彼氏の姉御 (kareshi no anego) ~part one~

彼氏の姉御 (kareshi no anego) ~his older sister~

++++++

 

“Ada apa? Kenapa kau tampak kebingungan begitu?”, aku memperhatikan teman satu bandku yang tampak gelisah berdiri di depan sebuah boutique wanita eksklusif di kawasan ini.

 

Saat ini aku bersama Ruki berjalan-jalan bersama melepas lelah di sekitar wilayah Harajuku setelah melakukan rehearsal untuk recording besok. Ruki mengajakku untuk menghabiskan sedikit uang gaji kami bulan kemarin dengan berkeliling di sekitar wilayah pusat. Meski saat ini waktu sudah hampir mendekati malam hari, jalanan di sekitar Omotesando tampak sangat ramai dipadati orang berlalu lalang. Hal ini tampaknya wajar mengingat suasana tahun baru seminggu lalu yang masih belum hilang. Beberapa orang mungkin masih asik dengan liburan golden week mereka dan banyak pula para pekerja yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing yang memadati jalan ini.

 

Peluh dan lelah sudah menjalar di sekeliling badanku. Ya wajar saja setelah latihan yang menguras tenaga sejak pagi, kali ini sudah kurang lebih kami menghabiskan waktu enam jam untuk mencari barang-barang yang ia inginkan. Aku kira dengan banyaknya paper bag yang digenggamnya ia sudah membeli semua yang ia inginkan, tapi entah mengapa ia masih saja gelisah. Aku memperhatikan pria berpostur kecil ini dari tadi berdiri diam di depan salah satu boutique wanita mahal disamping restoran yang baru saja kami masuki untuk makan malam tadi. Pria kecil itu hanya diam memandang deretan dress new arrival di toko tersebut sambil berkali-kali mengelap keringat yang bercucur di dahinya.

 

Setelah berdiam cukup lama, akhirnya dengan langkah ragu-ragu ia putuskan untuk melangkahkan kakinya masuk ke boutique mewah itu. Aku tidak mengerti apa yang akan dicari si shopping holic ini di boutique khusus wanita itu. Aku yang menemaninya hanya bisa mengikutinya di belakang tanpa sempat berkomentar apa pun.

 

“Memangnya kau mau cari apa sih?”, tanyaku sambil menepuk bahunya. Ya, walau bagaimana pun juga saat ini aku sudah cukup risih dengan pandangan mata gadis-gadis itu sejak kami memasuki pintu masuk. Kami berdua sekarang berada di dalam boutique yang semua pegawai dan pengunjungnya adalah wanita. Meski kami menyamarkan wajah kami dengan sunglass hitam dan topi rajutan, para wanita itu entah tahu atau tidak tentang idemtitas kami terus saja melirik ke arah kami.

 

Tapi mata salah satu orang yang daritadi menjadi perhatian pegawai di toko ini hanya menatap lurus ke depan, tampak tidak merespon pertanyaanku. “Hei… kau dengar aku tidak?”, tanyaku sambil menyikut sedikit lengannya. Aku sudah tidak tahan menjadi pusat perhatian mereka. Nammun, Ruki terus saja asik mencari sesutu di beberapa rak dress. Entah apa pandangan mereka terhadap dua pria yang mulai memutari beberapa bagian toko dress import untuk wanita dewasa ini.

 

“Ahh… Menurutmu apa yang bagus?” Mendadak ia membalikkan badannya ke arahku.

 

“Ehhhhh…. Apa?”

 

“Ini atau ini? Aku mau mencari hadiah untuk kakakku”, katanya sambil memperlihatkan dua potong pakaian terusan one piece berwarna cerah kepadaku.

 

“Hm… Hadiah untuk apa? Memangnya Moo-nee ingin menikah?”

 

“Bukan. Ini untuk hadiah ulang tahunnya”, katanya singkat sambil terus menelusuri sederetan tumpukan gaun import.

 

“Ahh benar juga besok lusa tanggal 12 ya. Tapi apa Moo-nee akan suka dengan hadiah seperti ini?” Seingatku kakaknya adalah orang yang tidak terlalu menyukai sesuatu hal yang mencolok. Aku tidak pernah melihat kakaknya memakai dress ala barat seperti ini, terlebih lagi kakak Ruki yang satu itu tergolong tipe wanita yang menyukai sesuatu yang simpel. Aku jarang melihatnya berpakaian mencolok dengan gaun ala barat seperti ini.

 

“Hmmm…  Aku tidak tahu apa ia akan suka atau tidak, tapi kali ini aku ingin memberinya sesuatu yang berbeda dari sebelumnya”, katanya sambil menunjukkan senyum yang sedikit aneh. Entah apa yang direncanakannya dengan membelikan dress untuk kakaknya.

 

“Ahhh… kalau yang ini bagaimana?”, katanya sambil menunjukkan gaun one-piece putih dengan renda di sekitar lengannya dan dress lain berwarna ungu dengan bagian dada yang agak sedikit terbuka.

 

“Yang ini?”, tanyaku sambil menunjuk onepiece ungu tanpa lengan itu. “Tapi, Moo-nee tidak suka pakaian yang terbuka kan?”, jawabku santai.

 

“Ahh… benar juga. Tapi aku tidak yakin ia suka dengan yang putih itu”

 

“Tapi menurutku ini cukup bagus untuknya, tidak terlalu mencolok dan meski agak sedikit kekanankan tapi masih cukup pantas dikenakan untuk wanita seusianya lah”

 

“Hmmm… kalau Moo-nee mendengar kata-katamu yang terakhir ia pasti marah”

 

“Heeee? Daripada kau bersikeras memilih gaun ungu y yang mencolok itu dan menerima tinju darinya”

 

“Ahhhh…. Benar juga >_<. Baiklah aku pilih yang ini!” Ruki langsung menghampiri salah satu pegawai toko yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Pramuniaga toko itu langsung mengambil gaun yang ditunjuk Ruki yang bermodel sama seperti yang dipakai salah satu manekin toko itu. Ruki segera membayar gaun yang dipilihnya, tampaknya ia juga mulai menyadari pandangan aneh dari para pengunjung lain terhadap kami. Dengan sedikit tergesa, setelah menerima credit cardnya kembali ia menarik tanganku dan bergegas pergi keluar. Tampaknya ia juga tidak ingin berlama-lama berlama di toko yang semua pengunjungnya perempuan itu XD

 

++++++

 

“Kau yakin dia tidak akan marah?”, tanyaku sambil menggenggam erat tangan kanannya.

 

“Ma.. marah kena….pa?”, katanya dengan susah payah sambil mengatur nafasnya.

 

“Tanpa permisi, aku masuk rumahmu lewat jendela begini…..” Dengan susah payah aku berhasil masuk ke kamarnya setelah memanjat jendela yang jaraknya cukup jauh dari tanah. “Aku yakin dia akan menyemprotku kalau memergokiku ada bersamamu di sini….”

 

“Tidak apa-apa…” Ruki yang sudah naik lebih dulu dengan menopangkan kakinya pada pundakku kini membantuku masuk dengan menjulurkan tangannya yang kecil namun kuat itu. “Jam segini kakakku sudah tidur, lagipula dia akan lebih marah kalau kita membuat kegaduhan di pintu depan dan mengganggu tidurnya kan”

 

“Ah… iya, benar juga” Aku segera menutup kembali jendela dan kamarnya yang terbuka, takut jika salah satu dari tetangganya melihat keberadaanku di sini. Ruki lalu menaruh beberapa kantung belanjaannya di atas ranjangnya dan menyuruhku untuk duduk di sofa kamarnya sejenak.

 

Waktu kini sudah menunjukkan hampir tengah malam. Tak terasa kami menghabiskan waktu dua jam untuk mencari dress di toko itu. Dan sialnya aku melupakan janji untuk mengambil kunci pintu apaato yang dititipkan kakakku di loker stasiun. Saat ini rumahku kosong, akakku bilang ingin menginap beberapa hari di rumah pacarnya yang sedang sakit dan ibuku juga sedang berwisata ke luar kota teman-temannya. Karena kebodohanku aku terpaksa baru bisa memasuki rumahku pada esok pagi, karena di jam segini sudah pasti tidak ada lagi petugas stasiun yang masih bertugas.

 

Tadinya aku berniat menginap di hotel yang berada tak jauh dari stasiun, tapi uangku ternyata sudah habis setelah berbelanja seharian tadi. Aku pun terpaksa menerima tawaran Ruki untuk menginap sehari di rumahya, meski aku tahu kakaknya pasti akan sangat marah jika tahu aku menginap di rumah mereka. Dulu bahkan sewaktu aku baru memulai hubunganku dengan Ruki, Moo-nee sempat mendamprat dan mengusirku dengan halus saat aku tertangkap berada di kamar Ruki di jam-jam seperti ini.

 

Hal itu semua murni kesalahanku yang tidak pernah menyelinap ke rumah mereka tanpa ijin sebelumnya padanya yang merupakan pengganti posisi kedua orang tua mereka yang telah tiada. Dan sejak saat itulah Moo-nee selalu memandang sinis jika melihatku berada di samping adiknya.

 

“Hhhhhhh……” Kalau mau menyebutku bodoh, ya aku memang benar-benar bodoh. Aku telah melakukan kesalahan bodoh yang membuat imageku hancur saat itu dan kali ini aku dengan bodohnya mengulangi kesalahan bodoh itu lagi. Entah apa yang akan dilakukan Moo-nee jika mengetahui aku menyelinap ke kamar adiknya lagi.

 

“Ada apa?” Tanya Ruki yang daritadi heran melihat kegalauanku.

 

“Ti… tidak tidak apa-apa”

 

“Ini, lumayan untuk menghilangkan hawa dingin” Ruki menyodorkan sekaleng bir yang ia simpan di kulkas kamarnya padaku.

 

“Sankyuu” Aku pun meneguk minuman itu dengan perlahan. Orang di depanku juga meminum minuman yang sama sambil melangkahkan kakinya menuju cermin besar di kamarnya dan merapikan rambut yang sedikit berantakan akibat terpaan angin malam.

 

“Kau tidak gerah?” Katanya sambil berbalik ke arahku dengan senyum yang merekah di bibirnya. Kemudian ia melepaskan sebagian kancing kemejanya dan menaruh minuman kalengnya di pinggir ranjang. Ruki juga mematikan heater yang daritadi mengahangati ruangannya dan melepas kemejanya secara perlahan. Lirikan dan senyum yang kutangkap dari segurat bibirnya itu membuat pikiranku sedikit kacau.

 

Dia mendekatkan tubuhnya padaku yang duduk hanya berjarak setengah meter di depannya. “Apa yang kau lakukan?”. Aku menatapnya lekat sebelum ia menimpa badanku sambil menenggelamkan kepalanya ke dalam dadaku. Aku bisa merasakan debaran dadanya yang berdetak tepat di atas jantungku.

 

“Sekali saja, Rei”, pintanya sambil mengeluarkan senyuman yang selalu membuatku tak bisa berkata apa-apa.

 

Sepertinya ia ingin mengajakku tenggelam malam ini.

 

Dan begitu pertanyaanku kujawab dengan anggukan ia langsung menautkan bibirnya di atas bibirku. Aku pun membalas ciumannya dengan memasukkan lidahku ke celah mulutnya. Kami terus tenggelam dalam kecupan itu sampai aku tidak bisa mengontrol nafasku. Cahaya redup di kamarnya semakin membuat suasana di sekitar kami tambah membuat otakku semakin kacau.

 

Oh… aku akan tenggelam malam ini.

 

Di sini kamarnya. Tidak ada siapa-siapa di sini. Dan kakakknya sudah tidur. Kami sudah lama tidak berada dalam situasi seperti ini dan kali ini kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka seperti ini. Aku membuat beberapa mark di sekitar leher dan dadanya. Ruki terus saja tak melepaskan bibirnya dari bibirku selama aku melepaskan beberapa kancing celananya. Kami sudah siap untuk tenggelam malam ini.

