Chapter One
The Promise(Our Promise)
“Urgh..“ Changmin menghapus bercak darah dari sudut bibirnya, menahan rasa sakit yang perlahan menjalar di sekujur tubuhnya. Bayangan wajahnya yang pucat terlihat dengan jelas dalam pantulan cermin wastafel.
‘Andwae.. Aku tidak ingin pergi.. Tidak sekarang..’
“Changminie..“ Suara itu mengejutkannya.
“Ah.. Ne.. Jamkkanmanyo hyung..“ dengan cepat Changmin membersihkan percikan darah yang tercecer di atas lantai dan wastafel sebelum membuka pintu kamar mandi.
“Minnie-ah.. Gwenchana?” Jaejoong meraba kening Changmin. “Kau terlihat pucat.. Apha?”
“A-aniyo..” Changmin menggeleng. “ Kurasa aku terlalu banyak makan. Jadi..” ia menutupi kebohongannya dengan sebuah senyuman manis.
“Kau.. memuntahkannya..?” Jaejoong memandang Changmin yang sedang menundukkan kepalanya, mengangguk perlahan.
“Aish..” Jaejoong mengacak-acak rambut Changmin dengan kesal. “Changmin-ah, aku tahu kau sedang berada dalam masa pertumbuhan tapi makan tujuh kali sehari itu bukan sesuatu yang wajar untuk dilakukan. Apa yang akan terjadi jika tubuhmu terus tumbuh dan bertambah tinggi?”
“Baiklah hyung!” Changmin mengedipkan sebelah matanya, menggoda Jaejoong dengan sedikit aegyo. “Hyung, bolehkah aku minta sepotong pizza lagi?”
Jaejoong menautkan kedua alisnya, heran. “Yah! Apa kau tidak mendengarkan kata-kataku?”
“Arasseo.. Arraseo.. Kau tidak ingin aku tumbuh lebih tinggi darimu dan menyaingi kepopuleranmu di antara para gadis kan?” Changmin berlari menuju kamar dan berhasil menguncinya dari dalam ketika Jaejoong mengejar dan berusaha untuk menangkapnya.
“YAH! SHIM CHANGMIN!”
“Selamat malam, hyung.. Mimpi yang indah..!” sahut Changmin dari balik pintu kamar yang telah tertutup rapat.
***
Changmin merebahkan tubuhnya, mencoba bertahan dari rasa sakit yang memaksa dirinya untuk tetap terjaga. Ia menatap kumpulan awan putih yang menghiasi langit-langit dan dinding kamarnya. Jaejoong mengecat seluruh penjuru kamar Changmin dengan warna biru dan melukis awan-awan itu sebagai hadiah di hari ulang tahunnya yang ketujuh belas.
“Fly to The Sky, Changminnie..” Jaejoong merentangkan kedua tangannya, tersenyum puas atas hasil karyanya. “Whoa.. Daebak!” sorak Changmin. Lalu Jaejoong berlari mengejar Changmin dengan tubuh penuh noda cat. Mengenang saat itu selalu membuat Changmin merasa bahagia. Sesaat kemudian ia terdiam. Senyum Jaejoong menghilang dari benaknya, berganti dengan bayang wajah pias hyungnya yang dipenuhi air mata.
'Tuhan.. Aku tidak ingin melihat hyung menangis lagi. Terlalu banyak penderitaan yang ia rasakan'
“Hyung.. Mianhae.. Aku tidak akan bisa menepati janjiku padamu” bisiknya lirih.
Butiran kristal mengalir perlahan dari sudut mata Changmin, membentuk sungai kecil di kedua pipinya sebelum jatuh membasahi kasur tempatnya berbaring. Perlahan ia pejamkan mata. Lima tahun telah berlalu.. dan kenangan itu.. terlintas kembali dalam ingatannya.
***
Gerimis mulai membasahi bumi, membasahi makam kedua orang tua mereka. Orang tua Kim Jaejoong dan Shim Changmin. Orang-orang mulai meninggalkan pemakaman, mencari tempat untuk berteduh. Jaejoong dan Changmin tetap tidak bergeming, masih berdiri di samping makam ayah-ibu mereka.
Kecelakaan telah merenggut nyawa dua orang yang mereka cintai, dua orang yang baru saja mengikrarkan cinta dan sumpah setia dengan wajah bahagia berbalut pakaian pengantin yang mempesona, 2 bulan yang lalu.
Jaejoong masih bisa mengingat semua dengan jelas. Ketika ayahya memperkenalkannya pada nyonya Shim dan anak lelakinya, Changmin. Ketika untuk pertama kalinya ia memanggil nyonya Shim sebagai ibu. Ketika mereka pindah ke sebuah apartemen baru yang telah dipersiapkan oleh orangtua mereka sebagai hadiah untuknya dan Changmin. Ketika ibu barunya mempersiapkan sepotong roti, segelas susu hangat dan mencium kening mereka dengan penuh rasa sayang sebelum ia dan Changmin berangkat sekolah. Dan kini, semua itu tinggal kenangan..
“Changmin-ah..”
“Ne, hyung..?” Changmin menatap Jaejoong yang masih tidak dapat melepaskan pandangannya dari makam kedua orang tua mereka.
“Maukah kau berjanji satu hal padaku?”
Changmin tidak menjawab. Ia hanya mengangguk.
“Berjanjilah kau tidak akan pernah meninggalkanku.. Kita akan selalu bersama. Selamanya..” Air mata Jaejoong jatuh membasahi kemeja hitam yang ia kenakan, menyatu bersama tetes hujan yang turun dari langit kelam.
Walaupun Jaejoong mengatakannya dengan suara lirih dan bergetar, Changmin masih bisa mendengarnya dengan jelas.
“Ne, hyung. Aku berjanji.”
***
Comments