Take 1: Downtown

Cinnamon Sugar // yejisu;
Please log in to read the full chapter

Weker pada nakas menunjukan pukul dua dini hari namun ada sepasang manik yang belum bisa terpejam. Manik indah yang sedang mengadah menatap langit malam yang dengan angkuh mempertontonkan rembulan cantik dengan sinar emasnya.

Sudah menjadi kebiasaan Pemuda itu jika dirinya belum bisa memejamkan mata ditengah kebanyakan orang yang telah terbalut pada alam mimpi mereka. Mengistirahatkan tubuh sembari menunggu hari esok yang lebih keras untuk tiba.

Disinilah dirinya, duduk menyendiri dalam gelap pada balkon apartementnya ditemani sebuah nyawa yang tengah tidur terlelap disampingnya. Sesekali tangannya yang bebas membelai lembut Labrador hitam—Bogo yang telah genap berusia satu tahun— setelah Bex —Chatcher inti— dari team Baseballnya menyarankannya untuk mengadopsi seekor anjing hanya untuk sekedar menemani dirinya ketika isi kepalanya masih berperang dalam diam.

Tahu betul saran itu benar, Pemuda itu melakukannya, setidaknya Ia tidak terlalu mereasa kesepian.

Kebiasaan buruk yang kini menjadi rutinitasnya ketika Ia kembali terjebak rasa penyesalan dari masa lalu. Hal yang selalu menggantung dan menghantuinya semenjak pertemuan terakhir itu. Pemuda itu selalu mengutuk dirinya, menyalahkan semua yang telah terjadi dimasa lalu kepada dirinya sendiri. Penyesalan yang tak seharusnya terjadi jika Ia tidak menjadi seorang pecundang dengan kedok berhati mulia(?).

Pemuda itu muak menyadari betapa bodoh dirinya di masa lalu. Menyesali mengapa Ia memutuskan untuk menyerah dalam cintanya dan lebih memilih persahabatan— yang kini hanya menjadi sebuah kata yang tak berarti— dan membuatnya menjadi pecundang paling bodoh sepanjang masa. Ia menyesalinya, sungguh menyesalinya.

Seperti biasa LA tidak tidur. Gemerlap lampu jalanan dari kejauhan membentuk titik - titik kecil yang tampak seperti taburan bintang yang menyelimuti daratan Bumi. Bahkan suara klakson dan kebisingan kota terdengar menggema diantara gedung – gedung yang menjulang tinggi. Kota ini memiliki banyak kenangan selama delapan tahun terkahir. 

Kota yang menjadi saksi manis pahit dirinya meniti karir sebagai pemain Baseball Professional. Kota yang juga menjadi pelarian dari penyesalan masa lalunya.

Ditambah dengan keadaan langit yang sangat cerah malam ini, taburan bintang menyelimuti galaksi yang bahkan bisa Ia lihat dengan mata telanjangnya, namun sayang berbanding terbalik dengan hatinya— yang tengah tak baik – baik saja.

Hazelnya menatap bulatan indah pada lautan bintang yang nampak sangat cerah. Bulatan yang selalu berhasil membuatnya kagum dan memuji kuasa dari Pencipta Semesta, menciptakan permata indah yang selalu hadir di dalam setiap puisi dan syair cerita cinta.

Permata yang juga selalu Pemuda itu bagi dan bisikan semua rahasia dan kerinduannya dari lubuk hatinya. Memohon agar suatu hari nanti, Sang Pemilik Malam— bisa membisikan rindunya kepada gadis itu.

Kepala Pemuda itu menggeleng pelan ketika senyum tipis tergores disana. Gadisnya itu. Ah, bisakah Ia menyebutnya begitu?

Gadis yang selalu berhasil mempengaruhinya untuk tersenyum ketika maniknya menangkap lengkungan indah pada paras ayunya.

Gadis yang berhasil membuat jantungnya berdegub lebih cepat ketika telinganya mendengar kalimat – kalimat semangat dari pinggir lapangan.

Gadis yang berhasil membuatnya selalu tak bisa tertidur pada malam hari ketika Ia berhasil membuat gadis itu tertawa dengan lelucon bodohnya.

Gadis yang berhasil memberikan kupu – kupu yang berputar pada perutnya atau sembruat merah pada pipinya ketika mereka berbincang ringan di dalam kelas.

Gadis yang Ia selalu nanti kehadirannya. Gadis dan penyesalannya yang sudah tak berarti.

Gadis itu— gadis yang telah menjadi milik orang lain, gadis yang selalu Pemuda itu harapkan selalu berbahagia dengan orang yang telah Pemuda itu percayai dan telah berjanji akan selalu membahagiakan gadisnya itu.

Akalnya menerka – nerka.

Apa yang tengah gadis itu lakukan sekarang?

Apa gadis itu baik – baik saja?

Apa gadis itu masih mengingatnya?

Apa gadis itu masih menyisakan ruang untuknya?

Karena Iya, Pemuda itu masih terperangkap dalam magis indah yang bernama jatuh cinta, dan hanya kepada gadis itu.

Getaran pada meja disampingnya membangungkan Pemuda itu dari lamuannya. Tangan kanannya menarik bendah pipih yang terpampang pada layar, nama yang dikenalnya. Ibunya.

"Yeoboseo, Eomma?" sapa Pemuda itu,

"Apa kau sedang tak bisa tertidur lagi, Luke?" suara lembut Ibunya mengujar diseberang,

Pemuda itu tersenyum kecil mendengarnya, "Aku hanya terbangun Eomma"

"Kau ini, jangan membohongi ku!"

Pemuda itu terkekeh, kalah karena tak bisa menyembunyikan hal itu dari Ibunya. Benar kata orang jika insting seorang Ibu tidak akan pernah bisa dibohongi, "Maafkan aku Eomma, ada apa Eomma menelepon?"

"Hyung dan Noona mu akan datang pada liburan natal nanti, apa kau jadi mengambil cuti? Aku merindukan putra ku" kerinduan pada kalimat yang terujar dapat ras

Please log in to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet