It Begins

EXOPLANET GAMES

 

.

.

Members of EXO (K and M) are not mine, but Gods and themselves

EXOPLANET GAMES by Eka Kuchiki

Inspiration from movie and novel ‘The Hunger Games’ by Suzanne Collins and EXO MV ‘MAMA’

Genre: Fantasy, Adventure, Little Sci-fiction, Friendship, Family, Game, Thriller.

Rating: PG 13+

Warning: OOC, OC (hanya sebagai pendukung), alur loncat-loncat, (mungkin) death character, Alternate Universe (sekitar tahun 2066).

Notes: Alur fic ini loncat 5 tahun pada alur prolog.

.

.

.

.

.

Hari untuk dua belas calon pemimpin perang masa depan akhirnya datang juga. Siang hari pukul dua, saat langit Seoul diliputi awan kelabu, tidak mengurungkan niat para tributes Exoplanet Games untuk memantapkan hati mereka di pertandingan besar itu.

Dari ruang registrasi, dua orang dari distrik Beijing, Wu Yi Fan dan Huang Zi Tao, berjalan berdampingan dengan diapit oleh dua pria dengan jas hitam. Sampai mereka berdua  memasuki ruangan bernuansa metalik, kedua pria berjas hitam itu meninggalkan mereka berdua. Diam mencekam keduanya sampai Tao memanggil pemuda berambut pirang di sampingnya dengan suara pelan.

Gege...”

“Ada apa, Tao?”

Tao menatap lurus sepasang manik coklat gelap itu, “Apa kita bisa memenangkan permainan itu, Fan-ge?”

Yi Fan menyunggingkan senyum tipis. Tangan kanannya menepuk pundak sang adik. “Tentu saja, Tao! Kemampuan kita tidak bisa diremehkan begitu saja.”

‘Lebih tepatnya, aku tidak akan membiarkanmu dilukai bahkan dibunuh oleh tributes lain.’

Yi Fan tahu, Tao sudah tidak punya keluarga selain dirinya dan pamannya—walaupun ia bukanlah kakak kandung Tao. Semenjak tujuh tahun yang lalu, saat sebagian distrik Beijing luluh lantak di hadapannya. Ia benci mengingat hal itu.

—karena ‘kiamat kecil’ itulah yang menyeret ayah dan ibunya pada kematian.

.

#

.

(Saat Yi Fan pertama kali menginjakkan kaki di distrik itu setelah sepuluh tahun terperangkap dalam siklus kehidupan di Vancouver, Kanada, rumah di tanah kelahirannya rata dengan tanah. Bau mesiu bercampur metalik masih menguar sempurna di indra penciumannya. Bekas bom, granat, bahkan bom nuklir berskala kecil dari negara tetangga Korus, benar-benar melumpuhkan distrik Beijing.

Mata Yi Fan menelusuri reruntuhan rumah, sembari terus  bertanya kepada puluhan relawan yang sedang membawa jenazah-jenazah yang hangus terbakar ke dalam bus ambulans tentang keberadaan orang tuanya. Alih-alih menemukan orangtuanya, ia malah menemukan seorang anak laki-laki bersurai hitam dengan posisi tengkurap tak jauh dari tempatnya berdiri. Kakinya mengayun beberapa langkah mendekati anak laki-laki yang sudah tak bernya—

(Ternyata anak itu masih hidup! Yi Fan bersumpah kalau ia melihat tangan kanan anak itu bergerak.)

—wa?

Baba... Mama...”

Gumaman yang seharusnya tidak terdengar kini tergaung di telinga Yi Fan. Ia membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu di atas pangkuannya. Anak itu mengucapkan sesuatu terbata-bata,  

“Apa... Gege...  tahu... dimana... Baba... Mama...?”

Entah apa yang merasuki pikiran Yi Fan, ia malah membawa anak laki-laki itu ke dalam pelukannya. Tidak peduli bajunya terkena noda tanah dari baju anak bersurai hitam itu. Ia mengusap wajah penuh abu dan percikan darah itu dengan saputangan dari kantung celananya. Yang ia lihat sekarang adalah wajah tampan yang polos. Sepasang obsidian anak itu menatap lurus ke arahnya.  

“Sekarang kau ikut aku. Kita obati dulu lukamu, lalu kita akan mencari orangtuamu.”  

Saat Yi Fan menggendong anak laki-laki itu di punggungnya, dua relawan yang melintas di depannya tengah membawa tandu jenazah perempuan yang wajahnya sebagian terbakar dan tubuhnya hangus. Anak laki-laki itu menjerit histeris saat melihat jenazah itu.

MAMA!”

 Anak laki-laki di belakang punggung Yi Fan berusaha meronta, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak. Yi Fan pun bergegas membawanya ke pos kesehatan terdekat. Jantungnya berdebar melebihi tempo sewajarnya karena anak laki-laki itu tidak lagi bersuara setelah berteriak memanggil ibunya.

#

.

Anak laki-laki itu sudah mendapat pertolongan. Sekarang ia menatap Yi Fan dengan binar mata seolah mengucap terima kasih. Ia tersenyum kepada—

—Oh! Bahkan Yi Fan lupa menanyakan siapa nama anak laki-laki bersurai hitam itu.

“Namamu siapa?”

“Huang Zi Tao, aku biasa dipanggil Tao.”

“Aku Wu Yi Fan,” Yi Fan menjabat tangan yang lebih mungil darinya itu, “sesuai janjiku, kita akan mencari mama dan baba-mu.”

#

.

Mama... Baba...”

Air mata Tao mengalir deras, tetapi Yi Fan tidak mau menghapus air mata itu. Ia menganggap tangis itu sebagai pelampiasan. Sampai hanya terdengar isakan pelan, ia pun menyejajarkan tingginya dengan anak laki-laki bersurai hitam itu.

“Sudah cukup menangisnya?” tanya Yi Fan sambil menghapus jejak air di mata dan pipi putih Tao. Isakan Tao mulai memelan. Obsidian bercampur merah itu menatap lurus mata Yi Fan.

“Jika kau merasa sedih karena kehilangan mama dan baba-mu, menangislah. Tapi jangan terlalu berlarut, karena tangis tidak bisa mengantarkan mama dan baba-mu ke surga.”

“Walaupun kau tidak bisa memeluk mereka lagi, memori mereka akan selalu tertanam di sini,” Yi Fan menunjuk kening Tao, ”dan di sini.” Dan menunjuk dada Tao.

“Yi Fan, aku mendapat kabar buruk,” Seorang pria bersurai hitam menghampiri Yi Fan dengan wajah sendu, “Mama dan Baba-mu meninggal.”

Hampir saja menjilat ludahnya sendiri, Yi Fan berusaha menahan air matanya di depan Tao. Namun ia bukanlah orang cukup tegar, batinnya menangis diam-diam.

Mei guan xi,” sahut Yi Fan dengan suara tercekat. “Bolehkah aku mengajak Tao untuk tinggal bersama kita?”

Pria bersurai hitam itu—paman Yi Fan—melihat anak laki-laki bersurai hitam itu sekilas dan mengangguk setuju.

Semenjak itu, silsilah keluarga Wu Yi Fan dan Huang Zi Tao berubah dalam waktu sehari...)

.

#

.

“Gege!” Suara Tao menyadarkannya dari bayangan masa lalunya, “Kau baik-baik saja, kan?”

Ekspresi Yi Fan yang awalnya seperti orang terkena serangan jantung berubah menjadi tenang. “Tentu saja. Memangnya ada apa?”

Tao melipat kedua tangannya di depan dada. Ia tidak puas dengan jawaban kakaknya. “Apa yang sedang kau pikirkan, Ge? Aku sampai berteriak memanggilmu dua kali, tapi kau sama sekali tidak meresponku.”

“Aku tidak apa-apa, Tao,” tekan Yi Fan. Matanya memilih untuk menunjuk ke arah lain, “Lebih baik kita menunggu di ruang konferensi.  Di sana kita akan bertemu dengan teman satu kubu, EXO-M.”

Setelah semua memori pahit itu dibongkar (secara tidak sengaja), muncul satu pemikiran dalam benak Yi Fan, ‘Jika aku membenci perang...

—mengapa aku mau mengikuti Exoplanet Games?’

.

.

.

.

.

Berselang setengah jam kemudian, dua orang berkewarganegaraan China baru saja keluar dari ruang registrasi. Pemuda berambut pirang mengedarkan pandangannya ke segala arah, seperti mencari seseorang.

“Mencari siapa, Ge?” tanya pemuda bersurai coklat berlogat Changsa itu.

“Bukan apa-apa,” jawab pemuda bersurai pirang itu datar.

“Siapa yang sedang kau cari, Ge?”

Tentu saja Yi Xing tidak bisa dibohongi dengan pernyataan Lu Han tadi. Sedari tadi, sepupunya itu menoleh ke segala arah seperti mencari seseorang. Luhan menghela napas berat, percuma menutupi semuanya di depan Yi Xing.

“Aku mencari Se Hun.” jawabnya pelan. Mata jernihnya tidak memantulkan binar yang biasa dilihat Yi Xing. Melihat ekspresi Lu Han, Yi Xing merasa gusar.

“Se Hun? Adikmu yang sering kau ceritakan padaku?”

“Ya. Kemarin ibuku memberitahuku kalau Se Hun mengikuti Exoplanet Games, jadi—”

“Sebaiknya kau jangan berharap terlalu banyak, Ge,” Yi Xing mencekal tangan Luhan yang ingin berjalan ke arah ruang konferensi, “karena Se Hun akan menjadi musuhmu di  permainan itu. Tributes Korea dengan tributes China itu berbeda kubu, Ge! Kau—”

“Justru itu aku ingin mencarinya!” potong Lu Han gusar.

Jeda menyelimuti mereka berdua. Lu Han yang merasa tidak enak karena sudah membentak Yi Xing akhirnya berkata dengan suara pelan, “Aku... hanya ingin memberitahu sesuatu kepadanya...”

Mata sipit Yi Xing membelalak mendengar pernyataan Lu Han, ‘Jangan-jangan...’

“...Aku ingin dia menjauhiku saat kita bermain di arena Exoplanet Games.”

.

.

.

.

.

“Jong In-ah, Ppali!”

Jong In mengejar Se Hun yang sudah sampai terlebih dahulu di ruang registrasi. Ia menarik jaket Se Hun, dan menghadapkan wajah putih itu di depan wajahnya. Ia siap untuk menyembur Se Hun dengan amarahnya.

“Diam kau! Siapa suruh kau membangunkanku dengan menyiram air dingin?”

Sebagai pertahanan diri, Se Hun memukul punggung Jong In dengan keras—dan membuat pemuda berkulit tan itu memekik kesakitan. “Itu salahmu sendiri yang susah dibangunkan, Pabbo! Kenapa kita tidak berteleporta—HMPH!” belum sempat kalimatnya diselesaikan, mulut Se Hun dibungkam paksa oleh Jong In.

Pabbo! Tidak boleh ada orang yang tahu kalau aku bisa teleportasi!” bisik Jong In kesal sembari menunjuk hidung mancung Se Hun, “tentu saja pengecualian itu hanya buat kau, Oh Se Hoon!”

 Se Hun melepaskan diri dari bekapan Jong In, kemudian pemuda berkulit putih susu itu menatapnya dengan ekspresi mengejek, “Hah! Bilang saja kau tidak tahu dimana aula pemerintahan Theoul, dasar Kkamjong jelek!”

“Diam, Cadel! Awas kau ya—”

“Maaf, bisa cepat tunjukkan identitas kalian sebagai tributes Exoplanet Games?”

Suara wanita yang terdengar sedikit ketus itu memotong debat Jong In dan Sehun. Kedua pemuda berumur 18 tahun itu hanya memasang cengiran serta ucapan “Maaf.” dengan wajah menahan malu.

Setelah proses penyerahan dan verifikasi curriculum vitae, surat pernyataan diri kesanggupan untuk mengikuti Exoplanet Games, serta hasil pemeriksaan fisik,  kedua pemuda itu memasuki lorong bernuansa metal yang akan menghubungkan mereka ke ruang konferensi.  

“Aku tidak sabar ingin bertemu Lu Han-hyung.” bisik Se Hun saat mereka berjalan beberapa langkah di lorong metal itu.   

“Kita ke ruang konferensi dulu, Sehun-ah. Siapa tahu Lu Han-hyung ada di sana.”

.

.

.

.

.

“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku, Soo?” tanya Joon Myun ketika mereka berdua sampai di sebuah tanah lapang yang hanya dipijaki oleh dirinya dan Kyung Soo. Ia sama sekali tidak mengerti dengan rencana Kyung Soo kali ini, “Kenapa kita harus ke tempat ini? Dan kenapa aku harus berdiri menjauh darimu?”

“Jangan kaget ya, Hyung,” Kyung Soo memejamkan matanya sejenak, kemudian ia meloncat dan kaki menghentak bumi dengan cepat.

‘BUM!’

Joon Myun bahkan tidak bisa mengekspresikan rasa kagetnya karena ia jatuh terduduk setelah getaran bumi menghantam keseimbangannya. Bahkan dalam radius sepuluh meter pun, getaran itu masih terasa. Kyung Soo berlari ke arahnya dan membantunya berdiri.

“Soo...” Joon Myun menatap tajam Kyung Soo. Kyung Soo merasa aneh dengan sahabatnya. Baru kali ini Joon Myun menatapnya setajam itu.

Waeyo, Hyung?” tanyanya.

“Seharusnya kau jangan menunjukkan kekuatanmu di sini. Itu berbahaya,” Obsidian Joon Myun melihat sekelilingnya dan menarik napas lega ketika tahu hanya ia dan Kyung Soo yang berada di lapangan hijau itu. “Lagipula aku kan tidak memaksamu untuk menunjukkan kekuatanmu.”

“Bahaya apa yang kau maksud, Hyung?”

“Aku khawatir ‘musuh’ kita mengetahui kekuatanmu dan akan memanfaatkanmu. Jadi—“

“Kau terlalu paranoid, Hyung.” Kyung Soo menarik tangan Joon Myun dan mengajaknya masuk ke sebuah lift menuju ruang konferensi. “Kajja! Kita langsung masuk ke ruang konferensi!”

Joon Myun merasa bulu kuduknya merinding saat ia dan Kyung Soo berada di depan pintu ruang konferensi. Bukan karena takut dengan tributes yang berada dalam ruang konferensi, tetapi karena ia merasa salah satu diantara mereka pasti telah mengetahui kekuatan Kyung Soo.

—Ia harus menjaga Kyung Soo lebih ketat.

.

.

.

.

.

Sekitar lima puluh meter dari tempat Kyung Soo dan Joon Myun tadi, dua pemuda Korea yang mewakili distrik Guanzhong baru saja menetralisir kekagetan mereka akibat gempa buatan Kyung Soo.  Mereka berdua saling berpandangan, menerka apa yang baru saja terjadi.

“Tadi itu gempa ya?” tanya Min Seok.

Jong Dae mengangguk pelan. Ada yang mengganjal di dalam pikirannya, “Sepertinya iya. Tapi kenapa aku merasa getaran tadi bukan gempa biasa ya?”

“Maksudmu apa, Jong Dae?”

“Ada seseorang yang sengaja membuat gempa,” Jong Dae mengusap tengkuknya yang mendirikan bulu romanya, “dan dia adalah seorang terrakinesis.”

“Ternyata bukan aku saja yang punya firasat seperti itu,” Min Seok menatap lurus Jong Dae yang menatapnya bingung.  “dan firasatku kurang lebih sama denganmu.”

“Maksud Hyung?” tanya Jong Dae tidak mengerti.

“Sepertinya kau tidak membaca surel ucapan ‘Selamat Menjadi Tributes Exoplanet Games’* dengan seksama ya?”

Jong Dae hanya mengangkat bahunya. Tidak ada yang istimewa menurutnya di dalam surel yang bersarang di memori ponselnya itu. Min Seok menghela napas kemudian memasang reaksi wajah datar yang jarang diperlihatkan pada Jong Dae. Satu hal yang membuat dahi Jong Dae berkerut bingung.

“Kedua belas tributes yang akan bermain di Exoplanet Games semuanya memiliki kekuatan pengendalian elemen alam, jadi kau, aku, serta sepuluh tributes lainnya punya kekuatan elemen.” Tiba-tiba Jong Dae dikejutkan oleh perubahan cepat raut wajah Min Seok dari datar menjadi ceria lagi,  “Oh ya, kau punya kekuatan apa, Jong Dae-ah?”

“Kasih tahu nggak ya...”

Spontan Min Seok memukul punggung Jong Dae hingga pemuda berwajah ramah itu memekik kesakitan.

.

.

.

.

.

Beberapa menit sebelum registrasi Exoplanet Games ditutup, terlihat dua siluet berbeda tinggi badan berlari menuju ruang registrasi. Terdengar omelan-omelan dari mulut kedua pemuda berkewarganegaraan Korea Selatan itu dan omelan-omelan tersebut semakin pedas saat di ruangan registrasi. 

“Ini semua salahmu, Byun Baek!” tuding Chan Yeol sambil menunjuk wajah imut pemuda di sampingnya, “Siapa suruh kau mematikan jam weker? Gara-gara kau, kita jadi bangun kesiangan!”

Merasa tidak bersalah, Baek Hyun balik menyemprot pemuda tinggi di depannya, “Pabboya Yeolie! Jelas-jelas kau meletakkan jam weker itu tepat di samping telingaku! Bunyi jam weker sialan itu hampir membuatku tuli tahu!”

“Kau yang salah, Pendek!”

“Pokoknya kau yang salah, Tiang Listrik!”

“Kau!”

“Kau!”

“Bisakah kalian berdua cepat menunjukkan identitas kalian sebagai tributes Exoplanet Games?”

Wanita yang semenjak tadi matanya mengarah pada layar LED laptopnya kini menatap sinis ke arah kedua pemuda itu. Kedua pemuda yang ditegur itu meminta maaf, lalu memasang cengiran mereka sambil menyerahkan berkas yang diperlukan untuk registrasi.

“Sudah datang telat dan ribut-ribut di dalam ruang registrasi, masih bisa cengar-cengir. Dasar tidak tahu malu. ”

Cengiran di wajah Chan Yeol dan Baek Hyun hilang tanpa bekas mendengar kalimat sinis yang pelan tetapi berbisa itu. Mereka pun tidak sabar untuk kabur secepatnya dari ruang registrasi itu. 

Ahjumma tadi galak, ya,” Baek Hyun bergidik mengingat wajah wanita jutek di ruang registrasi tadi, “aku sampai takut dimakan olehnya.”

“Kau benar, Baekie,” Chan Yeol mengangguk setuju dan memamerkan deretan gigi putihnya.  

Ketika mereka menemukan dua jalur kanan dan kiri, dahi mereka mengernyit bingung. “Ruang konferensi lewat mana ya?” gumam Chan Yeol sambil mencari tanda penunjuk jalan atau interkom penunjuk jalan, tetapi nihil ditemukan.

“Lewat sana, Yeol.” jawab Baek Hyun sambil arah jalur kanan.

Mimik wajah Chan Yeol terlihat ragu melihat jalur yang ditunjuk oleh Baek Hyun. “Bukannya lewat sana ya?” katanya sambil menunjuk arah jalur kiri.

Baek hyun tidak terima petunjuknya disalahkan. “Aish! Kenapa kau malah menunjuk ke arah sana?”

“Karena arah yang kau tunjukkan salah, Pabboya Baek Hyun!”

“Kau ini—“

“Kalian berdua sedang bingung mencari ruang konferensi ya?”

Dua orang yang mulai bertengkar (lagi) itu menoleh dan menemukan tiga pemuda berjalan mendekati mereka berdua. Seorang bermata setajam musang dan beraksen korea itu menawarkan bantuan kepada Baek Hyun dan Chan Yeol.

“Bagaimana kalau kalian ikut dengan kami saja? Kami juga mau ke ruangan itu.”

Tentu saja Baek Hyun dan Chan Yeol tidak akan menolak tawaran bagus itu.

.

.

.

.

.

Ruang bagian kontrol gedung pemerintahan Seoul masih sunyi. Hanya ada dua orang yang mengawasi tributes dari pintu masuk, ruang registrasi, hingga sampai di ruang konferensi lewat layar yang terhubung dengan CCTV. 

Awalnya dua orang itu sibuk dengan kegiatannya sampai seorang pria berjas putih dipenuhi lencana itu bertanya kepada dua orang controller CCTV itu, “Apakah semua tributes sudah berkumpul di ruang konferensi?”

“Dua tributes dari Korea belum hadir, Jendral. Mereka sedang menyelesaikan registrasi,” jawab pemuda bersurai hitam yang dibalut dengan seragam abu-abu. Ia menekan tombol ‘pause’ dan memutar kursi berodanya untuk bertatap muka dengan atasannya, “Dan ternyata mereka memang bukan tributes seperti tahun sebelumnya. Saya melihat jelas bahwa salah satu tribute dari distrik Myeondong memiliki kekuatan terrakinesis.”

“Ya. Semua tributes yang mengikuti Exoplanet Games tahun ini memang memiliki kekuatan elemen yang luar biasa.”  Pria dengan balutan jas putih yang dipenuhi lencana itu menatap layar CCTV yang tengah menampilkan gambar dua belas tributes di ruang konferensi, “Tributes kali ini mempunyai kekuatan telekinesis, quantumkinesis, terrakinesis, chronokinesis, aerokinesis, hydrokinesis, pyrokinesis, electrokinesis, cyrokinesis, vitakinesis, dan lunakinesis.”

Sementara salah satu controller CCTV yang bersurai pirang mencatat kekuatan yang disebutkan oleh atasannya,  pria berpangkat jendral itu menatap bawahannya yang lain sambil memberikan sebuah microchip yang masih tersegel kepada pemuda bersurai hitam itu. “Masukkan jenis kemampuan mereka ke dalam microchip ‘medan perang’ Exoplanet Games ini, karena kita akan menyiapkan pelatihan fisik yang berbeda untuk mereka di medan perang Exoplanet Games nanti.”

“Siap laksanakan, Jendral!” jawab pemuda bersurai hitam itu. Ia menyerahkan microchip itu kepada rekannya dan mulai mentransfer klasifikasi kekuatan para tributes ke dalam microchip itu.

Sementara Sang Jendral menatap dua belas gambar yang ditampilkan layar dari kamera CCTV. Dua belas tributes, dengan sebelas kekuatan berbeda. Sepasang obsidian itu menatap ragu dua belas gambar itu.

(‘Apa kalian siap mati untuk melindungi negara, wahai semua tributes?’)

.

.

[RUANG KONFERENSI]

.

.

Ketika para tributes memasuki ruang konferensi, mereka menyangka ruangan ini adalah bioskop dengan tempat duduk dan meja yang disusun berundak-undak. Ada layar LED besar berukuran 200 inci menempel di dinding sebagai pusat presentasi. Mereka dibuat kagum dengan berbagai interior (bahkan bahan kursi dan mejanya) terbuat dari bahan metal yang dibuat menyerupai kayu jati, serta patung, guci dan lukisan yang ditaksir harganya mencapai ratusan juta won.

Ruang konferensi yang biasanya dipakai para menteri untuk mengadakan sidang dan konferensi singkat, kini berubah menjadi ruangan yang menjadi pertemuan tidak resmi calon pemimpin perang masa depan. Ruangan berkapasitas normal seratus orang itu akan diisi oleh dua belas orang tributes, dua orang pemenang Exoplanet Games tahun sebelumnya dari kubu EXO-K dan EXO-M, enam panitia penyelenggara Exoplanet Games dari pihak Korea Selatan, dan satu pembaca tata cara masa karantina di Exoplanet Games.

Sampai pukul tiga sore, ruang konferensi hanya berisi delapan orang tributes yang duduk di deretan kursi terdepan. Min seok dan Jong Dae awalnya memisahkan diri sampai Lu Han mengajak mereka untuk mengobrol. Lu Han juga sempat mengobrol dengan Yi Fan dan Tao, bahkan menyapa Joon Myun dan Kyung Soo yang tidak satu domisili dengannya dengan bahasa Korea. Kali ini Yi Xing tidak mengerti pola pikir dari kakak sepupunya itu. 

“Kenapa kau menyapa tributes dari Korea? Bukankah mereka akan menjadi musuhmu di medan perang nanti?”

“Memangnya kenapa? Andaikan mereka benar-benar menjadi musuhku aku tidak akan menyesal. Aku hanya ingin menyapa mereka, itu saja.”

Seringkali Yi Xing dibuat kagum dengan pola pikir Lu Han. Lu Han punya daya tarik tersendiri untuk dikagumi—bahkan dicintai.

Perhatian sebagian tributes beralih pada dua orang pemuda yang baru saja memasuki ruang konferensi. Mata Lu Han membelalak saat melihat siapa yang memanggil namanya dan datang menghampirinya.

“Lu Han-hyung!”

“Se Hun-ah!”

Kedua pemuda beda negara itu berpelukan, melepaskan rasa rindu mereka yang hanya bisa bertatap muka setahun sekali. Sementara tributes lain menoleh ke arah mereka berdua dengan tanda tanya bergerombol di kepala.

Yi Xing melihat Se Hun dari atas kepala hingga bawah kaki. Figur ‘adik’ Lu han ini agak rancu karena tinggi badan Lu Han lebih pendek dibandingkan dangan ‘adik’nya. “Jadi... ini didi-mu, Lu Han-ge?”

“Tentu saja, Yi Xing. Se Hun, ini sepupuku, Zhang Yi Xing.”

Se Hun memberikan senyum kepada Yi Xing dan membungkukkan sedikit badannya, dan dibalas Yi Xing dengan sikap yang sama.

“Kamu yang bernama Oh Se Hoon kan?” tanya Joon Myun antusias. Jari telunjuknya menunjuk ke arah Se Hun, “Yang mengajukan diri menjadi tributes Seoul kan?”

Jawaban Se Hun untuk Joon Myun hanya anggukan kepala. Senyumnya terulas bangga karena namanya ternyata dikenal oleh tributes lain.  

“Kenapa nama keluarga kalian berdua berbeda? Padahal kalian kakak adik?”

Kini Se Hun dan Lu Han saling berpandangan mendengar pertanyaan dari Yi Fan. Lu Han berdehem dan siap menjawab berondongan pertanyaan itu,

“Sebelum meninggal di medan perang distrik Haidian dengan distrik dari Korus, orangtuaku menitipkanku pada ibu Se Hun. Waktu itu umurku tujuh tahun dan Se Hun masih tiga tahun. Waktu itu orangtuaku berkata kepada ibu Se Hun,

(“...Jika dalam perang nanti kami tidak selamat, tolong rawatlah Lu Han sampai ia berumur tujuh belas tahun. Jika ia sudah berumur tujuh belas tahun, berilah ia alamat dan nomor ini. Itu alamat rumah dan nomor telepon adik perempuan saya.”

...ternyata orangtuaku tidak selamat dari perang itu...”

“...Haidian sedang dalam krisis moneter yang sangat parah, kami tidak bisa menitipkan Lu Han pada mereka saat ini...”)

Lu Han menghela napas berat dan menyunggingkan senyum tipisnya. Menceritakan masa lalunya bagaikan membuka luka lama. “...Karena itulah aku dan Se Hun tidak memiliki nama keluarga yang sama.”

Yi Fan merasa tidak enak melihat senyum Lu Han yang terkesan dipaksakan, “Tui bu qi, aku tidak tahu kalau kau—“

Mei guan xi, Yi Fan. Banyak orang juga yang heran saat aku bilang Se Hun itu adikku.”

“Tapi wajah kalian berdua mirip, lho!” seru Tao masih tidak percaya.

“Bahkan aku sempat menyangka kalian benar-benar kakak adik kandung.” tambah Min Seok.

Mata bulat Kyung Soo menatap Se Hun dan Lu Han bergantian, kemudian mengernyitkan dahinya. “Tapi Se Hun terlihat seperti kakaknya Lu Han.”

Tawa Jong In meledak mendengar pernyataan dari Kyung Soo. Se Hun memukul bahu Jong In dengan keras sampai si pemilik bahu mengaduh kesakitan. Gelak tawa pun keluar dari mulut tributes lain.

Atmosfer tegang yang meleleh itu mulai mengeras kembali saat lima orang datang memasuki ruang konferensi. Dua orang dari lima orang itu memisahkan diri dan bergabung di tempat tributes duduk berjajar.    

Tributes yang terhormat, mohon segera menduduki tempat yang disediakan karena acara persiapan anda semua sebagai tributes Exoplanet Games akan segera dimulai.”

Para tributes yang berdarah asli China—dan tidak pernah tinggal di Korea—langsung menyalakan alat translator yang terpasang di telinga mereka, karena pembaca tata cara masa karantina Exoplanet Games berbicara dengan bahasa Korea.

.

.

.

Setelah tata cara masa karantina Exoplanet Games dibacakan, dua pemuda tampan berpostur tinggi  mulai menyita perhatian para tributes. Mereka berdua berdiri berdampingan, dengan sorot mata tajam menatap dua belas tributes dihadapannya. 

“Kami berdua adalah tributes Exoplanet Games yang berhasil mendapatkan skor tertinggi dibandingkan dengan tributes lainnya yang menang berdasarkan personal,” pemuda beraksen Korea itu mulai mengenalkan dirinya dan orang disampingnya, “Namaku Jung Yun Ho. Aku adalah pemenang Exoplanet Games tahun ke-26.”

“Dan namaku Han Geng. Aku pemenang Exoplanet Games tahun ke-23,” Pemuda dengan aksen China itu mengenalkan dirinya, “kami adalah mentor kalian. Jadi kalian bisa bertanya hal-hal yang berkaitan dengan Exoplanet Games, seperti strategi untuk bertahan, melumpuhkan musuh dalam keadaan terdesak tanpa membuatnya mati, dan sebagainya.”

Yun Ho menekan tombol pada remote control  yang sedari tadi berada di genggamannya. Terpampang dua kolom dengan tulisan EXO-K dan EXO-M di layar 200 inci tadi, “Dua belas tributes akan dibagi menjadi dua kubu berdasarkan domisilinya. Dua kubu tersebut adalah EXO-K DAN EXO-M,” Ia menekan tombol lain yang memunculkan nama tributes yang masuk dalam kubu EXO-K, “tributes yang masuk ke dalam kubu EXO-K adalah Kim Joon Myun, Byun Baek Hyun, Park Chan Yeol, Kim Jong In, dan Oh Se Hoon.”

Han Geng menekan tombol remote-nya, kemudian layar LED itu memunculkan keenam nama tributes yang masuk dalam kubu EXO-M. “Dan tributes yang masuk ke dalam kubu EXO-M adalah Wu Yi Fan, Lu Han, Zhang Yi Xing, Kim Min Seok, Kim Jong Dae, dan Huang Zi Tao.” Han Geng menatap dua tributes yang berbeda tinggi dan kewarganegaraan itu dan memanggil nama mereka, “Untuk Kim Joon Myun dan Wu Yi Fan,”

“Kalian berdua kami tunjuk sebagai leader dari kubu EXO-K dan EXO-M.”

Joon Myun maju dengan ekspresi canggung, sementara Yi Fan maju dengan tetap memasang wajah tanpa ekspresinya. Mereka berdua menerima kalung dengan liontin bertuliskan EXO sebagai tanda bahwa mereka adalah leader dari kedua kubu.

“Masing-masing tributes dari masing-masing kubu harus menaati perintah yang diberikan oleh leader kalian. Merekalah yang akan menjadi penghubung kalian dengan semua orang selama kalian dalam masa karantina bahkan saat Exoplanet Games berlangsung.” sambung Yun Ho. Ia pun membungkukkan badannya sebagai tanda hormat, “selamat atas diterimanya kalian menjadi tributes Exoplanet Games.”

Kedua belas tributes pun menyunggingkan senyum dan melakukan gestur membungkukkan badan kepada mentor terhebat mereka.

.

.

.

Setelah mentor Exoplanet Games memperkenalkan diri dan membagi dua belas tributes menjadi dua kubu, masuklah tiga orang pria berseragam jas abu-abu dan tiga wanita berseragam blazer abu-abu. Kedatangan enam panitia penyelenggara Exoplanet Games itu mulai membuat suasana di ruang konferensi menjadi lebih tegang.

Perwakilan dari keenam panitia penyelenggara Exoplanet Games membuka salam perkenalannya dengan cara yang berbeda. Pria berwajah tegas itu memutarkan potongan-potongan rekaman video Exoplanet Games tahun sebelumnya. Terekam aksi-aksi para tributes yang menghindari kobaran api yang siap untuk membakarnya, aksi tributes yang bertahan melawan harimau mutan, aksi tributes yang menyelamatkan diri dari gelombang tsunami, sampai aksi pertahanan diri tributes dari melumpuhkan musuh sampai benar-benar membunuh musuh dengan cara sadis. Berbagai jeritan dan ekspresi ketakutan terlihat jelas di video itu.   

Exoplanet Games bukan hanya sekedar permainan dan reality show belaka,”

Beberapa tributes yang menyaksikan potongan video tadi bergidik ngeri. Bayangan jika mereka akan bernasib sama dengan tributes dalam video itu muncul tiba-tiba.

—tapi sayang, nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah terlanjur diterima, tidak ada jalan lain selain menghadapinya.

Pria penyaji cuplikan video tadi menyunggingkan senyum—ia sudah terbiasa melihat ekspresi dari para tributes saat melihat videonya. “Dua belas tributes yang berada dihadapanku ini adalah orang-orang terpilih untuk menjadi pemimpin perang di masa yang akan datang. Mereka yang menjadi pemimpin masa depan bukan hanya bisa mengatur strategi saja, tetapi juga membawa dua fusi negara Korea Selatan dan China menjadi negara adidaya.” 

Pertemuan di ruang konferensi itu ditutup dengan dua kalimat tak terduga dari perwakilan penyelenggara Exoplanet Games tadi. Berbagai ekspresi senang, terkejut, bahkan takut tergambar jelas dari wajah tributes.

“Para warga Korea Selatan akan melihat kalian secara personal pada pukul delapan malam nanti,”

“...persiapkan diri kalian untuk disaksikan puluhan ribu pasang mata nanti malam.”

.

.

[To be Continued]

.

.

 

Eka’s Note:

 

* Surat elektronik (surel/e-mail) ucapan ‘Selamat Menjadi tributes Exoplanet Games’ ada di chapter ‘Prologue’ bagian ke 7. Hilangkan tulisan : —bahkan nyawa menjadi taruhannya, dan tulisan: (—dan selamat menyambut ajal kalian.), itulah isi surelnya.

 

Maaf banget sudah mengubah nama Kris dari Wu Fan menjadi Wu Yi Fan. Entah kenapa saya lebih sreg kalau Kris dipanggil Yi Fan ketimbang Wu Fan... TT_TT

 

Pada awalnya saya gak kepikiran untuk masukin orang dari BB lain selain EXO, tapi saya ternyata perlu Yunho dan Han Geng buat jadi pemeran pendukung— *pisau melayang*

 

 Maaf banget fanfic ini telat banget peredarannya~ Banyak yang harus saya edit~ TTATT Makasih buat kalian yang udah baca dan weidoren yang udah mau kasih komentarnya di fanfic ini... TTWTT

 

Akhir kata, komen? :)

P.S.: Saengil Chukkae Hamnida buat Do Kyungsoo dan Kim Jongin~ Semoga makin sukses di EXO~ XD *ditimpuk karena telat ngasih ucapan selamat*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Nadira12
#1
hunger games versi exo!!!! penasaran... mau langsung di next >>>
clairenoona_887 #2
berasa hunger games..
coba dibaca deh :D
DiarraCha #3
Chapter 1: denger cerita.a dri tmen
coba" cari, dapet
nice story :)
adellakrs
#4
Chapter 4: tadi nemu fic ini di exofanfiction dan langsung nagih baca, well, eksekusi yang pas author-nim~ fic yang menegangkan dan bagus untuk saya subscribe :p
Pinkykitty
#5
Chapter 4: Woah baru nemu fic ini dan langsung baca marathon.

Jadi dibagi menjadi dua kubu. K dan M?
Wah jangan ada yg mati dong author!
Kasian.. :(
Di film Hunger Games nya yg hidup sisa 2 kan? Mudahan versi ficnya semuanya deh! :D

Oh iya td semper jingkrak juga saat baca Yunho jadi mentornya (padahal cuman jd cameo XD). Terus kirain si Changmin juga eh tp sekalinya malah Hangeng.
*jiwa Cassie keluar*

Update soon ya thor!! Jangan kelamaan! :D
Eunki23 #6
Chapter 4: Wahhh bagus kok ^^
Aku cukup penasaran dg metode pertandingan bertahan hidup mereka
Dikarenakan mrka kan punya kekuatan elemen
Menggabungkan kekuatan elemen dg cerita hunger games
Kreatif, ditunggu mext chap nyaa
amusuk
#7
wow, baru smpet bc chap 1, udah bikin penasaran. Interesting -_,-
weirdoren
#8
Chapter 4: BAGUSSS UPDATE LAGI JUSEYO!!!!!
weirdoren
#9
UPDATENYA PLISEUUU asli penasaran gimana nasib sehun ._.
nora50
#10
Kpn diupdate? M tau lanjutannya pliz...i love action story!