 

‘tok….. tok…..’ Terdengar suara ketukan dari arah pintu masuk kamarnya. Aku dan Ruki yang terkaget langsung menghentikan ciuman kami dan memperhatikan ke arah asal suara itu berasal.

 

‘tok…. tok….. tok…..’ Suara ketukan itu semakin terdengar jelas, disusul dengan suara lain setelahnya. “Ruki, kau masih bangun??”

 

Ya Tuhan…. Itu suara moo-nee. Mukaku langsung mendadak pucat. Ruki menyuruhku untuk diam dan bersembunyi di bawah ranjangnya. Ia kemudian berusaha bersikap biasa sambil memakai kembali kemejanya. Setelah menyalakan lampu kamar, ia pun segera pergi menuju arah pintu kamarnya.

 

“Iya kak…..”, katanya sambil memutar kenop pintu. Meski tidak terdengar jelas, kakaknya berbicara sesuatu pada Ruki dan tak lama kemudian kakaknya kembali ke kamarnya. Aku menarik nafas dalam setelah mendengar pintu yang kembali ditutup. Sepertinya Moo-nee tidak curiga dengan kehadiran orang lain di kamar adiknya. Setelah itu Ruki mematikan kembali lampu kamarnya dan memberikan isyarat padaku untuk keluar dari kolong ranjangnya.

 

“Hei… sudah aman”, bisiknya kepadaku yang masih berada di bawah ranjangnya.

 

Aku yang mendengarkan isyaratnya aku langsung keluar. “Hhhhh…. Syukurlah dia tidak curiga”, kataku sambil merenggangkan sedikit badanku yang kaku.

 

“Un…. Ia hanya sedikit bingung karena aku tidak menyapanya sebelum masuk ke kamarku”, jawab Ruki sambil menyunggingkan senyumnya sedikit.

 

“Ahhh…. Moo-nee sangat perhatian padamu ya……. Aku jadi sedikit….. iri”

 

“Ahahaha….. Itulah kakakku dan selain menyayangi kakakku, aku juga menyayangimu”. katanya sambil mengenggam erat tanganku dan mengguratkan senyum manisnya yang biasa di bibirnya.

 

“Terima kasih”, kataku sambil memeluk erat tubuhnya. Ruki memang tidak pernah bersikap seperti ini dengan orang lain. Sikapnya yang terkenal dingin dan sedikit keras kepala sebagai front man band kami membuatnya tidak bisa bebas bermanja denganku di luar. Dan aku sangat suka ekspresinya saat ini.

 

“Lalu…. Selanjutnya bagaimana?”, tanyanya setengah berbisik padaku.

 

“Apanya?”

 

“Hhhhhh….. Masa kau lupa? Ha… hal yang kita lakukan tadi……”, jawabnya sambil menggembungkan kedua pipinya yang membuatku tersadar dengan hal yang ingin kami berdua lakukan sebelum kakaknya datang dan mengetuk pintu.

 

“Ahhhhh! Tapi….nanti saja. Aku tidak enak dengan kakakmu”, kataku sambil mengecup keningnya yang berada tepat di bawah daguku.

 

“Huft….. Ya, baiklah”, serunya pelan dan langsung membalikkan diri untuk segera kembali ke ranjangnya.

 

Namun sebelum ia sempat menutup matanya untuk pergi ke alam mimpi, aku manarik selimutnya dan melayangkan sedikit kecupan di kedua bibirnya yang masih tampak basah. “Oyasumi~ Ruki!”

 

“Oyasuminasai~!”, serunya sebelum kembali membalas kecupan kilatku dengan ciuman yang hangat.

 

++++++

 

Keesokan harinya aku pulang sebelum matahari sempat menampakkan diri dengan sedikit tergesa. Sebelumnya Ruki sempat berpesan padaku untuk membantunya mempersiapkan pesta kejutan untuk ulang tahun kakaknya besok. Kami pun berjanji untuk melakukan reservasi ke sebuah restoran malam ini setelah latihan rutin yang biasa.

 

Tapi entah kenapa, hari ini aku merasa sedikit tidak enak badan. Karena kemarin lelah berkeliling Shibuya dan Harajuku sejak siang, terlebih terkena angin malam semalam yang cukup menusuk, dari pagi aku merasa sedikit berat untuk menggerakkan sedikit badanku. Ruki yang pastinya merasa khawatir menyuruhku untuk sedikit istirahat lewat pesan yang ia kirim ke emailku. Saat ini ia sedang mengobrol bersama dengan Tomomi-shachou yang kebetulan bisa datang ke pesta kami ini. Kami memang selalu berkomunikasi lewat e-mail jika menyangkut hubungan pribadi jika berada di tempat kerja. Dan hari ini  memang untuk kesekian kalinya manajemen kami melakukan party kecil untuk merayakan kesuksesan konser kami di Dome tahun kemarin. Pesta kali ini cukup kecil, mengingat ini adalah pesta yang ketiga kalinya yang kami adakan bersama beberapa staf terdekat saja. Aku jadi merasa tidak enak untuk meninggalkan pesta kecil dengan suasana hangat itu.

 

Lalu setelah lama berdebat melalui e-mail dengannya, aku pun menyerah dan langsung mengajukan permohonan izin pada manajemen dan anggota band yang lain untuk tidak mengikuti pesta mereka dan pulang lebih awal. Lalu setelah izinku disetujui, aku pun bergegas pulang ke rumahku yang tidak terlalu jauh dari studio dengan menggunakan sepeda.

 

From: Ruki

‘tidak usah pikirkan janji kita untuk reservasi restoran malam ini, istirahatlah sampai kau sehat, aku akan menghubungimu lagi besok’

 

Aku tersenyum saat melihat pesan yang terakhir masuk ke e-mailku, sambil membeli obat yang kuperlukan di konbini aku lalu membalas mail-nya dengan segera agar ia tidak merasa khawatir. Aku pun segera bergegas ke luar konbini setelah melipat kembali ponselku dan menaruhnya kembali ke saku celana.

 

Tapi, entah kenapa mataku tertuju pada kerumunan orang yang berkumpul di seberang jalan depan konbini yang aku masuki. Entah apa penyebab mereka berkumpul di sana, tapi aku mendengar suara seseorang yang kukenal dari tengah kerumunan orang-orang itu.

 

Setelah sampai di seberang, aku melihat dua orang wanita muda yang berdebat dengan setengah berteriak. Di samping mereka ada seorang lelaki tinggi dan perlente yang mencoba melerai adu mulut di antara dua wanita di depannya. Aku tidak bisa melihat muka mereka karena banyaknya orang yang mengelilingi ketiga orang itu.

 

“Kau jangan sembarangan ya, dasar wanita jalang!”. Suara wanita itu semakin meninggi disusul dengan bunyi seperti tamparan di pipi sebelah wanita yang lain. Karena merasa suara yang kudengar barusan tidaklah asing di telingaku, maka aku menerobos kerumunan orang untuk bisa melihat wajah kedua wanita itu.

 

Ahhhh… ternyata dugaanku benar. Wanita itu Moo-nee. Kakak Ruki.

 

“Sayuri……..” Lelaki perlente itu langsung membantu wanita yang terjatuh itu untuk berdiri.

 

“Itu hukuman karena kau telah merebut pacarku”, katanya setelah memukul telak wanita di depannya. Moo-nee memang kuat. Pengalamannya menjadi atlet semasa sekolah dulu pasti membuat tamparannya dua kali lipat lebih sakit.

 

“Shinji. Wanita itu….” Wanita yang tampak lebih lemah dari Moo-nee itu langsung memeluk erat lelaki tinggi itu dan melirik ke arah Moo-nee dengan tatapan sinis. Ia tampak ingin membuat Moo-nee iri dengan memeluk lelaki yang katanya kekasihnya itu.

 

Benar saja…. Wajah Moo-nee sudah tidak setenang sebelum ia menampar wanita itu. Aku bisa melihat segurat muka penuh amarah di wajahnya. Ia yang tampak sangat kesal dengan perbuatan wanita yang terus meledeknya itu lalu kembali menarik tangan wanita itu untuk kembali menghardiknya.

 

Tapi….. sebelum ia sempat kembali mendamprat wanita itu……..

 

‘splassshhhhhh…………………’

 

“Gyaaaaaaaa……” Tiba-tiba kucuran air mengalir dari atas kepalanya dan berhasil membuat rambut dan pakaiannya langsung basah dengan seketika. Lelaki bernama Shinji menyiram kepalanya dengan air mineral yang dibawanya tadi.

 

“Ka…. Kau…. Shi…. Shinji…………” Wajah penuh amarahnya pun berubah menjadi penuh keheranaan setelah melihat pelaku yang membuat pakaian dan rambutnya basah tersebut. Ia memandang tajam ke arah lelaki yang membuang botol bekas air mineral ke tempat sampah di sebelahnya.

 

“Sudah cukup, hentikan! Kita sudah putus Moo, apa kau lupa?”, kata lelaki itu sambil menarik kembali tangan wanita yang bernama Sayuri itu.

 

“Tu….. tunggu….. Hei…. Shinji!”, serunya sambil menarik lengan lelaki itu. “Apa kau tidak bisa memberikan penjelasan sedikit? Dan kenapa kau pergi dengan si jalang ini?”

 

“Maaf, aku sedang terburu-buru. Ayo kita pergi, Sayuri!”, kata pria itu sambil beranjak pergi.

 

“He…. Hei”. Moo-nee terus saja berusah menarik lengan pria itu tapi tidak dihiraukan. Wanita yang berjalan di sampingnya tampak kembali tersenyum, ia tampak merasa menang karena lelaki itu memihaknya.

 

Mereka berdua tampak menghilang dari kerumunan orang yang berlalu lalang di sekitar jalan ini. Sekumpulan orang yang berkerumun di sini pun mulai membubarkan diri mereka kembali kepada urusan masing-masing yang tertunda karena keributan ini. Dan aku hanya melihat wanita yang berambut basah itu berdiri di tempatnya tadi tanpa bergerak sedikit pun.

 

“Moo-nee” Aku menghampiri wanita itu sambil memberikan sapu tangan kecil yang selalu aku bawa di saku.

 

Awalnya ia tidak sadar dengan kehadiranku. Wajahnya terus menunduk, wanita muda yang biasanya bersikap sinis padaku ini tampak berbeda dari biasa. Tetesan air mengalir dari rambut bercampur dengan bulir air mata yang terus saja jatuh ke kemejanya yang tampak mulai basah.

 

“Moooo-neeee…. Kau dengar aku?”, aku coba memanggilnya untuk kedua kali.

 

“Re….Reita” Ia pun tampak kaget dengan kehadiranku. “Kau… kau melihatnya?” Suaranya serak, tampak sedang berusaha menahan tangis. Ia masih tampak sangat shock dengan kekasihnya yang membela wanita lain dan membuatnya malu di depan umum. “Ahh… tentu kau melihat ya? Huft. Tolong jangan cerita ke Ruki tentang masalah ini”

 

Aku hanya bisa mengangguk mendengar perkataannya. 

 

“Terima kasih sapu tangannya!” Wajahnya tampak lebih cerah. Ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Baiklah! Aku akan kembali bekerja. Sampai nanti~”, katanya sambil beranjak pergi dari tempat ini.

 

“Tu…. Tunggu. Kalau mau Moo-nee bisa mampir dulu ke rumahku untuk mengeringkan baju sebentar. Apa Moo-nee mau bekerja dengan baju dan rambut basah seperti itu?”

 

Ia hanya diam dan memandang heran ke arahku setelah mendengar tawaranku.

 

“I… itu juga kalau Moo-nee tidak keberatan”, aku menjadi sedikit takut kalau tawaranku ini akan membuatnya salah paham terhadapku.

 

“Apa rumahmu dekat dari sini? Aku tidak bisa berpenampilan seperti ini di rapat penting sore nanti”

 

Aku mengangguk dan kami pun segera beranjak pergi ke arah rumahku.

 

 

 

to be continue~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet