My Perfect's Yeobo

Description

Park Junjin : Alasan aku mencintaimu? Bukan karena kau cantik. Bukankah dulu kau memiliki gigi ompong saat SD? Aku bahkan sudah mencintaimu sejak saat itu. Jadi tidak, bukan karena fisikmu. Ada terlalu banyak alasan, sepertinya. Tapi aku akan menjawab alasan yang berada pada urutan paling atas. Takdir."

Han Anna : Masuk akal atau tidak. Inilah diriku. Aku bukan tipe gadis yang bisa menyatakan cinta. Aku hanya berharap dia merasakan kasih sayangku tanpa harus kukatakan. Aku sudah kehabisan cara untuk mengungkapkan isi hati karena setiap hal yang kami anggap baru, kami selalu saling mengejek. Dan itu sangat memalukan, kau tahu?

Menahan rindu seperti orang gila. Dan akan kembali kewujud asli ketika yang dirindu sudah dirasa ada.

***

Setelah sekian lama menjadi Reader aja, akhirnya saya memutuskan untuk memasukan fanfict pertama saya juga. Doa saya cuma satu, semoga kalian ga bosen,hee.

Selamat membaca

 

 

 

 

 

Foreword

Ga tau harus nulis apa disini. So, supaya ga kosong jd sy isi PROLOG aja ya, :D

 

Apgeujong, 12.05PM

     Aku masih duduk diam. Meliriknya sesaat lalu kembali membuang pandang keluar jendela. Orang nampak berlalu lalang tanpa peduli pada apa yang mereka lewati. Kadang mempercepat langkah seolah ada hal penting yang menunggu mereka. Sekarang adalah jam makan siang. Kafe ini kembali hidup seperti biasanya. Orang-orang berdatangan silih berganti, memaksa seluruh karyawan untuk lebih bekerja ekstra dari jam-jam biasanya. Suara bising kembali terdengar, entah itu dari televisi yang sedang menyala, derap langkah cepat orang-orang yang ingin segera makan siang, rumpian para remaja, dan bahkan tidak jarang mendengar orang menjerit karena pesanannya tak kunjung tiba. Aku mengusap dan membenam wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba membuat otak sedikit lebih rileks.

     “Junjin-ah~

     Aku menengadah dan menopang wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir tipisnya. Gadis cantik yang sejak tadi duduk didepanku tengah menyodorkan botol air mineral. Entah berapa kali aku harus menolongnya untuk melakukan hal yang sama.

     Aku mengambil botol air mineral itu dan membuka tutupnya, “Kau bahkan tidak bisa melakukannya tanpaku. Lalu kenapa kau masih menolak menikahiku?”

     Dan untuk yang keseribu kalinya aku mengingatkan diri sendiri kalau Anna tidak menyukaiku apalagi jatuh cinta padaku. Tapi dengan bodohnya aku rela menghabiskan separuh umurku hanya untuk mengejarnya. Memaksanya untuk mempertimbangkanku. Dan memaksanya untuk tetap berada dalam jarak pandangku. Tak akan membiarkannya menjauh barang sesentipun. Karena hanya disampingnya aku bisa leluasa bernafas dengan sempurna dan membiarkan jantungku bekerja ekstra ketika didekatnya.

     Seandainya otakku bisa bekerja sehari saja tanpa mendengar nama Han Anna, seandainya aku tidak menggila jika sehari saja tidak bertemu dengannya, seandainya jantungku bisa berdetak secara teratur saat mendengar suaranya, seandainya…seandainya… Ah, gadis itu hampir membuatku gila.

     Gadis itu mengeryit lalu mendorong wajahku untuk yang kesekian kalinya, “Auuh…Berhenti membual untuk hal yang sama.”

     “Aish… Berhenti mendorong wajahku!?” protesku kesal. “Apa kau tidak menyukaiku?”

     Anna, Han Anna, gadis yang entah sejak kapan menjadi alasan satu-satunya untukku lebih bekerja keras dalam bekerja, ia tertawa. Menertawakan pertanyaanku? Tentu saja. Lagipula ini bukan hal aneh sekarang karena aku sudah menanyakannya berulang kali, dan berulang kali pula Anna menertawaiku.

     “Kau hanya seorang anak laki-laki, bukan seorang pria. Apa kau memiliki pekerjaan yang cukup untuk membiayai kuliahku?”

     Aku menggeleng. Ya, aku hanyalah seorang karyawan biasa yang bahkan hanya cukup untuk membiayai hidupku sendiri.

     “Apa kau sudah memiliki cukup tabungan untuk membiayai semua keperluanku?”

     Aku menggeleng. Aku bahkan tidak punya cukup uang untuk disisihkan.

     “Kau lebih muda dariku dan kau belum memiliki masa depan. Bagaimana mungkin kau akan menyiapkan masa depan untukku?”

     Masa depan? Masa depan apa yang kau inginkan dariku? Aku bisa membahagiakanmu, apakah masih belum cukup?

     “Lagipula, kau belum memiliki rumah sendiri. Kau ingin mengajakku tinggal dijalanan?”

     Aku merengut, mencibir, “Bagaimana mungkin aku membawamu tinggal dijalanan. Aku tidak terlalu miskin untuk bisa menghidupimu. Kau tahu, kemarin aku baru mendapat pekerjaan tambahan sebagai penjaga toko. Aku bisa menyisihkan uangnya untuk menghidupimu. Lagipula kau tipe gadis yang tidak terlalu banyak pengeluaran untuk sekedar kesalon atau membeli alat makeup dan pakaian mahal.”

     Anna memutar bola matanya, meminum air mineral melalui ujung sedotan, kemudian menatapku dengan tatapan menyelidik, “Kau, sejak kapan menyukaiku?”

     Aku terlonjak. Sejak kapan aku menyukaimu? Ku rasa sejak aku membuatnya menangis karena lemparan bola kasti. Untuk pertama kalinya aku khawatir dan takut kalau tiba-tiba ia mati. Duniaku seperti berhenti berputar ketika melihatnya pingsan dengan hidung berdarah dan karenanya pula tak henti-hentinya aku mengutuk diri sendiri. Kenapa aku tidak bisa lebih berhati-hati meskipun tahu tubuh lemahnya benar-benar rawan jika terluka. Tapi setelah ia sadar, duniaku seperti kembali keposisi awal. Berputar dengan keadaan lebih stabil dari sebelumnya. Karena kejadian itu aku lebih berhati-hati dan lebih posesif pada setiap aktifitasnya yang membuatku khawatir.

     Kami selalu saja berdebat, bahkan untuk hal-hal sepele sekalipun. Anna yang keras kepala dan aku yang kadang… ya katakan saja egois, benar-benar terlihat seperti musuh jika sudah beradu mulut. Mungkin karena itu pula orang disekitar kami sangat mengantisipasi frekuensi kedekatan kami.

     Aku, aku tidak tahu apakah aku harus mengatakannya. Mengatakan aku menyukainya. Gadis ini, sekalipun tidak pernah mendengarkan semua perkataanku dengan hati-hati. Aku takut ia akan menganggapku menggombal atau semacamnya jika tiba-tiba mengatakan kalau aku sudah menyukainya bahkan dalam sebelas tahun terakhir. Atau mungkin saja ia akan menertawaiku, atau bahkan mengejekku selama seminggu jika aku jujur padanya. Persis saat valentine lima tahun yang lalu. Ia tertawa terbahak saat aku membawakannya seikat bunga dan mengaku kalau aku menyukainya. Dan karena pengakuan itu pula aku harus mendengar ejekannya selama dua minggu. Ah, membayangkan hal yang sama terjadi, rasanya aku benar-benar harus meloncat dari jurang.

     “Aku? Jangan salah paham. Aku memaksamu menikahiku karena ibumu yang memintanya. Kau tinggal sendiri di Seoul, bagaimana mungkin dia tidak cemas. Kau pintar sekali membuat orang lain khawatir dengan pingsan disembarang tempat. Kalau kau menikah denganku, aku tetap bisa mengawasimu 24jam. Lagipula siapa yang akan membantumu membukakan botol air ini jika bukan aku. Hal sepele seperti ini pun tak bisa kau lakukan tanpaku, bagaimana mungkin aku bisa membiarkanmu tinggal seorang diri.”

     “Jangan mencari alasan yang tidak masuk akal. Siapa bilang aku tidak bisa melakukan apapun tanpamu, kau pikir aku anak balita? Aku bisa meminta tetanggaku yang tampan itu untuk membukanya. Lihat, aku masih bisa hidup seperti gadis pada umumnya, berpacaran, jalan-jalan, atau semacamnya tanpa harus menerimamu menjadi kekasihku. Jadi berhenti membualkan lelucon semacam ini.”

     “Lelucon? Memangnya kapan kau pernah memikirkan setiap ucapanku dengan serius, kapan kau memperhatikan setiap tindakanku yang selalu berusaha menjagamu dengan baik? Tidak masalah kau tidak menyukaiku, asalkan kau tetap dalam jarak pandangku, masih dalam pengawasanku, maka aku sudah memiliki alasan cukup untuk bertanggung jawab dengan kedua orangtuamu!” suaraku agak mengeras. Mencoba meyakinkannya dengan sedikit tekanan di kalimat terakhir.

     Anna diam. Tidak bereaksi. Tidak menyangkal ataupun memprotes. Ah, seandainya setiap kali aku bicara gadis ini selalu bersikap semanis ini, tentu hubungan kami akan berkembang dengan cepat. Tanpa harus mengeluarkan urat leher hanya untuk memperdebatkan hal-hal sepele. Lagipula jaman sekarang hubungan pertemanan antar lawan jenis 13tahun lamanya benar-benar tidak masuk akal. Untuk waktu selama itu bukankah seharusnya kami sudah menjadi sepasang kekasih. Ah, entahlah, kepalaku pusing.

     Aku melunakan suaraku, “Jadi, mau kah menikah denganku?”

     Anna mendelik, “Tidak!”

     Gadis itu meninggalkanku setelah menjawab lamaran dengan singkat, padat, dan menyakitkan. Aku tahu ini akan terjadi lagi, terluka, mendengarnya mengacuhkan setiap kata-kataku. Kadang aku masih saja berpikir, apakah caraku sekarang sudah benar, menghabiskan lebih dari separuh umur hanya untuk mengejarnya yang bahkan tidak pernah menyukaiku. Aku sudah seperti orang tolol karenanya. Tidak pernah pacaran, berkencan, atau bahkan hanya sekedar berkumpul dengan teman-teman. Waktuku sudah habis hanya untuk memikirkannya, menemaninya, dan memperhatikan setiap aktifitasnya. Aku benar-benar kecanduan untuk terus melihatnya berkeliaran dipelupuk mataku. Tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk menghilangkannya barang sedetik dari pikiran dan hatiku. Karenanya, karena menyukainya, kewarasanku perlu dipertanyakan.

     Aku tetap duduk dikursiku meskipun waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Para pengunjung sudah terlihat meninggalkan kafe sejak satu jam yang lalu. Tentu saja, karena kebiasaan kafe tutup pukul sepuluh. Tapi mengingat pemilik kafe adalah temanku semasa SMA, jadi aku diijinkan untuk tetap tinggal untuk waktu yang lebih lama.

     Go Jungwoo, pemilik kafe yang juga temanku semasa SMA, mendekatiku setelah melihat Anna pergi. Ia memastikan apakah gadis yang baru saja ia lihat adalah Anna, orang yang sering kuceritakan padanya. Ia baru bisa mengerti alasan kenapa aku tidak mengikuti sarannya untuk meninggalkan Anna dan berkencan dengan gadis lain, karena Anna benar-benar cantik. Sungguh dangkal pikirannya jika aku menyukai Anna hanya karena kecantikannya. Saat Anna pingsan karena terkena bola kasti, gigi depannya tanggal, membuat Anna terlihat lucu sekaligus…eheemm…mengerikan. Tapi bukankah sejak saat itu juga aku sudah menyukainya. Tidak ada alasan yang paling masuk akal mencintainya selain karena aku ingin menjaga dan membahagiakannya.

     Aku baru saja tiba dirumah dengan basah kuyup. Hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya ketika aku dalam perjalanan pulang. Tapi baru saja selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Mataku hampir saja meloncat keluar karena terkejut ketika mendapati Anna tengah berdiri didepan pintu, basah kuyup. Persis seperti anak anjing kehujanan yang sedang tersesat. Aku melotot ketika tubuhnya bergetar hebat. Gadis tolol, kenapa ia menerobos hujan sederas ini.

     Aku menarik tubuhnya masuk kedalam. Menutup pintu. Berlari kekamar dan merogoh isi lemari untuk menemukan handuk tebal. Kemudian kembali ke depan pintu dan melap tubuhnya dengan penuh kekhawatiran.

     “Gadis bodoh! Apa yang kau lakukan hujan-hujan begini,hah?!” aku memakinya. Tidak tahu harus berkata apa untuk menutupi kekhawatiranku. “Kalau kau bosan hidup, panggil aku. Aku akan datang kerumahmu dan membunuhmu saat itu juga. Asalkan kau berhenti menyiksa tubuhmu seperti ini!”

     Anna memegang tanganku erat, membuatku tak bisa berkata-kata. Membeku. Untuk pertama kali merasakan sentuhan tangan lembutnya seumur hidupku. Membuat surge seolah berada didepan mata. Keajaiban yang mungkin saja tidak akan pernah ku lupakan sepanjang hidup.

     “Junjin-ah, maukah kau menikahiku?”

     Aku ternganga. Oh, apakah air hujan tadi membuat Anna jadi sedikit gila?

Comments

You must be logged in to comment
layleb #1
Chapter 2: Lanjut thor, keren ceritanya