1 - Seberkas Kisah 01 : 08

[✔] NALADHIPA ||

Terjepit disela asa kala harapan tak lagi nyata. Hanya berteman dengan sepi terbalut luka dan tawa hampa.

  Banyak hal telah sempurna ia genggam, terkecuali cinta yang sudah lama tak menjamah relung jiwa bersarang.
Kim Jungkook.

  Sebongkah raga perlambang iba. Jiwanya telah pergi bersama kepingan memori kelam bertahun-tahun silam. Insiden tragis yang membawa serta seluruh keluarganya menuju surga dalam pangkuan Sang Kuasa.

  Kini, tinggal dirinya seorang. Bocah manis yang dulu di sayang-sayang, kini jadi alternatif pembalasan dendam orang-orang berperut besar.

  Tidak peduli apapun latar belakangnya, selama Jungkook mendapat imbalan setimpal, metode apapun akan senantiasa ia lakukan untuk membunuh si korban.

  Perkenalkan, bocah manis jelmaan setan.

  Tak gentar sosoknya kala menodongkan senjata dihadapan seseorang yang ia anggap sebagai lawan ditengah-tengah gedung tua yang beberapa saat lalu menjadi medan perang.8

  "Iblis berkedok malaikat" ia berdecih sinis, sekalipun tatapannya mengerikan, namun tak mampu membuat pria didepannya itu takut.

  "Sampai kapan kau akan terus berpura-pura, tuan? Dokter gadungan seperti mu bahkan tak pantas untuk sekedar hidup"

  Pria didepannya tertawa lepas dengan suara menggema memecah ruang hampa diantara mereka.

  "Bocah seperti mu itu tau apa?" ia menendang pistol ya ditodongkan padanya sampai terpental entah kemana. Kemudian ia mendekat dengan mencengkeram erat kerah baju pemuda didepannya.

  "Kau hanya bocah malang yang kehilangan keluarga tanpa ingat apapun tentang mereka"
Pemuda itu menggeram marah dengan mata memerah. Sekalipun ingin, namun posisinya saat ini sangat tidak menguntungkan untuk melawan.

  "Sebaiknya kasihani dirimu sendiri, nak. Karena akan ada masa dimana kau yang menjadi korbanku selanjutnya"

  Pria itu akhirnya memukul kuat tulang pipinya serta menendang  perut pemuda didepannya demi melumpuhkan lawan sebelum memutuskan untuk pergi dari sana, meninggalkan si manis malang itu berteman dengan sepi dan rasa sakit yang melanda tiap rongga di hatinya.

  

◾▫◾▫◾

  Seoul. Kemegahan kota serta ragam daya tariknya dengan sempurna mampu menyamarkan sisi gelap kota yang penuh dengan bau tindak kriminalitas.

  Judi, narkoba, black market. Benar! Sejenis itu. Bahkan orang-orang yang terasa nyaman dan menyenangkan saja bisa menipu. Ingat hal ini, mereka mungkin menyembunyikan hal tak wajar dibalik senyum mereka.

  Berdiri megah nan gagah disalah satu sudut kota ternama itu.

  Han Gwang Medical Center menjadi salah satu rumah sakit yang paling sering menjadi rujukan.

  Tidak heran, sebab lengkapnya fasilitas disana beserta para tenaga medis yang selalu profesional di bidangnya.
Walau beberapa ada yang tingkahnya sedikit melenceng dari profesi.

  "Yaa!! Sudah ku bilang jangan main kucing-kucingan.

  Aku lelah bolak-balik UGD setiap hari hanya untuk memandang wajah mu.

  Sekalian saja kau terjun dari gedung lantai 25 supaya tulangmu patah semua dan aku bisa merakitnya kembali.

  Haishh" dengan gaya kesal dan bekacak pinggang, pria berjas putih itu menunjukkan ekspresi kesal yang jatuhnya malah menggemaskan. Ah tidak, menyebalkan lebih tepatnya.

  Tidak terima dengan ucapan yang lebih muda, pria satunya lagi yang tengah duduk diatas bed dengan sebelah terbalut gips itu menjewer telinga si dokter.

  "Kau bilang apa?! Aku sedang mengejar penjahat, bodoh! Kau pikir polisi seperti ku hanya mengejar banci, hah?! Oohhhh, lihat saja mulutmu nanti kusumpal dengan bola basket"

  "Akkkhhhh!! Awwhhh! Kak Namjoon hentikan! Telingaku masih berguna! Bola basket?! Yanga benar saja. Kau mau membunuhku?!"

  "Ya, telingamu sudah konslet sejak kau jadi dokter ku, Kim Taehyung. Sudahlah, aku angkat tangan jadi pasien mu" bersamaan dengan dilepasnya tangan kanan Namjoon dari telinga Taehyung, pemuda itu lantas beranjak turun dari bed.

  Sontak Taehyung yang menyadari itu lantas mengejar sambil memegangi telinganya yang masih nyut-nyutan.

  Jujur saja, walau Namjoon tak pakai tenaga, tapi hand of destroyer milik Namjoon itu sungguh punya kekuatan ekstra.

  "No, no, no, no. Kau masih tanggung jawabku. Setidaknya berterimakasihlah, dokter sibuk sepertiku bahkan rela meluangkan waktu untuk melayani pasien rewel seperti mu"

  "Aku sudah sembuh"

  Plak!

  Sebuah tepukan sarat akan rasa gemas mendarat mulus di lengan kiri Namjoon yang masih terbalut gips. Tentu saja itu perbuatan kurang ajar Taehyung.

  "Sakit, bodoh!"

  "See? Aku bahkan juga belum selesai membongkar pasang gips lengan mu.

  Masih ada obat dan resep dariku yang harus kau konsumsi, kak" sekalipun kesal, namun dalam setiap kalimat Taehyung selalu terselip rasa khawatir yang melingkupinya.
Menghela nafas panjang, Namjoon akhirnya balas menatap Taehyung lalu tersenyum jahil.

  "Baiklah. Temani aku minum kopi dulu. Kau yang bayar" setelahnya, Namjoon melangkah riang mendahului Taehyung yang hanya bisa melongo di belakangnya.

  "Kak...!"

  "Cepatlah, Tae, cafe nya akan tutup sebentar lagi" akhirnya meski terpaksa, dokter muda bermarga Kim itu menyusul juga langkah pasiennya.

  Kalau dilihat-lihat, kedua pemuda itu lebih mirip dengan sepasang kakak beradik timbang dokter dan pasien.

   

◾▫◾▫◾
 

  Berbaring di tepi rooftop sebuah gedung tua bersama sebuah revolver di sampingnya ditambah dengan luka lebam di tulang pipi dan beberapa bagian tubuhnya, pemuda bersurai gelap itu tampak santai memandang foto yang ia pegang.

  Sebuah foto yang katanya adalah bagian dari masa lalu yang ia miliki. Sebuah foto yang selalu ia bawa saat ia berperang. Sebuah foto yang membuatnya benci sekaligus rindu pada seseorang.

  "Eris?" salah seorang pemuda lagi datang, mendekat kearah kawannya yang masih belum bisa mengalihkan pandang dari foto usang yang ia genggam.

  "Ternyata kau disini"

  "Ada apa? Ketua mencari ku?" masih dengan posisi yang sama, Eris menjawab pertanyaan itu.

  "Yeah, tapi tidak begitu penting. Kau bisa menemuinya nanti"

  Eris kembali menyimpan foto usang itu kedalam kantung jaketnya. Ia kemudian mengubah posisi menjadi duduk.

  Separuh kakinya sempurna menjutai di tepi gedung. Harusnya itu menjadi hal yang menakutkan, tapi sepertinya Eris tidak terlalu peduli akan hal itu.

  "Lalu apa yang kau perbuat disini, Marvin?"
Sebelum menjawab, Marvin lebih dulu memposisikan diri duduk disamping Eris dengan posisi yang sama. Untuk orang yang phobia ketinggian, mungkin tak butuh waktu lama untuk ia akhirnya pingsan.

  "Aku ingin memastikan bahwa kau tidak mencoba bunuh diri. Lagi"

  Marvin hanya khawatir, terlebih tadi dia menemukan Eris sudah tersungkur di lantai gedung. Dan ketika Marvin menghampirinya, Eris malah memintanya untuk pergi sebentar sebab ia ingin sendiri.

  Marvin khawatir kalau nantinya ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada Eris seperti yang sudah-sudah.

  Tawa sumbang disertai decihan singkat keluar dari mulut Eris tanpa disertai sepatah kata pun.

  Ia tidak mengelak jika pernah berulang kali melakukan percobaan bunuh diri ketika emosinya tidak stabil. Peristiwa di masa lalu adalah alasan kuat dibalik hidupnya saat ini.

  "Kau tidak coba mencarinya lagi? Ini sudah tujuh tahun" Marvin bertanya lagi, dan Eris tau siapa dan apa yang ia maksud. Foto itu. Foto seorang pemuda yang tersenyum lebar dengan dirinya dalam rangkulan yang lebih tua.

  Sudah jelas, dia kakak kandung Eris. Hal itu terlihat dari bagaimana pesan manis yang tertulis dibalik foto itu.

  "Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan ketika bahkan tak sedikit pun kenangan tentangnya terselip di memori ku.

   Aku hanya tau bahwa dia adalah kakak ku dari almarhum paman Jeon" Eris mengalihkan pandangannya kearah sebuah bangunan rumah sakit yang menjulang tinggi dan megah.

  Matanya menatap kosong kesana seakan tempat itu menyimpan sekeping memori penting untuknya yang telah ia lupakan.

  "Aku juga tidak yakin kalau dia akan menerimaku sebagai adiknya"

  Marvin tahu akan seperti ini reaksi Eris. Saat bertarung tadi dialah yang tampak paling semangat, namun ketika perang telah usai, ia akan kembali ke titik terendahnya sembari memandang foto yang sama.

  Itu juga alasan kenapa setelah menjalankan misi, orang yang paling pertama Marvin cari adalah Eris.

  Marvin memang tak terlalu tahu bagaimana dunia Eris di organisasi ini dimulai.

  Tetapi saat itu ia tahu bagaimana kacaunya keadaan Eris ketika dibawa ke markas bersama paman Jeon untuk bertemu ketua.

  Dia tampak tak memiliki gairah hidup, tetapi jelas ada dendam yang dalam pada pancaran matanya. Mungkin itu juga yang melandasi betapa hebatnya kemampuan Eris saat bertarung hingga membuat ketua selalu mengandalkannya.

  Lalu Eris akan menjadi dirinya yang rapuh ketika tugasnya telah selesai.

  "Suatu saat nanti kau tetap harus menemukan jati dirimu sendiri, kawan. Bukan sebagai Eris si Elang Kaukasia. Tapi sebagai Kim Jungkook, adik dari Kim Taehyung"

  "Apa aku bisa melakukannya?"

 

  ◾▫◾▫◾

  "APA?!!" setelah menggebrak meja tadi Taehyung dan Namjoon sukses menjadi pusat perhatian. Bagi orang tidak tahu malu seperti dokter gila ini jelas bukan masalah, tetapi hal itu tentu sangat memalukan bagi Namjoon.

  Pangkatnya sih polisi, tangannya tergantung lengkap dengan gips, dan didepannya ada makhluk aneh yang tengah cosplay jadi dokter.

  Kalau saja Izrail lewat, lain kali Namjoon akan minta untuk sering-sering menengok kondisi Taehyung, supaya kalau dia banyak tingkah, Izrail tidak perlu repot-repot mencarinya.

  "Wahh!! Yang benar saja! Kau kalah lagi dengan bocah itu?!"

  Pletak!

  Sebuah tepukan sayang dari pak polisi mendarat ganas di kepala Taehyung.

  Taehyung tidak terima tentu saja. Dirinya dibuat dengan susah payah oleh Tuhan, seenaknya saja Namjoon main pukul. Kalau lecet kan obatnya mahal. Maklum saja, manusia tampan beda kasta dengan yang kentang.7

  "YA!"

  "Pelankan suara mu, bodoh" Namjoon mendesis lirih kemudia meminum kembali americano miliknya. Didepannya, Taehyung baru saja akan kembali menyanggah, namun urung saat melihat Namjoon nampak frustrasi.

  "Aku hanya heran. Setiap penjahat yang berhadapan denganmu selalu tunduk pada akhirnya.

  Lalu kenapa yang satu ini susah sekali? Bahkan sampai membuatmu bolak-balik rumah sakit. Hey! Dia hanya bocah" acuh nada Taehyung terdengar.

  Ya, dia bilang lawan Namjoon adalah seorang bocah karena katanya anak itu masih berusia 19 tahun, sedangkan Namjoon adalah perwira polisi yang bahkan sudah masuk masa kawin. Kalah dengan anak usia belia itu memalukan.

  Namjoon menatap Taehyung malas. Dia sih hanya bekerja di bagian akhir, bukannya turun lapangan. Coba saja mereka tukar posisi, Namjoon yakin bahwa Taehyung akan langsung pipis di celana begitu sampai TKP.

  "Yang kau panggil bocah itu nyatanya sudah mampu membunuh ratusan nyawa manusia. Bahkan minggu lalu ia berhasil melayangkan nyawa Menteri Pertahanan Korea Selatan"2

  "Sudah tahu begitu, kenapa tidak langsung kau tangkap saja, kak?"

  "Andai smeudah itu, sudah ku ringkus dia sejak dahulu kala. Yang jadi masalahnya adalah, tak ada satupun yang tahu siapa dia sebenarnya kecuali nama dan umur. Bahkan wajahnya pun sama sekali tak terekspos. 

  Sangat sulit mencari jejaknya. Mereka itu profesional. Bahkan tak ada yang tahu kalau-kalau mereka ternyata tengah berkeliaran di sekitar kita"

  Taehyung menelan ludahnya. Baru tahu ia bahwa lawan Namjoon semenyeramkan itu.

  Tapi dibalik rasa takutnya, Taehyung juga antusias. Dalam benaknya ia berpikir, pasti akan sangat menyenangkan jika dia bisa mengenal buronan Namjoon itu.

  Sekalian bisa belajar bela diri, sebab belajar bersama Namjoon hanya akan membuat polisi itu naik darah karena Taehyung suka modifikasi gerakan sendiri.

  "Hanya sekali kami bertatapan dalam jarak sangat dekat. Dan yang bisa ku lihat dari sana hanyalah tatapan matanya yang tajam.

  Aku tidak habis pikir bagaimana bocah seusianya bisa sehebat itu berada dalam komplotan penjahat kelas kakap" lanjut Namjoon.

  "Memang siapa namanya, kak?" tanya Taehyung sembari menatap lekat Namjoon. Sejenak Namjoon terdiam kala melihat netra Taehyung.

  Bukan sekali dua kali Namjoon merasa seperti ini. Namun memang pancaran teduh kedua iris Taehyung selalu mampu membuatnya terhipnotis, karna Namjoon akui bahwa Taehyung jarang menatap matanya ketika bicara, ia hanya akan melakukannya ketika sedang bicara serius.

  Sedangkan Taehyung? Yang benar saja, bahkan bisa dihitung jari selama berapa menit dia bisa serius jika sedang bersama Namjoon.

  "Eris"

  Sedetik kemudian, Taehyung melepas kontak mata. Ia kembali meminum americano nya dengan santai. Namjoon lagi-lagi berdecak. Sudah dia katakan bahwa Taehyung itu sulit diajak serius.

  "Terdengar asing sekali. Itu nama asli?"

  "Tentu saja bukan. Mana ada penjahat pakai nama asli ketika sedang menyibukkan pekerjaan Malaikat Atid"

 Tanpa Namjoon duga, kini Taehyung tiba-tiba menggenggam tangan kanannya diatas meja sembari memasang tampang memohon yang menggelikan untuk Namjoon. Ia menelan ludah gugup, takut-takut kalau Taehyung kumat lagi.

  "Lain kali tolong bawa aku bersama mu, kak. Aku ingin melihatnya beraksi. Memukulmu, atau meremukkan tulangmu. Wahhhh itu pasti sangat menyenangkan" tuh kan, Namjoon sudah menduga.6

  "Menyenangkan, your head!" setelah berhasil menggeplak kepala si dokter kurang ajar itu, Namjoon kembali pada dirinya yang serius. Ia menatap wajah Taehyung seolah menyiratkan sesuatu.

  "Apa?" sentak Taehyung sebab merasa terintimidasi. Tidak nyaman juga.

  "Tapi serius, Tae, Eris adalah orang yang misterius. Aku tak pernah menemukan luka lain di tubuh korbannya selain bagian perut.

  Yang dia incar sepertinya bagian hati. Eris mengoyak habis organ itu" menghela napas panjang, Namjoon kembali melanjutkan ucapannya tanpa mengalihkan pandang dari Taehyung yang nampak bergidik.

  "Setiap aku melihat jasad korban, aku jadi teringat dirimu tujuh tahun yang lalu, Tae. Bukankah kau pernah menjalani transplantasi hati?"

  ◾▫◾▫◾

  Sudah mengganti pakaiannya dengan yang lebih baik, Eris -atau bisa kita panggil Jungkook- akhirnya datang ke gedung perusahaan agensi milik ketua organisasi.

  Tentunya perusahaan yang bergerak di industri hiburan ini beda jalur dengan organisasi mereka yang jelas penuh dosa.

  Tidak ada manusia kekar berpakaian hitam atau sejenisnya disana, tidak sama seperti ketika ia di markas.

  Cukup lama Jungkook berjalan melewati koridor perusahaan itu hingga akhirnya sampai di depan pintu ruang si penguasa.

  Orang-orang didalam perusahaan itu cukup mengenal Jungkook dengan baik karena pemuda itu juga cukup sering berkunjung kesana.

  Mereka mengenal Jungkook bukan sebagai Eris, namun sebagai ponakan dari Tuan Ryu Nam Seok.

  Pintu besar otomatis itu terbuka sesaat setelah Jungkook meletakkan kartu namanya pada mesin scan.

  Disana, Ryu Nam Seok tampak tengah meminum segelas wine di dekat jendela raksasa di ruang kerjanya.

  "Anda memanggil saya, Tuan Ryu?"

  Nam Seok tersenyum atas kedatangan Jungkook. Ia lantas menuangkan segelas wine ke dalam gelas satunya untuk Jungkook.

  Mereka memang memiliki pangkat berbeda, tapi Nam Seok selalu memperlakukan Jungkook layaknya anak emas.

  "Kemarilah, nak. Ada kabar baik yang ingin ku bagi denganmu" begitu diberi perintah, Jungkook langsung saja mendekat tanpa banyak bicara. Ia menerima gelas wine yang tuannya ini berikan.

  "Kau tahu kan sudah berapa lama aku dan istriku menikah?" tanya Nam Seok, dan Jungkook hanya mengangguk setelah meminum wine di tangannya. Memang sudah terbilang cukup lama.

  Sekitar lima tahun, kira-kira. Saat itu Jungkook juga menghadiri upacara pernikahan itu.

  Jungkook juga baru dua kali melihat istri Nam Seok, dan yang terakhir sekitar setahun yang lalu saat Nam Seok merayakan hari jadi ke-15 tahun perusahaannya.

   Nam Seok memang tak banyak mengekspos istrinya kehadapan publik, dan mungkin juga istrinya tak tahu menahu soal bisnis gelap yang Nam Seok lakukan.

  "Aku akan segera menjadi seorang ayah. Istriku akan melahirkan tiga bulan lagi" ucapan Tuan Ryu tentu saja membuat Jungkook terkejut. Kenapa rasanya mendadak sekali?

  "Istri anda hamil, tuan? Tapi sejak kapan?"

  "Aku sengaja menyembunyikan nya. Bagaimana?

  Apa kau terkejut?"

  Jungkook sedikit tertawa tak habis pikir. Jujur ia ikut senang, tapi tentu saja ini sangat mengejutkan.

  "Aku kehilangan kata-kata, Tuan Ryu"

  Ditengah rasa terkejutnya, Jungkook merasakan pundaknya ditepuk pelan oleh atasannya itu.

  "Datanglah kerumah sakit saat persalinan istriku. Kau bisa mengajak Marvin"

  Setelahnya, Jungkook menggagguk pelan sambil meletakkan gelas wine keatas meja.

  "Selamat atas kehamilan istrimu, Tuan Ryu. Aku ikut senang karena anda akan segera menjadi seorang ayah. Kupikir, sudah waktunya juga anda sedikit membatasi kegiatan di organisasi"

  "Yeah, aku juga berpikir demikian. Aku tidak bisa membiarkan anakku nantinya ikut terjerumus"
Jungkook kembali menatap Tuan Ryu dengan tenang.

  Pria di hadapannya ini memiliki karakter yang unik bagi Jungkook. Dia tegas dan kejam, namun bisa mendadak jadi jinak ketika berurusan dengan keluarganya.

  "Tuan Ryu, kalau tidak ada lagi yang ingin anda katakan, bisakah aku undur diri?"

   Tuan Ryu terkesiap. Ia melirik jam nya yang sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Pandangannya kemudian teralih pada wajah Jungkook yang kentara sayu.

  Anak itu pasti sudah sangat mengantuk.

  "Ah! Tentu saja. Perlu ku panggilkan sopir?" tanya Tuan Ryu. Ia hanya khawatir Jungkook salah jalan dengan keadaannya yang ngantuk berat. Ini pengalaman.

  Sebab Tuan Ryu sudah beberapa kali mendapat laporan kalau Jungkook tidak pulang ke markas atau apartemennya dan malah tertidur di sembarang tempat.

  "Tidak perlu, Tuan. Aku membawa motor" setelah memberi hormat pada atasannya, Jungkook lantas beranjak hendak keluar dari ruangan itu.

  Namun suara Tuan Ryu dibelakang sana sukses membuatnya berbalik arah.

  "Hari ini kau tidak melukai dirimu sendiri 'kan?"2

  "Tidak, Tuan"

  "Syukurlah. Jangan lupa minum obatmu"2
Seulas senyum tipis tercetak di wajah Jungkook. Jarang sekali anak itu bisa tersenyum tulus seperti ini. Yaa., walau yang ini tidak bisa dibilang lebar.

  "Terimakasih atas perhatian anda, Tuan Ryu" []

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet