa langkahku menuju ruang depan. Debar lega menyelusup hatiku mengira pemuda jangkung dengan cengiran lebar itu akhirnya pulang. Namun, pemandangan yang tersaji di depan sana membuat sepasang irisku melebar tak percaya. Pembuat keributan dari pintu yang memang tak pernah kukunci itu adalah sosok tinggi Kris yang basah menerobos masuk dengan tergesa. Akan tetapi, bukan kehadirannya yang membuatku terkejut. Bukan juga sikapnya yang melewatiku begitu saja seolah aku tak ada. Sosok yang ada dalam gendongannya lah yang membuatku membeku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Karena meski entitas itu diselimuti jaket berhoodie, aku yakin bahwa itu adalah Chanyeol....

 

“A-apa.... yang terjadi?” tanyaku lirih. Bahkan aku tak yakin Kris mendengarku.

 

Sosok tinggi yang segera menuju kamar Chanyeol dan membaringkan pemuda bersurai coklat gelap itu kuikuti. Namun, sebelum langkahku melewati ambang pintu, bentakan serak Kris terdengar. “Jangan masuk!” desisnya kasar.

 

Aku tak mengerti kenapa, tapi ucapan Kris membuat tubuhku membatu. Hanya diam memperhatikan Chanyeol yang terbatuk dari balik selimut yang disampirkan oleh pemuda bersurai pirang itu.

 

“Chanyeol... kenapa?” tanyaku lagi, tetap dengan suara tercekat. Lagi, tak ada sahutan dari Kris. Aku berniat masuk ke dalam kamar namun tindakanku kembali terhenti saat kulihat jemari panjang Chanyeol melambai dari balik selimut. Aku tak tahu apakah ia bermaksud memanggilku atau menyuruhku pergi. Karenanya aku hanya terdiam di sana.

 

Sebelum aku sempat menanyakan maksud pemuda itu, Kris menyentuh jemari Chanyeol dan memasukkannya lagi dengan lembut ke balik kain. “Aku akan mengurusnya.” Itu yang kudengar diucapkan oleh sosok bak lukisan pangeran di sana.

 

Detik berikutnya, tubuh jangkung Kris menyeretku menjauh dari kamar Chanyeol setelah ia menutup pintu kayu di belakangnya. Ia membawaku cukup jauh dari arah kamar sebelum suara dinginnya yang agak serak kembali terdengar.

 

“Lihat apa yang kau akibatkan pada Chan! Kau membuatnya menderita seperti ini dan masih berani mendekatinya?! Sudah kuduga kau merencanakan hal buruk untuknya, kan?!”

 

“Apa yang terjadi pada Chanyeol?” ulangku tak mengerti.

 

“Ia pingsan gara-gara demam dan itu salahmu!” desisnya dengan kilat benci yang begitu kentara.

 

“Salah...ku?” Berusaha memberanikan diri, kutatap iris tajam itu.

 

“Tentu saja! Sejak kedatanganmu Chan tidak tidur dengan benar, kan?! Bocah itu sangat sensitif masalah tidur. Bisa kutebak, kau membiarkannya tidur di luar sementara kau enak-enakan di kasurnya yang hangat, eh? Dasar benalu!” bentaknya. “Apa lagi yang akan kau rencanakan untuknya? Memerasnya? Menghancurkannya?”

 

Sepasang kristal hitamku melebar atas tuduhan yang entah berlandaskan apa dari pemuda di hadapanku ini. Namun, sebelum sangkalan berhasil terlontar dari kerongkonganku, suara rendahnya kembali beresonansi di udara.

 

“Sebaiknya kau segera menyingkir dari tempat ini dan jangan pernah tunjukkan dirimu di hadapan Chan atau dihadapanku sebelum aku panggil polisi untuk mengusirmu! Ini bukan tempatmu. Sejak awal bukan tempatmu dan sampai kapanpun tak akan pernah jadi tempatmu!” desisnya dengan kilat marah.

 

Lidahku kelu dan aku hanya bisa menatap nanar paras tampan yang dihiasi raut kebencian mendalam itu. Saat kata-kata Kris terendam di sel-sel kelabu otakku, suara bass Chanyeol terdengar samar dari balik pintu.

 

Aku tak tahu dari mana datangnya pemikiran ini, namun aku mendapati secuil hatiku berharap pemuda itu akan memanggil namaku. Sepenggal hatiku berharap Chanyeol membutuhkanku dan memanggilku....

 

Akan tetapi, tentu saja hal itu tidak terjadi. Yang ia panggil bukanlah namaku....

 

“Kris!” seru suara rendah itu.

 

Sepasang manikku merefleksikan sempurna senyum penuh kemenangan di rahang kuat Kris. “Kau lihat? Ia tidak membutuhkanmu. Tidak pernah membutuhkanmu! Ia hanya membutuhkanku, dan cukup diriku!” ujarnya perlahan namun dengan penekanan kuat di tiap katanya. Membuatku hanya bisa mengeratkan genggaman jariku yang memutih.

 

“KRIS!” Seruan Chanyeol terdengar semakin keras dan tak sabar.

 

“Tunggu Chan. Akan kuambilkan air hangatnya,” sahut Kris ke arah kamar sebelum menyeringai dan meninggalkanku menuju dapur.

 

 

Tidak dibutuhkan....

 

Bukan tempatku....

 

Selama beberapa saat aku hanya membatu di tempatku berdiri. Menatap kosong batu marmer tempatku berpijak.

 

Tentu, tempat seindah ini sejak awal memang tak mungkin jadi tempatku....

 

Tersenyum pahit, aku mengangkat wajah dan berniat meninggalkan apartemen indah ini secepat mungkin. Akan tetapi, sebelum tubuhku berbalik, pintu depan terbuka lebar diikuti dua sosok dewasa yang menerobos masuk dengan panik.

 

“Chanyeol-ah! Chanyeol-ah!!” seru salah satu dari orang itu – seorang wanita dengan surai coklat berombak. Sepasang kristal cerahnya menatap bingung dan penuh curiga ke arahku. “Siapa kau?” sentaknya.

 

Sebelum aku sempat menjawab, perhatian wanita cantik itu kembali teralih oleh kehadiran Kris yang datang dari arah dapur.

 

“Kris! Apa yang terjadi pada Chan?!” serunya dengan paras cemas yang begitu tulus.

 

“Ia pingsan di perjalanan pulang, ahjumma. Sekarang sudah sadar dan sedang istirahat. Ia menolak dibawa ke rumah sakit,” sahut Kris.

 

“Omona! Anak itu!” Wanita berpenampilan elegan tersebut lalu masuk ke dalam kamar Chanyeol. “Channie-ah! Gwenchana chagi-ya?”

 

Tanpa sadar, aku jadi menatap lekat sosok yang kuyakin adalah eomma dari Chanyeol itu. Aku tak tahu apa jawaban Chanyeol dari dalam sana. Karena irisku kembali bersirobok dengan tatapan menusuk Kris. Bersamaan dengan itu, sebuah suara dalam yang tenang menyeruak indera pendengarku.

 

“Siapa bocah ini, Kris?”

 

Manik kembarku berputar dan baru teringat pada sosok pria berjas mahal yang tadi kulihat datang bersama wanita cantik di dalam sana. Appa-nya Chanyeol, tebakku. Aku tak bisa menjelaskan kenapa, padahal pria itu bertanya dengan nada tenang dan raut datar, tapi aku mendapati tubuhku gemetar di bawah tatapannya.

 

“Bocah jalanan yang dipungut Chan 4 hari lalu. Ia yang menyebabkan Chan jatuh sakit, ahjussi,” tukas Kris – bisa kurasakan kepuasan dalam suara rendahnya.

 

“Dipungut dari jalanan?” ulang pria itu sambil melangkah perlahan menghampiriku.

 

Terpaku menatap sosoknya yang menjulang besar, tanpa sadar aku melangkah mundur. Dari tatapan datarnya, tuduhan bahwa aku lah penyebab anaknya berbaring sakit di dalam sana membuat seluruh tubuhku gemetar. Tanpa meminta persetujuan dari otakku yang tak bisa diajak berpikir, aku mendapati tubuhku berlari meninggalkan tempat itu secepat yang kubisa.

 

.

 

.

 

.

 

[settingnya kira-kira begini: http://www.bbc.co.uk/cambridgeshire/content/images/2008/06/05/riverside_bridge_view_420x291.jpg]

 

Mereka bilang, air memiliki kekuatan magis. Entah dari mana aku mendengar larangan agar tidak melamun menatap air yang beriak, terutama sungai yang sedang deras. Mereka bilang, riak sungai itu dapat menghipnotis siapa yang memperhatikannya dan membawa orang itu tenggelam dalam arus derasnya. Aku tak ingat dari mana aku mengetahui soal ini, aku hanya tahu bahwa kalimat-kalimat itu benar. Karena kini, saat aku berdiri di pagar pembatas sungai dan menatap dalam diam riak arus deras di bawah sana, pikiran untuk bergabung dengan buih air itu menguasaiku.

 

Merasakan tetesan air yang masih berlomba berlarian dari atas langit dan terjatuh di aliran sungai, aku bisa membayangkan tubuh kecilku mengikuti jejak mereka. Sesaat merusak arus sungai yang mengalir teratur menuju hilir, menciptakan riak parabola sebelum akhirnya aku tertelan dan menyatu dengan aliran berubah beraturan fluida cair tersebut.

 

Kau boleh sebut aku gila, aku tak peduli. Apa lagi yang perlu kupedulikan? Tak ada.... Sudah tak ada.... Bukankah air sungai yang sedikit keruh karena membawa gerusan tanah yang dilewatinya itu adalah tempatku? Atau barangkali aliran sungai ini dapat membawaku ke tempatku seharusnya berada.... Pada ketiadaan... Pada tempat di mana tak seorangpun ada....

 

Perlahan, aku melangkahkan kaki kecilku di atas pagar penghalang selebar ukuran kaki. Membiarkan tetes hujan yang semakin rapat membasahi sekujur tubuhku. Menemani angin yang menyebabkan gemetar yang kuabaikan.

 

Aku tak tahu sudah berapa lama waktu terlewati sejak aku meninggalkan apartemen indah Chanyeol. Entah sudah berapa jauh aku pergi dari tempat layaknya negeri dongeng itu. Apa yang terjadi empat hari kebelakang terasa samar di tengah deras hujan dan petir ini. Mungkin pada nyatanya tak pernah ada seorang malaikat bernama Chanyeol. Yang bersikap baik padaku dan memberiku tempat, meski hanya dalam hitungan hari. Mungkin semua itu hanya halusinasi dari sel-sel kelabu otakku yang kelaparan.

 

....namun, sweater biru yang kini basah kuyup yang tengah kukenakan adalah satu-satunya bukti yang bisa mengaitkan ingatanku akan sosok seorang Park Chanyeol. Hanya rajutan wol ini saja yang bisa kujadikan pegangan bahwa ingatanku ini bukan rekayasa.... Bahwa apa yang terjadi beberapa hari kemarin itu...nyata.....

 

 

 

“Kenapa kau hujan-hujanan begitu, Baekhyun-ah? Kemarilah, nanti kau sakit.”

 

Suara rendah yang mendadak terdengar dari balik gemericik hujan itu sontak membuat kepalaku teralih dari pemandangan sungai. Irisku memicing berusaha melihat sosok yang berdiri tak jauh di jalanan di hadapanku dengan sebuah payung di tangannya.

 

Sosok jangkung Chanyeol adalah bayangan yang kuharap terpantul di retinaku. Akan tetapi, entitas yang tertangkap lensaku adalah seorang pemuda dengan kulit gelap, surai  berantakan dan seringai di paras tampannya. Raut yang berusaha keras kulupakan sejak detik pertama aku meninggalkan rumah suram itu.

 

Refleks, tubuhku gemetar hebat seiring gelombang takut mendera jutaan sel dalam diriku. Melebihi getar akibat udara dingin yang menusuk tulang. Kakiku membeku di atas pagar. Menatap tak percaya individu di depan sana. “K-ka..i...” bisikku hampir tanpa suara.

 

“Lama tak berjumpa, Baekhyun-ku yang manis. Aku merindukanmu, chagi. Ayo pulang, aku sudah tak sabar ingin mengajarimu teknik baru,” ujarnya dengan seringai culas yang begitu lebar.

 

Layaknya insting binatang yang bertemu dengan predatornya, aku berbalik cepat dan berlari menjauh.

 

“TAO!” Teriakan pemuda berkulit tan itu membelah hujan dan membuat fokusku menyadari keberadaan seorang pemuda lain di arah yang kutuju. Sosok pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata itu berlari ke arahku. Menjebakku di antara dua orang yang berusaha kuhindari, hingga tak bisa berlari ke manapun.

 

Panik, aku melangkah mundur. Tak ingat bahwa tempatku berpijak adalah bagian atas pagar pembatas sungai yang tak seberapa lebar. Aku menjejak udara dan membawa tubuhku tergelincir dengan begitu mudah karena keberadaan air. Bisa kudengar teriakan Kai sebelum deru arus sungai yang sangat deras menyapu tubuh kecilku. Membawaku terombang-ambing menujulu hilir, lalu ke muara, lalu ke laut, atau...kemanapun. Aku tak tahu.... Aku tak peduli.....

 

....tak ada lagi tempat bagiku di sini....

 

....tak ada lagi tempat yang bisa kusebut rumah di dunia ini....

 

.

 

.

 

.

 

Putih.

 

Apakah ketiadaan itu memang benar berwarna putih? Apakah dunia setelah kematian itu memang benar berwarna putih?

 

Aku mengerjapkan mataku dan garis-garis kekuningan mulai terlihat. Sinar kuning samar dari lampu yang tergantung di langit-langit. Ada lampu. Dan langit-langit.

 

Di mana?

 

Ini...bukan suatu dunia baru setelah kematian?

 

Aku memutar kristal hitamku dan beragam benda lain terpantul di retinaku. Tirai. Sofa. Infus. Selimut.....

 

....Chanyeol....?

 

Tersenyum kecut, aku mengenyahkan pemikiran itu. Aku tak bisa menjelaskan kenapa bayangan pemuda jangkung itu begitu melekat di benakku.

 

Mengapa aku begitu...mengharapkannya?

 

Aku tidak mengerti....

 

Mengedarkan pandangan, pemahaman bahwa aku berada di dalam ruangan akhirnya terbentuk di otakku. Lebih tepatnya, sepertinya ini ruang perawatan. Rumah sakit? Siapa yang mau repot-repot membawaku ke rumah sakit?

 

....Kai? Tao?

 

Kaget dengan kemungkinan di benakku, refleks aku berusaha bangkit dengan tiba-tiba. Tindakan mendadak yang menyebabkan kepala bersurai gelap yang tadi bersandar di dekat tanganku tersentak bangun. Sepasang manik lebar yang begitu mempesona menatapku tak berkedip. Mengunci manik kecilku dengan sinar riangnya yang secara simultan membuat tarikan lebar di bibirnya yang indah. Menampilkan cengiran tulus yang begitu kurindukan. Cengiran tulus yang entah kenapa selalu berhasil membuat hatiku berdesir akan kehangatan yang diciptakannya.

 

“Kau butuh sesuatu? Minum? Atau kau lapar?” tanya suara rendahnya yang mengalun merdu di gendang telingaku.

 

Tak ada suara terdengar dari kerongkonganku. Irisku masih menatapnya lekat. Seolah aku takut sosok jangkung itu akan menghilang jika kupalingkan pandangan sedetik saja. Masih tak bisa kupercayai bahwa individu di hadapanku ini memang bukan bayangan. Bahwa ia memang Chanyeol....

 

Menatap paras indahnya yang tetap menampilkan seulas senyum di tengah raut lelah itu, sebuah pemahaman menghampiri benakku.

 

Apakah... Chanyeol yang membawaku ke sini?

 

Apakah Chanyeol... yang... menyelamatkanku?

 

Lagi....

 

 

Dua kali aku ‘dipungut’ olehnya. Dua kali aku ‘diselamatkan’ olehnya.

 

Rasanya.... kemanapun aku pergi, aku kembali berakhir di tempatnya....

 

Kenapa?

 

Apakah.... apakah ia...adalah tempatku pulang....?

 

“W-wa...e...?” bisikku parau.

 

“Hm?” Chanyeol menatapku bingung.

 

“...wae...?” Lagi, hanya satu kata itu yang sanggup kukeluarkan dengan suara tercekat. Meski sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan.

 

Kenapa kau ada di hadapanku saat ini? Apa kau yang menolongku? Kenapa kau lakukan itu? kenapa kau mempedulikanku? Bukankah Kris bilang... kau tak membutuhkanku? Bukankah Kris bilang, di sana bukan tempatku? Bahwa bersamamu bukanlah tempatku...? Kenapa aku di sini... bersamamu...?

 

“..... wae...?” bisikku lagi dengan napas sesak. Kupandang lurus kristal indahnya. Berharap ia bisa membaca pertanyaan yang tak bisa kulontarkan dalam kata-kata. Berharap ia akan menjelaskan padaku secara panjang lebar atas semua pertanyaanku. Menjelaskan dengan jawaban yang tak akan membuatku berharap terlalu tinggi.

 

Akan tetapi, Chanyeol malah mengukir seulas senyum mempesona di parasnya. “Kau ini mempertanyakan apa, Baekkie-ah?” tanyanya diiringi kekehan pelan. Seolah apa yang dilakukannya tak ada yang perlu dipertanyakan.

 

Aku tak bisa menjelaskan kenapa jawabannya membuat air mataku meleleh. Dari manik kembarnya, aku yakin ia memahami pertanyaanku yang sesungguhnya. Namun, jawaban yang diberikannya membuatku tak mampu berkata apa-apa dan hanya membiarkan cairan hangat menutupi jarak pandangku. Membuat indera penglihatku kabur.

 

“Uljima...” ujar suara rendah itu perlahan. Seiring sentuhan lembut dari jemari panjangnya kurasakan mengusap pipiku yang basah.

 

“Ssshhh... tidurlah, Baekkie. Besok kita pulang,” tambahnya sambil menyentuh keningku dengan keningnya. Membuat wajahku memanas merasakan saluran kalor dari kulitnya yang masih demam. Tanpa bisa kukendalikan, air mataku justru mengalir semakin deras. Banyak sekali yang ingin kukatakan padanya. Tapi, kenapa lidahku begitu kelu? Aku tak mengerti... Hingga aku hanya bisa terisak dan menggenggam jemarinya di pipiku.

 

.

 

.

 

.

 

Sungguh, aku tak pernah bisa mengerti jalan pikiran Chanyeol. Aku tak pernah tahu apa yang ada di benaknya. Setelah apa yang kuakibatkan padanya, kenapa ia masih mau membawaku ke rumahnya? Ke apartemennya yang indah itu? Meski aku begitu ragu mengikutinya, aku tak memiliki tujuan lain. Mungkin aku terlalu naif dan hanya menurut mengikuti langkahnya meninggalkan rumah sakit hingga ke depan pintu kayu yang sudah familiar ini.

 

Rasanya aku ingin berbalik dan mengurungkan niat untuk kembali memasuki ruangan yang hangat di dalam sana. Akan tetapi, jemari panjang Chanyeol meremas tanganku lembut. Seolah menyuruhku tetap di sana dan tak akan membiarkanku lepas. Setelah membuka kunci, pemuda bersurai gelap itu menatapku dengan sebuah cengiran cerah.

 

“Aku akan masuk duluan, dan kututup pintunya. Setelah itu, kau buka pintunya dan masuk, ya?” ujarnya. Aku tak paham mengapa ia memintaku bersikap demikian, tapi aku mendapati diriku hanya mengangguk pelan.

 

Setelah mendapat persetujuan dariku, Chanyeol melepaskan ikatan tangannya di jemariku yang penuh luka. Sesuai yang dikatakannya, ia masuk ke dalam rumah dan kembali menutup pintu. Selama beberapa saat, aku hanya terdiam. Sedikit bingung dan masih tak yakin dengan apa yang harus kulakukan.

 

“Baekkie-ah, ayo masuk~” seru suara bass itu dari dalam.

 

Menurut, aku memegang kenop pintu dan memutarnya. Mengayun lapisan kayu tipis itu perlahan. Seiring celah yang semakin lebar, sosok jangkung Chanyeol tampak semakin jelas di dalam ruangan. Paras tampannya menatapku dengan seulas senyum lebar yang begitu menyilaukan.

 

“Kau sudah pulang, Baekkie-ah. Selamat datang di rumah~” ujarnya keras sambil merentangkan tangan. Barisan giginya yang rapi terpampang sempurna di hadapanku. Membuatku membeku dan hanya terdiam di ambang pintu.

 

Raut berserinya yang seperti anak-anak berubah menjadi ekspresi kesal saat aku hanya diam dan tak berucap apa-apa. Bibir merahnya mengerucut seperti merajuk. “Di saat seperti ini kau harusnya berucap ‘Aku pulang’, Baekkie-ah!” ujarnya sambil berkacak pinggang. “Ayo ucapkan!”

 

“A-aku... aku pulang....” bisikku dengan suara tercekat. Detik itu aku baru sadar dengan apa yang dilakukan Chanyeol.... Dan begitu pemahaman itu mencapai otakku, air mataku kembali meleleh. Tanpa sadar tubuh kecilku bergetar dan isakanku semakin keras saat lengan panjang Chanyeol merengkuhku dalam pelukannya.

 

“Kemanapun dan sejauh apapun kau pergi, kau harus ingat bahwa kau punya rumah, Baekhyun-ah.... rumahmu.... tempatmu kembali... di sini....” bisik suara rendah itu di telingaku. Membawa napas hangat yang bukan saja menggetarkan indera pendengarku tapi juga hatiku. Membawa kehangatan yang merambat ke seluruh sel dalam tubuhku.

 

Jemariku kecilku terangkat dan mencengkeram kemeja Chanyeol erat. Seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini nyata. “Aku pulang....” bisikku lagi.

 

Aku pulang....

 

Aku memiliki tempat untuk pulang....

 

Rumahku....

 

Rumahku.... di sini....

 

.

 

.

 

.

 

END

 

A/N: yoshaaaaaa ga tau aaaaahhhh.... ini ngaco banget sumpaaaahhh huhuhuhuuuuu.... mianheee jika malah jadi aneh dan feel-nya ga dapeeet huhuhuuu.... TT_________TT

Sebetulnya tadinya aku niatin cerita ini oneshot doang, dengan part pulang dan part rumah ini adalah satu kesatuan. Tapi ternyata kepanjangan, jadinya aku pecah dan dijadiin twoshoot. Eh tapi ternyata malah jadi gaje yaa TT___TT yah ga tau deh.

Menurutku sih sebetulnya part ini lebih cocok dikasih judul “pulang” dan yang sebelumnya itu yang harusnya dikasih judul “rumah” tapi udah terlanjur jadi ya udah lah.. mian kalo kerasa maksa judulnya TT____TT

 

Apapun yang terjadi, gomawo udah mau baca readers-nim m(_ _)m

Ditunggu comment-nyaaa chingudeul~~~~

 

Regards,

 

Allotropy

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ParkShilRa #1
Chapter 3: Abis baca Chanyeol' Slide nya jadi mikir; gak semua orang ceria aslinya memang begitu. Kayak karakter Chan yg 'happy virus' with those idiot smiles (in this fic) ternyata punya hati dan hidup yang mellow melancolis.

Great job author nim
dewyleaves #2
Chapter 3: wae????? cerita ini DAEBAK punyaa! KYAAAAA ;--; huhu nangis pelangi baca kisahnya baekyeol dan ikut ngerasa gimana perihnya hidup baek sebelumnya. hiks. cerita ini bner2 THE BEST author-nim. mulai dari baeknya, chanyeolnya, kris, kai, tao, semuanua hidup dan bikin aku meleleh sumpah. huhu.. finally happy ending baekki. kamu ga perlu menderita lagi. chan will guard you :')
trifandii #3
Chapter 1: selalu nunggu karyamu like the old time mi :) always, bikin orang sedih, bikin orang nangis, tapi selalu bisa bikin ending yang bikin orang tertawa bahagia :--)
DORKyungsoo #4
Chapter 3: *nangis mojrot darah*
pengen gampar kai dan tao banget gara2 ngejual baekkie (sama gampar kris juga yang posesif sama channie).
endingnya bagus banget chingu... sampe gemeteran bacanya. ngerasain banget gimana senengnya baekyeol :'''')

ditunggu loh ff berikutnya hihihihi
chyshinji
#5
Chapter 1: Aigooooooooooooo,, so sweet banget deh Author ^^ Tapi bener juga sih masih agak penasaran kenapa persediaan makanan di kulkas Chanyeol lengkap, padahal dia gak pernah masak? Nah buat apa coba? #gapenting Chanyeol baik sekali sama Baekki,, mukanya Baekki menipu ya Channie? Ternyata lebih tua kan? kekekeke
DORKyungsoo #6
Chapter 1: chinguuuuuu!!!! bikin twoshots! kalo perlu banyak chapter juga gapapa!
pelajaran hari ini: makanlah banyak ramyun biar tinggi seperti park chanyeol