tiga

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

Semenjak Hana sadar soal perasaannya yang timbul secara tiba-tiba itu, ia pun tidak tahu apa yang mendasari dirinya bisa menyimpulkan demikian. Bisa jadi perkataan Cindy benar, bisa jadi feelingnya yang benar.

 

Ketika keesokan harinya, Cindy bertanya tentang apa yang meyakinkan Hana, ia pun tidak bisa menjawabnya. Mungkinkah karena terbiasa dan terlanjur nyaman dengan temannya itu? Atau mungkin perasaan itu hanyalah untuk validasi agar ada nama yang jelas di antara perilaku mereka yang kelewat berteman itu?

 

Yang ia tahu, tidak ada alasan bagi dirinya untuk tidak jatuh hati dengan Anggi.

 

Begitupun dengan orang-orang di sekitar mereka. Sudah ada banyak cerita yang Hana dengar terkait pernyataan cinta secara terang-terangan maupun bergerilya. Yah…mau gimana lagi? Anggi memang idaman semua orang. Hana pun yakin, dalam lubuk hati Cindy, anak itu juga pasti mengagumi sosok Anggi, meskipun seringkali ia lebih menunjukkan sisi judgemental-nya.

 

Tetapi anehnya, Hana tidak pernah mendengar satupun pernyataan cinta yang diterima oleh Anggi. “Bukan tipe gue,” katanya. Meskipun Hana tidak salah lihat bahwa deretan manusia itu good looking dan punya banyak kelebihan yang bikin orang-orang iri.

 

Jadi maunya anak ini apa, sih?

 

Apalagi terkait jawabannya tempo hari. “Jangan gue?” Apa coba maksudnya? Apakah Hana memang tidak menarik di mata Anggi? Tidak cocok untuk ia jadikan pasangan? Apakah selera mereka begitu berbedanya sampai tidak bisa ditoleransi oleh Anggi? Ataukah memang Anggi tidak pernah melihat diri Hana lebih dari seorang teman?

 

“Gue lagi ga pengen pacaran main-main. Apalagi kerjaan gue beresiko banget buat jalanin hubungan yang serius. Bisa nimbulin banyak masalah ntar,” beber Anggi ketika mereka tengah bersantai di balkon apartemen Hana. Tempat yang terkadang mereka gunakan untuk quality time berdua ketika Anggi datang menginap, seperti malam ini.

 

Hana mengernyitkan dahinya. “Trus yang kemarin di Bali itu apa? Katanya lagi pedekate?” Sindir Hana sambil menjentikkan batang nikotin di antara jemari tangannya. Abu sisa bakaran itu pun rontok di permukaan air dalam cup kertas.

 

Anggi mendengus mendengarnya. Sebuah senyum berusaha untuk ia tahan keluar dari bibirnya. “Main-main doang itu, kebetulan sekamar. Lagian ternyata ga cocok juga. Kan tadi gue bilang hubungan yang serius,” balas Anggi sambil menekankan kata-kata yang di akhir.

 

Jadi hubungan serius apa yang Anggi maksud? Membuat Hana kembali penasaran. “Kalo misal sama gue? Berani nyoba ke serius ga?”

 

Anggi pun tidak langsung menjawab, membuat Hana was-was menghisap rokoknya kembali.

 

Cukup lama Anggi memandang hamparan lampu gemerlap kota di hadapannya, sampai akhirnya ia pun menoleh ke arah Hana dan menjawab, “Kurang serius apa sih, temenan gue sama lo?”

 

Mendengarnya, Hana pun mendengus. “Kan cuma temen, Nggi.”

 

Rokok Anggi akhirnya ia hisap kembali. Lalu kepalanya berpaling ke arah lain untuk menghembuskan asapnya. “Kita yang temenan gini-gini aja gue udah seneng banget,” jawabnya sambil menunjuk antara dirinya dan Hana, “kenapa harus ngasih label yang lain?”

 

Jika saat ini mereka ada di sebuah setting kartun atau anime, sudah pasti wajah Hana akan diibaratkan dengan ekspresi anak anjing yang terpuruk. Telinganya lunglai, alisnya turun, matanya sayu, sudut bibirnya melengkung, dan pundaknya pun turun.

 

“Gue juga merasa ga perlu punya pasangan kalo bisa punya banyak temen yang bisa diajak seneng-seneng. Pergi bareng, ngobrol, deep talk. Makanya gue paling suka kalo ada temen gue yang putus,” Anggi pun terkekeh, “jadi bisa punya banyak waktu sama mereka lagi. Apalagi kalo punya temen sesama jomblo.” Tangan Anggi meraih puncak kepala Hana dan mengacaknya ringan, membuat Hana menggerutu sebal.

 

“Lagian gue lagi ada di puncak karir, Na. Masih mau puas-puasin eksplor hal-hal yang gue mau dulu.” Batang nikotin yang hampir habis itu dihempaskan Anggi sepenuhnya ke dalam cup ‘asbak’.

 

“Gue ga mau ada penghalang. Gue masih mau bebas. Itu sih,” kata Anggi sekaligus menyudahi sesi sebatnya. Sebelum dirinya melangkah masuk ke dalam apartemen Hana, Anggi pun menambahkan, “Oh, Na. Gue ga tahu, beberapa hari ini lo bercanda atau beneran, tapi lebih baik……jangan sama gue. Lihat tuh barisan orang yang ngantri buat lo.”

 

Tapi kalo guenya cuma mau sama lo, gimana? Teriak Hana dalam hati, sambil memandangi punggung Anggi yang perlahan menjauhi dirinya.

 

 

 

Hana akui, dirinya memang sudah jatuh hati pada Anggi. Tidak ia ragukan lagi perasaannya ini. Cinta memang seringkali tidak logis, sehingga dirinya pun tidak mau berpikir panjang lagi tentang alasan mengapa dirinya tiba-tiba bisa terpikat dengan kawan baiknya itu.

 

Bisa jadi memang karena Anggi selalu ada ketika Hana butuh tempat untuk cerita, entah itu senang, sedih, kecewa, marah, ataupun jengkel dan bingung. Bisa jadi karena mereka berdua sudah saling percaya, bahkan Bunda juga sudah kenal dengan Hana, sehingga intensitas mengizinkan anaknya untuk menginap di apartemen Hana bukanlah suatu masalah lagi. Bahkan sudah bisa dianggap sebagai rumah kedua Anggi, dengan keberadaan sikat gigi tambahan dan beberapa helai pakaian di kamar itu. Bisa jadi karena saling percaya itulah, mereka semakin nyaman satu sama lain. Tidak ragu untuk melakukan kontak fisik, baik itu di ruang privat maupun publik.

 

Sehingga sekarang, dengan realita yang ada, Hana harus berpikir ulang tentang dirinya. Apakah ia akan tetap mempertahankan perasaannya yang mulai tumbuh? Atau melepaskannya saja? Mendengar bahwa sangat kecil kemungkinan dirinya bisa mendapatkan respons yang sama dari Anggi.

 

 

 

Hana membenamkan wajahnya di guling yang sedang ia rengkuh. Jika sifat manis dan suportif Anggi bisa membuatnya memekik dalam dekapan guling, bagaimana dengan kelanjutan nasib perasaannya?

 

Jujur ia tidak ingin kehilangan hal ini begitu saja, meskipun jelas bahwa temannya itu sudah menolaknya secara halus.

 

Tetapi ada hal yang sedikit mengganjal dirinya. Ketika Anggi bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Seakan perasaan Hana bukanlah sebuah masalah penting, yang bisa dilupakan begitu saja.

 

Tidak mungkin kan, kalau Anggi tidak aware dengan perasaan yang Hana miliki terhadap dirinya? Setelah ia menyatakan kode itu secara lantang beberapa kali.

 

Atau mungkin…

 

Memang Anggi tidak tahu?

 

 

 

Hari Sabtu adal

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet