2 - Tentang(nya) 06 : 08

[✔] NALADHIPA ||

Seoul, 14 Augustus 2013

  Distrik Gangnam, salah satu pusat perekonomian kota yang terkenal akan kemegahan bangunannya. Siapa yang dapat mengelak fakta itu?

  Memang terlihat mengagumkan dan mewah, tapi Gangnam adalah sasaran empuk bagi para penjahat kelas kakap untuk melakukan tindakat bejat.
Hey! Dengan fasilitas selengkap itu, memang siapa yang tidak tergiur?

  Anggap saja wilayah Gangnam sebagai lokasi pengundang setan. Banyak club, tempat judi, perdagangan haram, pencurian dimana-mana, dan di mobil pun agaknya menjadi hal yang lumrah.

  Pantas saja, sepertinya malaikat pun enggan menjaga kawasan itu hingga ancaman seperti teroris dan pengeboman sudah tak dapat dielak lagi.
 

Malam itu, pusat perbelanjaan terbesar di Distrik Gangnam menjadi sasaran empuk dua komplotan teroris kelas kakap.

  Tiap penjuru gedung Mall sukses dikepung oleh mereka, dan seluruh manusia yang ada di dalam sana telah di sandra.6
Bagian swalayan adalah yang terparah. Tempat itu menjadi tempat pertemuan antara dua kubu yang saling bermusuhan.

  Entah apa yang mereka ributkan, namun salah satu diantaranya mendadak melempar sebuah bom di tengah-tengah kerumunan yang tengah ketakutan. Seketika keadaan menjadi sangat tak terkendali.

  Disaat para pengunjung mall sedang berusaha menyelamatkan diri, dua kubu penjahat itu malah sibuk bertarung demi menunjukkan siapa yang paling berkuasa disana. Tidak peduli berapa korban jiwa dan apa yang saja yang dirugikan atas perbuatan mereka.

  Swalayan mall menjadi medan perang yang mengerikan. Rak-rak yang tadinya rapi, kini sudah tumpang tindih tak beraturan.

  Orang-orang berlarian menginjak, dan diinjak. Sebagian pula telah mati sia-sia tanpa perlawanan.

  "Bundaa!!!" seorang anak berusia sekitar 12 tahun berteriak panik mencari keluarganya yang terpisah. Ia sendirian, berada ditengah-tengah para teroris yang saling beradu senjata.

  "Kookie!! Kakak disini!" melalui teriakan adiknya, sang kakak akhirnya dapat mengetahui keberadaan anak itu.

  Namun naas, kala tangannya belum sempat meraih lengan kecil adiknya, dirinya malah terkena tembakan tepat di ulu hati hingga membuatnya limbung seketika.

  "Tidak kakak!! Jangan!!" Kookie, bocah itu akhirnya menangis kencang hendak menggapai tubuh lemah kakaknya, tetapi tanpa sengaja ia malah terkena tendangan dari salah satu orang yang tengah bertarung disana hingga tubuh kecilnya kemudian terpental membentur rak sebelum akhirnya rak itu jatuh menimpa tubuhnya.

  Kookie kecil menghilang dari pandangan Taehyung sebelum pemuda tan itu akhirnya jatuh tak sadarkan diri dalam mimpi buruknya.

  

◾▫◾▫◾

"Hahhh!!!" Jungkook bangun terengah dari tidurnya, kemudian mendapati keningnya basah, dan seseorang tertidur dengan posisi duduk di sampingnya berbaring.

  "Ssttt tidurlah lagii.." itu Marvin. Pemuda itu mengelus-elus pundak Jungkook dengan mata tertutup setengah bergumam.

  Sudah dipastikan bahwa dia tengah mengantuk berat sebab semalaman menjaga Jungkook yang mendadak demam.

  Tak menghiraukan Marvin yang bahkan masih terasa berat untuk membuka mata, Jungkook seenak jidatnya bangkit dari posisinya berbaring hingga membuat Marvin terlonjak.

  Orang mengantuk dalam keadaan setengah sadar itu biasanya akan mudah kaget. Dan hal itu berlaku juga untuk Marvin.

  "Ya! Kau-...!"

  "Apa yang terjadi?"

  Melupakan rasa kantuknya, Marvin berdecak gemas sembari mendorong kedua pundak Jungkook agar anak itu kembali berbaring. Ia juga menaikkan selimut yang Jungkook kenakan hingga sebatas dada.

  "Kau kumat begitu sampai rumah. Beruntung ada aku. Kalau tidak, mungkin kau akan terpanggang didalam sini, lalu besok media akan memberitakan tentang kematian mu"

  sekali lagi Marvin berdecak gemas, tangannya pun tak tinggal diam untuk menyentil kening Jungkook sampai membuat pemuda itu sedikit tersentak namun tak berniat memaki.

  Dipikiran Marvin, masih terngiang-ngiang bagaimana Jungkook yang tadinya bilang ingin membuat kopi, namun yang Marvin dapati adalah dimana anak itu tengah menaruh penyemprot serangga di dalam oven.

  Jujur, telat semenit saja maka mereka akan segera menjadi jenazah. Mengingat itu benar-benar membuat Marvin nyaris gila. Dia tahu Jungkook tidak sadar saat itu, tapi sangat mengesalkan juga mengingat Marvin tak bisa menyalahkannya.

  "Sudah ku bilang berulang kali, jangan bawa motor malam-malam, apalagi dalam keadaan mengantuk.

  Lagipula Tuan Ryu juga pasti mengerti keadaanmu. Kau itu selalu membuatku merinding kalau dalam keadaan setengah sadar" omel Marvin.

  Iris Jungkook yang tadinya bertatapan langsung dengan Marvin, kini menurun. Wajahnya berubah seperti ingin menangis dengan sudut bibir yang bergetar tanpa disadari.

  Jungkook jelas merasa bersalah, dan wajah itu selalu menjadi ancaman besar untuk batin Marvin. Dia tadinya masih ingin marah, tapi jadi tidak tega ketika melihat wajah Jungkook.2

  "Akhh...! Kenapa kau selalu menunjukkan wajah seperti itu saat ku marahi?"

  "Maaf..." jujur, kalimat maaf Jungkook yang terucap dengan nada lirih seperti itu selalu membuat Marvin mencelos, ia merasa jadi orang paling jahat di dunia.

  Ia seperti telah menyakiti hati anak polos tak berdosa. Kadang kala Marvin juga berpikir, apakah Tuhan menghadirkan Jungkook untuknya adalah untuk melatih kesabarannya?

  Karena terus terang saja, Marvin tidak pernah bisa marah lama-lama pada Jungkook.

  Tangan Jungkook yang tadinya tersembunyi dibalik selimut, kini bergerak menyentuh pergelangan tangan Marvin hingga membuat pemuda itu akhirnya menunduk menatapnya.

  "Marvin-..."

  "Yugyeom, Jungkook... Kita hanya berdua disini" koreksi Marvin. Oke, mulai dari sini kita harus memanggilnya Yugyeom.

  Jungkook sedikit mengangguk tanpa berniat membenarkan pemanggilan nama pada si teman yang kurang tepat.

  "Terimakasih sudah menolong ku, lagi"
Ucapan Jungkook membuat Yugyeom menarik sudut bibirnya.

  Dirinya sungguh lemah bila dihadapkan dengan Jungkook yang sedang kalem, karena biasanya Jungkook akan lebih banyak diam dan memberi tatapan datar yang menyebalkan.

  Lalu ekspresinya akan jadi sangat mengerikan bila ia sudah berhadapan dengan senjata mematikan. Jungkook hanya akan jadi anak yang manis bila sedang tak berdaya seperti ini.

  "Tidurlah. Aku ada di kamar sebelah jika kau mencariku" ucap Yugyeom lantas bangkit dari kasur setelah memastikan demam Jungkook sudah mereda.

  Dari posisinya berbaring, Jungkook menatap kepergian Yugyeom sampai di dahan pintu pemuda itu mengucap sesuatu yang selalu membuat hati Jungkook menghangat.

  Dan hal itu yang selalu membuat Jungkook sadar, bahwa dirinya tidaklah sendiri disini.

  "Selamat malam, Jungkook. Mimpi indah, kawan"

  "Selamat malam juga, Gyeomie. Mimpiku akan indah malam ini" suara batin Jungkook menggema dalam telinganya sendiri.

  Ia memang terkenal jarang bicara, namun dirinya akan jadi sangat tulus jika sudah menyayangi sesuatu. Sama halnya seperti Yugyeom.

  Mungkin rasa kasihnya pada sang sahabat tidaklah nampak. Namun seperti yang sudah-sudah, Jungkook bahkan berani berkorban nyawa jika terjadi sesuatu pada sahabatnya tersebut.

  Sebab dalam ingatannya yang tersisa selama tujuh tahun silam, Yugyeom lah yang selalu ada untuk Jungkook, mengerti segala kebutuhannya, dan sabar kala menghadapi nya.

  Hal ini yang selalu Jungkook syukuri.

  Meskipun ia telah terpisah dengan keluarganya, Tuhan selalu adil dan tak pernah membiarkannya benar-benar berdiri seorang diri.

  

◾▫◾▫◾

"Yo! Jimin-ah~!" suara lengking menggema itu dengan tidak sopannya masuk ke dalam telinga Jimin, psikiater muda yang tadi niatnya hanya ingin bersantai sejenak tanpa terusik oleh si mulut lebar yang sepertinya sudah hobi untuk berusaha membuat gendang telinganya pecah.

  Jimin berdecak kesal, sebab makhluk tengil di depannya ini jika sudah datang maka tak akan ada hari tenang untuknya.

  "Maaf Kim Taehyung-ssi, kita tidak ada janji konseling hari ini" balas Jimin sekenanya, lalu beralih menyandar di kursi kebesarannya sambil membelakangi Taehyung dengan wajah yang sudah sempurna tetutup oleh map besar berisi data pasien..

  Taehyung berdecak sensi. Ia putar kursi Jimin lantas menyambar buku yang menutupi wajah Jimin hingga sang empu hampir memekik namun gagal, lantaran Taehyung sudah lebih dulu menariknya hingga bangkit dari kursi.

  "Ada menu baru di cafe dekat rumah sakit. Katanya enak sekali. Itu Limited Edition dan sedang ada diskon 50%" seru Taehyung menggebu-gebu. Sungguh berbeda terbalik dengan ekspresi datar bin jengah yang Jimin tunjukkan.

  "Lalu? Inikah alasanmu mengganggu jam tidur ku?"
Terlampau gemas, Taehyung pun memberikan sentilan manja di jidat lebar Jimin.

  "Lupakan jam tidur mu. Kau itu susah banyak hibernasi. Jadilah sedikit produktif, Park Jimin"

  "Ya! Karena dirimu aku jadi overproduktif" sentak Jimin kesal, namun yang ia dapati malah raut bingung dari seorang Kim Taehyung yang memang implus nya dibawah rata-rata.

  Menghela nafas, Jimin akhrinya kembali bicara. Kali ini walau memang terdengar kesal, namun Jimin tidak bicara pakai urat.

  "Setiap hari kau selalu mengajakku menimbun lemak. Gara-gara kau, perut seksi ku jadi hilang. Asupan kalori mu sungguh mengerikan, Tae"

  Bukannya merasa bersalah atau bagaimana, Taehyung justru tersenyum lebar sembari merangkul pundak Jimin.

  "Sudahlah.. Kurus kerempeng macam roti panjang itu bukan gaya Park Jimin. Aku lebih suka gaya mu yang seperti roti boy"

  Tahu Jimin akan segera meledak, Taehyung yang tadinya sudah ambil ancang-ancang, langsung lari begitu saja. Meninggalkan Jimin yang mengejarnya di belakang disertai omelan-omelannya yang selalu jadi moodbooster untuk Taehyung.

  "YA!! Kim Taehyung, kembali!! Ku kutuk jadi tawon liar kau nanti!"

  Taehyung menengok ke belakang untuk memastikan Jimin masih ada dibelakangnya. Ia tersenyum mengejak kemudian.

  "Boleh, asal kau jadi bunganya" ia tertawa. Sungguh terbahak.

  Hingga tanpa sadar, dirinya menabrak seseorang. Di belakang sana, Jimin sudah meringis ngeri, membayangkan betapa kerasnya Taehyung dan orang itu terjatuh tadi.

  Ugghh~ pasti sakit.

  Melihat keduanya tampak kesakitan dan menjadi bahan tontonan orang-orang, Jimin dengan cepat membantu keduanya untuk berdiri.

  "Kena kau. Benar-benar ingin ku kutuk, ya?" dumel Jimin setelah Taehyung bangkit sambil mengusap-usap bokongnya yang tadi mencium lantai dengan keras.

  Pemuda itu merengut lucu dengan bibir melengkung kebawah yang sejajar dengan hidungnya.

  Jika tidak ingat sedang dalam mode kesal, sudah dipastikan bahwa Jimin akan segera menganiaya kedua pipi Taehyung.

  Atensi Jimin kemudian beralih pada sosok pria kepala lima yang sama-sama memakai jas dokter itu. Dia adalah ayah Taehyung.

  "Ah, Profesor Kim. Maaf, tadi Taehyung sedikit nakal. Nanti ku bereskan dia"
Mendengar itu, Taehyung menggeleng cepat tidak terima.

  "Tidak kok, ayah. Aku hanya ingin mengajaknya makan. Lihat ini, wajahnya kempot sekali" jawab Taehyung. Pipi Jimin jadi korbannya.

  Buntelan kenyal mirip moci itu Taehyung tekan-tekan hingga membuat bibir Jimin ikut maju dengan tidak elitnya.
Hey ingat, ini di hadapan profesor loh!
Profesor Kim Gihwan di hadapan mereka hanya mampu memandang pasrah keduanya.

  Kadang ia berpikir, Taehyung dan Jimin itu sebenarnya dokter atau pemain sirkus, sih? Suka sekali main atraksi si setiap sudut rumah sakit kalau sedang berdua.

  Etah kejar-kejaran, entah jambak-jambakan, entah cubit-cubitan, entah ketek-ketekan. Apapun itu, sepertinya tiap ada kesempatan mereka selalu bertingkah konyol.

  "Hhh.., sepertinya ayah salah menyekolahkan mu ke kedokteran. Kemari, ayah sekolahkan lagi supaya kau bisa jadi pelawak" canda Gihwan.

  Dia suka sekali menggoda putra semata wayangnya itu sampai bibirnya maju-maju begitu karena kesal digoda terus oleh ayahnya sendiri.

  "Ah ayahhh~~ daripada aku, lebih baik Jimin saja. Lihat ini, dia terlalu imut untuk jadi psikiater.

  Bukannya sembuh, pasiennya malah kecanduan untuk datang lagi" Jimin sudah bersungut-sungut menatap tajam kearah Taehyung yang tidak terganggu sama sekali meskipun ia tahu Jimin sudah bersiap menghajarnya.

  Kalau saja tidak ada profesor Kim, habis sudah Taehyung di tangannya.

  "Hey.. Sudah, sudah... Katanya tadi ingin makan. Ada menu spesial di cafe depan sana hari ini. Lumayan, diskon 50%. Rasanya enak pula" sergah Gihwan sebelum Jimin yang wajahnya sudah memerah malu itu benar-benar meledak.

  "Ayah?? Kau sudah kesana?"

  Gihwan lantas mangut-mangut dengan polosnya atas ucapan sang anak yang memekik heboh sendiri.

   "Wahhh!! Curi start ini namanya"

  "Makanya cepatlah kesana. Antriannya banyak sekali" seru Gihwan yang membuat Taehyung lantas menarik tangan Jimin.

  "Ayo Jimin!"

  "Ya! Pelan-pelan! Kaki ku mungil, jangan disamakan dengan langkah bigfoot milikmu!"

  "Eum... Park Jimin!" baru ada empat langkah, mereka harus kembali berbalik menatap Gihwan yang memanggil nama Jimin.

  "Kurasa aku harus mempertimbangkan ucapan Taehyung untuk menjadikanmu pelawak"

   "Profesor Kim~...!!"

  Ditengah tawa ayah dan anak itu, Jimin mati-matian berusaha untuk tidak mengumpat.

  Kadang dirinya heran, mengapa ia bisa dapat kutukan selalu menempel dengan Taehyung? Kenapa tidak dengan yang lebih normal? Lee Min Ho misalnya.

  Astaga, wajahnya tampan sekali. Andaikata boleh, Jimin mau kok dipungut jadi anaknya. Ngawur!!

  

◾▫◾▫◾

  Markas Parthenon. Di tempat itulah awal mula kehidupan baru Jungkook dimulai. Segalanya dimulai dari sana.

  Ia datang membawa duka berkepanjangan, lalu dilatih dengan tekad dan ambisi, hingga jadi seperti sekarang.

  Eris, si elang kaukasia yang tidak memiliki empati di hadapan lawannya.

  Tidak tahu pasti bagaimana semuanya bisa terjadi begitu saja. Jungkook yang saat itu sudah kehilangan segalanya, hanya dapat mengikuti alur kehidupan tanpa mengenal siapa dirinya sebenarnya.

  Saat itu, Paman Jeon hanya memberi tahu bahwa nama aslinya adalah Kim Jungkook, dan dia adalah bagian dari Chrysaor, -organisasi yang merajai tidak kriminalitas di Korea Selatan saat itu.

  Disana, pertama kalinya ia bertemu dengan Ryu Nam Seok dan memperkenalkan dirinya sendiri sebagai pimpinan Chrysaor. Dari situ pula lah nama Eris Jungkook dapatkan.

  "Kita bagi team menjadi empat. Dua team pertama berisi anggota baru Chrysaor, mereka sudah bergerak lebih dulu mengamankan dermaga. Eris, kau pimpin team untuk bergerak 45° ke arah timur.

  Menyebar, dan pastikan bahwa jalur keluar masuk dermaga steril. Aku dan Marvin akan maju memimpin di barisan depan mengawal bawahan Tuan Ryu saat transaksi berlangsung.

  Kami sangat mengandalkanmu bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Eris" penjelasan Allen itu sekiranya mampu menghentikan sejenak kegiatan mereka saat menyiapkan atribut, seperti revolver, baju anti peluru, jaket hitam, headband, sepatu boots, dan pisau kecil untuk berjaga-jaga saat ada penyerangan jarak dekat.

  "You can trust me" jawab Jungkook dengan suara berat seraya membenarkan posisi senapannya -Barrett M82- dia sudah siap untuk misi hari ini.

  Menurut info yang tadi diberikan, kapal yang akan mendarat di dermaga berasal dari China.

  Mereka bukan membawa senjata atau obat-obatan terlarang seperti biasa, namun kali ini mereka membawa puluhan wanita untuk Chrysaor tampung sementara sebelum nantinya dijual kembali ke pihak Utara dengan harga yang lebih tinggi.

  Iya, para wanita itu dibawa jauh-jauh dari China menggunakan

  kapal hanya untuk memenuhi hasrat para tentara Utara.

  Derap langkah sepatu kulit milik Nam Seok menggema di pertengahan malam markas Parthenon. Seketika satu ruangan bungkam, menghentikan pekerjaan mereka masing-masing.

  "Allen, kau bisa mengarahkan pasukan untuk bergerak sekarang" suara tegas itu menggema di penjuru ruang. Allen kemudian berdiri mengambil atensi teman-temannya untuk kemudian ia arahkan menuju dermaga.

  "Ingat kata-kataku tadi. Kerja team sangat penting. Jangan sampai ada yang terlewat sedikit pun.

  Kita bergerak ke dermaga sekarang" lalu tanpa basa-basi lagi, mereka semua langsung bergegas keluar menuju dermaga. Transaksi yang sesungguhnya akan segera di mulai.
.
.
Jungkook memimpin team sesuai instruksi. Ia bersama tiga rekannya mengawasi dari gedung selatan dermaga,

  sementara yang lain menyebar untuk mengamankan jalur keluar masuk agar transaksi mereka aman terkendali.

  Tepat seperti dugaannya, para awak di kapal besar China itu keluar bersama puluhan wanita berpakaian minim tak lama setelah pendaratan. Rentang usia mereka sekitar 18-25 tahun. Dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa mereka sangat ketakutan.

  Wajar saja, memang siapa yang bisa tenang begitu tahu dirinya diperjualbelikan layaknya barang.

  "Tujuh puluh sembilan. Jumlahnya lebih banyak dari bulan lalu. Bagaimana, Eris? Kau ingin satu?" Jungkook melirik sebentar sebelum berdecih menanggapi ucapan Xion.

  "Akan sangat menyenangkan untuk menjadikannya sasaran tembak"

  Mendengar itu, Xion berdecak tak habis pikir. Sungguh, jalan pikirannya dengan Jungkook itu bagaikan jalur tol beda arah. Sama, tapi berbeda.

  "Ya..!"

  "Aku tidak suka mempermainkan wanita. Lebih baik mengantarnya pulang ke asal daripada disini hanya menambah dosa" jawab Jungkook kelewat santai. Meski begitu, dirinya masih fokus mengamati tiap pergerakan yang terjadi di bawah sana.

  "Eiii.. You only have thoughts to killing"

  "That's my job"

  Beberapa menit berlalu. Tak lama terdengar getar suara dari alat komunikasi yang mereka kenakan. Suara Marvin muncul setelahnya.

  "Transaksi selesai. Tarik pasukan. Kita kembali ke markas"

  Langsung saja, begitu perintah diberikan, semua segera undur diri. Derap langkah acak para pasukan berpakaian hitam itu mulai menjauh dari area dermaga.

  Tapi tidak dengan Jungkook. Ia jatuh di lantai rooftop tak lama setelah ia menyaksikan bagaimana tangis pilu para wanita itu diseret paksa menuju mobil angkut oleh para pasukan Chrysaor.

  Teriakannya seperti sebuah permohonan tak berujung. Sangat putus asa dan tak ada harapan. Sekelebat memori kelam, dengan tidak sopannya masuk memenuhi ruang kepala Jungkook, hingga membuat pemuda itu terjebak kembali dalam lakuna seorang diri tanpa teman.

  Jungkook merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya, namun ia tak bisa menjelaskan apa alasannya.

  Lalu tiba-tiba, teriakan seorang pria dari masa lalu terus menggema berulang hingga membuat ia kewalahan menahan desir sakit yang merambat disekujur tubuh.

  Malam ini, Jungkook juga kehilangan harapan untuk yang kesekian kali. Lagi.

  Semua orang sudah berkumpul di markas setelah memastikan tawanan mereka aman didalam penjara Parthenon.

  Namun ada satu hal yang sejak tadi mengganggu pikiran Yugyeom.
Iya, kawannya tidak terlihat sejak mereka sampai.

  "Tungguh, dimana Eris?" tanyanya dengan hati gusar.

  Mereka tak langsung menjawab, melainkan saling melirik satu sama lain seakan kembali mengulang pertanyaan Yugyeom.

  'Benar, Eris kemana?'

  "Kami tadi di rooftop gedung selatan-..."

  "Sial!" kalimat Xion langsung terpotong oleh Yugyeom. Tanpa dilanjutkan pun, Yugyeom sudah tahu dimana Eris dan apa yang ia lakukan disana.

  Teman-temannya yang lain hanya dapat memandang heran kepergian Yugyeom .

  Mereka tidak tahu hal apa yang sekiranya membuat Yugyeom sampai mengumpat, namun sepertinya itu bukan hal yang baik.

  "Kejadian lagi, ku pastikan ini transaksi terakhir mu, Jungkook" []

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet