An Introduction

In Aeternum
Please Subscribe to read the full chapter

Aku pertama kali melihatnya di hari pertama kepulanganku ke Korea.

 

Baru lima jam sebelumnya aku sampai di bandara Incheon setelah 13 jam lamanya berada di udara dan pagi harinya langsung menduduki kantor baruku di Korea. Ah, rumahku tercinta.

 

Sejak berusia enam belas tahun, aku tinggal di Amerika bersama bibiku. Menghabiskan masa-masa SMA dan kuliahku di San Francisco. Lalu setelah lulus ayahku menarikku ke cabang perusahaannya di Los Angeles. Aku memulai belajar dari awal, menjadi staf biasa, hingga akhirnya aku bisa meniti karirku sebagai pemimpin kantor cabang. Semuanya kulakukan atas usahaku sendiri. Yah, walaupun ayahku punya andil pada awalnya, tapi hey! C&C Inc itu perusahaan keluarga, bagaimanapun juga nantinya aku yang akan memegang kendali, ‘kan?

 

Tiba di kantor aku berusaha menyapa staf di lobi depan meskipun mereka tak mengenalku—meskipun kulihat beberapa karyawan berbisik-bisik, mungkin mereka melihat kemiripan antara aku dan ayahku—sembari sedikit meregangkan otot karena terlampau lelah. Aku juga mendengar para karyawan wanita terkikik sambil menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Aku hanya bisa tersenyum. Sesampainya di depan ruangan rapat, aku mendengar tepuk tangan membahana, mungkin nantinya ketukanku tak akan terdengar. Kucoba sekali lagi, kali ini lebih keras. Nihil. Sebaiknya kulakukan langkah terakhir.

 

Brak!

 

“Apa aku terlambat?!”

 

Semua staf menatap ke arahku. Bagus, aku sekarang jadi pusat perhatian. Ayahku memijit keningnya, mungkin malu melihat kelakuan putranya. Di samping ayahku, seorang lelaki—mungkin lebih muda daripadaku—sedang terperangah. Hei, entah mengapa aku ingin tahu mengenai dirinya. Ia menatap ke arahku, lalu ayahku. Sungguh lucu, sepertinya ia mulai menebak-nebak.

 

“Perkenalkan, dia adalah putraku, Choi Siwon.”

 

Ayahku memperkenalkanku kepada para karyawan. Aku membalasnya dengan membungkuk kepada mereka semua.

 

“Kau bisa kembali ke tempat dudukmu, Kyuhyun-ssi.”

 

“Eh? N-Ne..”

 

Ha, jadi nama pria itu Kyuhyun? Nama yang indah untuk seseorang yang juga—ehem—indah. Dia kembali ke tempat duduknya dan.. hei, aku tidak sadar kalau saat ini bibirku tengah menyunggingkan senyum kepadanya. Selama sedetik pandangan kami bertemu dan dia langsung memalingkannya. Tunggu dulu, apakah perasaanku saja atau memang wajahnya sedikit memerah?

 

“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk, Siwon.” kali ini ayahku yang berbicara.

 

“Saya sudah beberapa kali mengetuknya, ab—maksud saya, sajangnim. Tapi sepertinya suaranya teredam oleh tepuk tangan para karyawan? Saya mendengarnya dari luar tadi.”

 

“Baiklah, aku harap kalian semua bisa bekerja sama dengan Siwon. Dia akan menjabat sebagai Direktur menggantikan Park Yoochun-ssi yang mengundurkan diri bulan lalu. Sebelumnya, putraku memegang kendali di cabang perusahaan di Los Angeles. Karena kultur dan etika dua negara yang berbeda kuharap kalian bisa membantu Siwon untuk menyesuaikan diri di sini.” Kata ayahku pada seluruh karyawan.

 

Aku kembali membungkukkan badanku pada mereka semua, dan disambut dengan tepuk tangan. Kulihat Minho, sepupuku, menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi sinyal agar aku duduk di sana, maka kuturuti dia. Saat itu kurasakan seseorang tengah menatapku, ketika kuedarkan pandanganku, kulihat pria itu tersenyum kepadaku. Kyuhyun! Lalu sejak kapan jantungku berdebar seperti ini?

 

Oh, tidak!

 

Bolehkah kukatakan jika aku mulai terjerat?

 

****

 

Aku tidak menentang hubungan sesama pria, tapi aku juga tidak bisa membayangkan diriku melakukannya. Paling tidak itu yang kurasakan tiga bulan lalu, atau sebelum diriku pulang kembali ke Korea. Di Amerika, aku punya banyak teman gay dan tak satu pun masalah dengan mereka, namun saat itu aku lebih menyukai pelukan wanita. Semenjak pertama kali pindah ke San Francisco sudah banyak wanita mencoba mencuri perhatianku. Yang kusukai dari mereka adalah, mereka tak tahu bahwa diriku pewaris tunggal perusahaan besar di Korea. Mereka mengira bahwa aku hanyalah pemuda imigran biasa, jadi aku bisa bebas menjadi diriku sendiri. Sudah beberapa wanita yang kukencani, namun sepertinya tak ada satu pun dari mereka yang bisa bertahan sampai akhir, entahlah.

 

Namun duniaku seperti terbalik karena Cho Kyuhyun.

 

Seusai pertemuan pertama itu, aku lebih banyak melamun—ah tidak, lebih tepatnya merenung. Berjam-jam dalam sehari kuhabiskan untuk memikirkan perasaan yang baru saja kurasakan, persis seperti remaja tanggung yang baru saja merasakan jatuh cinta. Aku mulai memikirkan kemungkinan diriku menjalani hubungan sesama jenis yang dulu terlihat aneh di mataku.

 

Sayang sekali posisi kami di kantor kurang menguntungkan. Aku tak banyak berhubungan dengannya, sangat jarang malah. Sudah nyaris tiga bulan ini aku menempati posisiku di kursi direktur, berarti selama itu pula semenjak aku pertama kali bertemu Cho Kyuhyun, dan aku hanya bertemu dengannya tak lebih dari tiga kali! Jujur saja, aku merindukannya, tapi apa yang bisa kuperbuat?

 

Di hari pertama, ayahku mengajakku berkeliling, mengenalkan masing-masing departemen beserta orang-orang di dalamnya. Mereka semua menyambutku dengan ramah—meskipun terkadang aku harus menahan untuk tidak memutar bola mataku karena para wanita memekik tiap melihat wajahku. Lalu tiba saat aku bertemu Cho Kyuhyun di ruangan kerjanya. Dadaku bergemuruh. Aku dan ayahku hanya bisa melihat kinerja Kyuhyun dan rekannya dari balik kaca laboratorium. Kulihat mereka semua menyibukkan diri dengan tugas masing-masing. Semuanya memakai jas putih, kacamata laboratorium, serta sarung tangan lateks. Tak terkecuali Kyuhyun, ia terlihat begitu cerdas dengan dresscode itu. Aku mengulas senyumku saat kupandangi sosok pria itu. Diam-diam kuraba dadaku dan kurasakan debar jantungku mengetuk-ngetuk keras rusuk dan sternum-ku. Sementara di sampingku ayahku tersenyum lebar mengamati anak buahnya bekerja dengan sangat baik, tak memperhatikan diriku yang tengah berdebar-debar, untunglah.

 

Minho menyeringai kepadaku. Aku buru-buru memalingkan muka karena wajahku sedikit memanas. Sepertinya ia mengikuti arah pandangku sedari tadi. Setengah berharap ia tak berbicara macam-macam kepada ayahku seandainya ia mengetahui perasaanku terhadap Kyuhyun. Ayahku kemudian mengajakku beranjak dari situ untuk mengunjungi departemen lain. Sejenak, aku merasa kecewa namun di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Itu pesan dari Minho:

 

Aku paham, Hyung. Tenang saja, rahasiamu aman bersamaku. Tunggu kejutan dariku.

 

Lalu kali kedua aku bertemu dengannya, saat Minho mengajakku makan malam. Aku sedikit terkejut mengetahui Kyuhyun bergabung dengan kami, atau lebih tepatnya Minho turut mengundangnya. Sedikit, karena sebelumnya Minho seperti sedang memberiku petunjuk.

 

Kyuhyun terperanjat ketika mengetahui kedatanganku. Kutebak Minho tak menyebutkan apapun tentangku kepadanya. Dari ekor mataku bisa kulihat si biang kerok itu menyeringai diam-diam dari balik telapak tangannya. Sementara Kyuhyun sedikit tersipu ketika aku duduk di sebelahnya, tapi dia berhasil menguasai dirinya untuk tak bersikap terlalu berlebihan.

 

Walaupun diliputi rasa canggung, tapi bisa kusimpulkan makan malam hari itu sukses. Kami berdua memesan steak medium sementara Minho hanya memesan makanan kudapan. Aku mengangkat alis, entah mengapa aku merasa Minho benar-benar ingin menjodohkanku dengan Kyuhyun. Ia bahkan menghilang di tengah-tengah acara. Awalnya Minho pamit pada kami untuk pergi ke toilet namun tak kembali setelah setengah jam. Dan benar saja, ia mengirimiku pesan untuk mengantarkan Kyuhyun pulang ke apartemennya karena Minho ternyata pulang lebih dulu. Dasar rubah licik! Pada akhirnya aku mengarang alasan pada Kyuhyun bahwa Minho bertemu teman lamanya dan meminta kami pulang saja. Wajah Kyuhyun memerah, sepertinya ia sendiri paham bahwa makan malam ini hanyalah akal-akalan Minho, namun ia tak menolak ketika aku menawarkannya tumpangan.

 

Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Aku yang biasanya cukup banyak berbicara, bahkan kepada orang yang baru kukenal sekalipun, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kulirik Kyuhyun yang duduk di kursi sampingku, ia pun tampak menggigit bibir bawahnya serta memainkan jemarinya pertanda ia gelisah. Ini benar-benar canggung. Tapi semakin lama kami diam sepertinya itu tak akan bagus. Jadi kuberanikan diri membuka mulutku.

 

“Kyuhyun-ssi—“

 

“Siwon-ssi—“

 

Aku mengerjap, lalu tertawa dengan Kyuhyun. Hatiku menghangat. Sepertinya suasana malam ini sedikit mencair. Pada akhirnya aku mempersilahkan Kyuhyun untuk berbicara terlebih dulu.

 

Kyuhyun tak banyak bertanya. Ia hanya menanyakan masa-masa aku tinggal di Amerika, mengenai pekerjaan, atau sekolahku. Aku hanya menjawab sesuai realita, tak lebih dan tak kurang. Lalu giliranku menanyakan hal yang sama kepadanya. Akhirnya aku mengetahui bahwa ia tinggal sendirian di Korea karena orangtuanya sudah meninggal. Namun demikian, ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh karena otak cemerlangnya. Di usia tujuh belas tahun, Kyuhyun berhasil masuk ke Cambridge University dan mengambil departemen genetika ketika teman-teman seangkatannya masih berkutat dengan pelajaran-pelajaran di SMA. Ia menyelesaikan program sarjana dan masternya dalam waktu yang singkat. Di usia dua puluh tujuh tahun Kyuhyun meraih gelar PhD dari Max Planck Institute di Jerman dan baru kembali lagi ke Korea setelah itu.

 

Tanpa terasa mobilku telah sampai di parkiran apartemen Kyuhyun. Aku merasa sedikit sedih karena waktu berharga kami harus berakhir. Kyuhyun keluar dari mobilku lalu membungkuk berterima kasih kepadaku. Aku memperhatikannya sampai ia menghilang di balik pintu lift, baru kulajukan mobilku keluar dari parkiran. Cukup lama aku mengemudi hingga akhirnya aku teringat sesuatu yang penting. Aku menepuk dahiku karenanya.

 

Aku lupa menanyakan nomor teleponnya!

 

****

 

Pekerjaanku di kantor menumpuk. Aku belum memiliki waktu lagi untuk bertemu dengan Kyuhyun. Sejak makan malam yang diprakarsai Minho malam itu, aku tak punya banyak waktu luang, bahkan untuk sekedar mampir di bar atau restoran. Minho sempat beberapa kali mengundangku lagi, tapi aku menolaknya karena alasan itu.

 

Aku mulai merindukan Kyuhyun, entah mengapa. Kalau kupikir-pikir sudah nyaris tiga bulan sejak terakhir aku mengantarnya ke apartemennya dan kami belum bertemu lagi semenjak itu. Kurasa hatiku memang benar-benar telah terjerat. Kulirik jam dinding, sudah sepuluh menit menuju pukul empat sore. Malam ini jadwalku untuk lembur, kemudian aku bertanya-tanya apakah dia juga lembur sepertiku? Ah, lihat ‘kan, pikiranku sudah kacau. Mungkin sebaiknya aku perlu nekat mengunjungi departemen di mana Kyuhyun bekerja. Aku berpesan kepada sekretarisku jika aku akan keluar sebentar dan memintanya mengirimiku pesan jika ada sesuatu yang penting. Ia menatapku aneh namun mengangguk mengiyakan.

 

Gedung tempatku bekerja berbeda dengan Kyuhyun. Aku harus menuruni lift sebanyak dua puluh lantai dulu kemudian berjalan kaki sejauh lima puluh meter melalui koridor yang menghubungkan gedungku dengan gedung laboratorium Kyuhyun. Di hari pertama, ayahku mengajak berkunjung ke semua departemen, rasanya kakiku ingin copot meskipun aku sangat hobi ber-jogging. Namun ayahku hanya terkekeh dan berkata jika beliau sering berkeliling mengawasi sendiri kinerja anak buahnya jika sedang tidak terlalu sibuk. Rasa-rasanya itu memberiku sedikit ide.

 

Sepanjang lorong menuju tempat Kyuhyun berada, tak terhitung staf yang menyapaku, terkejut, atau bahkan menganga melihat wajahku. Aku hanya membalas mereka seperlunya. Ketika aku sampai di laboratorium, salah seorang staf menyambutku bahkan menawariku kopi. Aku menolaknya halus dan menjelaskan aku hanya mampir sejenak untuk melihat-lihat.

 

Aku berdiri dari luar ruangan laboratorium yang berdinding kaca. Aku bisa saja masuk ke dalamnya untuk melihat langsung para staf bekerja, namun tak kulakukan karena banyak prosedur sebelum memasuki ruangan itu seperti memakai jas laboratorium lengkap dengan beberapa atributnya, selain itu para staf harus melalui ruangan desinfeksi. Lagipula, aku tak akan berlama-lama di sana karena aku harus segera kembali melanjutkan pekerjaanku setelah bertemu Kyuhyun.

 

Dari ekor mataku aku bisa melihat sepasang bola mata menatapku. Aku tak perlu bertanya untuk tahu itu siapa. Aku mengulas senyum singkat, Kyuhyun menatapku dari ruangannya yang juga berjendela kaca. Sengaja tak kualihkan pandanganku padanya karena ia pasti akan memalingkan muka jika aku melakukannya. Meskipun pada akhirnya aku harus kecewa karena Kyuhyun memutuskan kontak matanya karena Minho.

 

Sambil menghembuskan napas, aku menghampiri ruangan tempat mereka duduk. Di sana ada beberapa staf lain selain Kyuhyun dan Minho, jadi aku berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Mungkin ini sedikit kesempatanku untuk berbasa-basi sejenak dengan Kyu

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
indira407
#1
Chapter 4: Saling menci tai yg berakbir tragiss.. Hhaaa, poor kyukyu. Nice story kk, ditunggu sequel momento mori yesss
Maynidit
#2
Chapter 4: Siwon kecelakaan tepat dihari dia akan menikahi kyuhyun...T_T
Maynidit
#3
Chapter 3: Kyuhyun gagal membuat kembarannya bs hidup, dan stlh ini dia akan membuat siwon yg nantinya akan bersama dgnya
Maynidit
#4
Chapter 2: Wah....apa wonkyu akan menunjukkan hubungannya pd orang tua siwon??
Qkantik #5
Chapter 4: I like this story.. Cinta siwon begitu besar untuk kyuhyun. Tp gak bs bayangin pas kyu bangun dan hrs terima kenyataan siwonnya telah pergi :(
choiriafitriaelf #6
Chapter 3: Makin penasaran sama chap selanjutnya, updatenya jangan lama lama ya thor.btw memento mori endingnya kayak ngegantung gitu.
choiriafitriaelf #7
Chapter 1: Jadi squel memento mori disini ya thor.aku udah baca di ffn.
choiriafitriaelf #8
Chapter 1: Jadi squel memento mori disini ya thor.aku udah baca di ffn.
lusiwonkyu
#9
Chapter 2: First eeaaakk mantulll ??
Btw ini manisss bangettt interaksi Siwon sama Kyuhyun aku sukaa...
Aaahhhhh makin baper :(
Maynidit
#10
Chapter 1: Wah....wonkyu sama" malu" pdhl sdh saling suka
???