Two

Stay at home husband

T W O

 

“KAU BERTEMU DENGAN POLISI DISANA!?” Pekikan Seokjin sedikit mengejutkan Namjoon yang sedang meletakkan rak telur dengan hati-hati. Padahal pria itu sedang berada di kamar, tapi Namjoon bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

“Iya, tapi aku sudah mengatakan pada kedua polisi itu, aku sudah tidak bekerja disana.” Jawab Namjoon, membuka kulkas, menatapnya lekat-lekat sebelum memutuskan untuk mengeluarkan wortel, jamur, daun bawang dan daging campur.

Omelette.

Seokjin kini berada di dapur, berdiri dengan tangan di lipat ke dada dan wajah yang cemas di belakang Namjoon.

“Kurasa para polisi itu tidak akan memberitahu mereka, kau tahu bagaimana mereka.” Ujarnya sambil mengupas wortel dengan peeler serta memecah empat telur sekaligus ke dalam mangkok tanpa menyadari bagaimana ekspresi Seokjin sekarang.

“Mereka tidak akan percaya jika tidak ada bu─k..ti..” Namjoon menoleh, ucapannya berhenti ketika menyadari bagaimana ekspresi Seokjin yang menatapnya. Ia menghela napas, kemudian berjalan mendekati Seokjin.

“Aku minta maaf,” Ucapnya sambil menunduk di depan pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

“Joon, kau tahu alasan kenapa aku sangat cerewet tentang hal ini ‘kan?” Nada suara Seokjin merendah, dia menghela napasnya kencang-kencang dan memijit kepalanya.

Namjoon terdiam mendengar ocehan Seokjin yang panjang, memarahinya. Ini memang salahnya, dia seharusnya tidak seberani itu untuk melangkah pergi ke kota sebelah. Tapi, siapa yang bisa menolak jika di iming-imingi harga murah 30 butir telur? Lagipula dia punya banyak sekali kupon diskon di Supermarket itu,yang di dapatnya dari bu Gong.

Oke, alasan yang sangat sepele.

Sebenarnya, Namjoon juga penasaran dengan perkembangan keluarga Min. Setelah kepergiannya, Seokjin sama sekali menutup aksesnya untuk mencari tahu keluarga itu. Dia tidak bisa mencarinya di internet, keluarga Min tidak pernah terekspos ke media, bukan, media terlalu takut untuk mengangkat berita tentang mereka. Namjoon penasaran karena setelah kepergiannya, keluarga Min tidak pernah mencarinya. Aneh. Jika ingin jujur, ini bukan kali pertamanya pergi ke kota sebelah, tempat dimana keluarga Min tinggal dan juga tempat dimana keluarga itu paling berkuasa. Namjoon beberapa kali mondar mandir di kota itu untuk sekedar berpapasan dengan salah satu bawahannya, tapi tidak ada. Sudah 6 bulan dia pergi kesana, tapi tak ada satupun yang dia temui.

Keluarga Min menguasai hampir seluruh pusat perbelanjaan disana, bukan hanya itu tempat hiburan bahkan Restaurant adalah ‘milik’ mereka. Seharusnya, beberapa orang pasti mengawasi tempat-tempat itu. Tapi kali ini tidak ada.

“Joon?”

Namjoon kembali pada sadarnya, menatap Seokjin yang kini juga tengah menatapnya.

“Iya,” Namjoon menjawab seadanya, dia tidak mendengarkan apa yang pria itu katakan. Paling-paling Seokjin mengomel tentang bagaimana dia tidak berhati-hati pada dirinya sendiri. Namjoon berjalan mendekat ke arah Seokjin yang sekarang duduk di kursi meja makan, berlutut di depan pria itu, menggenggam tangannya dengan lembut.

“Tidak perlu khawatir lagi, ini sudah dua tahun semenjak aku pergi dari sana.” Ucapnya.

Seokjin menatapnya, Namjoon tersenyum dengan lebar menampilkan kedua lesung pipinya dan membuat matanya semakin sipit. Seokjin menyentil dahinya dengan kencang, Namjoon meronta kesakitan.

“Huhh, aku tidak mengerti bagaimana bisa seluruh preman-preman itu takut padamu. Bodoh! Sudah, hari ini biar aku yang menyiapkan makan malam.” Ucap Seokjin, beranjak ke arah dapur. Namjoon meringis kesakitan, mengelus dahinya dengan kasar.

Aku takut, Joon. Keluarga Min, sangat menakutkan.

Tidak mudah ‘mengambil’ Namjoon dari keluarga Min, keluarga mafia terbesar di Korea Selatan. Keluarga yang sudah mengasuh Namjoon sejak kecil, keluarga satu-satunya yang dia miliki setelah di buang begitu saja di jalanan. Tapi, keluarga itulah yang kembali membuangnya. Ada alasan besar di balik itu, sampai detik ini Namjoon belum juga memberitahu Seokjin kebenarannya, kebenaran tentang kematian Yuriko.

Sedihnya, Namjoon tidak pernah tahu kalau dia di buang oleh keluarga itu.

“Lalu, kau bilang apa pada kedua polisi itu?” Tanya Seokjin kemudian, kini dia berada di dapur mengambil alih apa yang dilakukan Namjoon.

Namjoon duduk di kursi meja makan, masih meringis kesakitan. Sentilan Seokjin meninggalkan bekas merah di dahinya.

“Aku bilang kalau aku adalah bapak rumah tangga, aku punya keluarga.”

Seokjin berhenti memotong wortel dan menengok ke arah Namjoon.

“Kau─”

“Kenapa? Aku bicara jujur, kita kan sudah menikah. Ya, walaupun tidak disini.” Namjoon berkata lagi, menatap Seokjin dengan mata yang penuh kepolosan.

“Kau tahu ‘kan, disini orang-orang mengira kita adalah sepupu.. Kita tidak bisa mengatakan hal itu secara terbuka disini Joon, di negara ini.” Seokjin menjelaskan.

Namjoon mengangguk, “Aku tahu kok, aku mengatakannya dengan nada berbisik!”

Seokjin terdiam, melihat Namjoon merespon ucapannya dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana orang yang memiliki kepribadian seperti ini bisa membunuh tanpa rasa bersalah? Bagaimana orang yang sepolos ini bisa membuat seluruh preman-preman dan Yakuza ketakutan dengan hanya menyebut namanya?

“Kau tidak ingin mandi? Kurasa sebaiknya kau mandi.” Seokjin menghela napas setelah mengatakannya, Namjoon tidak mengerti mengapa Seokjin terlihat sangat stress hari ini.

Apakah karena kelelahan? Pikirnya. Namjoon melangkah pergi ke arah balkon untuk mengambil handuk tanpa berkata apapun.

“Joon,”

“Ya?” Namjoon berhenti ketika baru saja dia akan pergi ke kamar mandi, menengok ke arah Seokjin.

“Apa kau benar-benar mengikuti kursus memasak?” Tanya Seokjin. Namjoon mengerenyitkan keningnya, Seokjin memperlihatkan mangkok berisi telur ─bersama dengan beberapa pecahan kulitnya─ yang tadi Namjoon pecahkan.

Pria itu tersenyum lebar, “A-aku kan sudah mencoba.”

 

 

─ Stay at home Husband ─

 

“Dia mengatakan hal itu?” Suara tertawa pemuda berambut coklat muda itu terdengar di telinga Seokjin yang tengah memijat keningnya. Pemuda itu tertawa dan hampir terjatuh ke belakang karena hilang keseimbangan.

“Diam Jimin, aku sedang tidak ingin tertawa.” Ujar Seokjin.

Jimin ─Sekretaris dan juga junior Seokjin di sekolah─ berusaha menghentikan tawanya. “B-bagaimana mungkin orang seperti itu bisa di takuti?” Jimin tertawa lagi, memegang perutnya dan menutup mulutnya dengan tangan kanan.

“Kau tidak melihat ekspresinya, dia mengatakannya seolah-olah sudah melakukan hal yang paling hebat. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan tingkahnya.” Seokjin menghela napas, menaikkan kedua tangan untuk menopang dagunya di atas meja.

“Dia benar-benar luar biasa, Hyung! Tapi Namjoon Hyung juga ada benarnya, kalian ‘kan memang sudah menikah.” Jimin berhasil mengontrol dirinya, kini dia menyeka airmata yang keluar setelah tawanya tadi.

“Benar, dia tidak salah. Tapi itu kan sesuatu yang sangat tabu disini, orang-orang kita tidak semuanya menerima hal seperti ini ‘kan. Kau sendiri kaget setengah mati dulu ketika aku jujur padamu kalau aku Gay! Kau bahkan menghindariku di sekolah!”

Jimin mengangguk, ada benarnya. Ketika pertama kali mendengar pengakuan itu, dia terkejut. Dia bahkan tidak bisa berbicara dengan normal kepada Seokjin, pikirannya penuh dengan ‘bagaimana jika’.

Iya, bagaimana jika Seokjin jujur karena menyukainya?

Bagaimana jika Seokjin selama ini menyukainya?

Bagaimana jika Seokjin mengatakan hal itu karena ingin Jimin menghindarinya?

Bagaimana jika─

Sampai akhirnya Seokjin bicara padanya, dia tidak menyukai Jimin. Dia hanya ingin jujur pada pemuda itu karena sudah merasa dekat, karena merasa Jimin adalah orang yang bisa dia percayai, karena Jimin bukan hanya sekedar sahabat untuknya. Keluarga. Jimin seperti keluarganya sendiri.

“Tapi kau bahagia ‘kan, Hyung?” Tanya Jimin.

Seokjin melirik Jimin yang sedari tadi berdiri di sebelahnya, “Benar, aku sangat bahagia!” Ujarnya sambil tertawa.

“Nah, karena kau bahagia, bagaimana jika kau membaca dokumen-dokumen yang menumpuk di depanmu? Kau butuh menandatanganinya karena aku harus menyerahkan semua itu kepada tuan Ma.” Jimin berkata sambil membuka salah satu berkas yang berada di depan Seokjin, Seokjin menghela napas dan mulai membaca seluruh dokumen-dokumen tersebut.

Tanpa terasa, sudah dua jam Seokjin berkutat dengan semua dokumen itu. Hampir setengah dokumen sudah dia baca, pelajari dan tanda tangani. Jam makan siang sudah berakhir, dia baru saja meminta tolong Jimin membelikannya makanan di salah satu Restaurant karena dia terlalu malas untuk pergi keluar. Hari ini Namjoon tidak membawakannya bekal karena ikan goreng yang dia masak pagi ini, gosong.

Seokjin terkekeh, dia kemudian mengingat sesuatu dan mengambil ponselnya untuk mengecek SNS Namjoon. SNS yang dia buka beberapa bulan lalu yang kini sudah ramai di kunjungi oleh banyak kalangan.

 Memencet profilenya, Seokjin melihat ada satu postingan baru. Foto ikan gosong tadi pagi dengan caption

Tidak bisa membawakan Kimmie bekal ㅠㅠ sorry.

Seokjin tertawa. Menggeser terus ke bawah, Namjoon banyak sekali mengunggah foto makanan disana. Semenjak dia mulai belajar memasak 7 bulan lalu, Namjoon rajin sekali membuatkannya bekal, walaupun rasanya tidak karuan tapi Seokjin senang memakannya. Namjoon juga mengunggah foto hasil kerajinan tangannya, rajutan yang meskipun sudah setahun dia mencoba hasilnya tetap tidak terlalu bagus. Komentar orang-orang sangat lucu dan baik sehingga Seokjin bisa melihat binar bahagia di mata Namjoon ketika seseorang memuji fotonya.

Ketika sedang asik melihat-lihat, ponselnya berdering, raut wajahnya berubah. Tegang. Dia menelan ludahnya, bibirnya terasa kelu. Dia selalu menghindari untuk menjawab panggilan itu selama bertahun-tahun. Setelah beberapa menit, panggilan itu berhenti. Seokjin baru saja akan menghela napas lega ketika satu pesan masuk ke ponselnya.

 

From : 031-729-XXXX

Dimana kau sembunyikan Namjoon? Kau tidak pernah pulang ke rumahmu semenjak Namjoon menghilang. Kau pikir kami tidak tahu dimana rumahmu? Kau yang serahkan atau aku yang akan mencari? Kim Seokjin, Namjoon tidak boleh di biarkan hidup. Kau tahu itu.

 

Seokjin menahan napasnya, keringatnya menetes tanpa dia sadari.

 

 

to be continued..

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet