The Elevator S[t]uck

The Elevator S[t]uck

 

The Elevator S[t]uck

 

..I hope our love doesn't.

 

Rambutnya yang coklat kemerahan tergerai dengan rapih hingga mencapai pinggangnya. Handphonenya tergenggam oleh jemari tangan kanannya. Tangan kirinya sibuk memegangi map-map yang padat dengan berbagai macam kertas. Sepatu hak putihnya mengetuk lantai marmer gading di gedung ia berpijak beberapa kali dengan penuh ketidaksabaran. Dengan bosan dia membaca pesan yang diterimanya pagi hari ini untuk yang keberapa kalinya.

 

Hari ini aku pergi ke Hawaii.

Temui suamiku di kantornya.

XOXO. Boss kesayanganmu.

 

Kesayanganmu itu kata yang kurang tepat, Nyonya MacWilliams, boss-ku tercinta. Bagaimana tidak, liburan selama satu minggu di tengah keseharian yang sibuk akan segera dimulai setelah aku menemui suami boss, ehem, presdir dari perusahaan ini. Sebenarnya aku tak bisa mengeluh akan hari-hari yang sibuk, toh inilah impianku, tinggal di New York di kota yang tidak pernah tidur.

DING

 

Bunyi elevator yang satu ini sungguh menyebalkan, benda alat pengangkut mesin atau apapun ini bergerak sangat lambat untuk ukuran semua kegiatan lain di New York yang serba cepat, terlebih lagi benda ini satu-satunya transportasi yang dapat mengantarku ke lantai 51, pusat gedung perusahaan yang sekarang menjadi tempatku bekerja, dan tempat dimana boss-ku menyuruhku untung kukunjungi. Elevator ini seharusnya di desain dengan gaya klasik eropa, menurut selera boss-ku, tetapi suaminya lebih menyukai gaya asia, sehingga terciptalah elevator teraneh. Ada kaca di kanan kiri, dan di belakang ada dinding berlapis wallpaper bermotif garis-garis keemasan dengan dasar merah maroon, di sana terpaku beberapa lukisan gadis-gadis eropa abad ke-19 dengan gaun mereka yang berjuntai. Di ujung kiri belakang ada pohon sakura imitasi. Lantainya dilapisi karpet beludru berwarna merah darah, yang kurasa sangat berlebihan untuk ukuran elevator. Di dalam elevator tersebut ada lampu chandelier, yang membuat beberapa orang berukuran tubuh tinggi sedikit kesusahan. Sepertinya hal itu juga yang dirasakan oleh seorang pria yang ada di hadapanku, menunggu dengan sedikit bingung dan kesal karena aku tak kunjung masuk ke dalam elevator. Tapi yang membuatku membeku bukanlah karena ada lagu Party Rock Anthem yang dimainkan dari dalam elevator, atau karpet beludru yang berubah warna jadi merah muda, melainkan identitas pria itu, yang telah kukenal sejak SMA.

 

Aku pun melangkah masuk. Tiba-tiba musik di dalam elevator terdengar lebih keras, dan blazer putih yang kupakai terasa lebih ketat. “Lantai berapa, nona?”, sambut pria itu dengan nada kebingungan. “Ah! Lantai 51.” , jawabku dengan suara yang kurasa terlalu keras dan terdengar gugup. Pria itu pun menekan tombol untuk menutup pintu elevator, dan kulihat tombol 51 sudah menyala, pria ini juga punya urusan dengan kepala perusahaan. Elevator pun mulai bergerak dengan kecepatan kura-kuranya. Atmosfir terasa sangat aneh. “Kau, maksudku Nona, tidak mengenaliku?” , tanya pria itu padaku. “Ah, tidak..”, tidak terlalu mendalam maksudnya. Tentu saja aku sangat mengenalinya, dari sumber-sumber media tentu saja. “Kalau begitu maafkan atas ketidaksopanan saya, nama saya Kim Jaejoong. Orang-orang Amerika memanggil saya Jae.”, sambil menatap ke arah ku. Hal yang aneh adalah senyumnya dan tatapan matanya yang seakan-akan berkata 'kau berbohong dan aku tahu itu'. “Kurasa kau adalah fansku, Nona Pierce.” lanjutnya, dan sekarang tatapannya ada di tanda pengenal di atas kantong kanan blazerku yang seperti tanda pengenal pegawai bank dan berkilau tertimpa cahaya. “Apa yang membuat anda begitu yakin, Tuan Kim ?”, jujur saja itu pertanyaan yang memang ingin kutanyakan, bagaimana dia bisa tahu yang sebenarnya. “Oh, aku tidak yakin, belum yakin tepatnya. Tapi kurasa caramu menatapku sama seperti yang dimiliki para fansku.”, ujarnya sambil memandang ke arah depan dan membetulkan manset kemeja putihnya. Aku hanya bisa diam terpaku, menatapnya dan berpikir berulang-ulang, betapa ribuan fans nya yang lain tidak akan segan-segan untuk membunuh demi posisiku sekarang. Tapi entah kenapa, memainkan peran ini begitu menyenangkan, jadi kusahut lagi, “Kurasa bahkan boss-ku yang sudah cukup berumur, ataupun sepupuku yang masih kecil pun akan menatapmu seperti caraku menatapmu. Salahkan saja wajahmu yang di atas rata-rata.” Dia pun menatapku kembali dengan serius, tatapannya penuh karisma. “Nona Pierce, maaf atas tuduhanku bahwa kau seora...”, katanya sambil menunduk.

 

I'm still in love, she's thinking of, the very one th..

 

Tiba-tiba handphone-ku berdering, tidak pernah aku begitu panik saat mendengar ringtone ku sendiri. Karena kepanikan itulah map-map yang berisi laporan akhir boss-ku jatuh berserakan. Dengan cepat aku menjawab telepon, hanya untuk mendengar suara wanita, “Apakah ini dengan John?” Aku pun menjawab dengan sopan sambil menahan diri, “Maaf, anda salah sambung.” Sementara itu si pria tampan sedang membereskan map-map ku sambil tertawa kecil. “Still in Love, agaknya aku pernah mendengar lagu itu sebelumnya”, katanya. Aku yang telah ikut membereskan, merasa seluruh aliran darah naik ke mukaku, entah karena malu atau karena terpesona dengan tawanya, atau bisa jadi keduanya. “Ya, dan mungkin kau juga pernah menyanyikannya, Tuan Kim.” jawabku padanya. Map-map sudah tersusun rapi, dan kita sudah berdiri, kali ini aku sedikit menjauh. Dia yang pertama memecahkan keheningan, “Jadi sekarang, apakah aku perlu menarik kata maafku?”

 

Untuk pertama kalinya aku merasa ingin pergi ke kantor bagian keuangan dan berteriak, bisakah elevator yang sekarang diganti dengan yang bermesin lebih cepat.

 

DING

 

Oh rasanya seperti Surga saat mendengar suara itu, sayangnya ternyata elevator masih berada di lantai 21. Para eksekutif segera memadati elevator, satu diantara mereka adalah sahabatku, Ellie. Dan, apakah ini hukuman atas dosaku karena berbohong atau memang kekejaman takdir, Ellie memandangi si pria tampan dengan mata membesar dan mulut ternganga, aku yakin lalat bisa hinggap dan membuat rumah di situ. “Ellie, mulutmu..”, kataku berbisik sambil menarik lengannya ke arahku. Tapi Ellie bukanlah seorang pendiam, tidak dan tidak akan pernah. Jadi untuk menambah buruk keadaan dia berkata dengan volume yang memenuhi ruang elevator, “Dia pacarmu kan? Astaga Clarissa! Dia kan orang yang memenuhi komputer dan handphone-mu!” Aku terkejut, pria tampan terkejut, dan yang lain diam terpaku, sepertinya tidak acuh walau di dalam hati sangat penasaran. Pria itu, dengan santainya menjawab, “Ya, senang bertemu denganmu.” Tangannya merangkul bahuku dan menepuknya. Aku tidak yakin bagaimana ekspresiku saat itu, atau perasaanku.

 

DING

 

Lantai 39, tempat ruang meeting. Semua eksekutif tadi termasuk Ellie meninggalkan kami berdua lagi. Dengan cepat aku menjauh dari nya dan menatap matanya dengan, kuharap, amarah. “Kau tahu mereka akan menggosipkan hal itu, seharusnya kau tak bercanda, Tuan Kim Jaejoong.”, kataku dengan penekanan di bagian namanya. Dia yang terlihat begitu santai berkata, “Itu, untuk hari ini dan 3 hari ke depan, adalah urusanku. Sedangkan, Nona Pierce, ke depannya itu adalah masalahmu.”

 

Aku tidak percaya, bagaimanapun akuratnya kemampuan menghitungku dan fakta dunia, bahwa masih ada 12 lantai lagi yang harus dilalui, bersama nya.

 

DING .. brak!

 

Elevatornya, berhenti? “Elevatornya berhenti.”, ujarnya. Jadi dengan refleks aku pun berteriak minta tolong, dan berakhir ditertawakan olehnya. “Tuan Kim, memangnya kau punya cara lain untuk mengeluarkan kita dari sini?”, tanyaku dengan kesal. Dia tersenyum, “Menunggu bantuan, sebentar lagi pasti elevatornya jalan kembali.” Untuk beberapa saat, perkataannya seakan memberi secercah cahaya di terowongan yang gelap.

 

xxxxx

 

Elevator yang berhenti adalah neraka. Udara yang ada hanya sedikit dan terasa hangat, panas tepatnya, karena bercampur dengan nafas kami. Setelah beberapa saat dia pun membuka jas biru tua nya dan melepaskan dua kancing kemejanya. Blazer yang kupakai pun duduk di sampingku. Poniku yang menutupi kening terasa semakin basah, dan bahkan rambutku yang sudah ku bentuk gelungan kecil tidak membantu meredakan panas. Map yang kupakai sebagai kipas hanya mampu memberikan angin kecil, itupun tidak menyejukkan. Rambutnya yang coklat keemasan juga terlihat basah di ujung-ujungnya, dan keringat yang mengalir dari dahi ke tulang pipi dan terus mengalir hingga lehernya ke bawah mengingatkanku akan peformanya di konser-konser. Dalam kediaman seperti inilah aku baru menyadari bahwa inilah impianku dari dulu, bertemu Kim Jaejoong, sang Hero.

 

xxxxx

 

Ini tak akan berhasil. Balai bantuan mungkin akan datang dalam waktu yang lebih lama dari yang kuperkirakan. Dan kalau seperti itu kemungkinan kemejaku sudah tidak melekat lagi.”, ujarnya sambil berdiri mengamati ruang elevator. Darah naik ke permukaan pipiku membayangkan perkataannya barusan, dan kupikir, mungkin berada di elevator dalam waktu sedikit lebih lama akan lebih menyenangkan. Maksudku, caranya menarik ke belakang poninya, membuka manset kemejanya dan melepas sepatu ..melepas sepatu? “Apa yang kau pikir kau mau lakukan!?”, ujarku terkejut akan kelakuannya, entah apalagi yang akan dia lepaskan, bukan berarti aku keberatan, hanya saja motifnya tidak jelas. Dia tidak menjawabku melainkan meletakkan kaki kanannya ke susuran tangan di kaca sebelah kanan elevator dan kaki kirinya ke susuran tangan belakang. Sambil berdiri di atas susuran itu dia mendorong atap elevator. Pertamanya tidak ada kemajuan, atap tidak bergeming, hanya chandeliernya yang bergoyang. Percobaan kedua sepertinya membuat dia menyadari sesuatu, ia pun turun dan pindah untuk berdiri ke ujung kiri depan, dan ketika ia melakukan hal yang sama, kulihat atapnya terangkat sedikit. “Map!”, teriaknya sambil melihat padaku. Dengan sigap aku pun memberikan map, yang baru saja kupakai sebagai kipas, kepadanya. Ia membuat map itu sebagai penyangga celah tersebut. Karena kehabisan tenaga, atau kehabisan akal, dia turun lagi, kali ini dia duduk dan memejamkan matanya. Deru nafasnya cepat, terdengar menyakitkan dan terdengar di seluruh penghujung ruangan.

xxxxx

 

Kau tidak perlu memaksakan diri, Tuan Kim.”, ucapku. Dia pun membuka matanya dan aku tak dapat membedakan apakah emosi yang sedang dirasakannya. Marahkah? Tersinggung? Kecewa?

Mulutnya perlahan-lahan terbuka, suaranya terdengar kasar dan dipaksakan,“Pertama, berhentilah memanggilku dengan formal, Nona Pierce. Kedua, bisakah kau percaya padaku untuk sesaat? Ketiga, apakah handphonemu juga tidak ada sinyal?” Terkejut dengan pernyataan dan pertanyaannya, secara tidak sadar aku langsung melihat layar handphoneku, kemudian menjawabnya, “Pertama, panggil aku juga dengan nama depanku, Clarissa...”, aku berhenti untuk berpikir akan jawaban yang satu ini, “Kedua, kepercayaan itu tidak dengan mudah diraih..” Tiba-tiba, seakan telah mengumpulkan energi, ia berdiri lagi, kali ini lebih mantap. Bagian atas kemeja katunnya sudah berwarna lebih gelap, rambutnya kini seakan diminyaki, tapi caranya tersenyum dengan penuh kepercayaan diri dan tangan kanannya yang disodorkan ke arah ku, semuanya membuatku, bagaimanapun klise nya hal ini, membuatku jatuh cinta lagi. “Baiklah..”,katanya,“..kalau kita bisa keluar dari sini dengan caraku, bisakah aku mendapatkan kepercayaanmu?”

Aku percaya, kalaupun saat itu ia meminta untuk mendapatkan seluruh kekayaanku aku akan memberikannya dengan cuma-cuma. Jadi kuraih tangannya dengan pasti, “Tentu.”

 

xxxxx

 

Dia mengamati ruangan elevator sekali lagi, mencari cara untuk mengeluarkan kami berdua. Berita-berita mengenai kasus orang-orang yang ditelantarkan di elevator merasuki pikiranku, begitu juga dengan ingatan akan film Devil. "Tuan.. Jae, handphoneku juga tidak ada sinyal.", kataku padanya, walaupun menurutku sudah tidak terlalu penting, hanya saja kediaman menegangkan seperti ini sangat tidak enak. "Hm.", jawabnya. Dia terlihat begitu berkonsentrasi, dahinya berkerut dan tangan kirinya menopang dagunya. "Kau, bisa bantu aku? Berdirilah di tempat ku berdiri tadi, pastikan saja mapnya tidak jatuh, oke?", ucapnya sambil menunjuk ke arah ku. "Baiklah.", lagipula aku juga sudah tidak tahan dengan panasnya ruang ini, pikirku.

 

xxxxx

 

"Jangan dilihat!", ujarku sambil berusaha berdiri di atas susuran tangan. Dia memegangi pinggangku untuk membantuku naik. Tiba-tiba saja aku tersadar bahwa aku mengenakan rok, secara tidak sadar akupun mengatakan hal itu dan menyadari bahwa betapa bodohnya ucapan itu, memangnya aku ini siapa sehingga dia ingin melihat. Mendengar hal itu dia hanya tertawa. Akhirnya aku pun bisa berdiri walau sedikit kaku. Saat itulah ia melepas tangannya dari pinggangku dan pergi ke sudut di sebelahku, dia pun berkata dengan nada mengejek yang sangat menyebalkan, "Kau tahu, rokmu terlalu panjang untuk diintip"

 

xxxxx

"Dorong!"

"...."

"Lebih keras!"

"...ini...sedang...diusahakan..."

"Awas!"

 

Saat dia berteriak barulah kusadari bahwa tidak mencopot sepatu hakku adalah kesalahan terbodoh. Dengan memalukan dan tentu saja, sakit, badanku menyentuh lantai dan kepala belakangku membentur susuran tangan. Dia langsung bergegas ke sampingku, memegang lenganku dan mengecek kepalaku. “Kau, baik-baik saja?”, tanyanya. Wajahnya terlihat samar-samar, kupejamkan mataku untuk memulihkan penglihatanku, juga sebenarnya kelopak mataku terasa berat. “Hey! Sadarlah! Sebentar lagi kita keluar!”, teriaknya dengan panik, sambil mengguncangkan tubuhku. Aku tidak tahu harus merasa senang akan perhatiannya atau merasa malu karena kebodohanku. Kubuka mataku dan melihat ekspresi wajahnya yang penuh cemas. “Memangnya kaupikir aku selemah ini apa?”, jawabku sambil berdiri, kemudian menyesalinya karena hal itu menyebabkan punggungku terasa sakit sekali. Dia yang melihatku memegangi punggung dengan ekspresi kesakitan hanya tertawa dan berkata, “Ba~bo ya!” Mendengar hal itu aku mengarahkan kepalan tangan ku ke lengannya. Dia pun hanya tertawa, tetapi kemudian, seakan menyadari sesuatu, menatapku, “Kau, mengerti bahasa korea?” Aku menggelengkan kepala, lalu mengangguk, “Tidak, hanya sedikit sekali yang kutahu. Tapi yang tadi kau bilang aku tahu pasti!”, sambil memukulnya lagi. Kali ini dia menepisnya dan menggenggam tanganku. “Saranghae..”, katanya, tapi sebelum aku bisa menjawab, dia melanjutkan, “kalau yang itu?”

Kulepaskan tanganku dari genggamannya dengan kesal, bagaimana bisa dia menggoda dengan kata itu, “Babo! Tentu saja aku tau.”

 

Dia tertawa lagi dan tersenyum, menatapku dan berkata, “Aku tahu sepatumu sangat cantik, tapi lepaskanlah itu untuk sekarang. Lagipula kau tetap cantik tanpa atau dengan sepatu”

 

xxxxx

 

Entah darimana kekuatan yang kami dapatkan saat itu, dengan metode yang sama -kali ini tanpa sepatu hak-, sekarang atap elevator sudah terangkat cukup tinggi. “Dalam hitungan ketiga dorong atap elevator ini sekuat-kuatnya! Mengerti? Hanya ini kesempatannya”, ujarnya padaku. Sambi mengumpulkan tenaga aku pun mengiyakan dengan mantap. “Satu! Dua! Tiga!”

 

Kulihat atap elevatornya seakan terbang ke arah belakang, dan membentur dinding di belakang sana, dan untungnya tetap disana. Akan tetapi, menurut hukum aksi-reaksi, tubuhku pun seakan ikut terdorong. Jadi untuk kedua kalinya akupun terjatuh, hanya saja kali ini aku mendarat di tempat yang sedikit lebih nyaman. “Ya! Kau ini memang tak punya keseimbangan sama sekali”, katanya sambil mendorongku ke samping. Aku pun segera berdiri dan menunduk, rasanya jantungku berdegup secara beratus kali lipat. “Terimakasih.”

 

xxxxx

 

Beberapa menit berlalu, untuk mengumpulkan tenaga dan memikirkan strategi baru kami beristirahat sebentar. Kali ini kami berdua duduk bersampingan melihat ke atas. Di atas ada tali pengangkut elevator yang tergantung.

Kau jauh dari tipeku”

Apa..”

Kau punya lipatan mata”

Itu natural!”

Jemarimu pendek”

Tapi indah!”

Kau juga bukan orang Korea”

Aku 100% Asia!”

Kepribadianmu..”

 

Dia memperhatikan wajahku dan berkata lagi, “Kau tahu, ini aneh.” Saat itu aku ingin sekali menjambak rambutku sendiri karena frustrasi. “Tapi sudahlah, sebelum jadi lebih aneh lagi ayo kita keluar dari elevator terkutuk ini.”, ujarnya dengan santai sambil berdiri dan menyisipkan sebagian kemeja yang sudah keluar dari celananya. Aku hanya memperhatikannya dengan penuh kekesalan, bagaimana bisa dia mengatakan hal-hal seperti tadi layaknya pembicaraan sehari-hari dan tidak meminta maaf sama sekali. Sayangnya aku harus setuju dengan kalimatnya mengenai keluar dari elevator terkutuk ini. Aku menghela nafas dan bangkit berdiri lagi.

 

Dia menunjuk ke arah suatu benda, yang setelah kulihat adalah sekat lorong ventilasi udara. “Aku merasa seakan berada di sebuah film ..”, kataku tanpa sadar mengucapkan pikiranku secara keras-keras lagi. “Jadi kurasa kau sudah tahu rencananya?”, katanya sambil menoleh padaku.

 

xxxxx

 

Memanjat seutas tali bukanlah pekerjaan yang mudah, dan dengan keringat yang mengalir di telapak tangan, butuh tenaga ekstra untuk tidak jatuh dan mengulang memanjat lagi. Dia sudah berada lebih atas, tepat di depan sekat yang jadi tujuan. Tangannya hampir meraih sekat tersebut tapi menariknya lagi. Ia melihat ke arahku dan bertanya, “Apa kau siap?” Aku menghembuskan nafas kesal dan menjawab, “Aye Kapten..” Dia tertawa lagi dan mencopot sekat tersebut, menjatuhkannya ke bawah, kulihat sekatnya jatuh tepat di hadapan mataku. “Kau!”, ujarku kesal, bagaimana kalau sampai sekat itu jatuh tepat di kepalaku, dasar pria menyebalkan. Pria menyebalkan itu akan tetapi sudah masuk ke dalam lorong ventilasi udara yang kupikir lumayan besar. Aku pun memanjat lagi dan akhirnya berhasil masuk ke rubang ventilasi. Di dalam sana ku lihat cahaya dari handphonenya yang kurasa ia jadikan lampu senter. Lorong ventilasi itu cukup besar untuk kita merangkak dengan kedua tangan dan kaki.

 

Laba-laba”, katanya tiba-tiba. Dengan menghela nafas aku pun menyahut, “Selamat atas penemuan anda profesor.” Dia sepertinya berhenti sebentar untuk berpikir, “Kau tidak takut?”

Haruskah?”, jawabku dengan kesal. Memangnya semua wanita harus jadi penakut atau berfobia dengan laba-laba. “Ah, tidak tentu saja. Ah!”, ujarnya, kali ini kudengar suara langkahnya menjadi lebih cepat, sepertinya ia menemukan sesuatu. “Cahaya! Mungkin dari salah satu ruangan. Ayo cepat!”, katanya lagi. Mendengar hal ini aku pun bergegas, rasanya seperti menemukan berlian. Akhirnya penderitaan hari ini berakhir juga.

 

Kali ini dia sedang berusaha membuka sekat ventilasi yang menurut penglihatannya menuju ruang kantor presdir perusahaan ini. Akhirnya setelah beberapa saat sekat itu jatuh ke bawah. Terdengar suara keras terbenturnya besi dan lantai ruangan. Menurut kerasnya bunyi, sepertinya posisi kami jauh dari lantai. Dia menoleh ke arahku untuk sekian saat, kemudian dengan cepatnya melompat ke bawah. Aku segera bergegas ke tempat di mana ia tadi berada setelah mendengar teriakan kesakitannya. Kulihat ia memegangi pergelangan tangan kanannya, raut wajahnya begitu penuh dengan kesakitan. Kudengar suara orang-orang di luar, sepertinya akan ada yang masuk. “Ya! Turunlah!”, ujarnya padaku, menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Aku pun melompat walau masih penuh keraguan.

 

A-Apa yang kalian berdua lakukan!?”, terdengar teriakan suara presdir dari pintu. Aku pun membuka mataku yang tanpa sadar telah kututup karena takut, dan menyadari apa maksud pertanyaan suami bossku itu. Sekali lagi aku telah berhasil mendarat di landasan berupa sang pujaan hati beratus ribu remaja wanita, kali ini dengan posisi yang lebih membuat skandal. Kedua kakiku berada di antara kedua kakinya, kedua tanganku berada di dadanya yang bidang, dan tangan kanannya berada di pinggangku. Sepertinya ia telah menangkapku waktu aku melompat. Kami berdua bertatapan untuk entah berapa lama, kemudian aku pun tertawa menyadari betapa bodohnya hari ini dan semua kejadiannya. Seakan menyadari hal yang sama, Jaejoong sang Hero hari ini pun ikut tertawa bersamaku.

 

xxxxx

 

DING

 

Oh Tuhan jangan lakukan hal itu dan membuat suara gila itu lagi”

Apa? Maksudmu kita tidak bisa bersulang?”

Terserah kau sajalah”

Bergembiralah sedikit. Ini hari terakhirku di New York. Kau akan merindukanku.”

 

Aku memandangi wajahnya yang sedikit dimake-up, rambutnya yang ditata di salon, kemeja merah mudanya dan celana coklat mudanya. Tangan kirinya yang diperban tergantung di samping tubuhnya sementara tangan kanannya memegang gelas champagne. Pandangannya dipusatkan ke pemandangan kota New York di musim semi yang sibuk di pagi hari melalu kaca jendela yang terbentang dari kiri ke kanan dinding gedung restoran.

 

Aku pun ikut memandangi New York, kota sangkar emas ini, dengan penuh keajaiban di dalamnya, dan berpikir mungkinkah aku dapat membebaskan diri dari sini.

 

Jemputlah aku kapanpun”, ucapku sambil memerhatikan gaun satin putihku kalau-kalau ada noda yang tiba-tiba mendarat. Aku pun menoleh padanya dan bertatapan dengan matanya yang sudah memerhatikan ku dari tadi. “Aye Kapten.”, jawabnya sambil tersenyum dan mengaitkan tangan kanannya dengan tangan kiriku.

 

Cheers for the elevator !”

 

T A M A T

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet