Episode 1

Brutally Honest



"THAT'S A WRAPPPP". Teriakan itu disambut dengan berbagai ungkapan rasa lega dari berbagai divisi. Acara 3 hari yang diselenggarakan fakultas mereka akhirnya selesai. Ditutup dengan konser amal yang sangat sukses.

"Saka, saka". Kacamata yg diselipkan saka di kepalanya hampir jatuh ke wajahnya karena tengokan spontan ke sumber suara. "Iya?!"

"Tinggal LPJ nih, semangat lagi yaa kita." Saka tidak menjawab, tapi mengacungkan ibu jarinya kepada niko, teman seangkatan sekaligus executive director acara fakultas yg baru saja selesai.

"Jangan ngilang loo, lembar pertanggungjawaban bukan tugas sekretaris aja." Ancam saka usil, "Gua gk setega itu sa." Raut wajahnya berubah kecewa namun diiringi gestur berlebihan yang menandakan niko sedang bercanda. "Tapi gua khawatir sama sekretaris 2 kita." Wajahnya berubah serius.

"Bener. Marisa kerjanya bagus tapi sayang fisiknya lemah." Niko dan saka berjalan sejajar sembari meninggalkan aula. "Lo amati dia ya sa, kalo marisa sakit juga kasian lo. Masa sekretaris yg ngerjain LPJ cuma satu. Gua sama anak² memang bakal bantuin, tapi tetep bedakan kalo sekretaris hilang satu."

Saka mengangguk pelan sembari berpikir. "Oiya dokumentasi udah beberapa yg di upload ke gdrive, nanti linknya gua share ke lo ya." Tangan saka yg mencoba mencari handphone nya ditahan niko. "Saka besok minggu, lo istirahat dulu ya. Lanjut senin."

"Okay."



Memang niat awal saka adalah bersantai di hari minggu. Namun rasa gusar yg dia rasakan membuatnya duduk di depan laptopnya dan mulai mengisi format LPJ.



Benar saja. Rasa gusar saka terjawab lewat whatsapp marisa yg menjelaskan bahwa gergnya kambuh. Senin siang marisa memutuskan untuk absen dari kelas siangnya untuk ke rumah sakit.

- Are you okay tho?- Wajah saka terlihat bingung sambil mengetik balasan untuk temannya.

- I can handle it saka, don't worry. Tapi kayanya gua gabisa bantu banyak buat LPJ sa.-

dug. Kata-kata yg tidak ingin ia dengar akhirnya terjadi.

- Tapi gua gk bakal lepas tanggung jawab. Gua bakal cari orang buat assist lo.

- H...how? Anak-anak yg lain sibuk sama divisi masing-masing, bakal susah buat nyari orang yang mau kerja double.-

- Tenang, bukan dari crew kita kok.-

- Kalo bukan dari crew apa gak susah buat ngerjainnya?-

- Tenang aja nanti gua jelasin ke orangnya. Follow up ke berbagai divisi gak mungkin mau lo yg handle semua. Percaya aja sama gua.-



Good things, walaupun marisa jadi slow respon tapi semua to do list yg saka berikan minggu itu bisa selesai tepat waktu. Tentu saja saka harus mengorbankan waktu nongkrongnya bersama teman-temannya untuk beberap hari demi mengcover bagian marisa.



"Harus banget ya nginjek pakunya sekarang?" Saka menatap ban mobilnya kesal sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Mobil lo kenapa?" Saka sempat berpikir bahwa laki-laki di depannya berbicara dengannya

Oh he is indeed talking to me.

"Kempes. Nginjek paku, bannya harus diganti."

"Bareng gua aja, nanti gua bantuin ganti ban mobil lo."

"Hah?" Saka mengutuk dalam hati atas balasan bodohnya kepada orang asing itu.

"Gua mika. Marisa udah ceritakan sama lo? Gua bakal bantuin lo garap LPJ acara lo." Raut wajah saka jelas menyiratkan 'oke, lalu?' . "Lo harus ke rektorat buat ambil dokumenkan? Gua temenin, sini naik."

"Okay." Setengah berteriak saka bergegas mendekati motor vespa putih itu dan berpegangan ke pundak laki-laki asing itu untuk membantunya naik. Gedung rektorat jaraknya 1 km lebih, it would be a hell to walk there in this scorching weather.



"Lampirannya udah gua update. Kayanya tinggal lampiran dari bendahara yang kurang." Saka memasukan dokumen ditangannya ke dalam map sambil berfikir. "Oh iya. Bagian keuangan memang lama proses pengerjaannya. Nanti gua cek lagi lampiran yang lo maksud."

"Lo belum makan siang ya?" Pertanyaan biasa namun membuat saka berhenti menatap handphonenya. "Gua tadi makan salad kok." Jawab saka cepat, "Maksud lo tadi pagi lo sarapan salad, gitu?" Saka hanya tersenyum lemas, "Udah kita makan siang aja dulu. Lo mau nyusul risa gerg apa gimana?" Jawab mika datar sambil meninggalkan saka menuju motornya.



Mika anak fakultas tetangga, jurusan arsitek semester 6. A year older than me. Mukanya intimidating, mungkin karena kurang senyum. Tapi anehnya walaupun nada bicaranya gak ada manis-manisnya dia gk bikin gua ngerasa gk nyaman.

"Kok lo mau bantuin marisa? Ini bukan laporan praktikum temen yang mungkin bisa diselesain sehari bareng temen lo. Lumayan lama prosesnya, bisa 3 minggu. Harus bolak-balik rektorat juga." Interogasi mendadak saka tidak begitu mengagetkan, karena mika masih dengan santainya memainkan sedotannya sambil perlahan memindahkan pandangan menuju saka.

"Bales budi. Jarang-jarang juga tu anak minta tolong."

Ni orang jawab jujur apa asal jawab aja? "Kayanya lo deket ya sama marisa." Interogasi dadakan sakapun berlanjut.

"Hmm..." from habit, mika menyisir rambutnya dengan tangannya. Semua orang sibuk menyantap hidangan mereka sehingga saka yakin hanya dirinya yang sadar bahwa ia hampir terlalu lama menatap kagum laki-laki berkacamata dihadapannya. "...tetangga dari SMP si, kenal keluarganya juga. I guess you can say we're pretty much close."

"Oiya kok lo tadi tau kalo gua mau ke rektorat?" Sambung saka sambil menyingkirkan piring kosong dihadapannya.

"Marisa yg bilang. Pas banget gua baru selesai kelas. Oh right." Mika meminum coca colanya sebelum menyambung perkataannya. "Gua sering liat lo jalan sama marisa makanya gua tau muka lo yang mana. Dulu juga sempet papasan kok, cuma lo belom kenal gua, jadi gua cuma ngobrol bentar sama marisa."

Damn, jangan bilang dia bisa baca pikiran. Baru kepikiran kenapa dia bisa kenal gua tapi udah dia jawab aja.



Mika bukan tipikal laki-laki tinggi dengan otot lengan yg menonjol. I'm not saying he is short, 175 cm above are a normal height for guys.

Mungkin karena kacamata yg dikenakan mika yg membuat saka sedikit terkejut melihat betapa santai dan ahlinya mika mengganti ban mobilnya. Memasang dongkrak, mengganti ban dengan ban serep lainnya dilakukan dengan mudahnya.

"Done." Mika menepuk tangannya setelah meletakkan ban mobil saka ke bagasi.

"Wow, thank you." Saka segera mendekati mika untuk memberikan tisu basah untuk membersihkan tangannya.

Wangi green tea yang halus mengudara ketika mika mengelap tangannya dengan tisu basah yg diberikan saka, "Saka, bagi kontak whatsapp coba."

"Boleh." Jawab saka singkat, "Nih." Mika mencondongkan bahu kirinya, mengisyaratkan saka untuk mengambil handphone di kantong bajunya.

Untuk sepersekian detik saka sempat kaget namun segera diambil handphone mika dengan hati-hati.

"Nih, udah sekalian gua save kontak gua." Saka mengulurkan tangannya, mengembalikan handphone mika.

Diambilnya handphonenya dan dimasukan kembali ke saku celananya, "Gua kalo ngasih nomer whatsapp lo ke temen gua, bisa makan gratis seminggu nih."

Bisa becanda juga ternyata. Pikir saka

Saka tersenyum geli, "Murah banget seminggu, harusnya minta sebulan."

"Ha?" Mika spontan tertawa atas balasan saka yang tidak terduga, "...jadi lo gak cuma cantik tapi juga lucu, not fair." Mika berkomentar di sisa-sisa tawanya, kepalanya bergeleng pelan.

"Jangan ketawa aja lo, beneran bantuin gua bikin LPJ yaa??"

"Iya sakaaa, gua kalo ingkar janji sama marisa ntar si marisa bakal bawa kakaknya yg pengacara buat nuntut gua." Mika menaiki vespanya dan memasang helm di kapalanya, "Nanti judul tuntutannya tindak pidana penyelewengan tanggung jawab, mana berani gua bohong."

Tawa saka tertahan, egonya tidak terima untuk mengakui bahwa saka menyukai selera humor laki-laki di depannya. "Oke gua percaya."

"Gua cabut ya." Saka mengangguk dan mika mengendarai vespanya keluar dari fakultas kesehatan masyarakat.



"SAKAAA." Saka sedang menunggu teman-temannya di lobby fakultas, lalu dari jauh terlihat marisa berlari kecil menghampiri saka dan langsung memeluk tubuh jenjang saka.

"Eh lo jangan lari-lari, gerg lo gak sakit apa?" Saka menepuk lembut lengan marisa.

"Udah gak sakit kok, cuma gua gabisa stress sama kecapean. Maaf ya gua gabisa bantu banyak, gua lagi sibuk praktek masak. Lo sendiri juga taukan kalo anak gizi semester 4 mulai sibuk magang sama praktek." Wajah marisa menyiratkan rasa bersalah.

Fakultas Kesehatan Masyarakat mereka terdiri dari dua jurusan, ilmu gizi dan kesehatan masyarakat.

"Iya udah gak usah dipikirin, lagian bantuan yang lo kirim udah sangat membantu kok."


"Yakan! Mika anaknya kalo lagi gak nyebelin memang berguna." Tiba-tiba raut wajah marisa berubah cerah, "Lo penasaran gak kenapa anaknya mau gua suruh?"

"Kenapa?" Saka tanpa sadar mendekatkan wajahnya, seolah-olah mereka sedang berbagi rahasia besar.

"Waktu gua smp kelas 1 si mika pernah bikin kepala gua dijahit, dulu gua nangis-nangis minta mika tanggung jawab. Eh gak nyangka setelah bertahun-tahun anaknya masih mau tanggung jawab."

Saka tertawa kecil atas cerita kekanak-kanakan dibalik "balas budi" yang dimaksud mika.

"Tapi mika tuh agak aneh tau anaknya?"

"Aneh gimana?!" Tawa saka sekejap berhenti, "Ya dia tuh kaya doyan cosplay gitu, terus geli banget suka sok misterius." Saka cuma bisa mengernyitkan alisnya, mencoba mencerna maksud kata-kata marisa. "Udah lo kalo kenal anaknya nanti juga paham." Marisa menepuk bahu saka sambil melangkah mendului saka, "Udah jam makan siang nih, jangan lupa makan lo kalo gak mau nyusul gua kena gers." Sambung marisa sebelum ia berbelok di koridor.

Saka tersenyum, mika mengatakan hal serupa di pertemuan pertama mereka.



Saka dan teman-temannya sedang menikmati makan siang di restaurant sushi dekat universitas mereka. Dwika dan giselle adalah dua sahabat dekat saka, dwika satu jurusan dengan saka dan hanya giselle yg jurusannya berbeda. Giselle mengambil jurusan yang sama dengan mika, arsitek. Namun satu tahun dibawah mika.

"Gua kira si marisa bakal ngirim kakaknya yang tampan itu buat bantuin lo." Dari awal saka menceritakan kondisi dia dan marisa, topik tersebut menjadi bahasan paling diminati teman-temannya.

"Tapi kalo bener marisa ngasih kakaknya buat bantuin saka gua si gak rela." Giselle berkomentar dengan nada usil, "Sa, please kasih tau marisa kalo kakaknya buka lowongan pacar gua mau daftar." Giselle memberikan tatapan memohon kepada saka.

Saka cuma menggelengkan kepalanya, "Siapa tadi namanya? Mikaila siapa?" Tanya dwika sambil mencoba membuat giselle berhenti menunjukan foto-foto kakak marisa dari instagram.

"Mikaila Harris."

"Mikaila Harris, kakak tingkat lo tuh, kenal gak?"

"Gak kenal, kayanya gak terkenal orangnya, jarang ikut event fakultas juga kayanya kalo sampe gua gak kenal?" Jawab giselle acuh.

"Gak tau ya, tapi kayanya memang dia jarang ikut kepanitiaan atau event kampus."

"Anaknya cupu ya? Kalo ganteng gak mungkin gua gak kenal."

Saka hanya mengangkat bahunya, tidak ingin berkomentar.

Getar notifikasi handphone saka membuatnya meletakkan sumpit dan membuka layar handphonenya. Notifikasi whatsapp paling atas tertulis MIKA.

Whoops, speaking of the devil.

- Mau zoom jam berapa nanti?-

Hmm habis ini masih mau shopping gua

Segera saka mengetik balasan, - Jam 21.00 kemaleman gak?-

- Gak kok, abis ini juga gua masih ada urusan dan mau beli perlengkapan maket. So it's 9 pm then.-




Mika sudah duluan membuat meeting room dan mengirimkan link beserta username dan password zoom.

Ketika jendela zoom mereka terhubung, terlihat mika sedang di kamarnya sambil bermain gitar.

"Nerdy girl." Adalah sambutan yg dilontarkan mika ketika melihat saka di layarnya dan saka hanya tersenyum tipis sambil menyentuh kacamata diwajahnya.

"Gua gatau kalo lo pake kacamata."

"Silinder doang, sama biar gk cape kalo kebanyakan main gadget. Anyway, gua share screen ya."

"Okay."

Zoom meeting mereka berjalan selama 2 jam. Meeting berjalan santai, chat intense setiap hari yang mereka lakukan selama seminggu secara ajaib membuat mereka dekat dan merasa nyaman. Tidak jarang mika mengeluh tentang tugasnya yg menguras otak dan biasa dibalas saka dengan kalimat "yuk bisa yuk, selama belum tipes tugas harus ke kumpul on time."

"Kayanya meeting hari ini cukup, besok gua ke sekretariat fakultas buat ambil beberapa berkas trus langsung gua scan sekalian."

"Okay." Mika tersenyum misterius, "See you on the next meeting pinky girl." Begitu saja, mika keluar dari zoom meeting mereka.

'Pinky girl?' Saka hanya memiringkan kepalanya bingung sambil membereskan laptopnya. Saka berbaring lega diatas tempat tidurnya dan meregangkan tubuhnya perlahan. Namun dia merasakan sesuatu dipunggungnya, seperti ada yg tertindih dibawahnya. Saka bangun dan melihat apa yg ada diatas kasurnya. Wajah saka memerah dan dia berteriak ke bantal.

Selain background kamar, ternyata ada tumpukan kecil bra victoria secret yang baru saja ia beli dan unboxing. Panik tidak ingin membuat mark menunggu membuat saka melupakan shopping haul yg seharusnya ia bereskan terlebih dahulu.

Kenapa pas banget 3 bra yg gua beli warna pink semuaaaaaa. Saka menghentakkan kakinya gemas ke kasur.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet